Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
Dahulu, aku nyaman aja menyandang status jomloh. Bahkan memang enggak tertarik masuk ke dunia percintaan. Mungkin karena aku sekolah di SMK yang sebagian besar muridnya laki-laki, hingga jarang bergaul dengan makhluk berlawanan jenis.
Namun, kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Apalagi jika kalian mempunyai tetangga yang aduhai, pastinya jika melihat tetangga yang begitu mempesona berbagai macam cara akan di lakukan untuk mencuri pandang.
Hujan mencampakkan langit karena ingin mencumbu bumi. Hujan tercengang ketika di lihatnya matahari mencintai bumi sama besarnya. Matahari menyapu bersih bekas kecupan yang ia torehkan semalam.
Halah, sok puitis! Bilang saja kalau tadi hujan lebat mengguyur kota ini, dan sekarang matahari tanpa sungkan memamerkan senyumnya. Terbentuk lah pelangi yang indah di langit bagian barat.
Aku duduk di teras warung kelontong milik emak. Secangkir kopi hitam menemaniku menikmati suasana dingin sore ini. Sesekali bunyi air yang jatuh dari dedaunan terdengar. Melalui gawai yang layarnya sudah gak jernih lagi, aku berselancar di media sosial.
"Maen hape muluuuuu... mandi-mandi sana, sudah sore ini." Suara emak menggelegar dari arah belakang.
"Iya, Mak. Bentar lagi, ngabisin kopi dulu. Nanggung nih."
Namaku Arif Pradipta, anak bujang emak satu-satunya, tapi enggak pernah di manja, eh. Umurku sembilan belas tahun, baru juga lulus sekolah menengah kejuruan.
Kata Emak, aku tuh ganteng. Ya iyalah, anak sendiri juga. Kulit putih yang ku miliki turunan dari Emak, sementara pahatan wajah dan perawakan tinggi yang mencapai 165cm ini adalah hasil dari sumbangan Bapak ke Emak waktu mencetak ku dulu. Haishh.
Sejak kecil, aku hanya bisa melihat wajah Bapak melalui potret yang merekam pernikahan yang selalu Emak simpan dengan rapi. Iya, Bapak memang setampan itu.
Nampak semburat kebahagiaan yang tergambar dari wajah-wajah pada foto tersebut. Sayangnya kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Bapak meninggal dunia ketika aku masih berumur dua tahun.
Dari cerita tetangga yang sering ku dengar, sejak kepergian Bapak, kehidupan Emak jadi jungkir balik 180°. Wanita yang dulunya selalu di manja suami dan hanya menjadi ibu rumah tangga, tanpa tahu rasanya bekerja, jadi membanting tulang sendirian demi membesarkan anak lelaki yang di sayanginya.
Beberapa hari ini emak mengomeli ku karena gak sat set seperti yang di harapkan. Mungkin beliau mulai risih melihatku berseliweran di hadapannya pas jam-jam orang bekerja.
Aku bukannya suka jadi pengangguran, cuma lagi nyari kerja, tapi belum beruntung saja. Sekarang nyari kerjaan tuh kayak nyari jarum di tengah lautan-sulit. Apalagi yang cuma lulusan SMK macam aku.
Sebenarnya aku ingin sekali kuliah seperti teman-teman lainnya. Bahkan, tanpa sepengetahuan Emak, aku ikut daftar UTBK-SBMPTN dan masuk seleksi. Namun, aku harus merelakan kesempatan itu begitu saja, karena gak tega meminta uang Emak untuk daftar ulang.
Bukannya memberi lembaran kertas merah, tapi malah menangis karena merasa gak mampu mendukung cita-cita anak, pasti. Aku gak mau melihat Emak menangis lagi.
🌸🌸🌸🌸🌸
Sebuah mobil berwarna hitam memelankan lajunya dan berbelok ke halaman rumah kosong yang berada tepat di samping rumahku. Gak lama kemudian, seorang lelaki lebih dulu turun dan membukakan pintu mobil sebelah kiri.
la menengadahkan tangan, mempersilakan seorang perempuan turun layaknya pangeran ke putri mahkota. Romantis sekali. Mungkin mereka adalah sepasang pengantin baru.
Apa mereka orang yang telah membeli rumah itu ya? Pikirku. Ku dengar beberapa minggu yang lalu, rumah yang di tempeli plakat 'rumah dijual' itu telah laku.
Gak lama setelah itu, motor gede yang di kendarai seorang pemuda menyusul dan parkir di belakang mobil. Dia siapa lagi? Di lihat dari wajahnya ketika membuka helm, pemuda itu seumuran denganku. Bedanya dia lebih bening, keliatan banget kalo keturunan priyayi. Ihiirrr.
Sepasang suami istri melihat-lihat keindahan rumah dari depan, dengan lengan suami yang merangkul istrinya. Senyum terus terukir di kedua bibir itu. Seolah seluruh kebahagiaan yang ada di bumi sore ini adalah milik mereka berdua.
Ya iyalah bahagia, pasangan mana yang enggak bahagia kalau bisa membeli rumah sendiri. Apalagi rumah itu adalah rumah terbagus yang ada di kampung ini. Rumah berpagar besi dengan segala kemewahan yang ada di dalamnya.
Aku terhenyak ketika tatapan mereka tiba-tiba terarah padaku.
"Mas ...," sapa si lelaki ramah.
Sementara si perempuan menganggukkan wajahnya sambil tersenyum semanis gulali. Jarak halaman rumahnya memang sangat dekat dengan teras warung kelontong emak.
Tembok yang menjadi tanda pembatas antara tanah mereka dan tanah Emak hanya setinggi perut orang dewasa, selebihnya adalah ukiran besi orang dewasa yang menjulang ke atas.
Jadi, kami bisa saling melihat aktifitas masing-masing. Ups, jangan-jangan mereka tahu kalau sejak tadi aku perhatikan. Duh, malunyaa...
"Hhee, enggih. Monggo ...," balasku dengan nyengir kuda.
Ku angkat cangkir kopi yang tertinggal ampas dan melipir ke belakang. Kabuuurr ...
Hari-hari berlalu, hubungan keluarga kami dengan tetangga baru itu terjalin dengan sangat baik. Gak jarang Emak memasak lauk berlebih hanya untuk memberikannya sebagian pada Mbak Rifani-nama tetangga baru tersebut-Rifani Oktavia lebih lengkapnya.
Begitu pun dengan keluarga mereka. Bahkan Mas Ardi Winata yang biasa di panggil Mas Nata, memercayakan istrinya pada keluarga kami.
Mas Nata bekerja di sebuah perusahaan ternama. Terkadang, ia di tugaskan ke luar kota hingga beberapa hari. Emak lah yang sering menjenguk Mbak Rifani ke rumahnya, takut kalau Mbak cantik itu membutuhkan sesuatu dan gak bisa mengerjakannya sendiri.
Entah alasan apa yang membuat keluarga mereka gak memperkerjakan asisten rumah tangga. Padahal, uangnya melimpah ruah, hingga tumpah-tumpah, mungkin. hehe. Cukup lah jika hanya untuk menggaji seorang pekerja.
Rumah sebesar itu, Mbak Rifani kerjakan sendiri. Mulai dari menyapu hingga mengepel. Kalau soal makanan, sepertinya ia lebih suka beli jadi, tinggal lahap, hap nyam nyam nyam. Duh, jadi laper.
Seorang pemuda yang tinggal bersama pasangan suami istri itu, ternyata adalah adik kandung Mbak Rifani. Namanya Angga. Anak kuliahan semester satu yang jarang berada di rumah.
Pulang-pulang udah malam, tinggal tidur doang. Kadang sehabis pulang juga masih nongkrong di teras warung kelontong Emak yang kalau malam.
Entah bagaimana dulu asal mulanya. Kaum lelaki, enggak tua, enggak muda suka nongkrong sampai begadang di teras ini. Akhirnya Emak berinisiatif menggelar tikar dan menerima jasa seduh wedang.
Dagangan rokok Emak pun juga kelarisan. Lumayan lah, hasilnya bisa buat nambah-nambah belanja isi dapur.
Dari seringnya ngopi bareng sampai tengah malam, Angga menjadi dekat dengan ku. Teman-teman ngopi sudah pada pulang satu persatu, tinggal lah aku dan Angga di teras ini.
"Emang Mbak Rifani sama Mas Nata tu baru menikah ya? Trus langsung beli rumah itu?" tanyaku basa-basi.
Aslinya penasaran juga, kok mereka selalu terlihat mesra, kayak pengantin baru.
"Dah lama, sekitar tiga tahunan lah kira-kira," jawab Angga sambil menyeruput kopi yang sudah kedinginan.
"Ah, masa sih?"
"Emang kenapa?"
"Ya enggak ... mereka selalu keliatan romantis. Kalo Mas Nata lagi libur kerja, mereka selalu kemana-mana berdua. Ku kira pengantin baru. Hehe."
Wah, bisa jadi wisata masa depan nih. Aku juga pengen kayak gitu. Kalo udah nikah nanti, bakal selalu mesra ma istri, sampai tua. Yaelah, mikirin apa sih aku ini? Ku tepuk jidatku sendiri.
"Hemmh." Angga tertawa mencibir, bibir sebelah kanan nya tertarik ke atas.
Apa yang salah dengan Angga, kenapa ekspresinya seperti itu?
"keliatannya aja romantis, bahagia. Padahal..."
"Padahal gimana?" tanyaku memotong ucapan Angga karena saking penasarannya.
"Kenapa lu jadi bersemangat gini?" Angga mengernyitkan alis.
"Ah, enggak." Buru-buru aku membantahnya.
Angga masih menatapku dengan curiga, "Yaelah... biasa aja keles," sambung ku lagi agar Angga berhenti berpikir yang macam-macam tentangku.
Ku teguk kopi yang tinggal seperempat cangkir hingga tandas. Tiba-tiba Angga mendekat dan menempelkan punggung tangannya pada keningku.
"Enggak panas."
"Apaan sih, lu?" Ku mundurkan kepala menjauhi tangan Angga yang masih melayang di udara.
"Ku kira lu lagi sakit, ngabisin kopi hingga ampas-ampasnya."
Ku lirik ke bawah. Benar saja, ampas kopi yang ada di cangkirku sampai bersih. Nanggung, sekalian aja ku jilati ampas kopi yang masih menempel di sekitar bibir.
"Enak kok. Ampas kopi emang enak, tauuu... lu belum pernah mencobanya?" kibul ku untuk menutupi rasa malu.
Dodol, Angga malah mengikuti jejakku. Namun, tak lama kemudian ia semburkan ampas kopi yang baru saja masuk mulut ke tanah.
Cuih, hbrrr!
"Sialan lu." Kami akhirnya ngakak bersama.
"Dah malam, pulang sana. Nanti gak di bukain pintu Mbak Rifani, baru tau rasa lu." Ku usir pemuda itu setelah ku lihat layar gawai menunjukkan pukul dua belas lewat lima menit.
Pemuda itu akhirnya pulang melalui pintu kecil berbahan besi yang menghubungkan pelataran rumahku dengan halaman rumahnya.
...🌸🌸🌸...
"Rif, bangun! Sudah siang inih." Teriakan Emak yang di barengi dengan gedoran pada daun pintu.
Hoamm!
"Iya, Mak, bentar lagi."
"Buruan bangun! Kalo kesiangan gak akan dapat penumpang lu nanti."
"Riiifff...," panggil Emak lagi, karena merasa aku belum juga beranjak dari tempat tidur. Ada yang lebih dulu bangun dan bergerak-gerak kok, tapi bukan tangan dan kakiku. Ups.
"Iya iya ...," jawabku sedikit keras.
Begitulah Emak, gak akan berhenti mengomel jika titahnya belum di laksanakan. Sudah terbiasa dengar omelan Emak, jadi aku sama sekali gak merasa risih. Bahkan, jika sehari aja belum dengar Emak ngomel, rasanya kayak ada yang kurang. Aku malah merasa takut jika Emak diam aja, itu pertanda buruk. Jika enggak sakit, berarti ya sedih.
Aku menggeliat, merenggangkan otot-otot pada tubuh kurus ini. Lumayan lah, udah dapat bonus tidur dua jam. Sebenarnya aku tadi sudah bangun pukul 04.00, tapi setelah menunaikan ibadah wajib, gak kuat menahan pedesnya mata, jadinya molor lagi.
Setelah mengumpulkan sisa-sisa nyawa, aku beranjak mendekati jendela. Menggeser gorden ke kanan kiri, kemudian membuka kaca jendelanya, agar udara yang ada di kamar ku berganti oksigen yang masih suci, belum bergumul dengan debu.
Aku masih berdiri di dekat jendela. Menghirup udara pagi dalam-dalam, kemudian Ku hembuskan perlahan. Ah, segarnya.
Aku tercengang ketika tak sengaja melihat sosok bayangan bidadari. Tangan pun reflek mengucek mata ini, demi memastikan apa yang ku lihat itu benar-benar manusia atau bukan.
Kakinya menyentuh tanah, berarti itu beneran Mbak Rifani. Bukan bidadari yang menjelma perempuan yang menjadi tetangga baruku, haish. Namun, bagaimana bisa dia secantik itu yaa Allah?
Perempuan itu sedang melakukan olah raga ringan di halaman rumahnya. Namun, ada yang berbeda. Kali ini dia sendirian, padahal biasanya ngapa-ngapain selalu sama suami, kayak amplop ma perangkonya.
Apa sang suami sedang keluar kota ya? batinku menduga-duga.
Perempuan yang sedang menggerak-gerakkan kaki dan tangannya itu menggunakan tank top sports dari bahan polyester di padu dengan legging sebatas betis.
Dengan pakaian seperti itu, setiap lekuk dari tubuhnya yang padat berisi terpampang nyata. Mbak Rifani mempunyai tinggi yang seimbang dengan berat badan, sehingga membuatnya terlihat ideal.
Lengan yang tak tertutup kain, begitu bening mengkilau ketika terpapar semburat matahari pagi. Kelihatan sekali kalau kulit itu selalu mendapat perawatan yang baik. Wajah nya masih saja terlihat seperti abege.
Meski kata Angga, umurnya sudah menginjak angka dua puluh empat. Lima tahun lebih tua di bandingkan denganku. Namun, jika di jejerkan berdua, pasti orang-orang pada mengira kalau kami sepasang kekasih. Ahaii.
Setiap pahatan pada wajahnya seolah tercipta tanpa cela. Hidung bangir di dukung dengan bibirnya yang sedikit tebal berisi. Hmm seksinya, cokotable banget. Eh astagfirullah, mikir apa sih aku ini? Ingat, perempuan itu adalah istri orang!
Tiba-tiba telingaku sebelah kiri terasa panas. Ketika ku usap, ada tangan lain yang sedang menjamah di sana. Aku pun menoleh, ternyata Emak sudah berada di belakangku. Jari-jarinya belum selesai menjewer.
"Auh, Mak, sakit, Mak." Ku genggam tangan Emak, lalu ku turunkan perlahan.
"Salah sendiri, di panggilin dari tadi, kagak nyaut-nyaut," tandas Emak, sewot,
"Lagian, lagi liatin apa lu? Sampai bengong kayak gitu." Emak memajukan kepalanya mendekati jendela, celingak celinguk mencari sesuatu yang di rasa aneh.
Mampus aku, kalau Emak sampai melihat Mbak Rifani di sana, pasti bakal mikir yang macem-macem tentangku. Aampuuuuun, Mak. Aku khilaaf.
"Liat apa? Kagak ada apa-apa." Emak memutar tubuh dan melanjutkan kalimatnya,
"Buruan mandi!" Memerintah dengan mata mendelik sambil berjalan ke arah pintu kamar.
Aku tahu, pelototan nya itu hanya lah kelakar belaka. Ku lirik halaman rumah tetangga baru itu. Oh, jadi Mbak Rifani sudah gak ada di sana? Syukurlah.
Udah mandi, udah wangi, udah ganteng, aku bersiul-siul sambil menyisir rambut ku di depan kaca lemari. Hari ini adalah hari pertama aku masuk kerja. Harus full senyum, harus semangat.
Iya, setelah lelah mencari pekerjaan ke sana sini, aku akhirnya mengikuti tawaran Bambang-teman sekolahku beberapa hari yang lalu. Tak apa lah jadi tukang ojek online, yang penting halal, ye 'kan?
Bambang membantuku daftar driver gojek sebagai mitra pengemudi motor. Dia juga bekerja di sana, jadi aku tinggal mengikuti jejaknya.
Tuhan itu maha baik, selalu membuka jalan untuk hambanya yang mau berusaha. Buktinya, jalanku untuk mengais rezeki aja di permudah seperti ini.
"Rif, Emak mau nyuci piring bentar." Lu jaga warung dulu, bisa kan?"
"lya, Mak. Aku juga agak siangan aja nariknya. Sambil menyiapkan mental dulu. Haha."
Aku duduk pada kursi kayu yang ada di dalam warung sambil memainkan gawai.
"Loh, Bulek Siti mana, Rif?" Suara Mbak Rifani mengalihkan perhatianku. Wanita itu sudah berada di teras warung kelontong.
"Itu, lagi nyuci piring" jawabku sedikit grogi, ingat apa yang sempat terpikirkan di otakku tadi.
Kali ini, Mbak Rifani memakai pakaian yang lebih tertutup. Namun, aku masih belum berani memandangnya lama-lama, takut nganu lagi.
"Oh, hmmm." la pun terlihat ragu untuk menyampaikan apa yang ada di benak nya.
Gak mau terjebak dalam kekikukan, aku pun berusaha berbicara dengan nada yang biasa saja.
"Emang mau nyari apa, Mbak?"
"Itu, anuu ... eee.."
"Di sini gak jualan anu loh Mbak. Hehe," candaku.
"Hehe... bisa aja kamu. Itu mau beli roti tawar."
Aku pun mengambilkan barang yang di maksud Mbak Rifani dan mengulurkan roti berbentuk lembaran kotak-kotak tersebut padanya.
"Eh, bukan itu maksudku. Itu yang itu loh." Mbak Rifani menudingkan jarinya, mengarah ke kaca etalase bagian bawah.
"Eh, ada Neng Rifani." Emak tersenyum lebar menyambut Mbak Rifani, sementara matanya mendelik ketika menoleh ke arah ku.
"Sudah minggir sana. Biar emak aja yang mengambilkannya."
"Oke deh." jawab ku, sambil menggaruk kepala yang enggak gatal dan menyeret langkah ke belakang.
Namun karena penasaran, aku mengintip lewat ruang tengah yang terhubung dengan warung.
Apa yang di ambil Emak, membuatku melongo.
Emak mengambil barang yang terbungkus dengan kemasan bergambar daun sirih dari etalase bagian bawah. Oalah, Mbak Rifani tadi mau beli itu toh, pantesan saja malu, tapi kok menyebutnya roti tawar sih.
Apa makna roti tawar sekarang udah bergeser semakin luas?
"Yang sayap atau yang kagak, Neng?"
"Yang sayap, Bulek. Saya nggak bisa kalau nggak sayap," jawab Mbak Rifani dengan tutur kata sopan sambil mengulas senyum.
"Loh, kok sama dengan aye dulu. Aye juga kagak bisa make yang kagak ada sayapnya, suka geser ke samping kalo kagak di sayapin. Kalo sekarang sih, udah kagak pernah make lagi, udah tuwir hehe."
Mbak Rifani hanya menanggapi guyonan Emak dengan senyum sumringah. Sesekali matanya melirik ke belakang bagian bawah. Mungkin dia takut kalo tinta merahnya merembes. Dasar Emak gak peka, malah ngelama-lamain transaksi jual belinya.
Aku terkekeh sambil masuk kamar, mengambil seperangkat alat kerja-Jaket dan helm yang warnanya serba hijau. Ketika aku keluar, Mbak Rifani sudah gak ada di sana. Mungkin dia terburu-buru, takut kalau tamunya menjelajah ke mana-mana.
"Mak, aku berangkat dulu. Minta doanya, nggih."
Ku cium punggung tangan Emak penuh takzim. Walaupun aku ini anak yang pemalas dan sering bandel, tapi aku selalu di ajari untuk selalu hormat pada orang tua. Katanya, surga seorang anak itu ada di kaki orang tuanya. Ada rasa haru ketika Emak tiba-tiba memeluk dan mengelus punggungku,
"Kerja yang bener, kagak usah neko-neko. Jangan lupa sembahyang tepat waktu, kagak perduli sesibuk apa, utamakan sembahyang."
"Enggih, Mak." Ku rapatkan pelukan untuk Emak sebelum menyudahi kegiatan mellow ini.
"Loh, Emak kenapa nangis?"
"Kagak, emak cuma pilek aja, kok."
Emak selalu menunjukkan ketegarannya. Gak mau terlihat rapuh di hadapan orang lain, bahkan di hadapan anaknya sendiri.
➖➖➖➖➖➖
[Lu di mana?]
Sebuah pesan masuk ke aplikasi hijau.
[Di pertigaan deket SMA Citra]
➖➖➖➖➖➖
Gak lama setelah pesan ku kirim, sebuah motor berbelok dan parkir di samping kuda besiku.
"Halo brow," sapa pengemudi motor tersebut sambil mengangkat tangan kanan nya.
"Hai." Genggaman tangan kami beradu, salam sapa'an ala cowok.
"Cepet banget lu nyampek nya?" tanyaku penasaran.
Pasalnya, Bambang baru saja mengirim pesan dan menanyakan keberadaan ku, eh tiba-tiba sudah nongol aja di sini. Jangan-jangan dia menyewa pintu kemana sajanya doraemon lagi.
"Iya, tadi kebetulan lagi nganter penumpang ke SMA Citra. Trus langsung aja ke sini, setelah dapat balasan chat dari lu."
"Sekolah?" Aku mengernyitkan alis.
Apa iya, anak sekolahan jam segini baru berangkat? Ku lirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah pukul 08.30.
"Nggak, ibu-ibu tadi yang ke sana. Kayaknya sih, lagi dapat panggilan dari sekolahan, wajah nya tegang banget."
"Oalah...." Aku manggut-manggut.
"Btw, udah dapat berapa order lu tadi?"
"Lumayan, udah dapat satu. Hehe." Aku nyengir kuda.
"Akan lebih lumayan lagi, kalo lu tau triknya."
"Trik?"
"Iya, trik. Selain rajin mangkal di beberapa kawasan strategis penumpang, driver juga kudu paham waktu-waktu potensialnya. Misalnya aja kayak lu gini. Iya, tempatnya strategis, di deket sekolahan, tapi 'kan belum waktunya mereka pulang. Jadi, mereka belum butuh jasa lu."
"Hmm, iya juga yaa."
"Kalo jam segini sih, enaknya nongkrong di sekitar pasar. Pemanasan, boncengan emak-emak dulu, biar nggak grogi pas bonceng ciwi-ciwi sekolahan nanti. Haha."
"Dasar lu, sejak dulu pikirannya cewe mulu. Haha." Kami tergelak bersama.
Bambang adalah teman sekelas ku sejak kelas sepuluh. Meski dulu kami gak begitu dekat, tapi sedikit banyak aku tahu tabiat buruknya. Suka ngerentengin cewek. Setiap tikungan ada.
'Sebaik-baiknya manusia, pasti ada sisi jeleknya, dan seburuk-buruknya manusia, pasti ada sisi baiknya juga.'
Sepertinya aku harus memercayai kata-kata tersebut. Buktinya Bambang aja, mau membantuku tanpa mengharap imbalan, padahal dulu 'kan aku bukan bestie nya.
Lagian, mengharap imbalan apa? Orang, untuk beli paket data aja aku masih suka minta uang Emak. Duh, betapa menyedihkannya aku. Masih nyusahin orang tua.
"Oh iya, jangan lupa mendaftar sebagai driver pada dua atau tiga perusahaan jasa ojek online. Dengan gitu, lu akan ada beberapa aplikasi yang bisa di gunain. Misal ada tiga aplikasi ojek online yang aktif di hape, maka peluang dapat order lebih besar karena ada tiga aplikasi tersedia. Namun, perlu di perhatiin, saat udah dapet order di satu aplikasi, maka matikan dulu dua aplikasi lainnya, biar lebih aman." Bambang memberitahu banyak hal.
"Thanks ya, brow."
"Sans."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!