BRAK!
Suara nyaring dari pagar yang dibanting memecah kesunyian pagi itu.
“Jam segini baru nyapu rumah? Enak sekali hidupmu, dasar—menantu pemalas!” hina Bu Syam, ibu mertua Ara.
Arawinda yang baru saja selesai menyapu teras, terperanjat ketika suara khas Bu Syam terdengar menggelegar. Wanita berparas ayu tetapi tampak lusuh itu, menghela napas dalam hati.
‘Pagi-pagi begini, pasti ada saja yang dikomentari.’ Benak Ara mencelos.
Manik beningnya menatap sang ibu mertua yang berjalan mendekat. Sambil menggigit ujung bibirnya, Ara melirik sepasang sendal kotor penuh lumpur yang dikenakan Bu Syam. Subuh tadi, memang turun hujan lebat. Sudah pasti, jalan menuju ke rumahnya sangat becek.
Bu Syam tersenyum sinis, ia tau sang menantu sedang melirik sendalnya yang kotor. Dengan senyuman licik yang tersungging di bibir, wanita separuh baya itu sengaja menjejakkan sendalnya di atas teras yang baru saja di sapu bersih.
Dengan wajah pongah, ia menabrak bahu Ara hingga sang menantu nyaris terjerembab.
“Astagfirullahalazim,” gumam Ara pelan. Nyaris seperti berbisik.
Bu Syam tidak peduli, wanita baya itu lekas masuk ke dalam rumah sambil terus melangkah ke dapur.
“Masak apa kau hari ini, Ara?” suara Bu Syam terdengar datar. Tangannya sudah sibuk mengangkat tutup panci, mengendus-endus aroma masakan yang belum lama matang.
“Gulai ayam, Bu,” jawab Ara pelan.
“Gulai ayam?” Bu Syam memastikan telinganya tak salah mendengar. “Halah—boros kali kau ini! Ayam, ayam, ayam! Kerjaan mu itu selalu menghambur-hamburkan uang anak ku ya? Masak yang murah-murah ajalah, beli aja bayam dua ribu, beli tempe satu papan—jadilah itu. Setengah papan kalau ada yang jual pun beli aja. Jangan buang-buang uang!” Nada suaranya meninggi, seperti biasa.
Seperti biasa? Ya, seperti biasa. Bu Syam memang selalu meninggikan suaranya jika sedang berbicara dengan Ara. Tak pernah sekalipun ia berbicara dengan nada lembut kepada wanita yang sudah tiga tahun mengurus semua kebutuhan putranya, dari membuka mata di pagi hari—hingga mata terpejam di malam hari.
Bagi Bu Syam, Ara layaknya wanita hina yang sudah merusak masa depan putranya, tak pernah ada bagusnya. Tak pernah sedetikpun ia menganggap Ara sebagai bagian dari keluarganya.
Ara menelan ludah, berusaha menahan diri agar tidak membalas. Kedua tangannya mengepal erat di belakang badan.
“Sesekali, Ara juga kepengen menghidangkan makanan yang lezat untuk Mas Harry, Bu,” jawab Ara tegas, tetapi tetap sopan.
“Lezat? Ha ... ha ... ha ... Kalau itu sih, nggak usah kau pikirkan,” Bu Syam tergelak renyah. “Hampir tiap hari juga, Harry selalu makan enak di rumah ku!”
Ucapan Bu Syam membuat Ara tertegun sejenak, keningnya berkerut. Ia berusaha memahami perkataan sang ibu mertua. Namun—Bu Syam kembali melanjutkan perkataannya.
“Mana mungkin aku membiarkan Harry mengisi perutnya dengan lauk pauk murahan buatan mu, Ara. Setiap hari, aku memasak menu lezat untuk putra ku. Aku menyiapkan bekal dengan lauk-pauk yang jauh lebih bergizi—Sedangkan bekal yang kau siapkan setiap hari—kami berikan untuk anjing-anjing liar di komplek sini.”
Dada Arawinda serasa di remas kuat, jantungnya serasa ditusuk belati. Benarkah yang dikatakan Bu Syam? Sebegitu tega kah Harry?
“Ngapain kau melamun begitu? Sana urus rumah, masih berantakan ini. —Itu teras disapu lagi, kotor. Terus, langsung lanjut ngepel! —Jemuran gimana?” Bu Syam melirik ke luar, mencari-cari celah untuk mengomentari lagi.
Sialnya, hari ini Ara bangun kesiangan. Hujan lebat di subuh hari membuat ia lebih lama terlelap. Padahal biasanya jam segini, semuanya sudah terselesaikan dengan sempurna.
“Belum sempat nyuci baju, Bu. Ara tadi kesiangan,” jawabnya jujur.
“Huh! Dasar pemalas! Udah enak-enakan di rumah aja, nggak kerja, masih juga nggak becus ngurus rumah! Sudah sana—buruan!” Setelah berkata demikian, Bu Syam meluruhkan bokongnya di atas sofa.
Ara menggigit bibir, ia berusaha menahan air matanya agar tak menetes. Pantang baginya menangis di depan orang-orang yang selalu menunggu air matanya luruh.
Wanita itu segera berbalik badan. Tanpa banyak bicara, Ara lekas mengerjakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Ia begitu gesit, ia ingin lekas selesai, agar sang ibu mertua pun lekas pulang.
...****************...
Keningnya penuh peluh, tetapi, bibirnya menyunggingkan senyuman. Akhirnya Ara menyelesaikan semua pekerjaan rumah.
Ara melirik ke arah Bu Syam yang tak kunjung pulang. ‘Duh, kapan ibu mau pulang? Aku udah laper banget ini,’ batinnya amat berisik. Namun, bunyi perutnya yang lebih berisik, membuat Ara memutuskan untuk makan tanpa menunggu sang mertua pulang.
Sambil meneguk ludahnya, Ara berjalan menuju dapur. Ia mengambil piring dan menyendok nasi serta lauk-pauk. Ara sudah bersiap-siap hendak mengisi perutnya dengan lauk-pauk yang menurutnya sangat mewah.
“Hey! Enak kali kau—masih jam segini udah ngisi perut! Harusnya, perutmu itu di isi dengan janin, dengan bayi—bukan dengan makanan enak seperti ini! Pantas badan mu makin hari makin bongsor, pagi-pagi gini udah diisi dengan makanan berat. Jadinya, perutmu itu dipenuhi sama kotoran mampet!” Bu Syam menunjuk perut Ara yang bahkan nyaris cekung—akibat terlalu sering menahan lapar demi menghemat ini dan itu. “Sebelum kau makan, sana, kau pergi dulu ke toko roti di simpang empat. Belikan aku roti yang kayak biasa. Setelah itu, baru kau boleh makan!”
“Dasar nggak ada adab!” Tentu saja Ara hanya mengucapkan kalimat itu di dalam hatinya. “Ara makan sebentar ya, Bu. Lagian nasi serta lauk-pauk nya juga udah disiapkan, tinggal makan aja ini.”
“Enak aja ngatur-ngatur! Aku yang berhak ngatur di sini, Ara. Makanan yang hendak kau makan saat ini, semuanya berasal dari uang putraku! Kau boleh makan atau tidak, aku yang mengaturnya!” bentak Bu Syam.
Rasanya, kewarasan Ara nyaris hilang. Ia menghela napas panjang. “Terserah Ibu mau bilang apa. Yang jelas, Ara capek dan lapar, udah kayak mau pingsan. Ara perlu makan sekarang sebelum pergi menuruti permintaan Ibu. Ini pilihan yang lebih masuk akal. Ibu mau—kalau Ara pingsan di jalan, lalu di bawa ke rumah sakit sama orang-orang? Biaya rumah sakit sudah jelas nggak murah. Ibu mau—kalau Ara membuang-buang uang anak ibu untuk hal-hal seperti itu?”
Tanpa menunggu jawaban Bu Syam, Ara langsung mengisi mulutnya dengan makanan yang sudah ia sajikan. Untuk menghadapi orang seperti mertuanya, jelas Ara perlu tenaga. Dan sudah jelas, tenaga itu bisa ia dapatkan jika perutnya kenyang.
Bu Syam tak lagi berkata-kata, ia mendelik, kemudian menghentakkan kaki sambil berlalu. Wanita yang tak lagi muda itu memilih kembali ke ruang tamu, duduk sambil menunggu dengan hati gusar.
“Dasar wanita hina sialan, berani sekali dia menentang ku,” gumam Bu Syam penuh dendam.
...****************...
Pagi itu langit mendung menggantung rendah di atas kota kecil yang mulai menggeliat. Arawinda berdiri di depan toko roti sederhana di ujung jalan, menatap etalase sambil merapatkan dasternya yang sudah mulai pudar warnanya. Rambutnya digelung asal, wajahnya tanpa riasan, hanya dibalut lelah yang tak pernah benar-benar pergi.
“Roti abon sapinya dua, Bu. Yang biasa, ya. Teruuus, roti cokelat susunya tiga,” ucap Ara pelan pada penjaga toko.
Tangannya menggenggam lembaran uang receh yang sudah ia hitung dengan cermat di rumah.
Setelah membayar dan menerima bungkusan roti, Ara segera keluar dari toko. Langit yang sejak tadi menggertak, akhirnya menumpahkan hujan. Gerimis yang turun berubah jadi lebat dalam hitungan detik. Ara buru-buru berjalan pulang, menunduk, menjaga roti dalam pelukannya agar tidak basah.
Ia melewati jalanan licin dengan sangat hati-hati. Namun, sandal jepit murahan yang sudah menemaninya selama dua tahun, kini mulai mengkhianatinya.
BRUKK!
“Aduh!”
Kakinya tergelincir dan tubuhnya terhuyung ke samping—menabrak sesuatu yang dingin dan keras. Sebuah mobil hitam mengkilap yang sedang terparkir rapi tak jauh dari toko roti. Suara gesekan halus dari permata cincin kawinnya pun terdengar, cukup membuat jantungnya berhenti sejenak. Tangannya menyentuh body mobil, dan ia melihat—ada bekas goresan di sana.
“Ya Allah ... mati aku!” bisiknya panik. Ia berdiri dengan cepat, berusaha menyamarkan rasa sakit di lututnya yang memerah.
Tak lama, pintu depan mobil terbuka. Seorang pria muda, berseragam rapi, melangkah cepat menghampirinya. Wajahnya panik, tetapi suaranya tenang.
“Bu, ibu nggak apa-apa?”
‘BU? WHAT? BUUU’ Batin Ara meraung ketika dirinya dipanggil Ibu.
“Sini, saya bantu.”
Ara menggeleng cepat, sambil mundur beberapa langkah. “Nggak, nggak usah. Saya nggak apa-apa ... heum, maaf—tapi mobilnya ....”
“Jangan dipikirkan dulu, Bu. Lutut Ibu kelihatan sakit. Biar saya antar pulang, bagaimana? —Hujannya juga semakin deras.”
“Terima kasih, tapi, saya bisa jalan sendiri,” potong Ara buru-buru. Ia tak ingin menambah beban siapa pun, apalagi terlihat merepotkan dengan penampilan seperti ini. “Berikan saya kartu nama yang bisa dihubungi untuk terkait mobil ini.”
Pria muda itu masih terlihat ragu, namun akhirnya mengangguk pelan. Ia memberi sebuah kartu nama.
Setelah menyambar kartu nama yang diberikan pria itu, Ara buru-buru pamit dan melangkah pergi. Dasternya sudah basah kuyup, sandal jepitnya bunyi mencipak setiap kali menghantam genangan air.
Dari dalam mobil yang tadi ditabraknya, seorang pria yang duduk tenang di kursi belakang menatap Ara dengan sepasang mata elang nya. Ia memperhatikan setiap gerak-geriknya. Pria itu tidak berkata apa-apa. Hanya memandangi punggung Ara yang menjauh dengan langkah tergesa.
Elan Wiratama, duduk diam di kursi belakang, bersandar dengan kepala sedikit miring. Tangannya mengepal pelan di atas lutut. Tatapannya sulit dibaca—campuran bingung, kecewa, dan mungkin ... sedih?
“Kenapa penampilannya jadi seperti itu ...,” gumamnya lirih.
Lama setelah punggung Ara menghilang di tikungan jalan, Elan masih menatap kosong ke arah yang sama. Masa lalu yang pernah ia pendam rapat, kini muncul kembali dalam wujud wanita lusuh yang bahkan tak mengenali mobilnya—atau mungkin dirinya.
Dan entah kenapa, dadanya terasa berat sejak tadi.
“Gue cuma ngasih kartu nama aja sama wanita itu, El. Mobil lo cuma lecet doang, dia ganti rugi atau enggak, nggak bakal ngaruh juga sama isi dompet lo, kan?” ujar Davin, sopir sekaligus orang kepercayaan Elan. Keduanya sudah bersahabat sejak kecil.
Elan tak langsung menjawab. Namun, Davin dapat melihat dari kaca spion, ujung bibir Elan sedikit terangkat.
‘Ah, si gila ini. Apa lagi yang ada di dalam otaknya?’ Batin Davin menggerutu.
“Minta ganti rugi,” kata Elan akhirnya.
Davin nyaris tersedak ludahnya sendiri. “Hah? Apa?” Pria itu lekas mengorek lubang telinganya dengan ujung kelingking, memastikan pendengarnya tak salah.
“Pastikan wanita itu untuk ganti rugi—dengan jumlah yang banyak,” titah Elan dingin.
*
*
*
Assalamu'alaikum, Readers. Selamat malam, kita berjumpa kembali di karya baru Author.
Jika berkenan, mohon dukungannya untuk di subscribe ya 🥰 Semoga betah di sini 🥰
Hujan belum benar-benar reda saat Arawinda melangkah masuk ke rumah. Dasternya basah kuyup, menempel di kulit seperti luka yang belum sempat kering. Sekantong roti di dekap rapat di dalam pelukan, seperti sedang menyelamatkan sesuatu yang paling berharga.
Suara Bu Syam terdengar nyaring dari ruang tengah, ketika melihat penampilan Ara.
“Astaghfirullah, Ara?! Kok, basah kuyup begitu?!” Bu Syam tampak panik. “Aduh, itu roti aku gimana?! Pasti basah juga?!” tentu saja yang dikhawatirkan Bu Syam, hanyalah rotinya.
Ara menatap datar ibu mertuanya, sejenak ia menahan napas. Pertanyaan yang dilontarkan Bu Syam sungguh membuat hatinya tersayat-sayat. Dia pulang dalam kondisi basah kuyup, dan sang mertua justru hanya mengkhawatirkan roti pesanannya? Ara benar-benar tak bisa lagi berpikir waras.
Melihat Ara terdiam di tempat, Bu Syam berjalan cepat ke arah sang menantu. Tentu bukan untuk menyodorkan handuk ataupun memberi pertolongan yang tepat, melainkan untuk merampas kantong roti dari pelukan Ara.
Ara tersentak kala kantong dalam pelukannya di rampas paksa. “Roti nya masih aman, Bu.” Jawab Ara pelan, dengan tubuh menggigil.
Wajah Bu Syam jelas menunjukkan rasa tidak percaya, matanya mengernyit curiga. Buru-buru ia membuka kantongnya. Namun—drama itu tak berhenti di sana. Sewaktu membuka kantong, Bu Syam tampak heran dengan tiga bungkus roti yang sama sekali tidak ia pesan.
“Loh, ini … ini apa?!” Ia mengangkat tiga bungkus roti cokelat susu, binar matanya berubah sinis. “Ini kan bukan pesanan aku, ini punya siapa?!”
Ara meneguk kasar ludahnya, ia benar-benar lupa untuk menyembunyikan tiga bungkus roti miliknya. “Yang itu … untuk Ara, Bu.”
Bu Syam langsung naik pitam. “Untukmu?” wanita paruh baya itu berkacak pinggang. “Berani banget ya kau sekarang—menghambur-hamburkan uang anakku tanpa se-izin ku?! Kau tuh tau nggak, Ara? Anakku banting tulang mati-matian di luar sana, dan kau—seenaknya pakai uang suami buat beli jajanan yang kau mau! Arawinda, otak mu ada, ‘kan?!”
Ara tak langsung menjawab, ia menarik napas panjang terlebih dahulu. “Ara beli roti ini pakai uang Ara sendiri ya, Bu. Nggak ada sepeser pun uang Mas Harry yang Ara pakai untuk membeli roti kesukaan Ara.”
Tawa Bu Syam mendadak pecah. Jawaban Ara membuat perut wanita berdaster kembang setaman itu serasa digelitik.
“Astaga, Ara … kau ini kenapa, sih? Apa air hujan sudah membuat kau gila? Uangmu? Uangmu dari mana, hah? Dari pohon? Atau kau baru aja narik arisan dari langit?” Bu Syam tersenyum mengejek. “Coba jawab, uang dari mana? —Sementara kau itu kan nggak kerja. Di rumah seharian, kerjaan mu cuma masak, nyuci, terus ongkang-ongkang kaki. Beberes rumah aja masih harus disuruh! —Lalu kau dapat duit dari mana?!”
Ara mengerjap, lalu memejamkan matanya sejenak. Ia kelepasan dalam memberi jawaban. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa pikir panjang. Tak ada satupun orang yang mengetahui bahwa Ara juga memiliki penghasilan sendiri, walaupun hasilnya tak seberapa.
Beberapa bulan ini, Ara selalu berkecimpung di dunia novel online, tanpa sepengetahuan Harry. Ia menyetor naskahnya di beberapa platform terpercaya, dan kini ia sudah menuai hasil dari memutar otak di setiap malam hari. Beban pikiran, semua cacian serta hinaan, ia rangkum sedemikian rupa dan dijadikan ladang cuan.
“Ooooh, atau jangan-jangaaaan, kamu maling ya? —Tadi subuh warungnya Bu Romlah kemalingan. Uang nya digondol, ludes. Pasti kamu, ‘kan? Kamu pura-pura kesiangan, padahal subuh-subuh kamu beraksi—bongkar kedai orang. Iya, begitu?”
Dada Ara berkecamuk, bergemuruh hebat. Jika seumuran, sudah pasti Ara akan menyikut bibir Bu Syam dengan ujung sikunya hingga jontor.
“Bu, cukup. Ibu tau, ‘kan? Ibu udah keterlaluan.” Ara berusaha menjaga ekspresi wajahnya. Namun, suaranya kentara kesal.
“Keterlaluan? Kau ini bener-ben—”
“Ada ribut-ribut apa sih ini, Bu? Ar?” Suara Harry membuat Bu Syam dan Ara tersentak kaget. “Assalamu'alaikum.”
“Eh, Harry ... Sampai nggak nyadar kamu datang. —Tumben kamu udah pulang jam segini?” Bu Syam menatap Harry yang tengah melepas jas hujannya. “Wa'alaikumsalam.”
Begitu masuk ke dalam rumah, Harry lekas mencium punggung tangan sang ibu. “Iya, kerjaan nggak banyak. Kebetulan sabtu, jadi bisa pulang cepat.” Jawabnya sambil menatap Ara dengan mimik heran, “kenapa pakaian mu basah kuyup begitu?”
Belum sempat Ara menjawab, Bu Syam sudah terlebih dulu bersuara. “Tadi Ibu minta tolong beliin roti di tempat biasa. Ara nggak bawa payung, terus hujan deras. Ya basah deh. Padahal sebelumnya, Ibu udah bilang kalau hari mau hujan. Eh, ngeyelan.”
Ara mengernyit mendengar bualan sang mertua. “Kapan Ib—”
“Dan, kamu tau nggak, Harry?” potong Bu Syam secepat kilat. “Ara beli roti mahal sampai tiga bungkus. Waktu Ibu nasehatin baik-baik, eh, malah nggak terima. Katanya karena pakai uang sendiri, jadi Ibu nggak boleh ngatur. —Gaya-gayaan pakai uang sendiri, uang dari mana? Kamu aja nggak ngizinin dia kerja.”
Harry menoleh ke arah sang istri yang masih menggigil kedinginan. “Bener begitu, Dek?”
“Ibu curiga deh jadinya, Har,” sela Bu Syam cepat. “Warungnya Bu Romlah kemalingan loh tadi subuh. Apa jangan-jangan ...?”
“Bener begitu, Dek?!” tanya Harry sekali lagi. Namun kali ini, suaranya lebih keras, lebih sinis.
Tatapan dingin dari Harry semakin membuat Ara terluka. Bukannya iba melihat istrinya yang sudah menggigil kedinginan, Harry malah melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dada Ara sesak.
“Uang belanja,” dusta Ara singkat. Ia sengaja tak ingin menceritakan sumber cuan nya. Ara yakin jika jujur pun, tak akan ada yang berubah.
“Tuh, kan! Bener dugaanku! Ternyata kau menghambur-hamburkan uang anak ku! Kau itu bener-bener nggak tau diri ya, Ara! Nggak tau di untung! Uang untuk keperluan belanja sehari-hari, malah seenak udel dipakai buat beli jajanan! Dasar boros! Pakai nipu segala pula, gayanya pakai uang sendiri! Padahal? Darah anak ku yang kau hisap! Dasar Lintah!”
Jemari Ara terkepal erat, kerongkongan nya serasa tercekat bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata. Ia masih setia menunggu, menunggu Harry untuk membelanya di depan ibunya.
Namun, yang dilakukan Harry hanyalah berlalu dengan kepala tertunduk. Pria itu berjalan ke dapur, sibuk mengambil peralatan makan. Ia memilih mengisi perutnya yang keroncongan dari pada membela ataupun menengahi. Dan, tentu saja dada Ara kian sakit, kian bergemuruh.
“Ara, kalau kau nggak bisa mengatur uang seperti ini, bilang terus terang. Biar aku yang menghandle semuanya!” kata Bu Syam lagi.
Ara langsung menoleh ke arah Bu Syam, sorot matanya sangatlah nyalang. Bu Syam sempat terperanjat, membeku di tempat. Ini pertama kalinya Ara menatapnya dengan tatapan seperti itu.
“A-apa-apaan tatapanmu itu? Kau m-menantangku?!” Bu Syam memberanikan diri. Ini pertama kalinya ia terbata-bata dalam berbicara.
Ara enggan menjawab, tetapi sorot nyalang nya tak kunjung pudar. Wanita berdaster kuyup itu melangkah tergesa-gesa menuju dapur, ia menghampiri sang suami dengan dada yang nyaris meledak.
“Mas,” suara Ara terdengar dingin.
“Hmm?” Jawab Harry tanpa menoleh, ia terlalu sibuk mengunyah.
“Apa aku mesti gugat cerai kamu dulu, baru kamu sudi membela ku di depan Ibumu?” suara serak Ara terdengar tegas dan sangat serius.
UHUK!
*
*
*
Rapat siang ini harusnya penting. Anggaran kuartal, peralihan proyek, data pertumbuhan—semua angka berseliweran di layar proyektor, dibacakan satu per satu oleh kepala divisi. Tapi, mata Elan terlalu kosong sebagai orang penting yang duduk di ruangan tersebut. Jari-jarinya hanya mengetuk pelan meja rapat, tanpa fokus.
“... untuk sektor ekspansi properti, kami perkirakan kenaikan dua belas persen ....”
Elan tak benar-benar mendengarkan. Yang ada di pikirannya cuma sehelai daster lusuh yang basah kuyup, rambut awut-awutan, dan sepasang mata yang dulu pernah menyala saat menatapnya.
Arawinda.
Wanita itu muncul tanpa aba-aba, menabrak hidup Elan seperti kilat di siang bolong. Wanita dari secuil masa lalu, yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam.
“Pria gila!” Suara pelan Davin, tetapi terdengar tegas, menyusup di telinga Elan.
Elan tersentak, ia menoleh ke sisi kanan—tempat Davin berdiri dengan posisi membungkuk. Elan menatap sahabatnya, dengan satu alis menukik yang seakan bertanya : “Ada apa?”
“Fokus. Mereka lagi nungguin perintah lo—dan Varell lagi sibuk nyari-nyari kekurangan lo, Elan!” bisik Davin lagi.
Elan mengangguk samar, menarik napas, lalu berkata datar, “Lanjut ke poin berikutnya.”
Rapat internal kembali mengalir. Sekilas, Elan dapat menangkap tatapan bingung dari beberapa kepala divisi—yang mungkin heran kenapa dirinya diam sejak tadi. Tapi, tentu saja tidak ada yang berani bertanya. Di perusahaan ini, Elan adalah suara tertinggi ke-empat setelah pemilik utama. Elan Wiratama menjabat sebagai CEO, menggantikan posisi sang ayah. Dan, Elan merupakan kandidat tertinggi untuk menggantikan posisi kakeknya sebagai pemilik perusahaan kelak. Tentu ia memiliki saingan—sepupunya—Varell Wiratama.
Varell sejak tadi mengamati gerak-gerik Elan. Ia menunggu Elan membuat kesalahan. Namun, Davin yang selalu berada di sisi Elan, benar-benar membuatnya kesal. Pria itu selalu berhasil menarik Elan kembali masuk ke dunianya yang sempurna.
‘Elan, kapan kau akan terperosok ke dasar bumi, huh?!’ desis Varell di dalam hati.
Rapat berjalan sempurna. Satu per satu peserta mulai pamit setelah presentasi selesai. Lalu ruangan itu kembali sepi. Hanya tersisa Elan dan Davin.
Elan bersandar di kursi, mengangkat kedua tangan dan meraup kasar wajahnya. Napasnya berat. Entah sudah berapa kali pria tampan itu menghela napas sejak tadi.
“Gila,” gumamnya. “Kenapa harus dia?!”
Davin tetap berdiri di dekatnya. Diam, tapi siaga. Ia sudah seperti bayangan Elan. Tidak banyak bicara kecuali perlu. Dan saat dia bicara, kalimatnya selalu tepat.
Elan menatap langit-langit, lalu memejamkan matanya sejenak. Sosok Ara dengan roti dalam pelukannya, daster pudar, serta kaki yang basah, semua itu berputar di dalam kepalanya.
“Sial! Wanita itu sukses menggangguku,” gumam Elan pada dirinya sendiri, nyaris seperti bisikan.
Davin akhirnya bersuara, tenang tapi penuh maksud dalam nadanya. “Masih cantik?”
Elan tertawa kecil, lebih tepatnya—hambar. “Dia ... berubah total.”
“Bukan berarti perasaan lo ikut berubah, ‘kan?” goda Davin.
Elan berdecak seraya melirik Davin, mereka saling beradu tatap sebentar.
“Dia bahkan mungkin udah nggak inget sama gue, Dav ....” suaranya melemah.
“Belum tentu, ‘kan?” katanya, santai. “Sekarang tinggal lo yang tentuin: mau pura-pura gak kenal juga, atau mulai dari awal lagi.”
Sejenak, Elan terdiam. Namun batinnya berisik. ‘Mulai dari awal? Dengan wanita yang akhirnya kutinggalkan demi ambisi? Atau demi luka yang masih ku pelihara sampai sekarang? Ah, entahlah. Yang pasti, semesta sudah lancang membuat dia tiba-tiba muncul. Dan, itu saja sudah cukup untuk membuat pikiranku kacau!’
Sekali lagi, Elan menghela napas kasar. “Tapi, Dav. Ara kan sudah menikah.”
“Ya udah, lupain aja kalau gitu.” Jawab Davin enteng sambil membaca jadwal Elan selanjutnya.
Tanpa Davin sadari, Elan sudah menghujani nya dengan tatapan tajam. “Ara udah ngehubungin lo belom?”
Davin mengangguk tanpa suara.
“Lo udah informasikan ke dia, berapa nominal ganti rugi yang gue minta?” Elan tersenyum licik. Davin pun mengangguk diiringi dengan senyuman licik.
...****************...
Angin malam menyusup lewat celah-celah jendela tua yang tak sempurna tertutup. Amat dingin dan juga lembab. Bekas hujan yang mengguyur dari siang hingga sekarang masih terasa menusuk sampai ke tulang.
Ara duduk di pinggir ranjang, memunggungi pintu kamar. Di dalam ruangan yang sunyi, ia menghembuskan napasnya berkali-kali. Matanya sibuk membaca pesan tentang nominal ganti rugi kap body mobil Porsche Cayman yang harus dibayarnya segera.
“Dari mana aku akan mendapatkan uang sebanyak ini, Ya Allah? —Gaji dari hasil novel online ku saja hanya jadi tiupan debu jika dibandingkan dengan nominal ini.” Ara memejamkan matanya sejenak. “Apa aku minta bantu Mas Harry? Tapi—gaji Mas Harry pun tak seberapa. Kalau sampai Mas Harry yang bayar ....”
Mendadak Ara teringat kembali pertengkarannya dengan Harry siang tadi. Jelas Harry marah besar ketika Ara membahas gugatan cerai. Dan berakhir, Ara mengurung diri di kamar hingga sekarang.
Ara menggeleng cepat. “Nggak—enggak! Aku nggak akan minta bantuan Mas Harry. Nggak ada masalah ini aja, aku udah jadi bulan-bulanan ibunya—apalagi kalau harus ditambah masalah ini. Sepertinya, aku harus—kerja.”
“Tapi, kok bisa ya—biaya ganti ruginya sebanyak itu?!” gumam Ara pelan. Maniknya menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba berderit.
Harry berdiri di ambang pintu.
Pria yang siang tadi memilih diam ketika Ara dihina habis-habisan oleh ibunya sendiri, kini melangkah pelan. Mendekati sang istri dengan napas berat yang sengaja ia perlambat.
“Ara ...,” katanya pelan. Tangannya menyentuh lembut pundak Ara.
Ara memejamkan mata. Sentuhan itu terasa hangat, tapi rasanya seperti sentuhan yang asing. Wanita berparas ayu itu tak menjawab. Hanya duduk dengan tubuh yang kaku, sambil menahan semua rasa yang sudah terlalu lama mendekam dalam diam.
Harry duduk di samping Ara. “Malam ini dingin banget ya, Dek.” Ia memberanikan diri memeluk sang istri. “Aku kangen kamu ....”
Bisikan lembut nan bergelora itu seketika membuat Ara merinding. Ia paham, Harry menginginkan tubuhnya malam ini. Namun, Ara tetap bergeming. Tak sudi menanggapi.
"Yuk …." Ajak Harry lembut, kini tangannya sudah menggerayangi dada Ara. Namun, Ara menepisnya.
“Aku capek, Mas,” ucap Ara pelan, namun cukup tegas.
Harry tertawa kecil, ia tak menyerah begitu saja akan penolakan sang istri. Pria itu bangkit dan berjalan ke arah lemarinya.
“Yakin kamu nggak mau? Gajiku udah cair, nih,” godanya. Ia berharap, uang dapat memperbaiki situasi dan menjadi jalan satu-satunya menuju surga dunia.
Ia mengambil tas kerjanya, membuka resleting, lalu mengeluarkan lembaran uang yang sudah disusun rapi.
“Empat juta sembilan ratus,” katanya bangga. “Yang sembilan ratus aku ambil ya, mau di simpan buat jaga-jaga kalau ada kerjaan mendadak di luar.”
Pria dengan senyuman merekah di bibirnya itu, berjalan ke arah sang istri dan meletakkan sisa uangnya ke pangkuan Ara.
“Kali ini semuanya, aku serahin ke kamu, Dek. Kamu yang atur, besok yang dua jutanya tolong kasih ke Ibuku kalau Ibu datang ke mari—kali ini nggak aku yang kasih langsung ke ibu. Terus—yang satu juta delapan ratusnya kamu pegang buat kebutuhan rumah. Dan yang dua ratus ribu itu ...,” Harry tersenyum lebar. “Buat kamu jajan. Biar kamu bisa beli roti kayak tadi siang. Ya? Jadi, biar nggak perlu ribut-ribut lagi.”
Arra tak langsung menjawab. Ia masih memandangi lembaran uang di pangkuannya, dengan kekecewaan yang lebih dalam.
“Dua ratus ribu ... diambil dari sisa-sisa kebutuhan rumah yang sudah di irit mati-matian. Yang bahkan tanpa dipotong pun, aku harus pandai-pandai mengatur agar dapur tetap mengepul,” gumam Ara pelan. Namun sukses membuat senyuman Harry sirna.
Ara menoleh, menatap sinis suaminya. “Mas pikir, aku bakal senang dikasih dua ratus ribu hasil potongan dari uang rumah tangga? Yang bahkan, nggak cukup buat satu minggu ke depan? Kamu kira, aku sanggup jajan—di saat uang belanja sekarat?”
Harry masih bergeming. Namun, wajahnya merah padam. Ini pertama kalinya Ara mengeluh masalah keuangan.
Ara lekas berdiri dan meletakkan lembaran uang tersebut ke atas meja kecil. “Kamu bilang, dua juta buat Ibumu? Lalu, Ibuku? Apa ibuku bukan ibumu juga, Mas?”
“Ra ....” Harry menarik napas dalam-dalam. “Ibuku yang melahirkan aku, merawat aku, membesarkan aku. Wajar kan—kalau aku memberikan uang untuk ibuku?”
“Lalu aku? Apa kamu kira—aku ini keluar dari lubang jamban? Hah?! Apa saat aku dilahirkan, aku langsung tumbuh besar? Apa kamu kira, aku nggak kepengen membalas budi atas perjuangan ibuku? —Aku juga ingin, Mas. Dan aku juga nggak ingin membebankan semua itu ke kamu. Makanya dari dulu aku kepengen kerja—selagi belum diberi keturunan. Tapi ... kamu nggak pernah ngizinin aku kerja lagi. It's okay—gapapa kalau aku nggak dibolehin kerja, tapi, kamu selama ini sanggup menuhin kebutuhan aku nggak? Enggak—kan?!”
Ara menarik napasnya dalam-dalam sebelum lanjut bicara. “Kamu kira, aku nggak iri ngelihat temen-temenku dibelikan ini itu sama suaminya? Diberikan uang belanja lebih, biar setidaknya bisa makan enak dua kali seminggu—aku sampai nelan ludah waktu mereka posting-posting menu makanan mereka yang lezat di story whatsapp, Mas! Aku berusaha mati-matian bersyukur, biar rezeki kamu tetap seluas samudera. Meskipun itu sulit. Bahkan—hari raya tahun ini pun, aku hanya berbalut daster kumal!”
“Ra ...,” suara Harry terdengar serak. “Lagian, kamu ngapain liat story temen mu sih?”
“Dari awal kita nikah, Mas. Sedikit pun, Mas nggak pernah kasih uang buat Ibu aku. Aku ini memang seorang istri Mas, tapi, aku juga anak dari seorang Ibu yang masih hidup. Tapi, semua yang kulakukan buat keluargaku, harus sembunyi-sembunyi. Kayak maling!” teriak Ara keras. “Kalau aja ayahku masih hidup, Mas. —Nggak akan pernah ada pembahasan seperti ini, karena aku juga nggak sudi ngemis sama kamu!”
Napas Ara tercekat. Suaranya mulai bergetar. “Aku nggak minta banyak, Mas. Aku cuma pengen dihargai. Dilihat sebagai manusia yang juga punya keluarga, dilihat sebagai istri yang telah mengorbankan karirnya. Bukan cuma dijadikan alat untuk ngurus rumah dan selalu jadi sasaran empuk untuk Ibu kamu hina-hina setiap hari!”
Harry memejamkan mata. Tangannya mengepal.
Ara menghela napas panjang, menahan gemetar di dada. “Sekarang—dengan lancangnya kamu ngerayu aku dengan uang yang nggak seberapa ini? Mau minta aku buka hati lagi? Sementara—luka siang tadi aja belum sempat kering!"
“CUKUP ARA!” bentak Harry. Egonya sebagai laki-laki, benar-benar terluka.
“AKU MAU KERJA!” Ara balik membentak.
“NGGAK AKAN PERNAH AKU IZININ!” jawab Harry sengit.
Ara tertawa nyaring. “Oh ya? —Kita lihat, sampai mana larangan kamu bertahan. Kamu sanggup bayar ini? —Baca!”
Ara melempar ponselnya ke atas ranjang, Harry lekas menyambarnya. Dan—bola matanya seketika membulat saat membaca nominal ganti rugi yang tertera di layar ponsel.
*
*
*
Terimakasih buat yang sudah subscribe, serta dukungan like & komentar nya 🧡
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!