Rasanya pasti enak banget, kan, kalau kepala kamu diusap-usap kayak gini? Apalagi, sudah tiga hari tiga malam kamu nggak tidur demi jagain aku yang makin lama makin ngerepotin aja. Jujur, suasana malam ini nyaman banget karena kamu ada disini. Yah, kamu emang ada di samping aku tiap hari, sih. Tapi, sayangnya kita nggak bisa kayak gini lebih lama lagi.
Mau berdoa sebanyak apapun juga, sepertinya penyakit kanker darahku ini sudah ada di tahap yang benar-benar nggak bisa diobati. Walaupun keajaiban Tuhan itu memang ada, tapi aku lebih percaya kalau takdir kematianku itu lebih nyata.
Nael, ketahuilah kalau aku nggak bisa nahan air mata setiap ngebayangin kamu kesepian di rumah waktu aku udah nggak ada lagi di dunia. Aku yakin, kamu pasti kecewa berat karena segala doa dan usaha kamu buat nyembuhin penyakit ini ternyata nggak ada hasilnya sama sekali.
“Makasih banyak, ya, sayang.” Cuma itu saja yang bisa terucap untuk mengapresiasi segala usahamu selama ini. Aku harap kamu dapat mendengarnya dari dalam alam mimpi yang indah itu.
“Ughh…” Rasa nyeri di seluruh badanku sepertinya sudah datang untuk meneror lagi. Hah… nganggu orang mesra-mesraan aja.
Tapi, rasa sakit ini sepertinya mau mengingatkan untuk segera membuat sebuah peninggalan yang bakal diingat sama suamiku tercinta. Tujuannya jelas biar dia nggak berpaling ke wanita lain, walaupun aku udah meninggal. Enak aja Nael nikah sama cewek lain setelah dirawat dari zaman SMA. No way!
Maaf, ya, sayang, aku mau nulis sesuatu dulu buat kamu, jadi harus berhenti dulu diusap-usapnya.
“Mmnnn…” Oh no! Bayi gede ini ngerengek waktu tanganku ngambil buku harian di meja samping kasur. Bentar, ya, aku harus nulis ini sekarang karena udah nggak punya waktu lebih lama lagi.
Ketika tutup pulpen terlepas, aliran air dari mataku juga ikut semakin deras. Benar-benar sulit rasanya untuk meninggalkan kehidupan bersama Nael yang penuh bahagia ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Kalau takdir sudah berkehendak agar aku pergi lebih dulu, maka nggak ada pilihan lain lagi.
Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung menulis pesan terakhir yang menjadi peninggalan untuk suamiku tercinta. Rasanya kebetulan sekali pesan ini ditulis pada lembaran terakhir buku harian, seakan kematian sudah merencanakan ini semua.
Kepada suamiku tercinta, Emanuel ‘Nael’ Nathaniel.
Terima kasih banyak karena selama 7 bulan terakhir kamu udah berjuang demi kesembuhanku dari penyakit mengerikan ini. Tapi, sayangnya, aku harus pergi duluan untuk menikmati indahnya alam surga. Bukan berarti segala usaha yang kamu lakukan itu belum maksimal, tapi ini semua adalah kehendak semesta yang nggak bisa kita lawan. Jadi, jangan ngerasa bersalah atas kematianku.
Sebagai permintaan terakhir, aku ingin kamu tetap jadi orang yang baik seperti sekarang. Tetaplah jadi orang yang baik, adil, dan suka membantu orang-orang di sekitar, kayak yang biasa kamu lakuin. Walaupun dunia rasanya nggak adil, bukan berarti kamu juga harus berubah jadi orang yang jahat. Ingat, kamu itu praktisi hukum yang ikut menegakkan keadilan di masyarakat, lho. Jadi, jangan kehilangan jati diri kamu.
Selain itu, aku harap kamu selalu mengenangku sebagai seorang istri terbaik yang pernah kamu miliki. Itu artinya, kamu nggak boleh nikah lagi sama cewek lain, ya! Kalau kamu berani nikah lagi, bakal kugentayangin nanti!
Itu aja harapanku sama kamu, Nael. Intinya, aku cuma pengen kamu tetap hidup sebagai orang yang baik kayak sekarang ini.
I Love You to the Heaven’s Door. Aku mencintaimu hingga ke pintu surga.
-Felicia Putri Helena
Semoga kamu bisa baca setiap kata yang kutulis itu, ya, sayang. Soalnya tintanya jadi luntur karena terus-terusan dihujani air mata, hehehe.
Buku harian itu kuletakkan kembali di atas meja, sebelum memandangi wajah tampan Nael untuk yang terakhir kalinya. Tanganku lalu bergerak ke arah kepala yang tertidur di pinggiran ranjang untuk mengelus setiap helai rambutnya lagi. Sesekali, bibir kering ini juga tidak tahan untuk memberinya beberapa kecupan hangat.
Hanya berduaan bersama suami tersayang di tengah kesunyian malam adalah sesuatu yang paling aku butuhkan sebelum bertemu kembali dengan Sang Pencipta.
“I love you so much, sayang. Terima kasih atas segalanya.”
Selamat pagi tanaman-tanaman sialan! Nikmatilah kucuran air kecingku yang masih segar ini! Ahh… Harus diakui bahwa di dunia yang sudah tak berarti ini, buang air kecil di pekarangan rumah sendiri emang sesuatu yang pantas dicoba sekali dalam seumur hidup.
Walaupun banyak ibu-ibu yang melirik dengan tatapan jijik, tapi itu semua udah nggak masalah bagiku. Toh orang yang dulunya sering mainin ‘barang kecil’ ini udah nggak ada lagi di dunia. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirin kalau mau ngelakuin hal-hal yang aneh kayak gini, hahaha!
“Nael, ngapain kau di sana?!” Yah, kecuali yang satu ini. Dari suaranya, aku tahu persis siapa yang sebentar lagi bakalan muncul untuk mengganggu aktivitas pagiku.
“Oi, kenapa kau pipis di depan rumah kayak gini?! Mau dilaporin warga gara-gara ngelakuin aksi nggak senonoh di depan umum, hah?!” Seperti biasa, orang ini pasti menyapaku dengan nada yang nggak bisa santai. Dia adalah adik iparku, namanya Felix Putra Christian. Fakta uniknya adalah dia itu kembaran dari mendiang istriku. Benar sekali! Felicia dan Felix adalah saudara kembar buncing.
Hari ini, dia datang untuk melakukan inspeksi mingguan terkait kesehatan mentalku. Sejak kematian Felicia dua bulan yang lalu, semua orang menganggap kondisi mentalku berantakan hingga nyaris gila. Karena itu lah Felix sering mampir ke sini untuk melakukan pemeriksaan. Padahal, aku cuma nyoba ngelakuin hal-hal baru yang sebelumnya selalu dilarang sama Felicia. Itu aja, kok, nggak ada yang aneh, kan?
“Hei, Nael! Sadar dong, jangan ngelamun kayak gitu! Kau ini bikin aku takut aja.” Felix memengang kedua pundakku dan menggoyang-goyangkannya sambil memasang wajah yang terlihat khawatir.
“Singkirin tanganmu dariku, sialan!” Tanganku mengepis genggamannya dengan kasar. Orang ini nggak tahu seberapa berat tangan berototnya itu untuk pundakku yang kurus ini.
“Ngapain kau datang ke sini, sih? Aku ini nggak gila kayak yang dibilang sama orang-orang, tahu! Jadi, kau nggak perlu repot-repot gangguin aku pagi-pagi gini!” Bentakku mencoba mengusrinya dari sini.
Tapi, tentu saja itu nggak mempan sama sekali. Alih-alih pergi dari sini, dia justru menghela napas sambil menuntunku untuk masuk kembali ke dalam rumah. “Ikuti aku dulu. Ada sesuatu yang mau kutanyakan.”
...***...
Felix menyuruhku untuk duduk di sofa putih ini, sementara dia sibuk mencari sesuatu di laci meja TV. Aku tahu persis apa yang sedang ia cari di sana—buku harian milik Felicia, yang di halaman terakhirnya tersimpan pesan terakhirnya. Setiap kali datang ke sini, Felix pasti selalu memaksaku untuk membaca pesan terakhir itu.
Tapi selama ini, aku selalu menolak untuk membacanya. Menurutku, satu-satunya cara untuk move on dari peristiwa buruk adalah dengan melupakannya untuk selama-lamanya. Membaca pesan itu hanya akan membuka luka lama yang sedang berusaha kusembuhkan.
Setelah tak menemukan apa yang dicari, Felix menatapku dengan curiga. Matanya menyipit, seolah sudah tahu kalau aku menyembunyikan buku harian itu di suatu tempat.
“Dimana kau taruh buku harian Felicia?” Tanyanya datar, tapi penuh tekanan seperti polisi yang sedang mengintrogasi tersangka.
“Nggak tau. Intinya di tempat yang nggak lazim kau temui.” Jawabku singkat dengan sikap yang acuh tak acuh.
Felix mengangkat salah satu alisnya setelah mendengar ucapanku itu. Pandangannya kemudian melihat sekeliling, seperti seorang detektif yang mencari petunjuk. Hanya dalam beberapa detik saja, pandangan mata Felix langsung mencurigai tumpukan baju yang belum disetrika di pojok ruang tamu. Ya, di sana lah tempat dimana aku menyembunyikan buku harian Felicia.
“Usaha yang bagus, Nael.” Ucapnya sambil berjalan menuju tumpukan baju tersebut.
“Hei, jangan pergi ke sana, sialan!” Aku langsung melompat dan memeluk tubuh Felix dari belakang untuk menghentikan langkahnya. Meski tubuhnya lebih besar dan berotot, aku yakin dia akan kerepotan melawan lilitan badan yang kencang ini.
“Hei, lepasin, Nael!” Teriaknya sambil berusaha melepaskan genggamanku. “Oke, kau nggak ngasih aku pilihan lain.” Tiba-tiba, tangan besarnya mencengkram pergelangan kaki kananku, dan dengan satu gerakan cepat, dia melemparku hingga membentur tembok.
“Arghh! Itu sakit banget, anjing!” Aku mengerang sambil berusaha berdiri lagi untuk mencegah Felix yang semakin mendekat ke arah buku harian yang tersembunyi di sana. Tapi, sayangnya tubuh yang sudah ringkih ini tidak mampu untuk berdiri lagi. Padahal, waktu masih muda dulu, kita berdua suka sparing tinju di atas ring. Menyedihkan sekali, ya.
Begitu buku harian Felicia berhasil ditemukan, Felix langsung melangkah ke arahku sambil membuka halaman terakhirnya. Matanya menatapku dengan penuh harap dan sedikit memohon. Dia berniat untuk memaksaku membaca pesan terakhir yang ditulis oleh Felicia.
“Nael, aku mohon, bacalah ini sekali saja.”
“Nggak! Kalian semua pengen aku pulih, kan? Makanya aku nyoba buat ngelupain segala hal tentang Felicia biar aku bisa move on dan bangkit kembali!”
“Kau salah, Nael!” Suaranya yang keras terdengar menggema di seluruh ruang tamu. “Menerima takdir dengan ikhlas adalah cara terbaik untuk move on dan bangkit kembali!”
Ucapannya itu seperti pukulan telak ke dadaku. Entah kenapa, aku merasakan suatu kebenaran dalam kata-katanya yang membuat hatiku tertegun.
“Kalau kau bisa nerima kematian Felicia dengan ikhlas, aku yakin kau akan jadi lebih kuat dari sebelumnya. Percayalah padaku, Nael!”
Perlahan, air mataku mulai menetes ketika mulai sedikit menerima kematian Felicia. Selama ini, sepertinya aku selalu berusaha melawan kenyataan pahit itu. Segala perjuanganku untuk menyembuhkan kanker darah Felicia terasa sia-sia saat kematian tetap menjemputnya. Mungkin, alam bawah sadarku yang terluka mencoba melawan kekecewaan itu dengan cara melupakan segala sesuatu tentangnya. Tapi alih-alih membaik, kondisiku malah berbalik menjadi semakin buruk.
“Aku mohon, bacalah sekali saja.” Ucapnya pelan, sambil menyodorkan buku harian Felicia kepadaku.
Dengan tangan gemetar dan air mata yang mengalir deras, aku mulai membaca setiap kata yang ditulis oleh Felicia. Hatiku langsung terasa hancur. Selama dua bulan ini, aku telah berubah menjadi pribadi yang buruk, tidak seperti yang diharapkan oleh mendiang istriku.
“Nggak kusangka… harapan terakhirmu cuma pengen aku tetap jadi orang baik aja.” Bisikku pelan dengan suara parau. “Maafin aku, ya. Aku udah gagal menuhin permintaan terakhirmu. Ini semua terjadi karena aku terlalu pengecut untuk menerima takdir kematianmu.”
Aku memeluk buku harian milik Felicia dengan air mata yang terus mengalir. “Aku janji, kedepannya aku bakal kembali jadi orang baik yang selama ini kamu kenal!”
...***...
Setelah membaca harapan terakhir Felicia, aku memutuskan untuk pergi ke Bendungan Tirta Mega demi mencari sedikit ketenangan. Pemandangan air yang tenang dengan berhiaskan pepohonan hijau di sekitarnya merupakan sesuatu yang aku butuhkan setelah segala konflik batin yang terjadi pada pagi hari ini.
Tentu saja, Felix ikut bersamaku karena dia khawatir kalau-kalau aku nekat menenggelamkan diri di bendungan ini. Kekhawatirannya sangat bisa dipahami, tapi sejujurnya, aku hanya butuh waktu buat merenung sendirian aja.
Aku menyulut sebatang rokok, lalu menghirupnya dalam-dalam agar asapnya bisa menenangkan pikiran yang berlarian kencang ini. Rasa bersalah itu masih terasa menggerogoti hatiku. Felicia hanya meminta untuk tetap jadi orang baik seperti biasanya, tapi aku malah gagal untuk memenuhi harapan terakhir yang sederhana itu. Meski keputusan semesta atas kematiannya begitu mengecewakan, tapi kelakuanku selama dua bulan terakhir ini mungkin jauh lebih mengecewakan.
Tak hanya pada Felicia, aku juga merasa bersalah pada Felix. Dia selama ini merawatku dengan tulus, meskipun dia juga punya lukanya sendiri. Aku sadar bahwa perlakuanku yang kasar pasti pernah menyakiti hatinya—atau bahkan fisiknya.
Mungkin benar apa kata orang-orang bahwa aku sudah mulai menggila karena stres berat semenjak kematian Felicia. Tapi, berkat Felix, perlahan aku mulai bisa bangkit. Walaupun baru sedikit, tapi kemajuan tetaplah kemajuan.
Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa kedepannya aku akan terus membenahi diri sampai bisa kembali menjadi sosok yang dulu pernah dikenal oleh semua orang.
“Gimana, udah ngerasa baikan sekarang?” Tanya Felix sambil menghembuskan asap rokoknya. Aku hanya mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaannya itu.
“Lalu, apa yang mau kau lakukan setelah ini?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menghisap batang rokoknya.
“Mungkin aku mau buka kantor notarisku lagi. Udah dua bulan aku membiarkannya terbengkalai.”
“Oke, kapan kau mau buka lagi?”
“Kayanya besok, deh. Kenapa kau nanya?”
“Buat mastiin aja. Soalnya, aku mau ngosongin jadwal biar bisa bantu-bantu di kantormu.”
Aku tertawa kecil ketika mendengar ucapannya itu. Ketulusan hati Felix kali ini berhasil membuat hatiku terharu. Dia selalu ada untuk membantu di segala situasi, tanpa banyak tanya. Melihatku tertawa, Felix pun ikut tersenyum. Mungkin ini pertama kalinya dalam dua bulan terakhir dia melihatku tertawa.
“Makasih banyak, Felix.” Ucapku dengan tulus, sambil menikmati sedotan rokok terakhir untuk merasakan nikotin yang mengalir pelan di dalam tubuh.
Dari sini, entah kenapa aku bisa ngerasa bahwa semuanya akan jadi lebih baik. Meskipun begitu, aku juga nggak yakin kalau segalanya akan berjalan dengan lancar. Tapi, yah, apapun yang terjadi, terjadilah. Lagipula, apa lagi yang bisa jadi lebih buruk daripada kematian Felicia?
Ilustrasi Tokoh:
...Emanuel Nathaniel...
...Felicia Putri Helena...
...Felix Putra Christian...
Klank… klank… klank… Suara besi yang saling beradu itu terdengar seperti alarm pagi yang membangunkan seisi kota Andawana. Sekarang masih pukul 6.25 pagi, dan aku sudah harus berada di simpang utama kota yang masih sepi untuk memantau proses pemasangan baliho iklanku. Udara pagi yang masih sejuk bercampur dengan aroma aspal basah, menciptakan suasana khas kota yang baru saja bangun dari tidurnya.
Felix, yang kemarin berjanji untuk membantu, juga ada di sini. Dia berdiri di sampingku dengan tatapan mengikuti gerakan para tukang yang sedang sibuk memaku dan mengencangkan baliho. Mereka benar-benar bekerja dengan gesit dan lincah, sehingga pemasangan iklanku berjalan lebih cepat dari yang diperkirakan.
Saat gambar besarnya mulai dipasang, perlahan-lahan terlihatlah potretku yang menyilangkan tangan di depan dada dengan berhiaskan senyuman menyeringai. Yah, senyuman itu udah lama nggak nampak semenjak dua bulan terakhir. Di sampingnya, terdapat sebuah tulisan besar yang berbunyi “ENF Public Notary.” Ya, itu adalah merk dari kantor notarisku sendiri.
Bukan bermaksud sombong, tapi ENF Public Notary memang sudah jadi brand kenotariatan yang terkenal di seluruh provinsi Andawana. Orang-orang dari kabupaten yang jauh pun sampai rela untuk datang ke kota ini demi bisa menikmati kualitas layanan jasaku. Keren, kan?
Saat balihonya sudah selesai dipasang, ketiga tukang itu kemudian perlahan turun melalui tangga yang menyatu di tiangnya. Mereka terlihat lebih tua dariku, tapi fisik mereka jauh lebih bugar. Pekerjaan berat seperti ini jelas membentuk tubuh mereka menjadi kuat, berbeda denganku yang setiap hari hanya duduk di belakang meja kantor.
“Keren banget! Kalian bertiga kerjanya bener-bener cepet, ya!” Felix memuji ketiga tukang itu dengan suara dan binar mata penuh ketulusan.
“Ah, biasa aja, hahaha.” Jawab salah satu dari mereka sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Kami emang harus kerja cepat kaya gini, sebelum jalannya mulai ramai. Takutnya, kerjaan kami bisa ganggu kenyamanan mereka.”
“Wah, gitu, ya. Kalian baik banget!”
Benar apa yang dibilang sama Felix bahwa ketiga orang ini emang baik banget, sampai begitu pedulinya sama kenyamanan para pengguna jalan. Yah, aku rasa mereka pantas buat dapat bayarannya tersendiri.
Tanganku merogoh dompet di saku belakang untuk mengeluarkan beberapa lembar uang. Aku kemudian memberikan Rp300.000 kepada masing-masing tukang, tapi mereka malah menolak dengan sungkan.
“Ah, nggak perlu ngasih kami upah, Pak Nael. Kami udah dapet bayaran-”
“Nggak apa. Ini bayaran tambahan atas kerja bagus kalian. Tolong diterima, ya.” Aku memotong ucapannya dengan cepat, sambil meletakkan uang di tangan mereka.
“M-Makasih banyak…” Ucap salah satu tukang dengan suara lirih. Matanya terlihat menatap dengan penuh rasa syukur ke arah lembaran-lembaran uang itu.
Ring! Ring! Ring! Tiba-tiba, handphoneku berdering di saku belakang yang lain. Setelah kulihat layarnya, ternyata itu adalah sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. “Permisi sebentar.” Ucapku sambil sedikit menjauh untuk menerima telepon.
“Halo?” Ucapku datar, sambil menempelkan handphone di telinga.
“Halo, apa benar ini nomornya Notaris Emanuel Nathaniel?”
“Iya, dengan saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?”
“Iya, saya pengen ngurus surat keterangan hak waris.”
...***...
Sesampainya di kantor, Felix dan aku segera merapikan barang-barang yang masih berantakan. Siapa sangka, ada client baru yang tiba-tiba datang tepat setelah balihonya selesai terpasang. Yah, sepertinya ini adalah awal yang baik setelah dua bulan vakum dari ngurus perkara perdata masyarakat.
“Beruntung banget, ya, hari ini kau langsung dapet client. Mana orangnya datang dari Sentawar, lagi. Wah, garus iki!” Ucap Felix sambil menggeser beberapa kotak besar untuk ditaruh di gudang. Suaranya terdengar antusias dan matanya terus memantau sekeliling untuk memastikan semuanya rapi sebelum pelanggan datang.
“Yah, hitung-hitung nutupin pengeluaran setelah masang baliho, lah, ya.” Balasku dengan nada malas, sambil menyapu debu yang menempel di meja kantor.
Tapi, benar juga apa yang dikatakan oleh Felix. Hari ini aku bisa dibilang beruntung karena dapat client dari Kecamatan Sentawar, yang identik dengan industri perkebunan cengkehnya. Kalau urusan pelangganku kali ini berkaitan dengan warisan kebun cengkeh, bayaranku pasti nggak main-main.
Ding-dong! Suara bel kantorku berbunyi, yang menandakan bahwa si pelanggan pasti sudah ada di depan. Dengan gerakan cepat, tanganku membersihkan sisa-sisa barang yang masih berantakan, lalu bergegas menuju gerbang. Walaupun belum bersih banget, tapi seenggaknya kantorku jauh lebih enak dipandang daripada sebelumnya.
Sesampainya di depan, aku langsung membuka pintu gerbang dan menyambut pelanggan itu. “Dengan Raditya Hermawan?” Tanyaku dengan nada yang terdengar setengah hati. Mohon dimaklum, ya, soalnya kondisi mentalku masih belum terlalu pulih untuk memberikan pelayanan yang ramah kayak biasanya.
“Benar, saya Raditya Hermawan.” Jawabnya dengan nada yang canggung.
“Oke, silahkan masuk.”
Saat sudah ada di dalam ruangan, aku mempersilahkannya untuk duduk tepat di seberangku. Dia kemudian meletakkan berkas-berkas berwadahkan stopmap plastik di atas meja kerja yang menjadi pembatas di antara kita berdua.
Dengan gerakan pelan yang terlihat sedikit gugup, dia menyodorkan berkas-berkasnya ke arahku yang masih sibuk mengencangkan dasi. “Ini berkas-berkasnya. Mohon untuk diperiksa terlebih dahulu.” Ucapnya lirih, hampir terdengar seperti bisikan.
Tanpa banyak bicara, aku segera membuka stopmap plastik itu dan memeriksa setiap dokumen yang ada. Dilihat dari print-out silsilahnya, ternyata Raditya hanya hidup bersama ibunya karena ayah dan kakaknya sudah lama meninggal. Selain itu, dilihat dari tahun kelahirannya, kayaknya orang ini baru aja lulus dari bangku kuliah.
Setelah mencermati berkas-berkas ini untuk membaca situasi, aku menyimpulkan bahwa Raditya Hermawan masih berstatus pengangguran. Dia sepertinya kesulitan untuk mencari pekerjaan, sehingga nggak ada pilihan lain lagi selain mengambil hak warisnya. Tapi, yang membuatku penasaran adalah kenapa dia nggak mau meneruskan ladang cengkeh milik ayahnya? Apa karena gengsi? Atau mungkin dia nggak berminat untuk melakukan pekerjaan keras di kebun? Padahal, pendapatan para petani cengkeh bisa melebihi gaji seorang notaris seperti diriku. Sayang banget, ya.
Walaupun semua berkasnya sudah lengkap, mataku yang cermat berhasil menangkap sesuatu yang nggak beres. Ada perbedaan ukuran antara tanah yang tertera di print-out denah dengan yang tertulis di sertifikatnya. Walaupun cuma 500 meter, ini bisa jadi perkara yang ngerepotin kalau aku sampai lalai dalam mengurusnya.
“Semua berkasmu sebenarnya sudah lengkap,” ujarku sambil menatapnya. “tapi, ada perbedaan antara ukuran tanah di print-out denah dengan yang ada di sertifikat. Bisa kau jelaskan kenapa?” Tanyaku untuk meminta konfirmasinya.
“I-iya, dulu pernah ada sengketa antara lahan cengkeh ayah dengan lahan milik paman. Kalau nggak salah, itu terjadi di tahun 2020.” Jawabnya dengan sedikit terbata-bata. Matanya juga terus menatap ke bawah, seakan enggan untuk melihatku.
Entah kenapa, aku ngerasa anak muda ini kayaknya nggak jago bersosial, deh. Soalnya, tiap kali dia ngomong, gelagatnya kayak gugup dan malu-malu gitu. Tapi yaudah, lah, yang penting nanti dia bayar.
“Oh, gitu ya. Terus, lahan milik ayahmu ini jadi makin bertambah atau makin berkurang setelah sengketanya selesai?” Tanyaku lagi untuk menggali informasi lebih dalam.
“Aku… nggak tahu.”
Hadeh, kok bisa dia nggak tau, sih. Kalau gini ceritanya, aku terpaksa harus pergi ke Setawar, dong, buat ngukur ulang tanah warisan punya bocah ini. Bikin repot aja.
“Ya sudah, kalau gitu aku harus ngukur ulang tanah warisan ayahmu dulu, biar nggak ada sengketa lagi kedepannya.” Ucapku sambil merapikan berkas-berkasnya dengan malas. Suaraku mungkin terdengar agak kesal, tapi percayalah, aku udah berusaha sekuat mungkin untuk menahan emosi.
“I-Iya, mohon bantuannya…” Ucapnya lagi dengan suara yang lirih.
...***...
Setelah Raditya pergi, aku duduk di kursi ruang tunggu sambil menyulut sebatang rokok. Asapnya yang mengepul pelan mulai bergerak untuk menenangkan saraf yang sedikit tegang. Baru hari pertama kerja, aku udah dibikin kesel sama kelakuan seorang anak muda yang nggak tahu apa-apa tentang tanah warisan ayahnya sendiri.
Felix, yang kelihatannya sudah selesai membereskan barang-barang di gudang, muncul dengan membawa jus buah kemasan di tangannya. Dia lalu duduk di sebelahku, sambil membuka tutup kemasan jus itu dengan santai.
“Ah… akhirnya kantormu bersih juga. Aku minta ini, ya, buat bayarannya.” Ucapnya ringan, sebelum meneguk minuman itu perlahan-lahan.
“Habisin aja.” Jawabku singkat, sambil menghembuskan asap rokok dari lubang hidung.
“Lalu, gimana pelangganmu tadi?” Tanyanya lagi, sambil bersendawa.
“Nggak ada gimana-gimana, sih. Aku cuma harus pergi ke Sentawar buat ngukur tanah warisannya aja.”
“Gitu, ya. Terus kapan kau mau pergi?”
“Tergantung sama adikku aja. Kalau besok dia sepi job, maka aku berangkatnya besok.”
“Benar juga, ya. Alvie emang sibuk banget belakangan ini.”
Begitulah, adikku yang bernama Alvie Nathaniel emang lagi sibuk banget belakangan ini. Tapi itu adalah hal yang wajar, mengingat karirnya yang begitu cemerlang sebagai tukang ukur tersohor di seluruh Andawana. Nggak heran kalau dia sering diutus oleh pemerintah ketika terjadi kasus sengketa tanah negara.
Semua pencapaiannya itu tentu saja melewati berbagai proses yang melelahkan. Kau harus jadi orang yang benar-benar workalohic biar bisa sukses kayak Alvie, tanpa menjilat pantat atasanmu sendiri.
Saat melirik ke arah jam dinding, waktu masih menunjukkan pukul 11 siang. Itu artinya, Alvie pasti lagi hektik-hektiknya sekarang. Yah, kalau gitu, aku akan ngehubungin dia pas udah menjelang sore aja. Sekarang, aku cuma perlu nyantai bentar, sebelum perkara warisan ini bikin kepalaku pusing lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!