NovelToon NovelToon

The Agreement

satu

Apa pun demi ayah

—Safira—

••••

Safira Nadia, gadis cantik putri

tunggal dari pengusaha kontruksi yang cukup besar di Indonesia. Bara Corp

dikenal memiliki proyek konstruksi residensial atau membangun proyek perumahan,

hotel dan apartemen. Bara Crop juga memenangkan tender Hotel Indonesia pada

tahun 2005 lalu, dan itu proyek terbesar yang pernah di bangun oleh Bara Corp

sampai saat ini.

Safira menjabatan sebagai wakil

direktur di perusahaan ayahnya, ia bekerja dengan sangat baik. Menjadi wakil

dari sang ayah yang tidak lain bernama Adrian Bara Samudra, Safira bekerja

sangat keras untuk memajukan perusahaan tersebut. Di usianya yang menginjak 25

tahun, Safira tidak seperti gadis pada umumnya. menghabiskan uang hanya untuk

berbelanja dan berkencan. Semenjak ibunya meninggal, Safira dididik oleh sang

ayah untuk hidup mandiri, maka jadilah Safira yang seperti saat ini.

Muda, cantik, dan berbakat. Tak

jarang pula ada beberapa lelaki yang tertarik dengannya, namun gadis itu seolah

tidak peduli, ia selalu merasa jika urusan cinta hanya membuat pekerjaannya

menjadi sedikit lebih rumit.

tok... tok... tok...

"Masuk ..." ucapnya tanpa

mengalihkan pandangan dari layar komputer.

Setelah Safira mempersilakan orang

yang mengetuk pintu ruangannya itu masuk, ia mendapati tubuh sekertaris sang

ayah yang bernama Indah masuk ke dalam ruangan dengan wajah panik.

"Maaf Ibu Safira ... Bapak

pingsan di ruangannya.” ujar Indah yang langsung membuat Safira berjengit dari

kursinya.

"Ayah pingsan?" tanyanya

panik.

Tanpa menunggu waktu lama

Safira lalu pergi dari ruangannya dan berlari menuju ruangan sang ayah. Setelah

tiba di ruangan besar bernuansa elegan itu, Safira langsung memeluk tubuh sang

ayah dengan gemetar.

"Indah, tolong panggilin

ambulan." titahnya kepada Indah dengan isak tangis. Melihat Adrian

tergeletak seperti itu membuat Safira takut, karena yang ia punya saat ini

hanyalah sang ayah. Safira tidak ingin kebahagiaan satu-satunya yang ia miliki

harus pergi meninggalkannya juga.

***

Suara pendeteksi jantung terdengar

nyaring sekali di ruangan ini. Sejak memasuki rumah sakit, Safira tidak ingin

melepas genggaman tangannya dari sang ayah. Ia sangat takut, terlebih sekarang

ia harus mengetahui satu hal yang menyakitkan, kalau perusahan yang sudah

ayahnya bangun dengan susah payah itu sedang di ambang kebangkrutan.

Safira terlalu bingung untuk

memikirkan perusahaanya saat ini. Bukan karena ia tidak peduli, hanya saja

kesehatan sang ayah adalah yang terpenting saat ini.

"Ayah ... ayah harus bangun,

Safira takut sendirian." Air mata Safira tidak berhenti menetes, membuat

seluruh wajahnya hampir dipenuhi dengan cairan bening itu. "Safira sayang

ayah," lirihnya.

Saat ini perusahaan Safira

benar-benar dalam masalah besar. Hampir beberapa Investor menarik sahamnya.

Safira bingung, ia kalut. Apa yang harus ia lakukan untuk perusahaannya? Apakah

ia harus diam saja dan melepaskan perusahaan yang sudah dibangun oleh ayah

begitu saja?

Di tengah-tengah perdebatan hatinya,

Safira mendengar lenguhan sang ayah. Sedikit demi sedikit Adrian membuka

matanya perlahan, sambil menyesuaikan pandangannya dengan cahaya lampu kamar.

Lelaki tua itu tersenyum ketika melihat anak tercintanya duduk di sebelah

ranjang.

"Ayah ... ayah udah sadar? Apa

yang sakit? Ayah ngerasain apa sekarang?" ujar Safira dengan wajah yang

panik.

Adrian tersenyum lalu menggelengkan

kepalanya. Ia membelai tangan Safira dengan lembut. Adrian tahu dengan pasti

kalau Safira sangat mencemaskannya saat ini, ada bekas air mata di pipi gadis

itu.

"Ayah baik-baik aja, kan?"

tanyanya lagi

"Fir ..."

"Iya, yah?"

"Maaf ... maafin ayah karena

gak bisa menjaga perusahaan yang kamu banggakan ini."

Safira menggeleng. "enggak,

yah. ini bukan salah Ayah, mungkin sekarang kita lagi diuji. Ayah harus kuat

ngelewatin ujian ini. Safira akan kuat kalo Ayah selalu di samping Safira.

jadi, ayah harus cepet sembuh."

Safira mencium kening sang ayah.

“Fira sayang ayah.” Lalu ia memeluk Adrian dengan erat.

***

Berbeda sekali dengan ruangan

Safira, di sebuah ruangan yang

berdindingkan warna putih, beraroma pekat

blueberry, dan penuh dengan rak

buku, bernuansa elegan yang saat ini di tempati

oleh seorang lelaki muda berwajah

tampan, Sean Arista. Anak tunggal dari konglomerat

bernama Bagaskara Pradipta,

Pengusaha Properti terbesar di Indonesia, yaitu

Pradita Group, Perusahaan yang

tecatat memiliki 24 anak usaha dengan proyek

yang tersebar di seluruh Indonesia

bahkan Asia.

Lebih dari 50 proyek properti telah

diselesaikan oleh perseroan ini

dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Di mulai

dari komsumen kelas menengah dengan

kisaran projek mulai dari low cost

apartment hingga high end apartment,

high end dan neighbourhood mall, shop

houses, hotel dan office tower.

Sean bisa dibilang lelaki manja

penghambur kekayaan orang tuanya.

kalau ditanya bagaimana ia bisa memimpin

salah satu anak perusahaan Pradipta

Group, itu semua adalah karena keinginan

sang Ibu, sejak kecil Sean selalu

hidup berkecukupan, dan sang Ibu sangat memanjakannya.

Hingga saat ini, beberapa pemegang

saham sangat tidak setuju dengan

pengangkatan Sean sebagai pemimpin

perusahaan. Bisa dibilang Sean belum mampu

memimpin sebuah perusahaan. Ini

semua hanya karena ia beruntung lahir dari

keluarga konglomerat, Sean sama

sekali tidak mempunyai kemampuan di bidang ini.

Bahkan setiap ada waktu, seperti

saat di dalam ruang kerjanya. Sean

selalu menghabiskan waktu hanya untuk

bermesraan dengan kekasihnya.

Arrabella, seorang aktris sekaligus model

terkenal di Indonesia. Aktivitas ini

sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang

pimpinan di dalam ruang kerjanya.

Seperti dunia ini hanya ada mereka berdua,

tidak memikirkan cibiran bawahannya.

Ini salah satu alasan mengapa

Bagaskara melarang Sean berpacaran

dengan model itu, bahkan Bagaskara sudah

merencanakan sesuatu untuk merubah

sikap anak semata wayangnya itu.

Brukk

Suara dentuman pintu membuat mereka

menghentikan aktivitas itu. Sean dan

Bella begitu panik setelah mereka

mengetahui siapa orang yang

mengganggu aktivitas pagi mereka. Seketika Bella

turun dari pangkuan Sean, dan tidak

lupa merapihkan bajunya yang berantakan

akibat ulah tangan jahil Sean.

"Om." Bella segera

mengulurkan tangannya untuk memberi

salam pada Bagaskara, tapi uluran tangan

itu tidak terjabat oleh lelaki yang

Sean panggil papa itu.

"tolong keluar,"

perintahnya.

"Pah, aku mohon—" ucapan

Sean terputus tatkala sang ayah

meminta Bella keluar dari ruangan itu.

"Saya minta dengan sangat, kamu

keluar. saya ingin berbicara dengan

anak saya." Baskara berjalan ke arah

sofa yang ada di sudut ruangan itu.

"Iya, Om." Bella melirik

ke arah Sean sebentar untuk meminta

izin. lalu Seann mengangguk.

"Nanti kita ketemu lagi pas

makan siang, ya." Sean mengecup

kening Bella sesaat.

Gadis itu pun berjalan ke arah pintu

dan tak lupa tersenyum ke arah

Bagaskara untuk memberi salam.

"Jangan ketemu Sean lagi."

Bagaskara berujar angkuh ketika

tangan Bella baru saja membuka pintu. Saat itu

juga Bella merasakan nyeri di

hatinya.

Sudah lima tahun hubungannya dengan

Sean berjalan, dan sudah selama itu

juga hubungan mereka belum mendapatkan

restu dari kedua orang tua Sean.

Restu itu tidak didapat karena Bella terlahir

dari keluarga yang tak jelas asal

usulnya dan ayah Bella juga tidak diketahui

keberadaanya. Sejak mengandung

Bella, ibunya sudah tidak lagi bertemu dengan

sang ayah.

"Pah, aku gak suka kalo papa

mencampuri urusan pribadi aku. Aku

udah dewasa, pah, dan aku bisa menentukan

pilihanku sendiri." geram Sean

pada sang ayah.

"Pilihan? Pilihan yang mana

yang kamu bilang? pilihan untuk

bersama model yang bahkan dirinya gak tahu

dimana ayahnya. Kamu bisa

menghancurkan nama baik perusahaan, Sean!"

bentak Bagaskara dengan nada tinggi.

"Kenapa selalu tentang nama

baik? Apa di pikiran papa hanya ada

nama baik? gimana sama kebahagian aku? Aku

ingin bebas, pah! Aku bisa kok

menjalankan perusahaan dengan cara aku!"

balas Sean tak kalah tinggi, tentu

hal itu menyulut emosi Bagaskara semakin

besar.

"Oh  ... dengan cara kamu

yang berbuat mesum di dalam ruangan

ini, dengan cara kamu yang selalu mendapat

cibiran dari masyarakat kalo ternyata

daya kerja kamu di bawah dari urusan

percintaan kamu.” Bagaskara

berdecih.”Kamu! Kamu tahu papa bisa menghancurkan

kehidupan gadis itu!" ancamnya.

Bagaskara sadar, tidak mudah untuk

merubah anaknya, maka itu ia akan

melakukan cara apapun untuk membuat nama

baiknya terselamatkan, walaupun

harus menghancurkan gadis yang dicintai anaknya

sekalipun.

Sean terkejut, matanya menyalak

tajam pada sang ayah. "Apa yang

papa mau lakuin? Aku gak akan memaafkan

papa kalo terjadi sesuatu sama Bella

ya!" Sean mengerti dengan baik bahwa

menentang sang ayah memang bukan

jalan yang mudah. Sean sangat tahu apa yang

ayahnya akan lakukan kalau ada

sesuatu yang tidak disukainya. Begitupun dengan

hubungannya dengan Bella.

"Papa gak akan ngelakuin apapun

sama gadis itu kalo kamu mau

menuruti semua ucapan papa!"

•••

Ini pengganti Wedding Agreement ya.

Maaf sekali karena WA gak bisa dilanjut karena dilarang pihak manga, jadi kalo mau baca di WP aku aja, tapi Slow Update karena aku masih nulis Pepromeno.

Maaf banget Dan mohon dukungannya untuk cerita ini

dua

Apa pun itu, pasti tidak akan mudah

—Sean—

••••

Seorang lelaki tinggi dengan stelan

jas berwarna hitam berhenti di depan kaca mobil mewah di sebuah kawasan yang

begitu sepi. Mobil tersebut adalah milik seorang pengusaha terkenal yang

bernama Bagaskara Pradipta.

Tak lama berselang akhirnya kaca

mobil itu terbuka dan memperlihatkan seseorang yang sangat berwibawa. Setelah

melihat si pemilik mobil akhirnya lelaki tersebut membukukan badannya.

"Jadi ... hasilnya seperti apa?

Saya tidak ingin mendengar kabar buruk." tanya Bagaskara kepada lelaki

tersebut.

"Ini kabar baik," balasnya

dengan penuh sopan santun sambil mengeluarkan sebuah foto dan memberikan itu

pada bos besarnya.

"Safira Nadia, umurnya 24

tahun. Anak dari Adrian Bara Samudra yang sekarang sedang terbaring lemah di

rumah sakit. Perusahaan mereka hampir bangkrut karena hutang." Lelaki itu

melanjutkan ucapannya dan menjelasakan tentang seorang yang berada di balik

foto tersebut.

Bagaskara Pradipta tersenyum senang,

wajahnya sedikit berbinar sambil terus menatap wajah di balik foto itu.

"Baiklah, kerja kamu bagus hari ini. Kamu boleh pergi!"

"Baik, pak." Lelaki

tersebut membungkukan badannya sebelum kemudian pergi dari hadapan Bagaskara.

"Saya ingin ke Bara Corporation

sekarang," perintahnya.

Senyum selalu tergambar jelas di

bibir pria tua itu. Bagaskara sangat senang bisa mendapatkan seorang gadis

untuk anaknya. Gadis dengan latar belakang dan pendidikan yang baik. Karena

hanya ini jalan satu-satunya untuk merubah Sean. Bagaskara tahu, ia tidak

akan bisa melepaskan kepemimpinan perusahaan kepada Sean kalau anak itu tidak

bisa merubah sikapnya.

***

"Permisi Bu, ada Pak Bagaskara

dari Pradipta Group ingin bertemu."

Safira terhenyak begitu mendengar

nama Pradipta Group disebut. Ia mengerjap sambil menatap Indah dengan alis

tertaut. Apa ia tidak salah dengar? Ini Pradipta Group, perusahaan yang

mempunyai anak cabang yang tersebar di seluruh negara ini, dan terkenal dengan

Perusahaan Properti nomor satunya di Indonesia.

"Tadi kamu bilang apa?

Pradipta?" tanya Safira tidak percaya. "Kamu yakin?"

Indah mengangguk. "Yakin, Bu.

Saya hafal kok sama wajah pimpinan mereka. Ini udah pasti Pradipta Group."

Raut bingung terpancar jelas di muka

Safira saat ini. "Kira-kira mereka mau ngapain ya, In?"

Safira masih menerka-nerka. Tidak

mungkin pimpinan perusahaan besar nomor satu di Indonesia mau datang ke

lerusahaan kecil miliknya, terlebih lagi perusahaan ini sedang dalam keadaan

yang tidak baik.

"Saya gak tahu, Bu. Mukanya gak

bisa ditebak," ledek Indah dengan tawa kecil.

"Kamu tuh, ada-ada aja,"

sahut Safira terkekeh. "Ya udah, saya sebentar lagi keluar, kamu tolong

bilangin sama dia tunggu sebentar ya."

"Siap, Bu."

***

"Selamat siang, Pak Bagaskara,

selamat datang di perusahaan saya." Safira mengulurkan jabatan tangan ke

arah pria tua itu. "Bagaimana kabar anda?" sambungnya sambil mengulas

senyum simpul.

Safira memang terlihat ramah dengan

semua orang, dan yang membuat semua orang sangat menyukainya adalah Safira tipe

perempuan yang selalu tersenyum.

"Saya sangat baik hari ini, dan

ya ... kamu terlihat sangat cantik sekali." puji Bagaskara dan langsung

membuat Safira tersipu malu.

"Terima kasih, pak, Bapak bisa

saja memujinya. Suatu kehormatan sekali Bapak bisa datang mengunjungi

perusahaan saya." Safira tersenyum lagi, senyum yang sangat indah dan

cantik. Tidak salah memang kalau Bagaskara memilihnya.

Lelaki tua itu tersenyum. "Kamu

memang sangat cantik. Tapi saya ke sini bukan untuk memuji itu. Saya ingin

sekali menawarkan kerja sama dengan Bara Corporation. Apa kita bisa berbicara

di tempat yang lebih nyaman atau mungkin sambil makan siang?" tawarnya.

"Oh bisa, pak. Gimana kalau

kita bicara di restoran dekat sini?" saran Safira dan langsung disetujui

oleh Bagaskara.

***

"Bilang sama gue, papa

ngerencanain apa?" cecar Sean setelah sambungan telepon miliknya

terangkat. Lelaki itu terlihat sangat kesal, sedikit lipatan di dahinya

menandakan ia sedang dalam emosi yang buruk.

"Gue gak bisa bilang

apa-apa, ini perintah Pak Bagaskara langsung."

Jawaban dari lelaki di seberang

sana, membuat emosi Sean semakin tinggi. Ia menggeram, sedikit mengumpat tidak

terima. Sean sangat tahu kalau papanya saat ini sedang merencanakan sesuatu,

dan ia yakin kalau lelaki yang sedang dihubungi olehnya ini tahu apa rencana

papanya.

"Kasih tahu gue, Yud!"

ucapnya melemah.

"Gue juga kepengen lo

berubah, Yan."

"Yud ... lo tahu kan kalo gue

cinta banget sama Bella. Please gue gak mau terjadi hal buruk sama dia."

"Turutin perintah bokap lo,

Yan."

Sean mendengus kesal. Kenapa Yuda

selalu saja mengikuti setiap perintah ayahnya. Kalau saja lelaki itu bukan

sahabatnya sejak kecil, mungkin Sean sudah memukul lelaki itu dengan penuh

emosi.

••••

Mohon dukungannya untuk cerita baru ini yaaa ❤❤

tiga

Haiiii... tolong dukungannya yaa ❤❤

happy reading!

••••

Seorang pelayan membawakan dua cangkir kopi ke ruangan VIP di restoran ini. Ruangan yang biasanya hanya dipesan untuk urusan bisnis oleh para pengusaha. Di dalam ruangan tersebut Safira dan Bagaskara saling melempar tawa dan berbincang.

“Gak perlu terlalu formal sama saya, Fir. Santai saja, rileks dan jangan terlalu tegang."

Safira mengulas senyum canggung menanggapi itu. "Hem ... iya, pak."

"Jadi, sebenarnya niat awal saya datang ke perusahaan kamu itu untuk menawarkan kerjasama." Bagaskara memperbaiki duduknya. “Pradipta Group sedang membangun proyek properti senilai 400 Miliar Rupiah, dan saya memilih perusahaan kamu sebagai main contractor-nya.”

"Beneran, pak?" Safira membulatkan matanya tak percaya. Ini seperti mimpi, Safira tidak salah dengarkan? 400 Miliar Rupiah. Ia bisa menutupi semua kerugian yang ada di Bara Corporation dengan mudah.

“Bapak beneran bilang ini?”

“Iya.” Bagaskara mengesap kopi miliknya. "Tapi dengan satu syarat."

"Syarat? Maksudnya?"

"Permintaan saya ini kayaknya terdengar cukup pribadi." Lelaki tua itu kembali menyesap kopi miliknya. Sementara Safira masih menunggu kalimat selanjutnya dari Bagaskara. "Menikah sama anak saya," lanjutnya dan dibalas teriakan terkejut dari Safira.

"Apa?" kali ini ia sangat-sangat terkejut. Matanya mengerjap berkali-kali.

Menikah? dengan anaknya? Kalimat itu sungguh sangat tidak masuk akal. Hei, ia pikir menikah sama dengan membeli permen atau membuang sampah pada tempatnya. Menikah tidak semudah itu. Dan apa? Dengan anaknya, bahkan Safira sama sekali belum pernah melihat anaknya, mengenal saja tidak! Apa ini lelucon?

"Saya akan membayar semua hutang-hutang perusahaan kamu dan berinvestasi di sana sebagai gantinya. Bagaimana? Kamu setuju?" tanya Bagaskara.

"Wow ... bapak bisa aja bercandanya," balas Safira tanpa sadar, lalu ia terkekeh kecil. "Maaf, pak, menikah? Ini lucu sekali."

"Saya serius."

Mata Safira mengerjap lagi, kini rahangnya terbuka lebar. Ia terkejut. "Pak menikah bukan buat bercandaan. Ini ... ini konyol," ucap Safira yang tidak menyangka, dan sedikit kesal saat mendengar itu.

"Mau, katakan iya dan perusahaan ayah kamu bisa bangkit kembali. Kalau tidak, maaf Pradipta Group tidak bisa bekerja sama dengan perusahaan kamu," hardik pria tua itu.

Safira masih merasa sangat kaget saat ini. pikirannya masih melayang entah kemana. Ini memang tawaran yang bagus, tapi mungkinkah ia harus mengorbankan dirinya. Lagi pula menikah itu harus dilandasi dengan rasa cinta. Bagaimana bisa itu terjadi kalau dirinya dan lelaki yang Baskara sebut sebagai anaknya saja tidak saling mencintai.

"Maaf, pak, gak ada syarat lain? Saya pikir menikah tidak semudah itu. Saya dan anak bapak aja belum pernah ketemu, dan kita juga gak saling cinta. Jadi, gak masuk akal kalo saga harus nikah sama anak bapak."

"Itu syarat satu-satunya yang saya punya. Dan soal cinta ... banyak pasangan yang awalnya hidup tanpa saling cinta, tapi mereka baik-baik saja." ucap Bagaskara dengan santai dan masih tetap menatap Safira yang saat ini belum menghilangkan keterkejutannya. "Semua keputusan ada di tangan kamu"

"Boleh saya pikirin ini dulu sebelum memberi jawabannya?" Safira menghela. “Saya butuh waktu.”

"Silahkan, saya tunggu jawaban kamu tiga hari lagi." Bagaskara tersenyum, namun Safira melihat itu sebagai senyum licik.

"Nggak bisa agak lama gitu, pak? Soalnya ini sulit banget, harus dipikirin matang-matang," mohonnya lirih.

"Hmm ... kalo gitu satu minggu lagi, saya tunggu kamu di kantor saya."

Safira mengangguk samar. Astaga, ini keputusan yang sangat membingungkan. "Baik, pak. tapi, gimana sama anak bapak? Apa dia tahu?"

"Dia itu urusan saya. Kamu hanya perlu kasih jawaban kamu ke saya seminggu lagi," balas Bagaskara tegas.

Ini gila, Safira tidak pernah berpikir sejauh ini. Bagaimana mungkin pernikahan bisa dijadikan alat dalam bisnis. Safira benar-benar merasa pusing.

"Boleh saya pulang sekarang, pak?"

"Iya, silahkan. Saya harap kamu membuat keputusan yang baik."

Safira beranjak dari duduknya, ia lantas mengulurkan jabatan tangan sebagai salam untuk berpamitan. Lalu berjalan menuju pintu keluar dengan lesu dan pikiran yang kosong.

"Pikirin kesehatan ayah kamu," ujar Bgaskara sebelum Safira benar-benar keluar dari ruangan itu.

Safira terdiam sebentar dan melangkahkan kakinya yang terasa lemas itu keluar, jantungnya bertalu-talu dengan tubuh yang memanas. Pikirannya buyar, kepalanya pening dan seluruh aliran darahnya seolah berhenti.

"Gimana ini?" Safira mengacak-acak rambutnya setelah sampai di depan mobil.

Sedangkan di lain tempat, Bagaskara tersenyum penuh kemenangan, walaupun Safira belum menyetujuinya, tapi ia merasa kalau gadis itu pasti akan menerima tawarannya, karena Safira tidak akan memiliki pilihan lain, selain menghadapinya.

"Maaf Safira, tapi hanya dengan cara ini saya bisa menyelamatkan anak saya. Saya juga tidak punya pilihan lain selain kamu, Fir." lirih Bagaskara yang masih terduduk di dalam ruangan itu.

••••

Semoga suka, jangan lupa dijadikan favorite ❤❤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!