NovelToon NovelToon

Di Cerai Saat Hamil

Kapan Hamil?

Hilda, gadis yatim piatu yang tumbuh di panti asuhan menerima begitu saja perjodohan yang di adakan oleh ibu panti dengan salah satu donatur tetap di panti tersebut.

Hilda di jodohkan dengan Dimas, anak sang donatur tetap itu.

Pernikahan pun terjadi. Hilda sangat bahagia atas perjodohan ini karena ternyata Dimas adalah suami yang baik. Selama tiga tahun pernikahan berlangsung, Dimas tidak pernah sedikit pun menyakiti hati Hilda. Dimas selalu memperlakukan Hilda layaknya seorang putri. Ya, semua itu Dimas lakukan karena memang ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama pada Hilda.

Kehidupan rumah tangga yang awalnya harmonis dan bahagia, lambat laun mulai berubah menjadi tidak baik baik saja. Bagaimana tidak? Setelah Ayah Dimas meninggal, Mayang, ibu Dimas mulai menunjukkan sikap tak sukanya pada Hilda.

Mulai dari tak suka dengan cara berpakaian Hilda, cara Hilda mengerjakan pekerjaan rumah, Masakan Hilda yang tak pernah cocok dilidahnya. Juga yang terus ia permasalahkan adalah belum adanya keturunan antara Hilda dan Dimas sampai sekarang.

"Sayang, kamu kenapa?" Tanya Dimas mendekati Hilda sembari melingkarkan tangan di perut sang istri dan menyandarkan kepalanya di pundak wanita tersebut dan mengecupnya sekilas.

"Ibu mas."

"Ibu? Kenapa dengan ibu?."

"Sepertinya ibu sudah tidak menyukaiku."

"Bagaimana bisa? Bukankah selama pernikahan kita, ibu selalu bersikap baik padamu?."

"Iya mas. Tapi setelah kepergian ayah, Aku merasa sikap ibu semakin berbeda."

"Maksutnya?."

"Aku merasa setiap apa yang aku lakukan tidak pernah benar dimata ibu. Bahkan apa yang aku kerjakan selalu salah."

"Mungkin hanya perasaanmu saja."

"Tidak mas. Ibu benar benar tidak menyukaiku lagi."

"Sejak kapan kamu merasakan hal itu?."

"Sudah beberapa bulan ini."

"Beberapa bulan? kenapa kamu tidak pernah cerita?."

"Maaf mas. Aku memilih diam karena aku tidak mau berburuk sangka dulu pada ibu. Aku memilih diam karena mungkin saat itu suasana hati ibu sedang tidak baik. Makanya aku tidak memberitahu mas dulu. Tapi semakin lama, aku justru merasakan sikap ibu semakin tak dapat ku mengerti. Bahkan tadi sore ibu bilang, jika aku belum juga hamil, kamu akan disuruh menikah lagi mas."

"Apa? Kamu serius ibu berbicara seperti itu?."

"Iya mas."

"Tapi rasanya itu sangat mustahil."

"Benar mas, Aku tidak bohong. Aku takut apa yang Ibu katakan akan menjadi kenyataan."

"Tenanglah. Aku mencintaimu. Aku tidak akan berkhianat."

"Tapi bagaimana jika aku belum juga hamil?."

"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan bicara sama ibu nanti."

"Tapi mas.."

"Ssstttt..." Dimas menutup bibir Hilda dengan telunjuk kanannya. Perlahan tapi pasti, Dimas mulai mendekatkan wajahnya, membungkam, mengecup, dan mengabsen bibir sang istri penuh gairah.

Mendapat perlakuan manis sang suami, Hilda pun membalas mesra setiap tindakan yang dilakukan oleh suaminya tersebut.

Hingga akhirnya sepasang pasutri itu melakukan apa yang memang seharusnya mereka lakukan. Dan karena saking asyiknya melakukan kegiatan tersebut, mereka berdua pun kelelahan hingga tertidur sampai pagi hari dan melewatkan jam makan malam.

Sebenarnya tidak masalah sejak keduanya melewatkan jam makan malam mereka. Tapi yang jadi permasalahan adalah, dimana ada seseorang yang sedang menahan emosi pagi ini karena ulah mereka semalam.

"Enak sekali jam segini baru bangun! Istri macam apa kamu?." seru Ibu Sofia mengagetkan Hilda yang sedang menyeduh kopi di dapur.

"Ibu.."

"Ngapain aja semalaman gak keluar keluar? Melewatkan jam makan malam pula"

"Maaf bu, semalam itu, mas Dimas.."

"Kenapa sih bu? Semalam Hilda nemenin Dimas tidur. apa salahnya? Bukankah ibu ingin secepatnya memiliki cucu?." Sahut Dimas yang kini bergabung dengan kedua wanita itu.

"Iya. Tapi kalian itu keterlaluan. Membiarkan ibu makan malam sendirian"

"Maaf ya bu, Besok tidak akan lagi." Dimas mencoba menenangkan dan mencairkan suasana hati ibunya yang sedang marah. Juga ia memberi isyarat kepada Hilda untuk meninggalkan mereka berdua.

Setelah Hilda pergi, Dimas mulai membuka pembicaraan mengenai keluh kesah istrinya semalam.

"Bu, Dimas mau tanya sesuatu sama ibu."

"Apa?."

"Apa benar Ibu berbicara sama Hilda jika kami belum memiliki keturunan dalam waktu dekat ini, ibu akan menyuruh Dimas menikah lagi?."

"Benar. Kenapa memang?."

"Bu Kenapa Ibu tega berbicara seperti itu sama Hilda? Kasihan Hilda Bu."

"Lebih kasihan mana lagi sama ibu yang sudah setua ini tapi belum memiliki cucu?."

Dimas terdiam.

"Dimas asal kamu tahu ya, semua anak teman-teman ibu itu sudah pada memiliki anak. Teman-teman Ibu sudah pada menimang cucu. Bahkan di antara mereka cucunya ada yang sudah besar loh! Kamu nggak kasihan sama ibu?."

"Iya Dimas paham maksud ibu, tapi nyatanya kan Dimas sama Hilda belum dikasih keturunan. Ibu lyang sabar ya."

"Tapi sampai kapan ibu harus bersabar Dimas?."

"Mungkin tidak lama lagi bu. Kita juga sudah berusaha. Ibu doakan saja kami berdua biar cepat dikaruniai momongan."

"Berdoa sih setiap hari. Tapi Ibu rasa istrimu itu yang bermasalah deh?."

"Maksud ibu apa?."

"Dipikir secara logika saja ya Dimas, istri kamu sejak kecil kan tinggal di Panti Asuhan. Bertahun-tahun lamanya dia makan makanan yang seadanya. Bahkan bisa dibilang kurang bergizi. Dan otomatis organ-organ di dalam tubuh istrimu pasti memiliki kualitas yang kurang bagus, termasuk rahimnya. iya kan?."

Lagi lagi Dimas hanya bisa diam mendengar celotehan sang ibu.

"Kamu diam berarti mengiyakan ucapan ibu kan?"

"Bukan seperti itu Bu."

"Sudah sudah, lagi pula kenapa sih kamu gak nikah lagi aja?."

"Astagfirullah. Apa yang ibu katakan barusan?."

"Kenapa? tidak ada yang salah dari ucapan ibu kan? Istrimu tidak bisa hamil, makanya kamu harus nikah lagi supaya bisa punya keturunan."

"Ibu dengar baik-baik ya, sampai detik ini aku masih mencintai Hilda, dan aku tidak akan menghianatinya."

"Terserah kamu! Tapi Ibu yakin, suatu saat kamu akan bosan dengan istri tak bergunamu itu."

Dimas tak menghiraukan ucapan ibunya. Ia lebih memilih pergi menyusul Hilda ke meja makan, mengisi perutnya yang sudah sangat keroncongan.

Baik Hilda, Dimas dan juga ibunya, mereka menikmati sarapan dalam suasana hening. Namun yang pasti, ketiganya pasti sedang berperang melawan pikiran masing-masing.

Satu bulan kemudian.

Setiap hari satu keluarga ini melalui pergantian waktu dengan sama. Tak ada yang berubah. Ibu yang selalu meminta cucu. Suami yang selalu bersikap menenangkan. Juga istri yang selalu merasa terbebani atas permintaan sang ibu.

Malam pun tiba. Bukannya Tidur, Hilda malah melingkarkan tangannya di perut sang suami.

"Sayang, tidurlah, ini sudah larut malam."

"Mas."

"Ada apa?."

"Soal permintaan ibu. Bagaimana aku bisa mewujudkannya kalau akhir akhir ini mas jarang menyentuhku?."

"Jangan terlalu dipikirkan. Kita pasti punya anak kok. Mungkin tidak sekarang. Tapi nanti setelah kita benar-benar dipercaya sama Tuhan."

"Tapi mas.."

"Tidurlah. Mas capek sekali hari ini" Ucap Dimas sembari mengecup kening Hilda sekilas lalu berbaring dan memejamkan matanya cepat.

Sementara Hilda, ia hanya bisa diam dan mulai merasakan adanya perbedaan sikap sang suami kepadanya. Ingin sekali Ia tak menghiraukan hal tersebut. Tapi nyatanya, semakin ia mencoba tak memikirkan, justru semua itu malah semakin jelas terngiang di otak dan pikirannya.

Tling (suara notifikasi ponsel)"

Kenapa setiap malam ada pesan masuk di ponsel suamiku. Pikir Hilda.

Karena rasa penasaran yang tak dapat di bendung, Hilda pun memutuskan untuk melihat ponsel suaminya. Dan alangkah terkejutnya ia setelah melihat chat yang ada di depannya.

Deg

.

.

Sekretaris Baru

My Lv.

Sayang, besok jangan lupa jemput aku ya.

Hilda sangat stok menatap layar ponsel yang ada di tangannya hingga membuat ponsel itu hampir terjatuh. Tapi beruntunglah tangan yang satunya lagi sigap untuk menadah ponsel itu.

Tak ingin membuat kegaduhan, Hilda pun memutuskan untuk ikut berbaring di samping suaminya. Hanya berbaring saja, matanya tak dapat terpejam lantaran seluruh pikirannya tertuju pada sebuah pesan yang baru saja ia baca di ponsel suaminya tersebut.

Seluruh pikiran berkecamuk menjadi satu. Antara marah, penasaran, sakit hati, juga pastinya emosi sedang menguasai dirinya.

Pagi pun tiba. Sekarang masih jam 05.00 pagi. Dimas sudah terbangun dari tidur dan langsung melihat ponselnya. Ia membuka pesan dan langsung membalas pesan itu dengan senyum yang tersungging di bibirnya.

"Sedang apa mas?."

Deg

"Hilda? Kamu sudah bangun?."

"Kamu sedang apa? tumben senyum senyum sambil melihat ponsel? Lagi menang undian?."

"Tidak, aku hanya sedang membalas pesan."

"Dari siapa?."

"Teman kantor. Dia minta di jemput. Katanya mobilnya mau dibawa istrinya pergi, makanya dia mau nebeng."

"Tumben banget deket sama karyawan. Sejak kapan?."

"Bukankah sebagai atasan Kita harus berbaur sama karyawan? itu kan nasehatmu dulu?"

"Oh.. ya sudah."

"Kalau begitu aku mau mandi dulu. Siapin baju kerjakan ya."

"Heem.."

Setelah Dimas masuk ke kamar mandi, tanpa terasa Hilda pun langsung meneteskan air matanya. Sakit sekali. Seperti jarum yang sedang menusuk hati.

Ya, Hilda memang sengaja tidak membuka pesan tersebut. Semalam Ia hanya membaca pesan itu lewat notifikasi yang terlihat di layar depan ponsel. Hilda sengaja melakukan itu karena ia ingin tahu bagaimana reaksi suaminya saat membuka pesan dari MY LV. yang entah dari siapa itu, ia pun juga tak tahu.

Dengan cepat Hilda menghapus air matanya. Meskipun hati sedang bergemuruh, namun ia mencoba untuk tetap tenang dan bersikap seperti biasa. Dirinya tak ingin menimbulkan kecurigaan pada sang suami bahwa ia sudah membaca pesan itu.

Bohong Jika seorang istri tidak menaruh curiga. Begitupun dengan Hilda. Kecurigaan tentang suaminya berselingkuh langsung terbersit dalam benak wanita ini.

Namun Hilda tak ingin gegabah. Ia hendak membuktikan sendiri tentang kecurigaan pada sang suami. Apakah suaminya itu benar-benar selingkuh atau tidak.

Beberapa menit berlalu. Setelah suaminya berangkat, Hilda pun langsung membereskan meja makan dan mencuci semua piring kotor dengan cepat. Bergegas mandi dan berdandan rapi menyusul suaminya pergi.

"Mau kemana kamu?." tanya ibu mertua.

"Pergi sebentar bu."

"Kamu ini bener bener mulai jadi istri yang tidak baik. Suami batu aja berangkat kerja malahan keluyuran."

Tak ingin banyak berdebat, Hilda pun langsung meraih telapak tangan ibu mertua dan menciumnya sekilas lalu pergi meninggalkan orang tua itu.

Di dalam taksi, Hilda mulai berfikir kemungkinan kemungkinan terburuknya. Bagaimana kalau suaminya benar-benar memiliki wanita lain? Apa yang harus ia lakukan?

Saat Hilda fokus melamun, tiba tiba saja ponselnya berdering. Bukan panggilan telepon, melainkan sebuah pengingat suatu momen pada kalender.

Ya, hari ini adalah aniversary ke 3 pernikahan dirinya dan Dimas. Hilda sendiri hampir saja melupakannya. Sebelum ke kantor, Hilda pun memutuskan untuk mampir membeli kue mangga kesukaan Dimas.

Tak berapa lama kemudian, sampailah Hilda di kantor Dimas. Semua karyawan menunduk hormat karena Hilda memang sering ke kantor. Entah itu mengantarkan berkas tertinggal, mengantarkan makan siang, atau hanya sadar mampir saat ia selesai bepergian. Apalagi sikapnya yang ramah tamah dan baik hati kepada semua karyawan suaminya membuat ia selalu disanjung dan dipuji.

Sesampainya di ruangan Dimas, Hilda tak melihat ada siapapun di sana, termasuk sekretaris kepercayaan suaminya yang bernama Rendi. Ia pun meletakkan kue yang ia bawa tadi diatas meja kerja suaminya lalu keluar dan bertanya pada salah satu karyawan yang ada di luar.

"Maaf, boleh saya bertanya?."

"Bu Hilda? Iya bu,ibu mau tanya apa?."

"Kenapa ruangan suami saya kosong ya?."

"Oh, pagi ini pak Dimas ada meeting di luar bu."

"Sama Rendi?."

"Loh, pak Rendi kan sudah resign bu."

"Resign?? Sejak kapan?."

"Sekitar satu bulan yang lalu."

"Bagaimana dengan posisi Rendi? apa sudah ada yang menggantikannya?."

"Sudah bu. Pak Dimas membuka lowongan kerja satu hari sebelum pak Rendi benar benar keluar."

"Oh.. berarti suami saya keluar sama sekretaris baru itu ya?."

"Iya bu. pak Dimas meeting sama bu Novia."

"Wanita?... Mm.. maksut saya, sekretaris baru suami saya itu seorang wanita?."

"Iya bu."

"Ya sudah. Kembalilah bekerja. Terimakasih ya informasinya."

"Iya bu sama-sama."

Deg

Deg

Deg

Jantung Hilda semakin berdetak cepat kala mendengar penjelasan dari karyawan itu.

Kenapa mas Dimas gak pernah cerita kalau dia punya sekretaris baru? Ada apa ini? Apa semua ini ada hubungannya dengan ucapan dan larangan mas Dimas beberapa bulan lalu?

Hilda kembali ke ruangan dan menunggu Dimas. Lama sekali. Bahkan sudah hampir dua jam ia berada di ruangan itu. Bosan? Sudah pasti. Tapi Hilda masih tetap menunggu.

Setengah jam kemudian.

Ceklek. Pintu ruang kerja terbuka. Menampilkan dua orang berbeda jenis sedang memasuki ke ruangan itu.

Deg

"Hilda?" Seru Dimas menghentikan langkahnya karena terkejut.

Sementara Hilda masih duduk di sofa. Ia hanya diam menatap suaminya dan seorang wanita muda dengan berpenampilan paras cantik dan tubuh seksi yang sedang membopong beberapa map besar menutup dada.

Karena tak ada pergerakan dari Hilda, Dimas pun menghampiri istrinya yang masih duduk di sofa.

"Hilda? Kenapa kamu kesini?."

"Memangnya kenapa? Bukankah dari dulu aku juga sering ke kantor kamu?."

"Iya. Maksut aku, kamu sebaiknya di rumah saja. banyak istirahat supaya tubuh kamu fit. Ingat, kamu kan sedang promil? bagaimana kalau kamu kecapean?."

"Apa ini alasan kamu yang beberapa bulan lalu melarang aku datang ke kantor?."

Deg

.

.

Penghianatan

Deg

Dimas tersentak. Ia pun menyuruh sekretaris barunya untuk keluar ruangan meninggalkan mereka berdua.

Sepeninggal sang sekretaris, Dimas mendekati Hilda, menangkup wajah istrinya dan menatap dalam wajah itu dengan tatapan lembut penuh arti.

"Hilda, apa yang sedang kamu pikirkan? kamu tidak sedang berfikir bahwa suami kamu sedang berselingkuh bukan?."

"Istri mana yang masih berpasangan baik pada suaminya setelah tahu bahwa suaminya itu menyimpan banyak rahasia yang sedikitpun tidak diketahui oleh istrinya sendiri."

"Maksut kamu?."

"Jangan berpura-pura tidak tahu mas. Kamu sengaja kan tidak memberitahu aku tentang penerimaan sekretaris baru pengganti Rendi?."

"Jangan salah paham dulu, aku akan menjelaskan padamu soal itu." udah Dimas sembari melepaskan raupan tangannya. Namun kini Dimas berganti menggenggam erat jemari Hilda.

"Sayang, aku memang sengaja tidak memberitahumu soal pembukaan lowongan sekretaris baru itu karena aku tu tidak mau membebani pikiranmu. Secara, aku sangat tahu betul bagaimana kamu sudah terbebani dengan semua permintaan ibu. Maka dari itu, Aku tidak mau membuatmu tambah terbebani lagi dengan permasalahanku di kantor. Kamu paham kan apa maksudku?."

Hilda tak menjawab. Ia hanya diam dan menatap wajah suaminya dengan tajam.

"Hilda sayang, Percayalah, Aku begitu menyayangimu. Bahkan aku pun juga sangat mencintaimu. Apa masih ada yang kau ragukan dariku?."

"Tidak. Aku percaya padamu. Maafkan aku yang sempat berburuk sangka padamu ya mas."

"Tak apa. Selanjutnya, tolong percayalah padaku. Jangan ada keraguan dihatimu tentang kesetiaanku."

Hilda hanya mengangguk kecil dan tersenyum tipis. Ia tak berani mengiyakan ucapan Dimas. Karena Entah mengapa sampai detik ini Hilda selalu merasa bahwa dihatinya masih merasakan kejanggalan tentang semua ini.

Tentu saja Hilda tak ingin menunjukkan pada sang suami tentang risalah hatinya. Dirinya lebih memilih untuk diam dan berpura-pura tidak tahu apapun. Namun jauh dari dalam hatinya, ia ingin sekali mengungkap kebenaran. Apapun risikonya.

"Sayang, sebaiknya kamu pulang dulu saja. Aku masih banyak pekerjaan."

"Kamu mengusirku mas?."

"Bukan begitu. Aku baru saja memenangkan tender besar di meeting pagi ini. Jadi aku akan sangat sibuk mengerjakan semua konsepnya. Jika kamu berada disini, aku takut kamu akan bosan nanti."

"Begitu ya. Hmmm.. ya sudah, kalau begitu aku akan pulang saja."

"Mau diantar sampai depan?."

"Tidak perlu mas. Aku bisa sendiri kok. Kamu lanjut kerja aja."

"Baiklah. kamu hati hati ya."

"Hmm.." Sahut Hilda yang langsung berpamitan dengan meraih telapak tangan Dimas dan menciumnya.

"Oh ya mas, satu lagi."

"Apa?."

"Hari ini adalah hari aniversary kita. Pulang lah lebih awal. Aku akan siapkan makan malam istimewa untuk kita."

"Ya. Mas usahakan pulang lebih cepat."

Setelah Hilda pergi. Dimas pun bisa bernafas lega. Sungguh, berada di dalam ruangan bersama Hilda beberapa menit saja mampu membuat Dimas begitu berkeringat.

Saat Dimas sedang fokus melanjutkan pekerjaannya. Tiba tiba saja Novia datang dan mengecup leher Dimas. Bagian yang sangat sensitif baginya.

"Kau mengagetkanku saja."

"Berkeringat sekali, habis naik rollercoaster ya? mm.. atau takut ketahuan istri tercinta?." bisik Novia dengan nada lembut, mendesah, dan menggoda.

"Bisa aja kamu! awas ya!."

"Aawww"

Dimas menarik tangan Novia dengan cepat dan langsung menjatuhkan tubuh wanita itu ke pangkuannya.

"Dimas.. kau sungguh mmbbbfff.." Belum sempat Novia berucap, Dimas sudah lebih dulu membungkam bibir sang sekretaris dengan bibirnya.

Ciuman dahsyat mulai tercipta dari keduanya. Penuh nafsu dan penuh gairah. Seluruh pakaian Novia sudah sangat berantakan karena ulah tangan jahil Dimas yang sudah bergerilya kesana kemari. Bahkan tanpa mereka sadari, Novia sudah separuh telanjang.

Jari yang sedang asik mengorek goa lembab itu terpaksa Dimas hentikan saat ia menyadari bahwa mereka sedang berada di ruang kerja yang sewaktu waktu bisa kedatangan orang lain yang masuk kedalam.

"Kenapa berhenti?." Tanya Novia

"Bagaimana jika ada yang masuk?."

"Aku sudah mengunci pintunya."

"Benarkah? Kau sudah berniat menggodaku ya?."

"Belum sempat aku goda kau juga sudah tertarik kan?."

"Kau sangat sexy" Bisik Dimas sembari melanjutkan kegiatannya.

Dimas tak sampai hati untuk melakukan kegiatan maksiat itu di tempat ia mencari nafkah. Akhirnya, Dimas pun menuntun Novia untuk masuk ke sebuah ruang rahasia yang ada di balik lemari buku.

"Dimas, ternyata ada kamar di ruang kerjamu? Kenapa aku tidak tahu sebelumnya?."

"Ya, aku menggunakannya jika aku terlalu lelah dengan pekerjaanku dan aku tidak sempat beristirahat pulang."

"Apa istri kamu tahu sial kamar ini?."

"Tentu saja. Kamar ini juga dulunya sering di gunakan Hilda untuk tidur siang pas seharian dia ikut ke kantor."

"Oh.." Sahut Novia dengan lirih dan dengan ekspresi yang kurang suka.

"Kenapa?."

"Beruntung sekali ya Hilda bisa memiliki kamu."

"Jika dulu kamu tidak meninggalkanku, posisi Hilda adalah posisi kamu."

"Maaf Dimas, aku.."

"Sssttt... jujur, aku senang sekali kamu kembali."

"Andai kamu tahu, aku lah yang lebih bahagia bisa bersamamu lagi sekarang. Ya meskipun hanya sebagai kekasih gelap."

"Jangan bicara seperti itu, Sejak kamu pergi, Hilda lah yang menemaniku. Dia yang membuatku bersemangat hidup kembali setelah kau tinggalkan. Dia yang mengisi kekosongan hatiku kala itu."

"Ya, aku memahami itu."

"Tenanglah, aku akan memperlakukanmu secara istimewa. Tapi dengan satu syarat."

"Apa?."

"Tetap rahasiakan hubungan kita dari siapapun. Termasuk keluargamu. Apalagi dari Hilda. Di luar, kita adalah atasan dan bawahan. Kamu mengerti?."

"Aku mengerti."

"Baguslah, kalau begitu, bisakah aku melanjutkannya?."

"Tentu saja."

Tanpa pikir panjang, Dimas pun langsung melanjutkan aksinya. Ia melepaskan seluruh kain yang melekat di tubuh Novia dan juga dirinya.

Entah mengapa Dimas merasa begitu bergairah melihat tubuh putih dan seksi Novia. Apakah karena Novia adalah cinta pertamanya? Atau karena ini adalah pertama kalinya ia melihat tubuh wanita lain selain istrinya? Entahlah, Dimas juga tidak tahu. Yang pasti, Dimas ingin smenyelesaikan nafsu birahi yang sudah mencapai puncak yang tak lagi bisa ia kendalikan.

Beberapa menit kemudian, keduanya pun telah menyelesaikan kegiatan terlarang yang seharusnya tidak mereka lakukan.

Dimas terkulai lemas dan terbaring di samping Novia. Ia terdiam menatap langit langit kamar. Ada sedikit rasa sesal atas penghianatannya kepada sang istri.

"Kamu menyesal?." Tanya Novia.

"Tidak. Aku hanya merasa bersalah pada Hilda."

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?."

"Tidak ada. Aku akan tetap seperti ini. Menjalani pernikahan bersama Hilda. Dan menjalani hubungan ini bersamamu. Bagaimana? Apakah keberatan?."

"Jika harus jujur, aku merasa keberatan. Tapi karena hanya ada satu pilihan, maka aku akan tetap memilih bersamamu meski harus jadi yang kedua."

"Terimakasih kau sudah mau mengerti." Ucap Fimas sembari mengecup kening Novia dan memeluk tubuh seksi yang baru saja ia nikmati.

Sementara Novia hanya tersenyum smirk dan langsung ikut memeluk tubuh Dimas.

Aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak mau selamanya menjadi yang kedua. Aku tidak mau berbagi. Aku ingin menjadi satu satunya untuk Dimas. Sama seperti dulu yang hanya aku lah prioritas Dimas.

Aku akan merebut Dimas. Aku akan merebut cintaku kembali.

Sementara itu, Hilda yang tengah sibuk memasak tiba tiba saja ujung jarinya tersayat pisau. "Aw.." Perasaannya tiba tiba saja merasa tak nyaman. Seperti ada rasa kehilangan. Tapi Hilda sendiri tak tahu apa yang hilang.

Saudara tak punya. Orang tua pun juga tak pernah tau siapa. Lalu pada siapa ia harus bertanya soal firasat buruk ini?

Apa pada suaminya? Tapi barusan dia habis bertemu dengan Dimas. Dan suaminya pun dalam keadaan yang baik-baik saja.

Ah sudahlah. Mungkin hanya perasaanku saja. Pikir Hilda.

Belum sempat ia melanjutkan kegiatan memasaknya, ponsel yang ada di sakunya mengeluarkan suara notifikasi pesan.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!