Melihat handphonenya bergetar-getar di atas meja, Olivia yang baru saja kembali dari kamar kecil mempercepat langkahnya.
Tinggal 2 langkah panggilan masuk itu berhenti sebelum sempat diangkat.
Olivia mengernyit saat melihat bukan hanya mama yang puluhan kali menghubunginya tapi ada 6 panggilan tidak terjawab dari IPAR SONGONG yang punya nama asli Thomas Aditama.
Firasat Olivia langsung tidak enak karena seumur-umur mengenal Thomas sejak statusnya masih pacar Rosa, kakak Olivia, pria itu tidak pernah sekalipun mengirim pesan sekedar basa basi apalagi menelepon Olivia.
Pasti ada sesuatu yang sangat penting entah soal Rosa atau Gaby, putri mereka yang baru berumur 5.5 tahun.
Alergi menghubungi Thomas, Olivia memilih menelepon balik sang mama tapi sampai 3 kali mencoba, panggilan Olivia berakhir di mesin penjawab otomatis.
Dengan sangat terpaksa akhirnya jempol Olivia menekan nomor Thomas tapi belum sampai terdengar nada sambung, dua pesan singkat diterima dari nomor Ipar Songong.
“Ya Tuhan !” desis Olivia dengan wajah terperanjat.
Seluruh tubuhnya langsung lemas dan sempat terhuyung, untung saja Nindya yang baru keluar dari ruangan kepala divisi masih sempat menahan Olivia dan mendudukannya di kursi.
“Ada apa Liv ?” tanya Nindya dengan dahi berkerut.
“Elo sakit ?”
Kepala Olivia menggeleng pelan dan matanya mulai berkaca-kaca. Nindya pun mengambil handphone rekan kerjanya itu yang jatuh di lantai.
“Mau pulang sekarang atau ke rumah sakit ? Siapa yang sakit ?” tanya Nindya lagi karena ia tidak bisa melihat pesan di handphone Olivua yang sudah terkunci.
Masih sambil menutupi mulutnya, Olivia pun terisak. Nindya langsung bisa menebak kalau berita yang diterima Olivia bukan tentang keluarga yang sakit atau kecelakaan.
Nindya langsung memeluk Olivia dan mengusap-usap punggungnya.
“Mbak Rosa, Nin. Mbak Rosa meninggal.”
“Yang tabah Liv. Elo pasti kuat !”
*****
Gundukan tanah merah yang masih basah itu sudah tertutup bunga tabur seluruhnya. Beberapa rangkaian bunga dukacita diletakkan dekat nisan sementara yang terbuat dari kayu.
Hanya tinggal Olivia seorang diri berdiri di samping makam Rosa sambil meneteskan air mata.
Gaby sudah dibawa kembali ke mobil oleh orangtua Thomas. Bocah yang masih TK itu belum terlalu paham dengan kepergian Rosa hanya bisa menangis sambil merengek menyuruh maminya membuka mata.
Sedangkan Thomas langsung menghilang usai melakukan tabur bunga di atas makam istrinya sebagai bentuk formalitas belaka.
Pria itu membawa mobilnya seorang diri, meninggalkan pemakaman tanpa peduli pada pelayat yang datang memberikan penghormatan untuk Rosa.
Thomas benar-benar aneh ! Olivia menangkap ada sesiatu yang tidak beres dengan kakak iparnya.
Selama di rumah duka, Thomas tidak pernah bisa duduk tenang di dekat peti mati istrinya malah kadang-kadang baru datang menjelang sore tanpa memberikan alasan.
Beberapa kali Olivia dibuat geram karena Thomas tidak bisa ditemukan dimana-mana padahal saat itu beberapa pelayat yang datang adalah kenalannya.
Semula Olivia berpikir sikap Thomas adalah ungkapan kesedihan seoarang suami yang tiba-tiba saja ditinggal pergi istri yang sangat dicintainya atau bentuk penyesalan karena belakangan rumah tangga mereka dipenuhi pertengkaran yang mungkin menyakiti hati Rosa.
Ternyata tebakan Olivia salah semua. Saat upacara penutupan peti, mata Olivia baru terbuka lebar.
Wajah pria yang lebih tua 10 tahun darinya tidak kelihatan sedih sama sekali apalagi berharap melihat Thomas mengeluarkan air mata karena tidak bisa lagi mrlihat wajah Rosa untuk selama-lamanya.
Malah Olivia melihat Thomas kelihatan lega dan bahagia saat jenazah Rosa sudah berada di dalam peti yang tertutup rapat dan tidak bisa dibuka begitu saja.
Olivia tidak membenci Thomas sebagai pilihan Rosa hanya tidak suka padanya sejak pertama kali Rosa mengajaknya ke rumah.
Thomas memberi kesan sombong, tatapannya seperti merendahkan termasuk pada orangtua kekasihnya.
Waktu itu Rosa sempat membantah dan menertawakan penilaian Olivia yang masih duduk di bangku SMA kelas 12.
“Dia memang begitu Liv, introvert dan pendiam tapi percaya deh kalau Thomas itu sebenarnya baik dan sangat perhatian. Dia adalah calon suami idaman,” bela Rosa.
“Susah kalau udah bucin,” cibir Olivia. “Baik darimananya ? Udah jelas-jelas cowok itu sombongnya nggak ada obat, cara ngomongnya tinggi dan tatapannya meremehkan orang !”
“Sotoy kamu, Liv !” ledek Rosa sambil mengacak-acak poni Olivia dengan gemas.
“Pacaran aja belum pernah tapi yakin banget menilai cowok di pertemuan pertama. Kalau begini terus, Mbak yakin kamu bakalan susah dapat pacar.”
“Nyumpahin ?”
Wajah Olivia langsung cemberut dan bibirnya mengerucut membuat Rosa tergoda untuk mencubit kedua pipi adiknya yang agak chubby meski tubuh Olivia termasuk kurus.
”Bukan nyumpahin tapi ingetin kamu, Olivia sayang. Kalau kamu hanya melihat kelemahan dan kekurangan cowok yang ngedeketin kamu selamanya kamu nggak bakalan mau pacaran. Kalau perlu jalani dulu supaya kamu bisa melihat kelebihan dan kebaikannya baru timbang-timbang mana yang lebih berat .”
“Malas banget ngikutin cara kakak, buang-buang waktu ! Aku anti banget sama cowok kayak Tom, mendinhg langsung cari cowok lain.”
Rosa tertawa melihat raut wajah Olivia yang misuh-misuh. Perbedaan usia mereka sekitar 7 tahun tapi Olivia adalah teman bicara yang menyenangkan buat Rosa.
Sifat Olivia yang blak-blakkan, masih polos dan apa adanya membuat pikiran Rosa yang sudah dipenuhi urusan pekerjaan jadi lebih terbuka. Jawaban spontan Olivia membuat hatinya yang suka suntuk karena kelelahan jadi terhibur.
Tiba-tiba terdengar suara guntur yang cukup keras. Olivia mendongak dan baru sadar kalau langit mulai gelap. Sepertinya alam ikut berduka dengan kepergian Rosa yang tiba-tiba.
Olivia menhapus air mata yang membasahi pipinya sebelum mengambil beberapa tangkai mawar putih dari rangkaian bunga yang ada di situ lalu diletakkannya di tengah-tengah makam Rosa.
“Beristirahatlah dengan tenang mbak, nggak akan ada lagi yang bisa bikin mbak kesal apalagi sakit hati. Aku akan membantu menjaga Gaby, kalau perlu ikutan menyeleksi seandainya Tom mau nikah lagi. Aku nggak akan membiarkan Gaby menderita dengan kekejaman ibu tiri.”
Olivia menghela nafas dan tersenyum sebelum pergu.
“Selamat tinggal mbak Rosa, aku pasti akan selalu merindukanmu.”
Hati Olivia rasanya benar-benar kosong dan hampa saat menyadari tidak akan ada lagi ledekan Rosa yang senang melihatnya kesal dan ngomel-ngomel.
Tidak akan ada lagi rutinitas betukar kabar minimal 3 kali dalam semunggu atau panggilan telepon Rosa yang bilang sedang kangen mendengar suara Olivia.
Di samping mobil, papa masih berdiri menunggu Olivia. Dipeluknya tubuh mungil putri bungsunya yang kembali menangis.
”Ikhlaskan kepergian kakakmu supaya jalannya dilapangkan. Tuhan sayang sama Rosa makanya dia nggak menderita lama-lama meskipun berat untuk kita yang tiba-tina saja ditinggal pergi olehnya.”
Olivia melerai pelukan papa dan mencoba tersenyum ikhlas.
“Kita pulang sekarang, Pa.”
Papa balas tersenyum dan membukakan pintu penumpang belakang. Di dalam mama sudah menunggu sedangkan Gaby sudah dibawa pulang oleh orangtua Thomas.
Sekitar pukul sepuluh pagi Olivia keluar dari kamarnya, sudah mandi tapi mengenakan pakaian rumah.
Terpaksa hari ini ia tidak masuk kantor lagi karena sakit. Jam 5 subuh Olivia terbangun dan muntah-muntah sampai asam lambungnya ikut keluar.
Sampai di ujung tangga dilihatnya mama sedang ngobrol di telepon sambil mondar-mandir, dari nada suaranya terdengar sedang kesal tapi entah siapa yang jadi lawan bicaranya Olivia tidak bertanya bahkan saat mereka berpapasan di lantai dasar.
Olivia langsung ke dapur untuk sarapan yang terlambat. Nafsu makannya belum normal tapi perutnya harus diisi atau sakitnya tambah parah.
“Kok nggak kerja lagi, Liv ? Lagi sakit atau cuti ?” tanya mama sambil menarik kursi lalu duduk persis berseberangan dengan Olivia.
“Kayaknya masuk angin, Ma. Tadi pagi sempat pusing dan muntah tapi sekarang sudah enakkan. Mama kenapa ?”
Mama Ina menarik nafas panjang dan meneguk air putih yang baru dibawakan bik Jum.
“Tom benar-benar kelewatan !” oceh mama.
“Kenapa lagi ?”
“Dia tidak kasih tahu mama kalau acara doa tujuh hari kakakmu nanti malam dibatalkan dengan alasan sudah serah terima dengan pembeli rumah.”
“Maksud Mama rumah mbak Rosa dijual ?” tanya Olivia dengan mata membola.
“Hhhhmmm.” Mama mengangguk dengan lesu “Tom sudah kasih tahu mama tapi nggak bilang langsung serah terima sehari sesudah transaksi.”
Wajah Olivia kelihatan kesal. “Rumah itu yang beli mbak Rosa dan setahuku surat rumahnya juga atas nama mbak Rosa.”
“Mereka nggak punya perjanjian pisah harta jadi Tom berhak menjadi ahli warisnya.”
Mama Ina kembali menarik nafas dalam-dalam dan menghelanya perlahan-lahan.
“Lalu dia kemanakan barang-barang milik mbak Rosa ? Jangan bilang dia menjual rumah itu beserta seluruh isinya.”
“Mama belum tanya soal itu dan sekarang Tom tinggal di apartemen tapi Gaby dititipkan ke orangtuanya karena dia tidak bisa cuti lama-lama untuk mengurus Gaby.”
Sekarang Olivia yang menarik nafas lalu meneguk susu hangatnya dengan niat ingin meredakan emosi.
“Mobil Rosa juga sudah dijual,” ujar mama.
“Mama serius ?” Mata Olivia kembali membola saking kagetnya dan melengos kesal saat kepala mama mengangguk
“Benar-benar kelewatan !” geram Olivia sampai memukul meja.
“Aku tahu kalau semua kepunyaan mbak Rosa adalah miliknya juga tapi minimal dia memberitahu mama dan papa sebelum menjualnya pada orang lain atau dia bisa menawarkan kita untuk jadi pembelinya, mungkin untuk kenang-kenangan.”
“Papa bilang biarkan saja dan tidak usah dipermasalahkan, toh semua itu hanya benda mati. Kenangan tentang Rosa tidak akan pernah hilang di hati dan ingatan kita.”
“Apa papa dan mama nggak curiga sama Tom ?” tanya Olivia dengan mata menyipit.
“Curiga untuk apa ?”
“Waktu di rumah duka, Tom terlihat biasa-biasa saja, seolah mbak Rosa bukan siapa-siapanya. Awalnya aku pikir dia berusaha tegar demi Gaby tapi kalau seperti ini kelanjutannya, bukan tidak mungkin Tom memang mengharapkan mbak Rosa meninggal.”
“Jangan menuduh orang sembarangan, Livi ! Kita tidak tahu apa yang Tom rasakan sekarang. Sejak awal kita sama-sama tahu sifatnya yang pendiam dan tertutup dan Rosa juga tidak banyak bercerita soal suaminya.”
Olivia tidak langsung merespons karena ia baru saja teringat soal pertemuan terakhir dengan Rosa, sekitar 5 hari sebelum kakaknya meninggal.
Sebelum berpisah, Rosa kembali menegaskan supaya Olivia merahasiakan obrolan mereka dari papa dan mama tapi sekarang Olivia tidak yakin harus menuruti permintaan Rosa.
“Kamu kenapa lagi, Livi ? Masih pusing ? Mau mama temani ke dokter ?”
Tidak ingin gegabah dan merasa bukan waktu yang tepat untuk bercerita pada mama, Olivia pun menunda niatnya dan menggelengkan kepala.
“Nggak usah, Ma. Aku hanya perlu banyak istirahat dan tidur.”
Handphone mama berdering, Olivia sempat melirik tulisan di layarnya : Yuli, Mama Thomas.
“Sepertinya doa tujuh hari kakakmu akan mama adakan di sini saja nanti malam.”
“Boleh. Kalau mama butuh bantuanku bilang aja.”
Mama mengangguk dan menekan logo centang biru untuk menerima panggilan dari maminya Thomas.
***
Tamu yang hadir malam ini didominasi oleh teman-teman papa dan mama dari lingkungan di sekitar rumah.
Mengingat acara ini benar-benar mendadak, keluarga bersyukur masih cukup banyak yang menyempatkan diri untuk datang, jumlahnya sekitar 30 orang termasuk keluarga Thomas dan Rosa.
Gaby terlihat lebih baik malam ini bahkan bocah itu sudah bisa tertawa dan bercanda dengan Olivia. Mungkin karena terbawa suasana yang cukup ramai atau kedua orangtua Thomas berhasil membuat Gaby pelan-pelan menerima kepergian maminya.
“Tom nggak datang, Ma ?” bisik Olivia saat acara hampir dimulai.
“Tante Yuli bilang Tom mendadak harus ke Bandung sama bossnya.”
“Tapi acara malam ini untuk mendoakan istrinya bukan pesta hura-hura !” omel Olivia dengan suara ditahan.
“Mama juga belum tanya detilnya, Livi tapi tante Yuli bilang Tom sudah bicara dengan om Wisnu. Bisakah kita bahas setelah acara selesai ? Tahan emosimu dulu, setidaknya untuk menghormati kakakmu.”
Olivia sempat menggerutu namun kepalanya mengangguk, membiarkan mama duluan bergabung dengan tamu-tamu yang sudah siap melaksanakan doa bersama.
“Auntie duduk di sebelah Gaby, ya ?”
Bibir Olivia langsung tersenyum melihat Gaby bukan hanya berdiri di dekatnya tapi jemari mungil itu sudah menggandengnya.
“Boleh dong.”
Keduanya menyusul dan duduk di bangku kosong yang sudah disiapkan untuk keluarga. Olivia sempat menghela nafas saat melihat satu bangku kosong yang disiapkan untuk Thomas.
Hanya cukup membayangkan sosok Thomas dan menyebut namanya di dalam hati, emosi Olivia langsung ingin meledak.
Batas toleransi Olivia sudah mentok, tidak bisa ditambah apalagi dikurangi karena menurutnya kelakuan Thomas sudah sangat kelewatan.
Tidak peduli dia manusia paling introvert di dunia, sungguh tidak pantas seorang suami malah memilih pergi tugas keluar kota di malam peringatan kematian istrinya.
Niat Olivia yang ingin tetap fokus selama acara doa langsung buyar, pikirannya malah dipenuhi sejumlah rencana menghadapi Thomas termasuk mengajaknya bertemu. Manusia seperti itu harus diberi pelajaran karena sudah melewati batas kewajaran.
Gaby yang sejak tadi memperhatikan tingkah auntie-nya mengerutkan dahi, tangannya menarik-narik lengan baju Olivia dan memintanya untuk mendekat.
“Auntie kenapa ?” bisik Gaby persis di telinga Olivia.
“Nggak apa-apa,” sahut Olivia dengan suara berbisik pula dan menutupi mulutnya.
“Lagi mikirin pacar ya ?” ledek Gaby sambil cekikikan.
‘Hush !” Olivia meletakkan telunjuk di bibirnya sendiri lalu dengan gerakan isyarat mengajak Gaby kembali fokus pada acara yang sebentar lagi akan selesai.
Gaby mengangguk-anggukkan kepala sambil senyum-senyum. Sesekali ia melirik Olivia yang kelihatan serius tapi Gaby tahu auntie-nya tetap saja tidak fokus.
Malamnya setelah para tamu pulang, Gaby merengek supaya diperbolehkan menginap di rumah keluarga maminya tapi tidak mungkin karena belum waktunya libur.
Jarak sekolah Gaby dari rumah orangtua Rosa cukup jauh.
“Beneran ya, auntie bakalan ngajak aku jalan-jalan kalau liburan nanti.”
“Hhhhmm iya auntie janji.”
“Sama pacar auntie ?” tanya Gaby dengan mata menyipit.
Spontan kedua orangtua Olivia dan Thomas yang berdiri di dekat situ langsung menghentikan obrolan mereka dan menatap Olivia dengan wajah bingung.
“Kamu kok nggak bilang-bilang kalau udah punya pacar, Livi ?” Mama mendekati Olivia dan menatapinya penuh selidik.
Gaby cekikikan saat Olivia melotot kepadanya sambil bertolak pinggang.
Sudah larut malam tapi mata Olivia masih belum bisa terpejam, kemungkinan karena terlalu lama tidur siang efek dari minum obat masuk angin.
Sambil duduk di atas ranjang, Olivia melihat-lihat koleksi foto-foto bersama Rosa di galeri handphonenya.
Tidak akan mudah menghapus rasa rindu dan kehilangan kakak satu-satunya apalagi hubungan mereka cukup dekat padahal Rosa sempat kuliah di Malang dan begitu diterima kerja di Jakarta, dia memilih kost karena sering pulang malam.
Olivia menghela nafas saat teringat tidak ada foto di pertemuan terakhir mereka padahal setiap bertemu, Rosa-lah yang paling bersemangat mengajak Olivia berfoto, mengabadikan kebersamaan mereka dengan alasan supaya bisa diperlihatkan pada anak cucu.
Belum pernah Rosa mengajak Olivia bertemu dadakan apalagi sampai tiba-tiba datang ke kantor dan memaksa adiknya keluar makan siang padahal belum waktunya.
Untung saja atasan Olivia berbaik hati, memberi ijin bahkan tidak menegurnya karena baru kembali ke kantor sekitar jam 2 siang.
Begitu melihat Rosa di lobi, firasat Olivia langsung tidak enak. Wajah kakaknya kelihatan pucat dan lesu, sangat berbeda dengan pembawaan Rosa yang selalu ceria setiap kali bersama Olivia.
Selain itu, Rosa tidak membawa adiknya pergi ke rumah makan favorit mereka tapi kali ini tujuannya ke mal berkelas yang ada di selatan Jakarta.
Olivia tidak menduga kalau Rosa bahkan sudah memesan ruang VIP di salah satu restoran yang cukup mewah padahal Olivia tahu kalau menu yang disajikan di situ bukan selera Rosa
Semuanya benar-benar berbeda karena hari itu Rosa lebih suka mendengarkan Olivia bercerita padahal biasanya Rosa-lah yang mendominasi pembicaraan dengan berbagai cerita dan petuah untuk Olivia.
Tidak lupa Rosa pasti menyelipkan pesan supaya Olivia mulai mencoba cari pacar karena tahun ini usianya sudah genap 24 tahun.
“Mbak Rosa lagi sakit ?”
Olivia tidak bisa menahan diri lagi untuk bertanya apalagi melihat Rosa sudah menggeser piringnya padahal masih banyak yang tersisa.
“Nggak, cuma capek dan agak stres karena target bulan ini belum tercapai selain itu Gaby sempat kena flu jadi aku agak kurang tidur.”
“Soal target masih ada waktu seminggu lagi,” hibur Olivia sambil memegang telapak tangan Rosa yang ada di atas meja.
Dalam hatinya Olivia sedikit bingung karena belum pernah Rosa dibuat stres dengan urusan kantornya.
“Iya. Terlalu banyak sales baru yang kurang pengalaman dan gampang menyerah,” sahut Rosa sambil berusaha tersenyum.
Melihat kalimat yang keluar dari mulut Rosa mulai agak panjang, Olivia menarik nafas lega.
“Terus kalau soal Gaby, kalau memang lagi rewel dan nggak mau sama susternya, Mbak kan bisa minta tolong sama kak Tom.”
Raut wajah Rosa mendadak berubah mendung dan beberapa kali ia menghela nafas berat.
“Aku bisa minta tolong Livi ?”
“Soal apa, Mbak ?” Olivia balik bertanya dengan perasaan sedikit was was.
“Tolong tinggal di rumahku dulu untuk menemaniku dan Gaby, biar di rumah nggak terlalu sepi.”
“Memangnya kak Tom kemana ?” Spontan Olivia kembali melempar pertanyaan.
“Ada tapi akhir-akhir ini dia lagi sibuk dan sering diminta menemani bossnya keluar kota. Ke depannya kemungkinan aku juga akan sering tugas keluar jadi kasihan Gaby sendirian di rumah, hanya dengan pembantu dan baby sitter.”
Olivia tidak menjawab malah menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan menatap Rosa yang menundukkan kepala dan mulai kelihatan gelisah.
“Ada masalah apa antara mbak Rosa dengan kak Tom ?”
“Nggak ada…..”
Rosa tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya malah mulai menangis. Olivia pun berpindah kursi mendekati Rosa lalu memeluknya.
“Aku siap memberikan pendapat meskipun belum punya pengalaman nikah.”
Olivia mencoba menenangkan hati Rosa dengan sedikit nyeleneh tapi Rosa bergeming, makin terisak sambil memeluk Olivia yang menunggu dengan sabar sampai Rosa bisa tenang kembali.
Kurang lebih 5 menit kemudian Rosa melepaskan pelukannya dan mengambil tisu yang ada di atas meja. Sudah tidak terdengar isakan lagi tapi Olivia bisa melihat kalau air matanya belum bisa berhenti mengalir.
“Apa kak Tom selingkuh ?”
Pertanyaan Olivia membuat mata Rosa membola saat menatap balik adiknya.
“Kamu kok berpikir seperti itu ?”
Olivia terkekeh. “Masalah rumah tangga yang bisa membuat wanita kuat seperti mbak Rosa nangis sesunggukkan begini biasanya soal suami yang selingkuh. Benar nggak tebakanku ?”
“Belakangan ini Tom memang sering marah-marah padaku dan berimbas juga pada Gaby tapi aku nggak yakin kalau dia selingkuh.”
Olivia pun tersenyum sinis.
“Dari dulu mbak Rosa selalu berpikir kalau kak Tom itu cowok yang baik padahal kalau menurut pandanganku dia nggak begitu. Mungkin benar introvert tapi bukan berarti dia cowok yang setia. Beberapa temanku cerita gimana pacar mereka yang kelihatan kuper dan nggak suka dekat-dekat sama cewek ternyata cowok pemangsa, ganas malah. Mereka lebih mudah jatuh ke dalam godaan dan gampang berpaling.”
“Aku percaya Tom bukan salah satu dari mereka.”
Olivia menghela nafas, wajahnya mulai kelihatan kesal dan merasa sia-sia memberikan masukan karena Rosa malah membela Thomas padahal hubungan mereka sedang tidak baik.
“Kalau mbak Rosa begitu yakin sama suami, masalahnya sekarang dimana ? Mbak Rosa yang aku kenal nggak bakalan melow begini kalau sekedar dimarah-marahin sama suami.”
“Makanya aku mau minta tolong sama kamu.”
“Minta tolong apa ? Tinggal di rumah mbak Rosa ? Aku menolak karena selain malas sering-sering melihat wajah juteknya, keberadaanku sebagai pihak ketiga malah bisa membuat masalah kalian berdua tambah runyam.”
“Aku mau minta tolong supaya kamu mendekati Tom dan….”
“What ? Mbak Rosa beneran lagi stres tingkat tinggi ?” protes Olivia dengan mata membola.
“Dengerin aku dulu, please.”
Olivia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan dengan harapan emosinya ikut keluar juga.
“Mungkin kalau kamu minta maaf karena selama ini sudah menganggapnya musuh, suasana hati Tom bisa lebih baik. Habis itu kamu dekati dia dan pancing-pancing soal perasaannya padaku dan Gaby terus yang terakhir aku ijinkan kamu bercerita soal gimana seorang Rosa di matamu, nggak selalu harus kelebihannya tapi ceritakan juga kekuranganku sama Tom. Buat dia merasa nyaman karena punya teman bicara yang bisa memberikan informasi dan mengerti kami berdua.”
“Ide gila, Mbak ! Mbak Rosa mau menempatkan aku sebagai penengah dalam rumah tangga kalian ? Mbak tahu kan resikonya ? Mbak tahu kan ada film yang judulnya Ipar adalah Maut atau novel Terjerat Gairah Kakak Ipar ?“
Olivia menggedikkan bahunya karena geli membayangkan ucapannya sendiri tapi Rosa malah tertawa pelan membuat Olivia mengerutkan dahi.
“Memangnya kamu berniat jadi orang ketiga dalam rumah tangga kami ?” ledek Rosa.
“Manusia tetaplah manusia, Mbak, aku pun nggak ada bedanya. Orang bilang benci dan cinta bedanya tipis seperti jarak bibir dengan hidung. Aku nggak pernah punya cita-cita punya suami kayak Thomas tapi permintaan mbak Rosa itu seperti memancing di air keruh dan jebakan buatku.”
“Mana mungkin aku berniat menjebakmu, Livi. Cowok-cowok yang pernah naksir sama kamu lebih ganteng dan masih muda dibandingkan Thomas.”
Olivia terdiam, kelihatan ia sedang memikirkan sesuatu sampai dahinya berkerut-kerut.
Baru kali ini Olivia merasa permintaan Rosa benar-benar aneh padahal yang ia tahu Rosa adalah wanita cerdas yang memiliki wawasan luas dan berpikir sistematis , itu sebabnya karirnya menanjak dengan pesat.
Lamunan Olivia buyar saat kedua tangan Rosa menggenggam jemarinya.
“Livi, aku serius soal permintaan untuk tinggal di rumahku. Lupakan ideku soal Tom tapi tolong kamu pikirkan Gaby. Saat ini dia sangat membutuhkan orang dewasa yang bisa dijadikan panutan sementara aku dan Tom terlalu sibuk dengan pekerjaan kami.”
“Aku akan pikir-pikir dulu.”
“Aku benar-benar mohon padamu, Liv. Soal papa dan mama, aku yang akan ngomong sama mereka.”
Olivia hanya menghela nafas, tidak berani langsunh mengiyakan permintaan Rosa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!