NovelToon NovelToon

Melting The Pilots Heart

Bab 1

Suasana kamar rumah sakit itu sunyi. Terlalu sunyi untuk sebuah pagi yang seharusnya membawa harapan.

Risa duduk di sisi ranjang, jari-jarinya menggenggam tangan Kirana yang semakin dingin, semakin lemah.

Di balik wajah yang pucat, Kirana masih menyimpan sisa senyum yang selama ini menjadi cahaya bagi hidup Risa.

“Aditya…” bisik Kirana pelan.

Aditya yang berdiri di sudut ruangan segera melangkah mendekat.

Mata lelaki itu sembab, tetapi ia berusaha tetap tegar.

Sebagai pilot, ia telah menghadapi banyak badai di udara. Namun, badai kali ini ia melihat Kirana yang sedang kritis.

“Kirana, jangan bicara dulu. Istirahat, ya? Dokter bilang—”

“Aku tahu waktuku tidak banyak,” potong Kirana lembut namun pasti.

“Dengar baik-baik… aku ingin kalian menikah.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Risa terpaku. Aditya menunduk, seolah dunia runtuh di bawah kakinya.

“Jangan bilang begitu…” Aditya menggeleng, menahan emosi.

“Kita belum menyerah. Kau masih bisa—”

“Tidak, Dit,” Kirana memejamkan mata sebentar, lalu membukanya kembali dengan susah payah.

“Aku ingin kamu dan Risa... bersama. Aku ingin dia dijaga oleh orang yang paling aku percaya.”

“Ka-Kirana…” Risa berbisik, nyaris tak mampu berkata-kata.

Ia menatap Aditya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat ketidakberdayaan di mata pria itu.

Kirana tersenyum lemah. “Tolong... bahagiakan dia. Jangan biarkan dia sendiri.”

Aditya memejamkan mata, menahan air mata yang sudah tak bisa dibendung lagi. Dan di saat itulah, di bawah langit muram dan doa yang lirih, ia mengangguk.

Hari itu, pernikahan mereka berlangsung dalam sunyi.

Hanya suara penghulu, isak tangis, dan doa yang mengiringi.

Risa mengucap do'a dengan suara bergetar. Aditya memakaikan cincin dengan tangan yang gemetar.

Dan Kirana… menggenggam tangan mereka berdua, lalu menutup mata dengan damai.

Ia pergi dengan senyum, meninggalkan dua hati yang kini diikat oleh janji suci, bukan oleh cinta.

*****

Tiga bulan telah berlalu sejak pernikahan itu. Sejak janji diucap di hadapan Kirana yang perlahan melepas napas terakhirnya.

Sejak hati Risa terikat pada seseorang yang hatinya masih terpenjara oleh masa lalu.

Pagi ini, matahari menyusup malu-malu ke sela jendela dapur.

Risa bangun lebih awal, seperti biasa. Ia memasak dengan penuh perhatian dan menu pagi ini ia memasak nasi goreng sederhana, telur dadar, dan segelas kopi hitam, persis seperti yang Aditya suka.

Meja makan ditata rapi, dua piring, dua cangkir. Seolah ingin meyakinkan diri bahwa rumah ini benar-benar milik mereka berdua, bukan bayangan dari pernikahan yang hampa makna.

Tapi ketika langkah kaki Aditya terdengar di tangga, harapan kecil di dada Risa kembali bergetar.

Mungkin hari ini... mungkin pagi ini dia akan duduk. Mungkin dia akan bicara lebih dari sekadar "terima kasih."

“Selamat pagi,” ucap Risa pelan, mencoba tersenyum.

Aditya berhenti sejenak di ambang pintu dapur. Ia sudah berpakaian lengkap, seragam pilotnya terpasang rapi, wajahnya bersih tapi datar.

Ia melirik meja makan sekilas, lalu kembali pada jam tangannya.

“Maaf, aku harus berangkat lebih awal. Sarapan di bandara saja.”

Suaranya dingin. Pendek. Tak ada senyum. Tak ada pelukan. Tak ada kehangatan seorang suami, meski hanya basa-basi.

Risa hanya mengangguk. Ia sudah hafal reaksi itu. Tapi tetap saja, setiap kali terjadi, rasanya seperti ditinggalkan lagi dan lagi.

Aditya mengambil tasnya, berjalan cepat melewati ruang tamu.

Tak ada ciuman di kening, tak ada pamit yang hangat.

Hanya suara pintu yang tertutup perlahan. Lalu sepi.

Risa menatap kursi di seberangnya. Masih kosong, seperti biasanya.

Lalu ia duduk, menyendok nasi goreng ke piringnya sendiri.

Mengunyah perlahan, menelan lebih banyak kesepian daripada rasa.

Dalam hati ia bertanya, sampai kapan janji akan cukup untuk mempertahankan hubungan yang tak berakar pada cinta?

Namun jauh di dasar hatinya, ia masih menyimpan harapan kecil dimana ia yakin bahwa hati yang beku pun suatu hari bisa mencair.

Langkah kaki Risa menggema di lantai marmer rumah yang terlalu besar untuk hanya satu jiwa.

Setelah Aditya pergi, ia kembali menyapu ruang tamu, merapikan bantal sofa yang tak pernah benar-benar berantakan, dan membuka jendela lebar-lebar seolah berharap angin bisa membawa suara tawa atau apa saja yang bisa mengusir kesunyian.

Rumah ini hadiah pernikahan yang sudah Aditya siapkan untuk Kirana.

Bangunan dua lantai bergaya modern minimalis dengan taman kecil di belakang yang pernah dipenuhi tawa mereka saat masih remaja.

Dulu tempat ini hangat. Penuh obrolan, musik lembut, aroma teh melati.

Kini, semuanya hanya tinggal kenangan yang menggantung di dinding.

"Rumah sebesar ini... hanya ada aku," bisik Risa sambil memeluk tubuhnya sendiri, berdiri di ambang pintu balkon.

Tak ada suara selain kicau burung dan detak jam dinding yang terdengar begitu nyaring dalam keheningan.

Ia berjalan ke kamar yang dulunya adalah kamar tamu, tapi sekarang jadi kamar tidur mereka. Tempat ia dan Aditya tinggal bersama, tapi tak benar-benar hidup bersama.

Risa membuka lemari, melihat barisan seragam pilot Aditya yang tergantung rapi.

Semuanya tertata sempurna, seperti hidup Aditya yang selalu terstruktur.

Tapi tidak dengan perasaannya. Tidak dengan hatinya yang tak pernah terbuka.

Ia menarik napas panjang dan duduk di pinggir ranjang.

Tangannya meraih bingkai foto kecil—foto dirinya, Kirana, dan Aditya, di hari ulang tahun Kirana tahun lalu.

Senyum mereka saat itu tulus. Hangat. Penuh kehidupan. Seolah tidak ada duka yang menunggu di tikungan waktu.

"Aku di sini, Kirana... aku menjaga dia. Tapi kadang aku tak yakin... apakah dia ingin dijaga?"

Risa tak menangis. Air mata sudah terlalu sering jatuh hingga kini hanya tersisa diam.

Ia tahu, cinta tak bisa dipaksakan. Tapi ia juga tahu, ada janji yang tak bisa diingkari.

Dan ia bertekad, meski rumah ini sunyi, dan hatinya sendiri, ia akan tetap bertahan. Untuk Kirana. Untuk janji itu.

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi dimana hujan mulai turun perlahan, membungkus rumah itu dengan cahaya temaram yang samar.

Risa duduk di meja makan, menatap layar ponselnya yang sunyi.

Ia sudah mengetik pesan sejak satu jam lalu, namun belum juga ada tanda-tanda balasan.

[Aku mau ke supermarket, ada yang kamu butuhkan?]

Pesan itu sederhana. Biasa. Tapi Risa mengirimkannya bukan hanya untuk bertanya.

Ia ingin komunikasi. Ingin pengakuan. Ingin merasa bahwa dirinya ada dalam kehidupan suaminya—meski hanya lewat satu balasan singkat.

Ponsel berbunyi.

Namun bukan notifikasi balasan dari Aditya. Hanya satu pemberitahuan dari bank tentang transfer dana masuk.

Nominalnya cukup besar. Lebih dari cukup untuk belanja. Tapi hati Risa malah terasa semakin kosong.

Ia menatap layar ponsel itu lama. Lalu meletakkannya pelan di meja.

Yang ia butuhkan bukan uang. Bukan izin. Bukan tanggung jawab suami yang dijalankan seperti kewajiban teknis.

Yang ia harapkan hanyalah... satu balasan.

"Sekadar tanya 'kamu baik-baik saja?' pun cukup," gumamnya lirih.

Ia bangkit, mengambil tas dan kunci mobil. Melangkah keluar dengan langkah pelan.

Angin sore menyambutnya, dan ia tersenyum tipis, walau hanya pada dirinya sendiri.

Risa melirik ke arah garasi sebelum melangkah keluar rumah.

Mobil sedan hitam milik Aditya terparkir rapi di sana—mobil yang dulu juga sering digunakan Kirana saat mereka pergi bersama, sekadar mencari udara segar atau membeli es krim di malam hari.

Kini, setiap kali Risa melihat mobil itu, yang muncul bukan keinginan untuk mengendarainya, melainkan rasa enggan yang membungkus hatinya erat.

“Mobil itu... milik Kirana,” bisiknya pelan, seperti meminta maaf pada kenangan.

Dengan berat hati, ia kembali ke ruang tamu, duduk di ujung sofa, dan membuka aplikasi ojol di ponselnya.

Ia lebih memilih naik ojek online, walau harus menunggu dan berdesakan, daripada menyentuh setir kendaraan yang penuh dengan memori sahabatnya.

Setelah memesan, ia menatap dirinya di cermin dekat pintu.

Wajahnya tampak tenang, tapi matanya lelah. Ia merapikan kerudung, mengambil tas belanja, lalu berdiri tegak, seperti berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja.

Notifikasi masuk—ojeknya sudah tiba.

“Bu, sudah di depan ya,” tulis sang pengemudi.

Risa menarik napas dalam, lalu melangkah keluar rumah, menutup pintu perlahan di belakangnya. Jalanan sore cukup ramai, tapi ia tetap merasa sendiri.

Dan di tengah perjalanan menuju supermarket, ia membiarkan angin menyapu wajahnya, seolah berharap rasa sepi bisa ikut terbawa pergi.

Bab 2

Lampu-lampu putih supermarket menyilaukan mata, menyambut Risa begitu ia melangkah masuk.

Trolley di dorongnya pelan, menyusuri lorong demi lorong yang dipenuhi barang dimana semuanya tampak teratur, tertata, dan sempurna. Sangat berbeda dengan isi hatinya yang tak karuan.

Ia mengambil beberapa bahan makanan seperti telur, sayuran, beras, dan sabun cuci.

Tangannya bergerak otomatis, tapi pikirannya entah melayang ke mana.

Beberapa pasangan tampak berjalan berdua, tertawa kecil sambil memilih camilan.

Seorang ibu muda sedang menenangkan anaknya yang merengek.

Sementara dirinya, hanya satu keranjang dan sendirian di supermarket itu.

Risa berhenti di depan rak minuman, memandangi deretan botol jus dan susu.

Dulu, Kirana selalu memilih jus jeruk, sementara Aditya lebih suka kopi kemasan dingin.

Tanpa sadar, ia mengambil dua jus jeruk, satu kopi dingin.

Tangan kirinya gemetar kecil saat menyadari tentang kebiasaan masa lalu masih saja menempel dalam dirinya.

Ia tertawa kecil, getir. "Sudah tiga bulan, Ris. Sampai kapan kamu begini?"

Ia tahu jawabannya: sampai Aditya membuka hatinya. Atau sampai dia sendiri menyerah.

Setelah membayar belanjaan, Risa duduk di bangku luar supermarket sambil menunggu ojek untuk pulang.

Tangan kanannya menggenggam plastik belanja, sementara tangan kirinya menggenggam ponsel—masih tanpa pesan baru dari Aditya.

Matanya memandangi layar, lalu langit senja yang mulai berubah jingga.

Sebagian orang pulang ke rumah mereka dan sebagian lainnya menunggu dijemput orang tercinta.

Sebelum memesan ojek untuk pulang, Risa memutuskan berjalan kaki sebentar menyusuri jalanan di sekitar supermarket.

Langit senja mulai beranjak gelap, tapi aroma dari gerobak mie tek tek di ujung jalan menarik perhatiannya.

“Mie tek tek satu, Bang. Pedas sedang, ya,” katanya pelan.

“Siap, Mbak!” sahut si penjual dengan senyum ramah.

Sementara mie dimasak, Risa menatap gerobak es buah yang berada tak jauh dari sana.

Ia berjalan mendekat dan memesan semangkuk.

Es buah itu favoritnya sejak kuliah dan Kirana tahu itu. Bahkan dulu, setiap kali mereka bertengkar atau Risa sedang kesal, Kirana akan diam-diam membelikannya es buah sebagai ‘senjata damai’. Sekarang, Risa membeli sendiri. Untuk dirinya sendiri.

Setelah mie selesai dibungkus dan es buah dipegang erat, ia duduk sebentar di bangku kecil pinggir jalan.

Lampu kendaraan lalu lalang, ramai tapi tak ada satu pun yang ditujukan untuknya.

“Sendiri lagi,” gumamnya, menatap gelas plastik es buah di tangan.

“Dan masih lima… atau enam hari ke depan.”

Aditya saat ini sedang bertugas di luar negeri. Maskapai tempatnya bekerja mengharuskan penerbangan jarak jauh, kadang seminggu baru kembali, kadang lebih.

Sejak menikah, Risa sudah terbiasa ditinggal. Tapi ‘terbiasa’ tak pernah benar-benar membuat semuanya jadi lebih mudah.

Ia menarik napas pelan, lalu memesan ojek kembali ke rumah.

Hari mulai malam. Tapi rumah tetap sama: kosong, dingin, dan sunyi.

Bedanya, kali ini ia membawa mie hangat dan sedikit rasa manis yang dulu pernah membuatnya tertawa.

Walau sendirian, ia masih mencoba bertahan.

Malam itu, rumah terasa lebih hening dari biasanya.

Jam dinding berdetak lambat, seolah waktu ikut tenggelam dalam kesunyian yang membungkus kamar.

Risa sudah mencoba memejamkan mata, tapi matanya tetap terbuka, menatap langit-langit.

Di sebelah tempat tidur, sisi ranjang milik Aditya kosong. Rapi.

Tak terganggu. Bantalnya tak pernah disentuh sejak terakhir kali ia pulang.

Risa duduk, menarik selimut dari kakinya, lalu bangkit.

Ia berjalan ke meja kecil di sudut kamar, menyalakan lampu meja, dan membuka laptop yang sudah lama tidak ia sentuh untuk hal selain pekerjaan rumah tangga.

Jari-jarinya berhenti sebentar di atas keyboard. Ada keraguan.

Tapi kemudian ia membuka tab baru, masuk ke sebuah platform menulis yang dulu pernah menjadi tempat pelariannya dimana sebelum hidupnya berubah drastis.

"Daun Hujan", judul novel yang dulu sempat ia tulis setengah jalan.

Ia tersenyum kecil, getir. "Mungkin sudah saatnya aku menulis lagi.

Menceritakan sesuatu. Tentang luka. Tentang diam. Tentang rindu yang tak dijawab."

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Risa membuat akun baru. Kali ini, ia menggunakan nama pena:

"Sang Istri yang Tidak Diinginkan."

Bab pertama ia beri judul: "Menikah Karena Janji."

Dan mulai malam itu, di antara keheningan dan ketiadaan pelukan, Risa mulai menulis.

Menumpahkan rasa yang tak bisa diucapkan dan menyulam kalimat dari rasa sakit yang selama ini ia simpan dalam diam.

Karena menulis, baginya, adalah cara untuk tetap waras. Untuk tetap hidup. Dan mungkin... untuk menyembuhkan luka yang bahkan Aditya tak pernah tahu.

Risa mengetik tanpa henti malam itu. Kata-katanya mengalir dari hati yang terlalu lama membungkam luka.

Ia menulis seolah setiap kalimat adalah bisikan yang tak pernah berani ia ucapkan langsung pada Aditya.

{Aku menikah bukan karena cinta. Tapi karena janji dari seseorang yang akan mati.}

{Setiap pagi, aku menyambut pria yang tak pernah benar-benar menyapaku. Suamiku. Tapi bagiku, dia masih seperti langit malam yang jauh, dingin, dan hanya bisa kulihat tanpa bisa kugapai.}

Begitu ia menyelesaikan bab pertama, Risa ragu sejenak sebelum menekan tombol “Terbitkan”.

Tak ada ekspektasi. Ia hanya ingin mengeluarkan semua yang mengendap di hatinya. Satu bab. Satu napas. Satu luka.

Ia mematikan laptop dan kembali ke tempat tidur.

Namun pagi harinya, saat membuka kembali aplikasinya—ia terdiam.

Notifikasi masuk: 42 komentar. 350 pembaca. 120 likes.

Matanya membulat. Ia tak menyangka.

Beberapa komentar menyentuh hatinya:

~ @PecintaFiksi: “Aku seperti membaca isi hatiku sendiri. Kamu nggak sendirian.”

~ @HatinyaIstri: “Tolong lanjutkan. Sakit tapi indah. Aku nangis baca ini.”

~ @BintangSepi: “Suamiku juga seorang pilot. Dan... dia juga begitu. Terima kasih sudah menulis ini.”

Risa memandang layar ponsel cukup lama. Ada perasaan hangat, asing, tapi melegakan.

Ternyata ada orang-orang di luar sana yang mengerti. Yang merasa sama.

Yang ikut merasakan pedih yang selama ini ia kira hanya miliknya.

Ia tersenyum tipis, mata berkaca-kaca.

Untuk pertama kalinya sejak menikah, Risa merasa dilihat.

Bukan oleh Aditya. Tapi oleh dunia yang mengerti rasa sunyi. Dan ia tahu, ia harus melanjutkan tulisannya.

Risa terus menatap ponselnya, membaca kembali komentar-komentar yang masuk satu per satu.

Setiap kata terasa seperti pelukan dari orang-orang yang tak pernah ia kenal sebelumnya, namun dengan cara yang sangat akrab.

Mereka semua berbagi rasa yang sama, sebuah perasaan yang terkubur dalam kesendirian, yang seringkali sulit untuk diungkapkan secara langsung.

Seolah-olah mereka mengerti apa yang ia rasakan tanpa perlu menjelaskan lebih jauh.

@PecintaFiksi, dengan kata-katanya yang sederhana namun menyentuh, membuka mata Risa akan kenyataan bahwa perasaan yang ia simpan ternyata bukan hanya miliknya.

Ada orang lain di luar sana yang merasakannya juga, yang mungkin sudah lama merasa terjebak dalam kesunyian yang sama.

Risa menutup matanya sejenak, meresapi kata-kata itu, dan merasa ada sebuah beban yang sedikit berkurang dari pundaknya.

@HatinyaIstri, yang menulis dengan penuh kejujuran dan emosi, membuat Risa merasa seolah-olah ia tidak lagi berdiri sendiri dalam kegelapan.

Terkadang, rasa sakit memang harus dialami, namun itu tidak berarti bahwa kita harus menanggungnya sendirian.

Ada orang lain yang bersedia berbagi beban itu, bahkan hanya dengan kata-kata yang tulus dan empatik.

Risa bisa merasakan kesedihan yang sama, dan di saat yang bersamaan, ada rasa kebersamaan yang menyelimuti hatinya.

Lalu, ada @BintangSepi, yang dengan tegas mengungkapkan bahwa ia juga menjalani kehidupan yang serupa. Suami yang seorang pilot, yang juga sering meninggalkan rumah untuk waktu yang lama, meninggalkan kesendirian dan rasa rindu yang tak terucapkan. Itu adalah kenyataan yang tak bisa dihindari, tapi Risa merasa terhubung dengan

@BintangSepi, seolah-olah mereka saling memberi tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam perjalanan ini.

Ada dunia yang lebih besar, dunia yang mengerti rasa kehilangan yang halus namun mendalam, yang terkadang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata langsung.

Risa merasa hangat di dalam dadanya. Untuk pertama kalinya sejak ia menikah, ia merasa ada yang melihatnya, benar-benar melihatnya, bukan hanya sebagai istri, tetapi sebagai seorang wanita dengan perasaan, dengan kesendirian dan kerinduannya sendiri.

Terkadang, saat kita merasa paling terasing, kita justru bisa menemukan kedamaian dalam mengetahui bahwa ada orang lain yang merasakan hal yang sama.

Dengan sebuah senyum tipis, Risa menyeka air mata yang tak sengaja menetes.

Ada rasa lega yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa yang muncul bukan karena Aditya dan bukan karena seseorang yang seharusnya paling mengerti dirinya, melainkan dari orang-orang yang tak dikenal, namun mampu merasakan dan mengungkapkan hal yang ia simpan dalam hati selama ini.

Ia membuka kembali aplikasi menulis yang sudah beberapa hari tidak ia sentuh.

Jari-jarinya terasa sedikit kaku, tetapi ia tahu, ia harus melanjutkan tulisannya.

Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri. Untuk melepaskan semua yang terpendam, dan untuk memberi ruang bagi perasaan-perasaan yang selama ini terabaikan.

Karena, dengan menulis, ia merasa dihargai. Bahkan jika itu hanya dalam bentuk komentar dari orang-orang asing yang bisa merasakan perasaan yang sama.

Risa menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menulis lagi.

Kali ini, dengan keyakinan bahwa tulisannya tidak hanya untuk dirinya. Ada orang di luar sana yang menunggu untuk merasa dipahami, seperti ia merasa dipahami.

Bab 3

Hari itu, Risa bangun lebih awal dari biasanya. Hatinya dipenuhi harapan.

Sudah hampir seminggu Aditya pergi, dan berdasarkan jadwal yang biasa ia tahu, hari ini seharusnya sang suami pulang.

Ia membersihkan rumah lebih rapi dari biasanya, menyiapkan makan malam spesial, sayur asem, ayam goreng kesukaan Aditya, dan sambal buatan

Kirana yang dulu sering ia tiru resepnya.

Ia bahkan mengenakan blus putih sederhana yang pernah dikatakan Aditya cocok untuknya meskipun itu hanya sekali, dan sudah lama sekali.

Sore datang. Risa mengecek ponsel.

Tidak ada pesan.

Tapi ia yakin Aditya lelah. Mungkin belum sempat memberi kabar.

Ia tetap menunggu di ruang tamu, duduk sambil memandangi jam dinding yang terasa berdetak terlalu lambat.

Pukul tujuh malam. Masih belum ada kabar. Ia mulai gelisah.

Tangannya membuka aplikasi penerbangan, melacak rute pesawat yang kemungkinan membawa Aditya kembali.

Tapi sesuatu terasa ganjil.

Aditya tidak ada dalam daftar penerbangan hari ini. Jantung Risa berdebar. Ia akhirnya mengirim pesan:

[Kamu jadi pulang hari ini?]

Tidak ada balasan dari Aditya yang sekarang entah berada dimana.

Setengah jam kemudian, akhirnya sebuah pesan masuk.

[Maaf. Gak bisa pulang minggu ini. Ada perubahan jadwal]

Satu kalimat. Tanpa penjelasan. Tanpa nada rindu. Tanpa tanya kabar.

Risa menatap layar cukup lama. Lalu meletakkan ponsel di meja.

Makan malam yang ia siapkan masih hangat. Tapi ia tak sanggup menyentuhnya.

Ia berjalan perlahan ke kamarnya, membuka laptop, dan kembali menulis.

Menulis tentang wanita yang menunggu. Tentang cinta yang terasa seperti menatap bandara kosong yang selalu berharap seseorang muncul, tapi tak pernah ada yang benar-benar datang.

Berikut kelanjutan dari cerita dalam novel Risa yang ia tulis di platform menulis:

Bab Baru Novel Risa: “Kecewa yang Tidak Pernah Didengar”

Aku menunggu dengan meja makan yang penuh, tapi hanya aku yang lapar. Lapar akan kepulangan, akan kabar, akan alasan. Tapi tak ada yang datang selain kenyataan bahwa aku selalu menjadi yang terakhir ia pikirkan.”

Katanya cinta bisa menerima segalanya. Tapi bagaimana kalau yang kita terima hanya sepi dan diam?”

Aku kecewa. Tapi tak bisa marah. Karena sejak awal, aku hanyalah bayangan dari perempuan yang ia cintai.

Bab baru itu hanya terdiri dari beberapa paragraf yang Aira ketik.

Namun dampaknya luar biasa.

Beberapa menit setelah dipublikasikan, kolom komentar mulai penuh:

@AirMataSenja: “Kenapa tulisan ini seperti hidupku? Aku nangis bacanya...”

@IstriYangMenunggu: “Aku juga pernah menyiapkan makan malam. Tapi yang datang malah alasan.”

@HampaDalamPernikahan: “Gak pernah nyangka ada yang bisa nulis rasa kecewa sedalam ini. Kak... tolong terus lanjutkan.”

@PenggemarRahasia: “Tiap malam aku tunggu update-nya. Rasanya lega tahu ada yang mewakili isi hati.”

Risa membaca komentar satu per satu. Matanya basah, tapi kali ini bukan hanya karena luka—melainkan karena ada kekuatan dalam kepedihan yang dibagikannya.

Tulisannya mungkin tentang dirinya sendiri, tapi ternyata itu juga tentang banyak orang lain.

Ia menutup laptop perlahan, menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia membiarkan dirinya menangis tanpa harus berpura-pura kuat.

Malam itu, ia tak sendirian. Ia ditemani ratusan hati yang juga kecewa, juga diam, juga mencoba bertahan.

*****

Pagi itu, langit tampak mendung. Udara lembap menusuk kulit, seolah ikut meresapi kesedihan yang disimpan Risa dalam diam.

Ia membawa sekeranjang bunga lili putih favorit Kirana dan langkahnya pelan menyusuri jalan setapak menuju makam sahabat yang dulu seperti saudara kandungnya sendiri.

Di hadapannya, batu nisan itu berdiri tenang. Sederhana, tapi bersih dan terawat. Seolah Kirana memang selalu menjaga kerapihan, bahkan dalam keabadian.

Risa berjongkok, meletakkan bunga satu per satu di atas pusara. Tangannya gemetar. Dadanya sesak.

“Maaf, Kirana…” bisiknya pelan.

“Aku mencoba kuat. Tapi aku lelah.”

Air mata mulai membasahi pipinya. Tangis yang sudah lama ditahan akhirnya pecah. Ia memeluk nisan itu, tubuhnya bergetar hebat, seperti anak kecil yang mencari pelukan ibu.

“Aku nggak tahu... ini yang kamu inginkan atau bukan. Aku nggak tahu harus terus bertahan atau berhenti.”

Tangisnya berubah jadi sesenggukan. Suaranya nyaris tak terdengar, teredam oleh rasa rindu dan kecewa yang menumpuk.

“Aku sayang kamu. Tapi aku hancur di sini sendirian.”

Hening.

Hanya angin yang menjawab. Daun-daun kering beterbangan pelan di sekitar makam.

Seolah semesta ikut diam, memberi ruang bagi duka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Risa akhirnya duduk bersandar di tanah. Wajahnya basah, matanya sembab.

Tapi untuk sesaat, ia merasa damai. Di tempat ini, ia bisa menangis tanpa ditanya kenapa.

Bisa mengeluh tanpa takut disalahkan. Bisa jujur, tanpa takut diabaikan.

Karena Kirana, bahkan setelah tiada, masih menjadi satu-satunya tempat ia merasa dilihat sepenuhnya.

Langkah Risa meninggalkan area makam begitu pelan, seolah setiap langkah adalah usaha melepaskan beban yang menempel di dadanya sejak pagi tadi.

Hatinya sedikit lebih ringan setelah meluapkan semua yang ia simpan di depan nisan Kirana.

Namun saat ia hendak memesan ojek untuk pulang, suara familiar memanggil dari arah belakang.

"Risa? Risa Maharani?”

Ia menoleh dan sedikit bingung saat ada seseorang lelaki yang memanggil namanya.

Seorang pria berdiri tak jauh darinya. Wajahnya tampak dewasa dan rapi, mengenakan kemeja santai dan celana jeans.

Namun ada sesuatu dari senyumnya yang membangkitkan kenangan lama.

“Stevanus?” Risa memicingkan mata, masih tak percaya.

Pria itu tersenyum lebar. “Akhirnya kita ketemu lagi.”

Stevanus teman masa kecilnya yang dulu tinggal di rumah seberang sebelum pindah ke luar kota saat SMP.

Mereka dulu sering bermain sepeda bersama, menulis puisi di buku lusuh, bahkan saling bertukar cerita tentang cita-cita.

Risa nyaris tak mengenalinya. Tapi sorot matanya tetap sama—hangat dan jujur.

“Udah lama ya...” kata Risa pelan.

"Dua belas tahun. Tapi kamu nggak banyak berubah,” jawab Stevanus.

Mereka pun berjalan beriringan keluar dari area pemakaman. Obrolan mereka mengalir pelan, ringan, tapi menyenangkan—seperti menyambung kembali benang yang sempat putus.

“Ngapain di sini?” tanya Risa.

“Nengok makam Ibu. Dan kamu?”

Risa tersenyum tipis. “Sahabat.”

Stevanus menatap Risa sejenak, seolah melihat lebih dalam dari sekadar permukaan.

“Kalau kamu butuh teman ngobrol... aku di kota ini beberapa minggu. Jangan ragu, ya.”

Risa hanya mengangguk. Tak menyangka ada pertemuan hangat di tengah hari yang ia kira hanya akan dipenuhi duka.

Dan saat ia naik ojek untuk pulang, ada perasaan asing yang tumbuh di hatinya bukan cinta, bukan pula rindu... tapi mungkin, harapan.

Pukul dua dini hari.

Risa kembali duduk di depan laptopnya, mencoba melanjutkan bab terbaru novelnya.

Malam-malam seperti ini selalu jadi waktu paling tenang untuk menulis, saat semua suara dunia menghilang dan hanya pikiran yang bicara.

Namun, ketenangan itu mendadak pecah oleh suara berisik dari jendela dapur.

Risa mendongak. Awalnya ia mengira itu hanya suara kucing atau angin.

Tapi saat ia mendengar suara logam bergesekan, tubuhnya langsung kaku.

Ia berdiri pelan, langkahnya tertahan di lorong menuju dapur.

Telinganya semakin awas. Ada bayangan bergerak di luar jendela.

Risa panik.

“Tolong! Tolong! Ada pencuri!” teriaknya sekuat tenaga sambil berlari ke depan pintu.

Jeritannya membangunkan warga sekitar. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, beberapa tetangga berlari keluar sambil membawa senter dan tongkat kayu.

Pencuri yang menyadari rumah mulai ramai langsung kabur sebelum berhasil masuk.

Tak lama kemudian, suara sirine terdengar dan sebuah mobil patroli berhenti di depan rumah Risa.

Dari dalamnya turun seorang polisi...

"Stevanus,"

“Risa?! Kamu nggak apa-apa?” ucapnya cemas, berjalan cepat menghampirinya.

Risa, yang masih gemetar, hanya menggeleng sambil menahan air mata.

“Aku... aku dengar suara. Aku takut...”

Stevanus memeriksa sekitar rumah bersama beberapa anggota polisi lainnya, memastikan semuanya aman.

Setelah semuanya terkendali, Stevanus kembali ke Risa.

“Untung kamu cepat teriak. Kalau telat sedikit...”

“Terima kasih, Van,” bisik Risa. Matanya berkaca-kaca.

Stevanus tersenyum, menatapnya dengan lembut. “Kalau kamu butuh aku, kapan pun, jangan ragu, ya.”

Dan malam itu, meski masih syok, Risa merasa sedikit lebih aman. Ada seseorang yang benar-benar peduli. Dan kali ini, bukan hanya lewat kata tapi lewat kehadiran nyata.

Setelah polisi memastikan bahwa rumah sudah aman dan pencuri berhasil melarikan diri tanpa sempat masuk, Risa masih duduk di ruang tamu dengan tubuh gemetar.

Matanya terus menerawang ke arah jendela, seolah bayangan pencuri itu masih ada di sana.

Ketukan pelan di pintu mengejutkannya.

“Risa, boleh aku masuk?” suara lembut itu datang dari Bu Ratmi, tetangga sebelah yang sudah seperti ibu sendiri sejak Risa dan Kirana pindah ke rumah itu.

Risa buru-buru membukakan pintu.

Bu Ratmi masuk sambil membawa termos berisi teh hangat dan selimut.

Tanpa banyak tanya, ia langsung duduk di samping Risa dan memeluknya dengan hangat.

“Namanya juga kejadian malam-malam, pasti bikin syok. Tapi kamu nggak sendiri, Nak.”

Pelukan itu terasa seperti dinding yang menahan Risa agar tidak runtuh.

Ia menunduk, air matanya jatuh lagi, kali ini bukan karena takut, tapi karena merasa diperhatikan.

"Terima kasih, Bu... aku benar-benar ketakutan tadi...”

Bu Ratmi menyodorkan teh. “Minum ini dulu. Biar badan kamu tenang.”

Malam itu, Bu Ratmi menemani Risa di ruang tamu. Mereka mengobrol pelan tentang Kirana, tentang rumah yang kini terlalu sunyi, dan tentang ketidakpastian yang Risa rasakan sejak menikah.

Tak ada nasihat panjang. Hanya kehadiran yang hangat. Dan kadang, itu lebih dari cukup.

Risa akhirnya bisa tertidur sebentar di sofa, berselimutkan perhatian tetangga yang seperti keluarga, sementara jam di dinding terus berdetak perlahan menuju pagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!