NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Gadis SMA

Bab 1

Sebuah pesta pernikahan digelar di taman terbuka yang dikelilingi pepohonan rindang dan bunga-bunga yang bermekaran.

Langit cerah membentang di atas, dihiasi awan putih tipis yang melayang tenang. Kursi-kursi kayu berbalut kain putih dan pita pastel tertata rapi menghadap altar yang dihiasi untaian bunga segar dan tirai tulle transparan.

Semua tamu undangan bertepuk tangan tepat setelah janji suci terucap oleh dua insan. Mereka bersorak, menantikan kedua mempelai saling bertukar cincin dan berciuman.

Namun, di tengah-tengah keramaian pesta, ada seorang pria yang hanya diam dengan sorot mata yang sulit di artikan.

Dia adalah Axel Dirgara Wiratama.

"Sampai kapan kau akan menatapnya seperti itu, hah? Ingat, kau sendiri yang tidak menyatakan cintamu pada Glenzy. Jadi, jangan salahkan dia, jika dia menikah dengan pria lain." Martin, teman sekaligus asisten Axel, memberi pengertian agar tidak salah paham ataupun menaruh dendam pada kedua mempelai yang baru saja sah menjadi suami istri.

"Cih, siapa yang menyalahkan nya, hah? Aku justru turut berbahagia atas pernikahannya," sangkal Axel.

Martin tertawa pelan. Dia tahu, Axel merasa kesal karena terlambat mengungkapkan perasaannya, sehingga dia tidak bisa bersama wanita yang ia cintai.

"Ax!" Martin merangkul bahu Axel yang pandangan nya masih tertuju ke altar. "Aku harap, kau tidak bernasib sama seperti panglima Tian Feng yang mencoba mengubah takdir demi mendapatkan cintanya dan berakhir mendapatkan hukuman dari kaisar langit."

Axel melirik sinis Martin dan menepis tangannya dari bahunya. "Kau terlalu banyak menonton film. Dan, jangan samakan aku dengan siluman b*bi itu. Walaupun aku tidak bisa bersama Glenzy, tapi dalam waktu dekat, aku pasti bisa move on darinya," ucap Axel, berbalik pergi dari sana.

"Hei, apa kau yakin? Mau bertaruh?" teriak Martin yang di selingi tawa.

Axel tidak menghiraukannya. Dia naik ke mobil dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi. Tatapannya tajam kedepan, kedua tangannya memegang erat setir mobil.

Bayangan Glenzy yang tertawa bahagia, membuat hatinya sakit, membuatnya kehilangan kendali. Hingga, suara klakson mobil di depannya terdengar nyaring, membuatnya tersadar dan membanting setir, menghentikan mobilnya tiba-tiba.

"Huh ... Hampir saja." Axel menyandarkan punggungnya, dengan mata terpejam dan nafas yang memburu. Sedetik kemudian, ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan kotak kecil berisi cincin yang ia siapkan begitu lama untuk mengungkapkan cintanya pada Glenzy. Tapi, sekarang semua sudah tidak ada gunanya lagi.

"Semua salahku karena aku tidak mempunyai keberanian untuk menyatakan cintaku," lirih Axel. "Semoga kau bahagia, Glenzy." Axel menyimpan cincin itu dan kembali mengendarai mobilnya. Dalam hati, ia bertekad, jika suatu saat nanti ia bertemu dengan wanita yang bisa membuat hatinya bergetar, maka ia tidak akan menyerah untuk mendapatkan nya.

...****************...

Dua bulan berlalu, dan Axel masih nyaman dengan kesendiriannya. Dia yang awalnya begitu yakin bisa melupakan cinta pertamanya, justru menghabiskan waktu untuk bekerja.

Alexio dan Keyra merasa khawatir dengan keadaan Axel. Hingga akhirnya, mereka memutuskan untuk berbicara dengannya.

"Ax, kau sudah bekerja keras akhir-akhir ini. Apa kau tidak ingin mengambil cuti, hm? Kau bisa berlibur kemanapun kau mau," ujar Keyra.

Axel mengkerutkan keningnya. "Apa maksud mommy?"

"Maksud mommy mu, berhenti menyiksa tubuhmu dengan bekerja. Sudah saatnya kau mencari kekasih agar hidup mu berwarna. Atau, jika kau tidak bisa, kami tidak keberatan mencarikan mu calon istri," ujar Alexio.

Axel melebarkan kedua matanya, terkejut mendengarnya. "Dad, aku tidak mau di jodohkan. Dan lagi, ini hidup ku. Terserah aku mau bagaimana."

"Tapi, kau seperti ini karena wanita, kan? Dia menikah dengan pria lain dan kau patah hati. Daddy hanya ingin membantu, itu saja."

Axel mendengus kasar. Dia bangkit dari kursinya dan pergi begitu saja. Tapi, sebelum ia melangkah lebih jauh, ia berhenti dan berkata tanpa menoleh sedikitpun. "Aku tidak mau di jodohkan. Dan, untuk sementara, aku akan tinggal di apartemen saja." Axel kembali melangkah, pergi dari sana tanpa menghiraukan teriakan ibunya.

"Haish, ini semua gara-gara kau. Kenapa tiba-tiba ingin menjodohkan Axel, hah?" gerutu Keyra.

"Aku hanya ingin yang terbaik untuk Axel, sayang. Kau lihat sendiri, setelah dia menghadiri pernikahan wanita itu, dia berubah. Dia lebih sering menghabiskan waktunya di kantor, sampai-sampai mengabaikan kesehatan nya. Jadi, aku ... "

"Aku tahu kau khawatir," potong Keyra. "Tapi bukan dengan menjodohkannya. Biarkan dia menentukan hidupnya sendiri," ujar Keyra.

Alexio menarik nafas dalam dan mengangguk pelan. "Baiklah."

Sementara itu, Axel terus menggerutu tidak jelas selama perjalanan menuju perusahaan. Dia tidak habis pikir, kenapa ayahnya bisa berfikiran untuk menjodohkan hanya karena ia belum bisa melupakan cinta pertamanya.

Ya, sampai saat ini, Axel belum bisa move on. Dia menghabiskan waktunya dengan bekerja, hanya agar pikirannya teralihkan. Tapi, tetap saja, bayangan Glenzy masih terus memenuhi pikirannya.

"Huh ... Ini benar-benar membuatku gila," gumam Axel kesal.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, Axel sampai di perusahaan AL'X Company. Dia berjalan dengan langkah lebar, kepala tegak dengan tatapan yang tajam.

Tidak ada yang berani menyapanya. Setiap karyawan yang berpapasan dengannya, memilih menghindar, atau menundukkan kepalanya.

Dan, begitu Axel sampai ruangannya, ia duduk di kursinya, menekan intercom untuk memanggil Asistennya.

"Keruangan ku sekarang," perintah Axel.

Tidak berapa lama, pintu terbuka. Martin, melangkah masuk dengan tergesa-gesa. "Ada apa?" tanyanya.

Axel menatap tajam, membuat Martin berdehem pelan. "Ma-maksud ku, ada apa anda memanggil saya, tuan?"

"Carikan aku apartemen," perintah Axel.

"Hah? Apartemen? Kenapa tiba-tiba kau ... " ucapan Martin terhenti saat mata tajam Axel kembali menatap nya. Akhirnya, ia mengiyakan walaupun di selimuti rasa penasaran. "Baik, tuan. Jika tidak ada yang ingin anda sampaikan lagi, saya permisi dulu." Martin berbalik, buru-buru keluar sebelum menjadi target pelampiasan amarah Axel. Ia yakin, terjadi sesuatu yang membuat suasana hati pria itu begitu suram.

Setelah pintu tertutup, Axel menghela nafas panjang. dia melonggarkan dasinya, dan mulai mengerjakan pekerjaannya. Namun, ucapan ayahnya masih terngiang-ngiang, sehingga membuat konsentrasi nya buyar.

"Sial!" umpatnya. "Aku tidak mau di jodohkan. Aku tidak mau," gumamnya frustasi.

Waktu terus berlalu, tidak terasa hari sudah mulai gelap. Axel memutuskan untuk pulang, tapi, tidak ke rumah orang tuanya.

Dia ingin jalan-jalan, mencari udara segar untuk menjernihkan pikirannya. Namun sialnya, saat dalam perjalanan, mobilnya tiba-tiba berhenti.

"Ada apa ini?" Axel mencoba menyalakan kembali mesin mobilnya, namun gagal. Mobil tersebut mati total. "Sial!!" umpat Axel. Dia turun dari mobil, menutup pintu dengan kasar sebagai pelampiasan.

Namun, angin malam yang menyentuh wajahnya, membuatnya merasa sedikit tenang. Dia mulai melangkah, menelusuri jalanan yang cukup ramai.

Entah, sudah berapa jauh ia berjalan, namun, malam itu ia merasa sedikit tenang. Sampai, ia berhenti di jembatan.

Dia menatap lurus pemandangan gelap di depannya, dan hanya terdengar suara deras air di bawah sana. Lalu, ia mengeluarkan kotak cincin yang selalu ia bawa.

"Aku pikir, sangat mudah melupakan mu, Zy. Tapi ternyata, aku tidak bisa." Axel mengambil cincin itu dan menatapnya dengan sendu. Namun, tanpa sengaja cincin itu terjatuh.

Axel terkejut. Tanpa berpikir panjang, kakinya terangkat, hendak naik ke jembatan. Namun tiba-tiba, tubuhnya tertarik ke belakang, nyaris terjungkal.

"Apa kau sudah gila, hah?"

Bab 2

Angin malam berhembus pelan, membawa kesejukan dan bisikan alam yang menenangkan. Suasana menjadi lebih hening, hanya sesekali terdengar suara hewan malam yang bersahut-sahutan.

Di kejauhan, lampu-lampu kota berpendar redup, menciptakan kilauan yang indah di tengah kegelapan.

Elsa, gadis berusia tujuh belas tahun, baru saja melangkah keluar dari cafe tempat ia bekerja paruh waktu. Malam itu udara terasa dingin dan jalanan tampak lengang. Ia berjalan sendirian, menelusuri trotoar menuju rumah.

Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda malam itu. Di kejauhan, di atas jembatan yang biasa ia lewati, terlihat sosok pria berdiri diam, menatap ke arah sungai yang gelap.

Elsa menyipitkan mata, mencoba mengenali sosok itu dari kejauhan. "Siapa pria itu?" gumamnya pelan.

Kecurigaan Elsa semakin besar saat ia melihat kaki pria itu perlahan terangkat, seolah hendak naik ke pembatas jembatan. Tanpa berpikir panjang, Elsa segera berlari menghampirinya dan menarik pria itu kuat-kuat menjauh dari tepi.

"Apa kau sudah gila?" bentaknya dengan napas tersengal.

Pria itu tampak terkejut, tidak menyangka ada seseorang yang tiba-tiba muncul dan bahkan membentaknya.

"Kau membentak ku?" tanyanya, dengan nada tidak percaya.

"Orang dengan pikiran sempit seperti mu memang pantas dibentak! Apa kau pikir semua masalah akan selesai jika kau mengakhiri hidupmu begitu saja, hah?"

Pria itu adalah Axel. Ia menatap Elsa dengan mata membelalak. Mulutnya terbuka hendak membantah, namun belum sempat ia menjelaskan, tiba-tiba ponselnya berdering.

Ia menoleh, menatap Elsa sesaat sebelum menjawab panggilan tersebut

"Ada apa?" tanyanya singkat.

Di seberang, suara Martin terdengar. "Tuan Mike melanggar perjanjian kerja sama. Dia harus membayar penalti."

"Berapa?" tanya Axel cepat.

"Sepuluh miliar," jawab Martin.

"Sepuluh miliar," ulang Axel, nyaris berbisik.

Elsa yang berdiri tidak jauh darinya terperangah. Matanya membelalak mendengar angka yang begitu fantastis. Ia menatap pria itu dari ujung kepala hingga kaki, lalu menggeleng pelan. "Pantas saja dia berniat bunuh diri. Ternyata, dia mempunyai hutang yang begitu besar," pikir Elsa.

"Aku memberinya waktu satu bulan untuk melunasinya. Bagaimana menurutmu?" tanya Martin lagi.

"Apa? Satu bulan?" pekik Axel.

Elsa, yang masih berdiri di situ, nampak melebarkan kedua matanya. Ia refleks mengangkat tangannya dan mulai menghitung dengan jari-jarinya. "Sepuluh miliar dalam sebulan? Itu berarti ... Berapa ratus juta yang harus ia hasilkan per harinya?" batin Elsa lagi.

"Iya, kenapa? Apa menurutmu terlalu lama?" tanya Martin.

Axel mendesah frustasi. "Tidak. Baiklah, satu bulan. Lalu, bagaimana soal apartemen? Kau sudah mendapatkan nya?"

"Astaga, Ax ... Maaf, aku lupa."

"Apa? Lalu aku harus tidur di mana malam ini? Mobilku mogok, dan sekarang aku bahkan tidak punya tempat tinggal!" teriak Axel, semakin putus asa.

Elsa mendesah pelan, menatap Axel dengan iba. "Dia terlilit utang sepuluh miliar, dan harus melunasinya dalam waktu sebulan. Lalu, mobilnya mogok, dan dia tidak punya tempat tinggal. Pantas saja dia terlihat begitu putus harapan," batinnya.

"Aku benar-benar minta maaf, Ax. Pekerjaan ku begitu banyak, di tambah dengan kasus tuan Mike," ujar Martin. "Begini saja, sekarang kau di mana? Aku akan menjemputmu. Malam ini, kau menginap saja di rumah ku."

Axel mendesah keras, merasa frustrasi. “Tidak perlu. Aku akan memikirkannya sendiri. Ya sudah, aku tutup dulu,” ucapnya sebelum memutuskan sambungan telepon.

Ia memasukkan kembali ponselnya ke saku, lalu menoleh ke arah Elsa yang masih berdiri di depannya, menatapnya dengan sorot mata iba.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya, dengan nada suara yang terdengar datar.

“Maaf ... karena sudah membentak mu tadi,” ujar Elsa pelan. “Aku baru tahu jika kau sedang mengalami kesulitan.”

Kening Axel berkerut. Ia menatap Elsa, bingung. “Maksudmu?”

“Aku tahu, apa yang kau rasakan saat ini, karena aku juga punya utang,” ucap Elsa dengan suara lirih. “Tapi, meski hidupku sulit, aku tidak pernah berpikir untuk lari dari kenyataan, seperti yang kau lakukan tadi.”

Axel membuka mulut, ingin membantah, namun Elsa lebih cepat melanjutkan ucapannya.

“Dengar, hidup memang tidak mudah. Tapi bukan berarti kita harus menyerah begitu saja. Pasti ada jalan keluar, asal kita terus berusaha dan percaya,” ucapnya, mantap. “Dan untuk malam ini ... kau bisa tidur di rumahku. Kebetulan ada kamar kosong, jadi kau tidak perlu khawatir.”

Axel terdiam. Bukan karena curiga atau ragu jika gadis ini akan menipu nya. Tapi ada sesuatu dalam nada suara gadis itu yang terdengar tulus, sederhana, namun menenangkan, yang membuat hatinya tersentuh.

"Gadis ini ... sepertinya salah paham," batin Axel, menahan senyum kecil.

“Kenapa kau diam?” tanya Elsa.

Axel menarik napas pelan, lalu mengangguk. “Baiklah. Terima kasih atas bantuannya.”

“Tidak masalah,” jawab Elsa. "Oh, iya. Namaku, Elsa. Dan kau?"

"Aku Axel," jawab Axel.

"Oh, Axel. Tapi sepertinya, usia kita terpaut cukup jauh. Jadi, aku akan memanggilmu om saja, bagaimana?"

"Apa aku terlihat setua itu?" protes Axel. "Panggil aku, kakak," ucapnya.

"Iya, iya," gerutu Elsa, lalu mulai berjalan mendahuluinya.

Axel masih berdiri di sana, memandang punggung gadis itu yang perlahan menjauh. Pandangannya kemudian beralih ke arah jembatan, ke tempat di mana cincin itu terlepas dari genggamannya, dan jatuh ke sungai yang gelap.

"Mungkin ini memang pertanda," batinnya. "Pertanda bahwa aku harus benar-benar melupakanmu, Zy."

Bab 3

Axel berjalan di belakang Elsa, menatap sekeliling yang mulai sunyi. Jalanan tampak lengang, lampu-lampu mulai redup, dan hanya langkah mereka yang terdengar. Tatapannya kemudian beralih ke punggung gadis itu yang terlihat tenang dan santai, seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.

Axel mempercepat langkah, menyamai langkah Elsa, lalu berkata, "Sepertinya kau sudah terbiasa pulang malam, ya?"

Elsa menghentikan langkahnya, menoleh dengan alis yang mengerut tajam. "Maksudmu?"

"E-em ... Ma-maksudku, kenapa kau pulang selarut ini? Kau tidak takut ada ... sesuatu?" Axel menoleh ke kanan dan kiri, lalu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba meremang.

"Oh, itu. Sebenarnya, aku juga tidak ingin pulang malam-malam. Tapi setelah pulang sekolah, aku harus bekerja di cafe. Jadi, ya ... mau tidak mau, harus pulang malam.."

"Kau ... bekerja?" Axel terkejut, tidak percaya. "Memangnya, orang tuamu ke mana? Kenapa kau harus bekerja?" Ia tidak habis pikir. Selama ini, ia sudah sering bertemu dengan gadis seumuran Elsa. Dan rata-rata, mereka sangat manja. Tapi Elsa?

"Orang tua kami sudah lama meninggal," jawab Elsa pelan. "Dan mereka meninggalkan banyak utang. Jadi, kami harus berusaha keras untuk bertahan hidup ... dan melunasi semuanya."

"Kami?" Axel mengulang dengan nada heran.

"Ya, kami." Elsa membuka pagar rumahnya, lalu melirik Axel. "Ayo masuk!"

Axel ragu sejenak, lalu mengikuti langkah gadis itu masuk ke dalam. Ketika Elsa membuka pintu rumah, tampak seorang pria duduk di ruang tamu. Sosok itu menoleh, seolah memang sedang menunggu kepulangan mereka.

"Akhirnya, kau pulang juga," ujar pria itu dengan raut wajah yang khawatir. Namun, sedetik kemudian, keningnya nampak mengeryit saat menatap pria yang berdiri di belakang Elsa. "Dia ... "

Elsa tersenyum dan menarik Axel agar berdiri di sampingnya. "Dia kakakku, namanya kak Roy," ucapnya sambil menatap pria yang ada di depannya. Lalu, ia memperkenalkan Axel pada kakaknya. "Dan, Kak Roy, dia Kak Axel."

Roy menyipitkan matanya, menatap Axel dari atas sampai bawah. "Kau ... Sepertinya , aku pernah melihatmu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Roy.

Axel membuka mulut, hendak menjawab, namun Elsa lebih dulu memotongnya. "Ck, itu tidak mungkin." Elsa menarik Roy sedikit menjauh dan berbisik pelan agar Axel tidak mendengar. "Kak, malam ini biarkan kak Axel menginap, ya?"

"Apa? Kenapa ... "

"Sttt! Kecilkan suaramu." Elsa menoleh ke arah Axel dan tersenyum canggung, sebelum kembali berbisik pelan. "Dia hampir saja bunuh diri karena mempunyai hutang yang banyak dan tidak mendapatkan tempat tinggal. Jadi, untuk malam ini saja, biarkan dia menginap di sini."

Roy sempat terkejut, namun, melihat kedipan Adiknya membuatnya terdiam. Sedetik kemudian raut wajahnya yang keras mulai melunak. Ia menarik nafas dalam dan mengangguk pelan.

"Baiklah," ucapnya, sebelum kembali menoleh ke arah Axel. "Kau boleh menginap di sini, tapi jangan membuat masalah."

"Terima kasih," ucap Axel.

Roy mengangguk dan beralih pada Elsa. "Besok, aku harus berangkat pagi-pagi sekali karena senior memintaku membersihkan ruangan CEO."

"Apa harus sepagi itu?" gerutu Elsa.

"Mau bagaimana lagi. Itu peraturan perusahaan. Tuan Axel sangat cinta kebersihan. Jadi ... " ucapan Roy terhenti saat menyadari sesuatu. Dia beralih menatap Axel dan kembali menelitinya dari atas sampai bawah.

"Tidak mungkin. Di lihat dari penampilannya saja, berbeda sangat jauh. Apalagi, dia mempunyai banyak hutang. Pasti hanya kebetulan saja namanya sama," batin Roy. Ia sempat merasa tidak asing dengan Axel. Tapi, rasa kantuk membuat ia mengabaikannya dan memilih masuk ke kamar.

"Ayo, aku antar ke kamarmu." Elsa berjalan lebih dulu diikuti Axel. Ia membuka pintu kamar yang kecil dan sempit, namun cukup bersih dan nyaman untuk di tempati. "Kau bisa tidur di sini."

Axel masuk dan duduk di tepi tempat tidur. "Lumayan," gumamnya.

"Ya sudah, kalau begitu selamat beristirahat." Elsa menutup pintu kamar, meninggalkan Axel sendiri di sana.

"Hah, lumayan daripada aku harus pulang dan mendengar ocehan Daddy," gumam Axel.

...****************...

Suara alarm membelah keheningan, memaksa tubuh Axel untuk bergerak. Dengan mata setengah terbuka dan rambut berantakan, Axel menggapai ponsel lalu mendesah pelan.

"Sudah pagi," gumamnya. Dia bangun, menatap sekitar ruangan dan mendesah panjang. "Astaga, aku lupa jika ini bukan kamarku." Axel segera keluar dari kamar, berniat mencari kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun langkahnya terhenti seketika saat suara aktivitas dari dapur menarik perhatiannya.

Didorong rasa penasaran, ia melangkah pelan menuju sumber suara dan melihat Elsa tengah sibuk menyiapkan sesuatu.

Axel mendekat tanpa suara, berdiri tepat di belakangnya. Namun, Elsa tiba-tiba berbalik, dan terkejut melihat Axel berdiri begitu dekat. Tubuhnya oleng, nyaris terjatuh jika saja Axel tidak menangkapnya dalam pelukan.

Tatapan mereka saling mengunci, seolah waktu melambat. Axel bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ada getaran aneh di dadanya, seperti desir halus yang sulit dijelaskan. Wajah mereka begitu dekat, sehingga bisa merasakan hembusan nafas satu sama lain.

Axel menelan ludah, berusaha mengalihkan pikirannya. Namun, tatapan Elsa yang teduh, dan ... Bibirnya yang sedikit terbuka, membuat Axel tidak bisa berfikir jernih

Tapi, Elsa dengan cepat memalingkan wajah, menarik diri dari pelukan Axel. Pipi gadis itu merona, dan ia berdeham pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

“Maaf … aku tidak sengaja,” ujar Elsa lirih sambil berpaling.

Axel hanya bisa mengangguk pelan, masih merasakan getaran halus yang tertinggal di dadanya.

"K-kau mandilah dulu. Kakakku sudah menyiapkan baju untuk mu." Elsa menghindar dengan berpura-pura mengambil sesuatu. Sedangkan Axel, tidak mempunyai pilihan selain pergi dari sana.

Setelah Axel tidak terlihat, Elsa nampak menghela nafas panjang. "Astaga, tadi itu ... Hampir saja," gumam Elsa.

Tidak jauh berbeda dengan Elsa, Axel juga merasakan hal yang sama. Dia menyentuh dadanya yang berdetak kencang. Dan berulang kali menarik nafas dalam.

"Astaga, Ax. Apa yang baru saja kau pikirkan, hah? Kau hampir saja menciumnya." Axel menarik rambutnya, frustasi. Bayangan wajah Elsa yang begitu dekat, terus terngiang-ngiang di benaknya. "Lupakan, Ax. Lupakan! Itu, tidak sengaja. Dia masih kecil, oke?" Axel menarik nafas dalam dan menghembuskan nya perlahan. Lalu, ia mulai membersihkan diri.

Beberapa saat kemudian, Axel keluar dengan memakai baju milik Roy. Dia terus menerus melihat penampilan nya yang tidak terbiasa memakai baju yang yang bukan miliknya.

"Duduklah, kita makan bersama."

Axel mengangkat wajahnya, menatap Elsa yang sudah rapi dengan seragamnya. Dia ikut duduk di depan gadis itu dan mulai menyantap makanan nya.

Tidak ada yang memulai pembicaraan. Kedua orang itu nampak canggung setelah apa yang terjadi pada mereka. Sampai terdengar nada pesan masuk di ponsel Elsa, yang membuat gadis itu tersenyum setelah membacanya.

"Dari siapa?" tanya Axel penasaran.

"Kak Roy. Dia bilang sudah sampai di tempat kerjanya," jawab Elsa.

Axel mengangguk pelan. Namun, juga penasaran. "Memangnya, kakakmu bekerja di mana?" tanyanya.

"Kak Roy bekerja di perusahaan besar sebagai OB. Kalau tidak salah, perusahaan AL'X Company."

"APA?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!