NovelToon NovelToon

Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Tatapan Pertama yang Menggoda

Pesta ulang tahun pernikahan ke-30 Paman Arman dan Tante Dita digelar meriah di ballroom hotel bintang lima di tengah kota. Arga datang sedikit terlambat, mengenakan kemeja hitam dengan setelan jas abu gelap yang disetrika rapi oleh ibunya pagi tadi. Sebenarnya, dia tak terlalu suka menghadiri acara keluarga seperti ini. Formal, membosankan, dan penuh basa-basi.

Namun karena sosok yang sedang berulang tahun adalah Paman Arman, salah satu pengusaha tersukses di keluarga besar mereka, sekaligus orang yang banyak membantu keluarganya dari sisi keuangan mau tak mau, Arga harus hadir. Ibunya berpesan agar bersikap sopan, jaga bicara, dan jangan lupa senyum walau malas.

Saat Arga masuk ke ruangan yang dipenuhi dekorasi mewah dan cahaya lampu kristal yang menyilaukan, matanya langsung tertuju pada seorang wanita muda berdiri sendirian di dekat buffet minuman. Bukan karena posisinya yang strategis atau pakaian mencoloknya, melainkan aura yang terpancar dari dirinya. Kalista.

Dia tak pernah melihat wanita itu sebelumnya dalam setiap acara keluarga. Rambut panjang ikal berwarna cokelat gelap, jatuh sempurna di bahunya. Gaun merah marun yang dikenakannya menonjolkan siluet tubuh yang ramping, namun menggoda. Mata bulatnya menatap santai ke arah kerumunan, lalu berhenti pada Arga tanpa ragu, tanpa malu, seolah dia tahu benar siapa yang dia incar malam ini.

Arga terdiam. Detik itu, dunia terasa hening. Ia lupa akan semua kebisingan di sekitarnya, lupa pada tujuan awal datang, lupa bahwa dia berada di tengah pesta keluarga.

Kalista menyeringai tipis, lalu mengangkat gelas anggurnya sedikit, seolah memberi salam diam-diam. Sebuah isyarat penuh misteri.

Arga mengerjap, menyadari dirinya telah menatap terlalu lama. Dengan refleks, dia mengalihkan pandangan dan pura-pura mencari seseorang di antara keramaian. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Ada rasa tertarik yang begitu kuat.

“Arga!” Sebuah suara keras memanggilnya. Ia menoleh dan melihat Paman Arman, tersenyum lebar sambil membawa dua gelas sampanye.

Arga segera menghampiri. “Selamat ulang tahun pernikahan, Paman. Semoga langgeng dan bahagia terus.”

Paman Arman menepuk bahunya. “Terima kasih, Nak. Wah, kamu makin ganteng aja. Sudah dapat kerja tetap, ya?”

Arga tersenyum kecil. “Masih freelance, Paman. Tapi alhamdulillah cukup buat hidup sendiri.”

“Oh, bagus. Kalau kamu butuh koneksi, bilang aja sama Paman. Jangan sungkan.”

Sambil mengobrol basa-basi, Arga sesekali melirik ke arah tempat Kalista berdiri. Tapi wanita itu sudah menghilang dari pandangannya. Ia menghela napas kecewa, entah kenapa.

“Kamu lihat perempuan yang tadi berdiri dekat buffet itu?” tanya Arga tiba-tiba.

Paman Arman mengangkat alis. “Yang mana ya?”

“Yang pakai gaun merah... rambut panjang, tinggi semampai, cantik.”

Paman Arman berpikir sebentar, lalu terkekeh. “Oh, mungkin temannya Tante Dita. Banyak temannya yang diundang malam ini, termasuk kolega bisnisnya. Kenapa, tertarik?”

Arga tertawa gugup. “Nggak, cuma... penasaran aja.”

“Ya sudah, kalau berani, dekati langsung,” goda pamannya. “Mumpung kamu masih muda, jangan cuma diam.”

Arga hanya tersenyum menanggapi. Tapi di dalam dadanya, dorongan itu makin kuat. Ia ingin tahu siapa wanita itu. Ingin tahu nama, pekerjaan, dan... kenapa tatapan mata mereka tadi seolah menyampaikan sesuatu yang belum sempat diucapkan.

Setelah berkeliling ruangan dan menyapa beberapa kerabat yang hadir, Arga akhirnya memutuskan keluar sebentar ke balkon. Ia butuh udara segar. Ruangan yang penuh dengan parfum mahal, percakapan palsu, dan musik jazz lembut itu membuatnya pusing.

Angin malam menyentuh wajahnya. Dari balkon lantai 7 itu, gemerlap kota terlihat jelas. Tapi lagi-lagi, pikirannya kembali ke wanita tadi. Ada sesuatu yang membuatnya sulit melupakan pertemuan singkat itu.

Dan saat ia hendak kembali masuk, suara langkah pelan terdengar dari belakang.

Arga menoleh. Di sana, Kalista berdiri. Masih dengan gelas anggurnya, dengan senyum yang lebih tipis namun lebih menusuk.

Dia datang padanya.

“Kamu sering merasa asing di tengah keramaian juga?”

Suara lembut itu menusuk telinga Arga, membuatnya sedikit terkejut tapi juga senang. Ia berbalik, dan Kalista sudah berdiri hanya beberapa langkah darinya, menatap dengan sepasang mata yang dalam dan teduh, seperti menyimpan sesuatu yang tak terucapkan.

“Lumayan sering,” jawab Arga, berusaha tenang meski jantungnya mulai berdegup lebih cepat. “Kamu juga?”

Kalista tersenyum, lalu menyesap sedikit anggurnya. “Aku nggak terlalu suka pesta. Tapi kadang... kita harus datang, kan? Demi sopan santun.”

“Kalau gitu, kita punya kesamaan,” Arga balas tersenyum. “Aku juga datang cuma karena ibuku memaksa.”

Kalista mengangguk kecil. Matanya menatap langit sebentar sebelum kembali ke arah Arga. “Nama kamu siapa?”

“Arga,” jawabnya cepat. “Dan kamu?”

“Kalista.”

Nama itu seindah pemiliknya. Arga membatin dalam hati, berusaha tidak terlihat terlalu terpukau. Tapi sulit, karena Kalista bukan sekadar cantik. Ada keanggunan yang tak dibuat-buat, dan sensualitas yang terasa dalam setiap geraknya.

“Jadi... kamu keluarga siapa?” tanya Kalista santai, meski nada suaranya terdengar seperti sedang menyelidik.

“Aku keponakan dari Pak Arman,” kata Arga jujur. “Kamu sendiri?”

Kalista hanya tersenyum samar. “Tebak saja.”

Arga mengangkat alis, tertawa kecil. “Hm, tamu istimewa mungkin? Teman Tante Dita?”

“Bisa jadi,” Kalista menjawab, lalu menatapnya lebih dalam. “Kamu tinggal di Jakarta juga?”

“Iya. Di Tebet. Kamu?”

“Saya di apartemen... dekat Sudirman.”

Jawabannya singkat, tapi justru membuat Arga semakin penasaran. Kalista tak banyak bicara, namun justru itulah yang membuatnya menarik. Ia menyimpan sesuatu, dan Arga ingin tahu lebih.

Mereka terdiam sejenak. Tapi diam itu bukan canggung, melainkan seperti jeda yang menyenangkan. Kalista menyandarkan tubuhnya pada pagar balkon, lalu menoleh lagi ke arah Arga.

“Kamu tipe pria yang langsung bicara jujur, atau suka main aman dulu?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat Arga terkekeh pelan. “Kenapa, kamu mau tahu niatku mendekatimu?”

Kalista menatapnya dengan senyum setengah. “Mungkin.”

Arga mendekat satu langkah, jarak mereka kini tak sampai satu meter. Ia bisa mencium samar aroma parfum Kalista yang lembut dan manis. “Kalau jujur... aku tertarik sejak pertama kali lihat kamu tadi.”

“Kamu yakin cepat tertarik seperti itu?” Kalista bertanya dengan suara rendah, matanya sedikit menyipit. “Padahal baru saling kenal beberapa menit.”

“Kadang yang singkat justru paling membekas,” sahut Arga mantap. “Kamu sendiri? Datang ke balkon ini karena kebetulan atau memang cari aku?”

Kalista tertawa pelan, lalu menatapnya tajam. “Anggap saja... aku penasaran.”

Angin malam kembali berembus. Suasana menjadi lebih sepi. Di dalam ballroom, musik tetap terdengar, namun sayup. Lampu-lampu kota berkilau di kejauhan, menjadi latar sempurna untuk momen yang terasa seperti adegan dalam film romantis.

Tanpa sadar, Arga dan Kalista semakin dekat.

“Aku harus kembali,” ujar Kalista pelan, seolah tidak benar-benar ingin pergi.

“Tapi kita belum selesai ngobrol,” kata Arga cepat.

“Kita bisa lanjut... kalau kamu berani cari aku nanti,” bisiknya, sebelum melangkah pergi dengan tenang. Gaun merah marunnya bergoyang ringan mengikuti langkah kakinya yang anggun. Ia tidak menoleh lagi, tapi Arga tahu dia sedang mengujinya.

Arga berdiri mematung selama beberapa detik. Nafasnya naik turun, bukan karena kelelahan, melainkan karena tensi dari percakapan itu. Kalista seperti teka-teki yang indah tapi berbahaya. Dan Arga, dengan segala logikanya, merasa dirinya mulai masuk ke dalam pusaran yang belum ia pahami sepenuhnya.

Tapi ia tak ingin mundur.

Setelah memastikan dirinya cukup tenang, Arga kembali ke dalam ruangan. Ia berkeliling, mencari sosok Kalista. Tapi gadis itu menghilang seperti ditelan lantai dansa.

“Aku cari-cari kamu dari tadi,” suara ibunya tiba-tiba muncul dari belakang. “Udah salaman belum sama Tante Dita?”

“Udah, Bu,” jawab Arga cepat, meski pikirannya masih belum lepas dari sosok Kalista.

“Bagus. Nanti jangan langsung pulang. Ada sesi foto keluarga sebentar lagi.”

Arga mengangguk. Tapi matanya terus menjelajah ruangan. Ia masih ingin menemukan Kalista. Belum puas. Belum cukup.

Lalu, dari kejauhan, matanya menangkapnya.

Kalista berdiri di sisi bar, sedang bicara dengan seseorang. Tapi bukan itu yang membuat Arga terkejut. Pria yang sedang bersama Kalista... adalah Paman Arman.

Mereka berdiri terlalu dekat. Terlalu nyaman. Dan Kalista... tersenyum dengan cara yang berbeda.

Perut Arga terasa ditusuk sesuatu. Ia tak bisa berpaling. Tak bisa mengabaikan.

Paman Arman menyentuh pinggang Kalista. Ringan, tapi intim.

Dan Kalista membiarkannya.

Arga terpaku di tempatnya, seperti tubuhnya tertahan oleh gravitasi yang tak terlihat. Matanya tak lepas dari pemandangan itu... pamannya sendiri, Arman, berbicara dengan Kalista sambil sesekali menyentuh lengan, pinggang, bahkan rambut perempuan itu seolah mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekadar kenalan.

Detik itu juga, perasaan hangat yang tadi sempat menyelimuti dada Arga berubah menjadi dingin. Bukan hanya karena cemburu, tapi karena kenyataan yang perlahan menyusup seperti kabut: Kalista mungkin bukan hanya tamu biasa. Ia bukan sekadar perempuan cantik misterius yang muncul dan menghilang begitu saja.

Dan kalau benar yang dipikirkan Arga... dia adalah simpanan pamannya sendiri.

Nafas Arga mulai berat. Ia menunduk, mencoba menguasai emosinya, lalu berjalan pelan menjauh dari kerumunan. Tidak. Ia tak ingin membuat keributan. Belum.

Ia duduk di pojok ruangan, membiarkan suara tawa dan musik pesta tenggelam dalam pikirannya yang kini kusut tak karuan. Rasanya seperti tertampar, padahal baru sebentar mengenal Kalista. Tapi tatapan gadis itu... caranya bicara... semua terasa nyata, bukan sekadar mainan.

Tapi kalau memang Kalista adalah simpanan Paman Arman... mengapa ia mendekati Arga? Mengapa menatap seolah ingin sesuatu lebih?

Atau... mungkinkah Kalista memang suka bermain dua arah?

“Arga,” suara berat Paman Arman terdengar dari samping. Arga reflek menoleh.

“Paman,” jawabnya dengan senyum dipaksakan.

“Apa kabar? Sudah lama kita nggak ngobrol,” ucap Arman sambil duduk di samping keponakannya. Wajahnya seperti biasa ramah dan penuh wibawa.

“Baik, Man. Biasa, sibuk kerja,” sahut Arga. Matanya sesekali melirik ke arah bar, tapi Kalista sudah tak ada di sana. Menghilang lagi.

“Baguslah,” Arman mengangguk. “Kamu sekarang kerja di mana?”

“Masih di kantor kreatif media, bagian konten.”

“Hm... kamu cocok di sana. Tapi kapan-kapan mampir ke kantor Paman. Kita ada proyek baru. Siapa tahu kamu mau coba terlibat.”

Arga mengangguk sopan. Ia tahu pamannya sukses, perusahaan properti milik Arman termasuk besar. Tapi Arga belum pernah terlalu dekat dengannya. Terlalu banyak kesibukan, dan... terlalu banyak jarak.

Mata Arga mencari-cari Kalista lagi, hingga Arman menyadarinya.

“Kamu cari siapa?” tanya pamannya pelan.

Arga tersentak. “Eh? Nggak... cuma lihat-lihat orang. Banyak wajah baru di sini.”

Arman tertawa pelan. “Kamu pasti lihat Kalista ya?”

Arga nyaris membeku.

“Cantik, ya?” lanjut Arman tanpa curiga. “Dia... teman dekat Paman.”

Teman dekat.

Kata itu menggantung. Tapi Arga tahu, dalam dunia orang-orang berduit, “teman dekat” sering punya arti yang sangat luas. Terlalu luas.

Arga ingin bertanya lebih. Tapi apa yang bisa dia katakan? “Dia baru saja nyaris membuatku jatuh cinta dan kamu menyentuh pinggangnya di depan umum?” Tentu tidak.

Paman Arman menepuk bahunya, lalu berdiri. “Santai saja di sini, ya. Tante Dita panggil Paman dulu.”

Setelah Arman pergi, Arga menghembuskan nafas panjang. Ini gila. Semuanya gila.

Dan belum sempat pikirannya luruh, Kalista muncul lagi. Berdiri di samping sofa, menyapanya seolah tak ada yang terjadi.

“Kenapa kamu keliatan kaget?” tanyanya, suaranya tetap lembut. “Nggak nyangka aku kenal Paman kamu?”

Arga menatapnya tajam. “Kamu tahu dari awal siapa aku?”

Kalista tidak langsung menjawab. Ia duduk di samping Arga, menjaga jarak, tapi tak menunduk.

“Aku tahu kamu keponakan Arman,” katanya akhirnya. “Dan aku tahu kamu melihat kami tadi.”

Arga menggeram pelan. “Kalau kamu tahu, kenapa kamu main-main sama aku?”

“Aku nggak main-main,” bisik Kalista pelan. “Tapi aku juga nggak bisa bohong soal hidupku.”

“Jadi kamu memang... simpanan Paman?”

Kalista diam. Tak ada penyangkalan. Tak ada pembelaan.

Hening itu menampar lebih keras daripada jawaban.

“Kenapa kamu dekati aku?” tanya Arga lagi, kali ini dengan suara lebih pelan, seperti takut pada jawabannya sendiri.

“Aku nggak rencanakan ini,” ujar Kalista. “Aku lihat kamu... dan aku tertarik. Bukan karena hubunganmu dengan Arman. Bukan karena apapun. Aku hanya... merasa kamu berbeda.”

“Berbeda?” Arga tertawa kecil. Pahit. “Kamu bicara tentang perasaan, sementara kamu hidup dengan pria lain.”

“Aku nggak cinta Arman,” bisik Kalista. “Hubungan kami... rumit. Tapi kamu...”

“Berhenti,” potong Arga cepat. “Aku butuh waktu berpikir.”

Kalista mengangguk, meski matanya tampak sedikit memerah.

“Aku ngerti. Tapi tolong... jangan langsung menilai aku cuma dari apa yang kamu lihat.”

Dan dengan itu, ia berdiri. Pergi pelan, sama seperti pertama kali datang. Hening, dan penuh tanda tanya.

Arga hanya bisa duduk. Membiarkan malam itu mencabik-cabik hatinya yang belum sempat tumbuh utuh.

Baru babak pertama... tapi kisah ini sudah terasa terlalu rumit.

Dan semuanya dimulai dari satu tatapan yang menggoda, tapi juga menghancurkan.

Sentuhan di Balik Keramaian

Keramaian di pesta malam itu masih berlanjut, seolah tak peduli bahwa salah satu tamu di sana sedang bergumul dengan pikirannya sendiri. Arga berdiri di balkon lantai dua, menghadap taman yang diterangi lampu-lampu temaram. Ia butuh udara. Butuh jarak.

Namun, sejauh apapun ia menjauh, bayangan Kalista tetap membayang. Senyumnya, suaranya, dan terutama kenyataan pahit bahwa dia adalah milik pamannya sendiri. Pikirannya menolak, tapi hatinya tak bisa berbohong. Ia tertarik. Sangat tertarik.

“Boleh aku temani?” suara lembut itu datang dari belakang. Kalista. Lagi.

Arga tak menoleh, hanya berkata pelan, “Kau tak takut terlihat dekat denganku?”

“Tidak,” jawabnya tegas. “Aku lebih takut kehilangan kesempatan untuk bicara jujur.”

Perempuan itu berdiri di sebelah Arga, mengenakan gaun satin hitam tanpa lengan, anggun tapi berani. Angin malam memainkan helaian rambutnya yang terurai, membuat penampilannya semakin menggoda.

“Aku tahu kamu marah. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak pernah ketemu kamu,” katanya, menatap wajah Arga dari samping.

“Apa hubungan kalian... serius?” tanya Arga tanpa menatap balik.

Kalista menghela napas. “Arman memberiku kehidupan yang nyaman. Tapi tidak ada cinta di sana.”

“Kamu sadar dia paman aku, kan?”

Kalista mengangguk. “Dan justru itu yang membuat semuanya makin rumit. Tapi aku nggak bisa bohong. Malam itu... waktu kita ngobrol, waktu aku menatap kamu... aku ngerasa ada sesuatu.”

Arga menoleh perlahan. Mata mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti.

“Kalau kamu tahu semua ini salah,” kata Arga pelan, “kenapa kamu terus maju?”

“Karena aku lebih takut menyesal.”

Kalista mendekat, cukup dekat hingga aroma parfumnya tercium lembut, mencampur dengan udara malam. Tangannya yang halus menyentuh lengan Arga, ragu namun jujur.

Arga memejamkan mata. Hatinya berdebar, tubuhnya merespons lebih cepat dari pikirannya. Ia tahu ini gila. Salah. Tapi sentuhan itu seperti magnet, menariknya masuk ke dalam jurang yang tak bisa ia hindari.

“Kalista...” bisik Arga. “Kamu harus pergi.”

“Aku akan pergi... kalau kamu sungguh ingin aku pergi.”

Tapi Arga diam.

Dan dalam diam itu, Kalista melangkah lebih dekat. Tangannya kini menyentuh dada Arga, lembut, mencari denyut jantung yang berdetak tak karuan. Lalu ia berbisik, “Kalau kamu jujur, kamu tahu kamu juga ingin ini.”

Kalista mendekatkan wajahnya. Bibirnya nyaris menyentuh pipi Arga. Nafas mereka saling menyentuh, panas, penuh ketegangan.

Tapi sebelum bibir itu menyentuh kulit Arga, suara dari dalam rumah memecah keheningan.

“Kalista!” Itu suara Arman.

Kalista segera menjauh, langkahnya cepat dan anggun, lalu berbalik ke dalam rumah, meninggalkan Arga berdiri sendiri di balkon, jantungnya masih berdebar keras.

Arga mengepalkan tangan. Perempuan itu ibarat bara. Sekali disentuh, bisa membakar habis segalanya. Tapi dia tak bisa menjauh.

Dan malam ini, bara itu belum padam.

Setelah Kalista pergi, Arga kembali ke dalam rumah dengan langkah berat. Musik jazz masih mengalun dari sudut ruangan, para tamu sibuk bercakap dan bersulang. Namun bagi Arga, suasana itu hanya latar kosong dari kekacauan batinnya.

Ia berjalan ke meja minuman dan mengambil segelas anggur. Satu teguk tak cukup untuk meredam gejolak yang tumbuh sejak tadi. Pandangannya tertuju pada Kalista yang kini berdiri di samping Arman, tersenyum manis seolah tak terjadi apa-apa. Tubuhnya berbalut keanggunan, tetapi Arga tahu di balik senyum itu, ada ledakan yang baru saja tertahan.

Paman Arman menepuk punggung Kalista dengan tangan penuh kepemilikan. Laki-laki itu memang karismatik dan berkharisma, berusia 45 tahun tapi masih gagah dan berwibawa. Tak ada yang curiga dengan hubungan mereka, hanya sedikit desas-desus, namun tak cukup untuk mengguncang reputasi sang pengusaha kaya itu.

Arga menyesap anggurnya dalam-dalam, lalu memutuskan untuk keluar ke taman. Ia tak ingin menatap pemandangan itu lebih lama. Tapi saat hendak melewati tangga belakang, sebuah tangan mencengkeram lengannya.

Kalista. Lagi.

“Aku tahu kamu mau pergi,” katanya cepat. “Tapi aku mohon, temui aku di mobil. Sekarang.”

Arga menatapnya tajam. “Gila kamu. Kamu di sana sama dia dan kamu...”

“Ssst!” Kalista mendekat, menyentuh bibir Arga dengan telunjuknya. “Lima menit. Aku butuh kamu. Bukan Arman.”

Kalista melangkah pergi tanpa menoleh lagi, menyisakan Arga yang berdiri dalam kebingungan dan emosi bercampur aduk. Namun tubuhnya bergerak lebih dulu. Ia menuruni anak tangga, menyeberangi taman kecil menuju garasi belakang. Di sana, mobil Kalista... sedan hitam mewah menanti.

Pintu belakang sudah terbuka.

Arga masuk dengan gugup. Di dalam, lampu kabin mati, hanya cahaya dari luar yang menyelinap lewat jendela. Kalista duduk di jok belakang, kaki disilangkan, rokok menyala di antara jari-jarinya.

“Kenapa kamu lakukan ini?” tanya Arga nyaris berbisik.

“Karena aku nggak tahan,” jawab Kalista. “Semua di pesta itu... palsu. Aku butuh sesuatu yang nyata, Arga. Dan kamu... kamu nyata.”

“Ini salah.”

“Tapi kamu tetap datang.”

Arga diam.

Kalista mencondongkan tubuh, mendekat. Matanya menatap langsung ke mata Arga, bibirnya basah, napasnya cepat. “Aku nggak minta kamu mencintaiku. Aku cuma butuh kamu di malam ini.”

Suasana di dalam mobil semakin panas, sempit oleh ketegangan yang belum pecah. Kalista menyentuh dada Arga, lalu tangannya menjalar ke belakang lehernya, menarik tubuh pria itu mendekat. Bibir mereka bersentuhan, lembut, tapi segera berubah menjadi ciuman yang lapar dan penuh hasrat.

Arga sempat menahan, tapi tubuhnya tak kuasa melawan. Tangannya membelai pipi Kalista, lalu turun ke pinggang, menariknya lebih dekat. Ciuman mereka semakin dalam, lebih liar, seolah ingin melampiaskan semua ketegangan yang tertahan sejak pertemuan pertama.

“Kalista...” bisik Arga di antara desahan. “Kalau kita teruskan, nggak akan ada jalan balik.”

“Aku nggak cari jalan balik,” jawabnya dengan mata membara.

Tangannya mulai membuka kancing kemeja Arga, sementara tubuh mereka kini saling merapat di kursi belakang mobil. Suara ritsleting, desahan pelan, dan deru napas bersahutan dalam gelap.

Di luar, pesta masih berlanjut. Tapi di dalam mobil itu, pesta lain sedang berlangsung, pesta rahasia, penuh dosa dan gairah.

Arga tahu ia akan menyesal.

Tapi malam itu, dia memilih menyerah.

Setelah ledakan gairah yang mereka lepaskan di dalam mobil, keheningan menyergap. Kalista bersandar di bahu Arga, napasnya masih belum teratur, sementara dada Arga naik turun dalam kelelahan bercampur rasa bersalah.

"Kita gila," gumam Arga lirih, menatap langit-langit mobil yang berkabut karena napas mereka.

"Ya," jawab Kalista datar. "Tapi itu terasa nyata."

Arga menatap wajah Kalista yang diterangi remang cahaya dari luar. Matanya berkaca-kaca, bukan karena tangis, tapi karena sesuatu yang lebih dalam, kesepian yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

"Aku nggak ngerti, Kalista... Kamu punya semuanya. Mobil, kecantikan, bahkan Arman. Tapi kenapa kamu tetap merasa kosong?"

Kalista tersenyum pahit. Ia membenarkan rambutnya yang kusut, lalu membetulkan tali dress-nya yang turun dari bahu. “Semua yang kamu lihat itu palsu, Arga. Arman hanya melihat aku sebagai boneka pemuas. Aku cuma 'hiasan' yang bisa dia pamerkan ke rekan bisnis atau bawa ke hotel mewah. Tapi kamu... kamu lihat aku sebagai wanita. Sebagai manusia.”

Kata-katanya menampar sisi logika Arga, membuatnya bungkam. Di satu sisi, ia merasa dimanfaatkan. Tapi di sisi lain, ia juga tahu dia pun menikmati semua ini.

“Aku nggak bisa terus begini,” ucap Arga akhirnya. “Kamu simpanan pamanku. Kalau orang tua aku tahu, kalau Arman tahu... aku bisa kehilangan semuanya.”

Kalista meraih tangan Arga, menggenggamnya erat. “Aku nggak minta kamu jadi pahlawan. Aku cuma minta kamu temani aku sampai aku kuat berdiri sendiri.”

Arga menunduk, memejamkan mata.

Ia tahu dirinya sedang berjalan di atas garis tipis antara cinta dan dosa. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, dia merasakan gairah yang tak hanya membakar tubuh, tapi juga merasuk ke dalam batin.

“Ayo kita balik ke pesta,” ujar Kalista pelan, seolah ingin menyudahi percakapan yang terlalu berat. “Kalau terlalu lama menghilang, kita bisa dicurigai.”

Arga mengangguk, meski hatinya belum siap. Ia merapikan bajunya, lalu membuka pintu dan keluar terlebih dulu. Udara malam langsung menyergap kulitnya, seolah mencuci sisa-sisa dosa yang masih menempel.

Kalista menyusul beberapa menit kemudian, melangkah anggun seperti biasa. Tak ada yang bisa menebak bahwa barusan mereka terlibat dalam pelukan panas yang mengkhianati garis darah.

Begitu mereka masuk ke dalam rumah, suasana pesta masih ramai. Musik berganti ke nada lembut, para tamu mulai sedikit mabuk, dan paman Arman tengah tertawa keras bersama dua rekan bisnisnya.

Mata Kalista menangkap sosok Arman, dan seketika senyum manis itu kembali menghiasi wajahnya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa, ia berjalan menghampiri Arman dan mengecup pipinya dengan mesra.

Arga berdiri jauh di sudut ruangan, memandangi semuanya dengan hati yang terbelah. Dari kejauhan, Kalista menoleh sekilas padanya hanya sepersekian detik, namun cukup untuk menyampaikan pesan: “Aku di sini, tapi juga milikmu.”

Dan di tengah keramaian itu, Arga menyadari bahwa malam ini bukan akhir. Ini baru permulaan dari hubungan berbahaya yang akan menjerat mereka lebih dalam.

Penuh rahasia.

Penuh gairah.

Dan tak ada jalan keluar yang mudah.

Bisikan Nakal di Malam Sepi

Malam mulai larut saat Arga kembali ke apartemennya. Langit di luar jendela gelap pekat, hanya diterangi kerlip lampu kota yang redup. Tapi pikirannya lebih gelap dari langit malam itu penuh tanya, penuh rasa bersalah, tapi juga diliputi gairah yang tak kunjung padam.

Ia merebahkan diri di sofa, menatap langit-langit sambil memutar ulang kejadian di pesta tadi. Sentuhan Kalista, desahan tertahannya, dan bisikan di telinganya yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Telepon genggamnya bergetar.

Kalista: “Sudah sampai rumah?”

Arga mengetik cepat. “Sudah. Kamu?”

Jawaban datang hanya beberapa detik kemudian. “Aku di kamarnya Arman. Dia sedang mandi.”

Jantung Arga berdegup keras.

“Kenapa kamu kabarin aku?”

“Karena aku butuh kamu. Malam ini.”

Arga menggigit bibir bawahnya. Kalista bermain di api, dan ia ikut terbakar di dalamnya. Tapi justru itu yang membuat semuanya terasa nyata. Terlarang, namun tak terhindarkan.

“Kalista... jangan.”

“Aku cuma mau bicara. Tolong. Angkat panggilan video ini, sebentar saja.”

Seketika layar ponselnya berubah. Wajah Kalista muncul di sana, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu meja di samping ranjang. Rambutnya tergerai, dan bahunya telanjang, hanya dibalut selimut tipis berwarna abu-abu.

“Arga...” suaranya serak. “Aku... nggak tahu sampai kapan aku bisa tahan begini.”

“Kalista, hentikan... kamu di kamar Arman, dan kamu...” Arga tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Gambar Kalista terlalu menggoda untuk dipalingkan.

“Aku butuh suara kamu. Hanya itu. Suaramu bikin aku tenang,” lirih Kalista.

Arga mengusap wajahnya dengan frustrasi, tapi ia tak memutus panggilan itu.

“Kalau Arman keluar dari kamar mandi dan lihat kamu video call dengan aku...”

“Aku pintar menyembunyikan rahasia, Arga,” ucap Kalista sembari menyeringai tipis. “Kita sudah membuktikannya.”

Lalu Kalista memiringkan tubuhnya, dan selimut itu sedikit melorot, memperlihatkan lekuk bahu dan punggungnya.

“Arga... kalau aku bisa pilih, aku lebih ingin malam ini bersamamu. Di sampingmu.”

Arga menggenggam erat ponsel itu. Tangannya bergetar, tapi bukan karena takut. Melainkan karena dorongan hasrat yang belum padam sejak pertemuan terakhir mereka.

“Kalau kamu di sini sekarang, Kalista... aku nggak akan biarkan kamu tidur.”

Kalista menelan ludah. “Kamu tahu aku suka bisikanmu, kan?”

Arga mendekatkan wajahnya ke kamera.

“Kalista,” bisiknya, rendah dan berat, “kalau kamu di sampingku sekarang, aku akan peluk kamu dari belakang. Tangan kiriku akan melingkar di pinggangmu, dan tanganku yang lain akan menyibak rambutmu untuk mencium tengkukmu...”

Kalista menggigit bibir, menahan suara. Wajahnya memerah. Matanya menatap kamera seolah ingin menyentuh Arga langsung.

“Aku akan berbisik di telingamu, seberapa cantiknya kamu, betapa aku menginginkanmu. Aku akan menarik napas panjang di lehermu, menghirup aroma tubuhmu yang manis itu.”

“Arga...” Kalista hampir mendesah. “Lanjutkan... tolong...”

Tapi sebelum Arga bisa melanjutkan, suara air dari kamar mandi berhenti. Kalista menegang, matanya membelalak.

“Dia keluar...” bisiknya panik.

“Putuskan sambungan!” ujar Arga cepat.

Tapi Kalista hanya menutup kamera, masih terhubung lewat suara. Mereka berdua terdiam dalam ketegangan, mendengar suara langkah kaki di lantai kayu kamar itu.

Lalu terdengar suara Arman, berat dan dalam.

“Kamu belum tidur?”

“Aku baru saja mau,” jawab Kalista, suaranya kembali lembut dan tenang.

“Hmm, mari sini...”

Setelah itu, hanya keheningan. Arga mendengar detak jantungnya sendiri, telinganya panas, emosinya campur aduk antara cemburu, jijik, dan masih... menginginkan.

Ia tak mematikan sambungan. Ia hanya meletakkan ponselnya di samping, menatap langit-langit, dan menyesap dalam-dalam racun manis yang bernama Kalista.

Pagi datang dengan cahaya yang enggan menerobos masuk. Arga belum tidur semalaman. Wajahnya pucat, mata merah, dan pikirannya terus dihantui suara Kalista semalam.

Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi setelah Kalista mematikan kamera. Tapi imajinasinya bekerja lebih liar dari kenyataan. Dan itu menyakitkan.

Arga membuka pesan terakhir dari Kalista.

“Maaf. Aku harus menutupnya cepat tadi. Tapi bisikanmu… tetap aku dengar sampai aku tertidur.”

Tak ada kata-kata manis yang bisa menyembuhkan luka di hatinya pagi itu. Ia tahu, Kalista bukan miliknya. Tapi kenapa wanita itu bisa membuatnya merasa seolah ia satu-satunya?

Hari itu, Arga menghindari semua panggilan dari Kalista. Ia butuh waktu. Butuh jarak. Namun malam kembali datang, dan kesepian mulai merayap ke dalam dada. Seperti biasa, rasa rindu muncul justru ketika ia mencoba melupakannya.

Dan seperti bisa membaca pikirannya, pesan masuk lagi dari Kalista:

“Kamu di rumah?”

Arga menatap layar ponsel, jari-jarinya melayang. Tapi sebelum sempat membalas, notifikasi panggilan video masuk. Tanpa sadar, ia menjawab.

Wajah Kalista muncul, kali ini bukan di kamar, tapi di dalam mobil. Make-up tipis menghiasi wajahnya, dan bibirnya terlihat lebih merah dari biasanya.

“Aku di depan apartemenmu.”

“Apa? Kenapa kamu ke sini?” tanya Arga dengan nada tinggi.

“Aku butuh kamu. Aku nggak tahan lagi, Arga. Aku bahkan nggak pulang dari kantor. Langsung ke sini. Bolehkah aku naik?”

Arga mendesah, lalu menatap layar beberapa detik.

“Naiklah.”

Pintu apartemen terbuka pelan. Kalista berdiri di sana, tubuhnya sedikit menggigil, entah karena udara malam atau karena dorongan emosi yang membuncah.

Begitu pintu ditutup, mereka hanya diam. Hanya ada suara napas dan detak jantung masing-masing yang terdengar jelas.

“Kenapa kamu ke sini, Kalista?” tanya Arga pelan.

“Aku nggak bisa pura-pura lagi. Tiap malam aku tidur di ranjang Arman, tubuhku ada di sana, tapi pikiranku... hatiku... hanya memikirkan kamu.”

Arga berjalan pelan, mendekat.

“Kamu sadar, hubungan ini makin kacau, kan?”

“Aku nggak peduli lagi,” lirih Kalista. “Malam ini, aku hanya ingin satu hal. Kamu.”

Satu langkah lagi, dan mereka berhadapan. Napas mereka bertaut. Kalista menatap mata Arga, lalu mengusap pipinya dengan lembut.

“Bisikkan lagi, Arga... seperti semalam. Tapi kali ini, aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu... di sampingku.”

Arga menggenggam tangan Kalista. Dingin. Lemas. Tapi ia bisa merasakan denyut kehidupan di sana. Dan denyut itu berdetak untuknya.

Ia menarik Kalista ke dalam pelukannya, pelan. Dada mereka saling bersentuhan, dan dalam keheningan itu, ia membisikkan sesuatu di telinganya.

“Kalista... kamu wanita yang paling berbahaya yang pernah aku temui. Tapi juga yang paling sulit aku lepaskan.”

Kalista menahan napas, tubuhnya menggigil.

“Kalau aku jadi milikmu malam ini... kamu akan miliki semuanya.”

Arga menyentuh rambutnya, menyelipkannya ke belakang telinga. Lalu mulutnya menempel di sana, di helai rambut, di telinga, dan kembali berbisik.

“Aku akan peluk kamu sampai kamu nggak bisa bergerak. Aku akan buat kamu lupa siapa dirimu... dan siapa pamanku.”

Tubuh Kalista melemas dalam dekapannya.

“Bawa aku ke tempat tidurmu, Arga. Jangan biarkan aku pulang malam ini...”

Dan tanpa kata lagi, Arga membawanya. Tapi bukan hanya tubuh yang ia bawa. Ia membawa dosa bersamanya. Keinginan yang membakar. Bisikan-bisikan yang kini akan menjadi nyata.

Kamar Arga temaram. Hanya cahaya dari jendela kota yang menembus tirai, cukup untuk memperlihatkan siluet dua tubuh yang kini berdiri berhadapan, terengah oleh emosi yang tak bisa lagi ditahan.

Kalista duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam jemari Arga. Matanya tak berkedip memandangi wajah pria yang berdiri di hadapannya.

"Aku ingin malam ini jadi milik kita saja," bisiknya. "Lupakan dunia di luar sana, lupakan Arman, lupakan semuanya..."

Arga tak menjawab. Ia hanya menunduk, mencium jemari Kalista satu per satu, lalu menelusuri lengan putih itu ke bahu, ke leher, hingga wajah mereka begitu dekat.

"Aku akan buat kamu lupa cara berbohong," gumamnya pelan.

Kalista tersenyum kecil. "Mungkin... aku justru ingin kamu mengajarkanku cara jujur."

Perlahan, pakaian demi pakaian menjadi sejarah di lantai. Tidak ada yang tersisa di antara mereka selain kulit dan keinginan. Arga menuntunnya berbaring, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut yang sama, seolah ingin menyembunyikan dosa mereka dari dunia.

Sentuhan pertama itu lembut. Hangat. Nyaris seperti ciuman maaf yang lama tertunda. Tapi setelahnya, tak ada lagi kata lembut. Hanya suara napas yang menyatu dan bisikan-bisikan liar yang mengalir tanpa malu.

Kalista menggigit bibirnya, tubuhnya melengkung ketika Arga mencumbu setiap bagian yang membuatnya mendesah panjang.

“Arga…” suaranya nyaris seperti isakan. “Aku takut ketagihan.”

Arga berhenti sejenak, menatap matanya. “Sudah terlambat.”

Malam terasa panjang. Tapi bagi mereka, rasanya terlalu cepat. Setiap menit terasa seperti tarikan napas yang mengintai di antara batas dosa dan kenikmatan.

Tubuh Kalista bergerak mengikuti ritme, mengalirkan gelombang demi gelombang keintiman yang mengguncang batinnya. Ia seperti tenggelam, dan hanya Arga yang menjadi jangkar yang ia genggam.

Ketika akhirnya mereka terdiam, hanya peluh dan sisa-sisa kenikmatan yang tersisa di udara.

Arga membaringkan dirinya di samping Kalista, menarik tubuh telanjangnya ke dalam pelukan. Tidak ada kata yang diucapkan saat itu. Hanya detak jantung mereka yang masih berdentam.

Beberapa saat kemudian, Kalista berbisik pelan, “Apa kamu menyesal?”

Arga menatap langit-langit, lalu menjawab tanpa ragu, “Tidak malam ini.”

Kalista menarik napas panjang, lalu menutup mata. “Aku harap malam ini bisa berlangsung selamanya…”

Tapi mereka berdua tahu, dunia nyata akan menunggu mereka begitu fajar menyingsing. Dunia di mana Kalista bukan milik Arga, dan Arman, pamannya, tetap pria yang memiliki segalanya.

Namun malam ini adalah pengecualian. Sebuah jeda dalam kehidupan yang penuh aturan. Di kamar itu, hanya ada mereka, dan bisikan-bisikan nakal yang tak akan pernah bisa mereka akui pada siapa pun.

Dan ketika fajar akhirnya menyentuh kaca jendela, Kalista masih terbaring dalam pelukan Arga. Matanya terbuka perlahan, dan satu kalimat keluar dari bibirnya yang kering namun puas.

“Jika ini dosa, aku rela mengulanginya lagi…”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!