"Pak Rama, tolong nikahi saya."
Suara itu lirih, tapi cukup untuk membuat seluruh dunia Rama seakan berhenti berputar. Ia memandangi gadis di hadapannya. Gaun pengantin putihnya masih sempurna. Riasannya belum luntur. Tapi sorot matanya... bukan bahagia. Melainkan luka yang dalam dan kemarahan yang nyaris tak terbendung.
"Citra… kamu bilang apa tadi?" tanya Rama, pelan, nyaris berbisik. Suaranya gemetar, bingung.
"Saya minta Bapak menggantikan Rava. Nikahi saya. Sekarang juga."
Detik itu, Rama benar-benar kehilangan kata-kata. Ia datang ke gedung pernikahan sebagai ayah mempelai pria. Tapi mempelai pria justru tak muncul, dan kini mempelai wanita... meminta dinikahi olehnya?
"Tunggu. Jelaskan pelan-pelan, Citra. Apa maksudmu?" tanya Rama, mencoba tenang. Tapi hatinya sudah diliputi kecemasan.
Citra menarik napas dalam. "Rava nggak datang. Kami tunggu dari pagi. Sudah dicari ke mana-mana. Tapi nggak ada kabar. Dia kabur tepat dihari penting ini. Bapak yang harus tanggung jawab. Bapak papanya."
"Tunggu sebentar, aku akan hubungi Rava."
Rama mengeluarkan ponselnya, segera menelepon putranya. Suara dering terdengar di telinga mereka. Satu... dua... tiga kali.
"Halo, Pah?" Suara Rava akhirnya muncul. Sedikit panik, tapi tak jelas di mana ia berada.
"Kamu di mana, Rava? Ini Papa sudah di gedung! Kenapa kamu belum datang?"
Hening sejenak.
"Rava?"
"Aku di KUA, Pah."
"Apa? KUA mana?! Semua orang di sini nunggu kamu! Citra juga masih di sini. Di KUA kamu sama siapa?"
Belum sempat Rama bertanya lebih jauh, Citra langsung menyambar ponsel dari tangan Rama.
"Rava! Kamu dimana?!" seru Citra dengan mata berair. "Kamu pikir ini lelucon? Semua orang sudah berkumpul! Ini hari pernikahan kita!"
Tapi tak lama, sambungan tiba-tiba mati.
"Dia matikan teleponnya…" bisik Citra. Wajahnya memucat. Lalu meledak marah. "Kenapa dia kabur?! Apa salahku?! Kami bahkan masih baik-baik saja semalam!"
Rama hanya bisa menggeleng tak percaya. Ini bukan hanya kejutan, ini mimpi buruk di siang bolong.
Tiba-tiba, dari belakang terdengar suara,
"Citra!? Kenapa kamu di luar? Apa yang terjadi?"
Pak Haris, ayah Citra, tampak terkejut melihat calon besan."Pak Rama!?"
Ia melangkah cepat ke arah mereka. Di belakangnya, Bu Maya menahan tangis, menatap wajah anak perempuannya yang tampak hancur.
"Pak Rama? Mana Rava? Kenapa datang sendiri? Mana rombongan?"
"Saya juga nggak ngerti, Pak Haris," jawab Rama jujur. "Saya baru tahu saat sampai sini. Saya pikir Rava sudah di lokasi. Tadi, saya ada halangan jadi datang terlambat."
Pandangan mata Pak Haris yang semula penuh harap, tiba-tiba menudar. Kini, berganti dengan tatapan terluka atau.. Kecewa.
"Kami sudah coba hubungi sejak pagi. Tapi semua nomor diblokir," ujar Pak Haris sambil memeriksa ponselnya. "Nomor saya, Maya, bahkan om-nya Citra... semua nggak bisa hubungi dia."
Maya menangis. "Ya Allah, kenapa jadi begini…"
Citra menahan tangis, menghapus air mata dengan kasar. Ia menatap tajam ke arah Rama.
"Pak! Saya serius. Saya mau Bapak yang nikahi saya. Sekarang juga. Rava pengecut. Saya tidak tau apa yang Rava lakukan dan apa yang membuatnya seperti ini. Tapi saya nggak mau dipermalukan di depan semua tamu. Saya nggak mau acara ini gagal tanpa mempelai."
"Citra…" suara Rama pelan, penuh keraguan. "Aku… ini terlalu mendadak."
"Saya tahu. Tapi saya juga punya harga diri. Semua tamu sudah datang, dan anak bapak sudah mengingkari janjinya."
Pak Haris tertegun. Ia menatap putrinya, lalu Rama. Situasi sudah gila. Tapi kalau tidak diselamatkan sekarang, Citra bisa benar-benar rusak secara mental.
"Rama, Citra benar. Keluarga kami sudah dipermalukan. Bukan seperti ini kesepakatan yang kita buat. Jelas ini menyalahi. Kami bisa menjebloskan Rava ke penjara atas dugaan penipuan. Tapi, itu bukan solusi saat ini."
Rama menarik napas panjang. Ia melihat sekeliling. Tamu-tamu mulai curiga. Beberapa sudah berbisik-bisik. Waktu terus berjalan.
"Baik. Saya akan menikah, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan Rava. Tapi saya punya satu syarat."
Citra menatap Rama dengan napas terengah. "Apa, Pak?"
"Kalau kita menikah, maka tidak boleh ada perceraian. Aku tidak mau ini hanya pengganti sementara. Aku akan bertanggung jawab penuh. Tapi kamu juga harus siap jadi istri, baik lahir, ataupun batin."
Citra menatapnya lekat-lekat. Lalu mengangguk.
"Saya setuju." Dalam hatinya, ada bara yang menyala.
Akhirnya, di balik panggung, dengan hanya satu penghulu dan dua saksi seadanya, pernikahan mereka berlangsung. Para tamu mulai berbisik.
"Lho, itu mempelainya siapa? Kok beda?"
"Iya, yang datang bukan Rava ya? Itu siapa, sih?"
Pernikahan mendadak ini, Rama bahkan tak membawa apa pun, hanya uang lima ribu di saku. Ia habis kehilangan dompet saat menuju lokasi.
"Maaf, saya tak bawa uang lebih. Tadi habis halangan. Hanya tersisa uang lima ribu." kata Rama dengan wajah malu."Boleh saya jadikan ini sebagai mahar?"
Penghulu menoleh pada Citra.
"Saya terima," jawab Citra mantap.
"Saya terima nikah dan kawinnya Citra Kirana binti Haris Raharja dengan mas kawin uang lima ribu rupiah dibayar tunai."
Suara Rama terdengar menggema di tengah ruangan. Namun, gema itu yang menimbulkan suara sumbang.
"Apa?"
"Mahar lima ribu? Serius?"
"Aku enggak salah dengar, kan?"
"Jangan-jangan Citra hamil duluan, makanya Rava kabur, dan buru-buru ganti calon!"
Pesta tetap berlangsung. Senyum dipaksakan. Foto-foto tetap diambil. Tapi semua tahu ada yang aneh. Mempelai pria telah diganti.
Gosip menyebar seperti api di musim kemarau. Pak Haris sudah tak tahan. Sore itu, Pak Haris memanggil Rama dan Citra.
"Kemarilah."
"Iya, Pak Haris."
"Citra, duduk."
Citra duduk di samping Rama.
"Kalian mungkin tau, ada cerita-cerita yang beredar di luar sana. Untuk saat ini, lebih baik kalian pergi dulu. Sampai gosip reda."
Citra menatap ayah dan ibunya. Ia lalu menunduk. "Maafkan aku..."
Maya memeluk putrinya sambil terisak. "Yang penting kamu baik-baik saja. Ibu doakan kamu bahagia. Ingat, Cit. Dia suamimu sekarang. Nurut sama Rama, surgamu sudah berpindah padanya."
Dengan langkah berat, Rama dan Citra menaiki mobil jemputan sederhana. Di dalam mobil, hening. Hanya isak tangis Citra yang terdengar.
"Kamu sudah tak bisa mundur," kata Rama tiba-tiba. "Kita tak bisa batalkan semua ini. Kau ingat kesepakatan kita, kan?"
Citra menoleh dengan mata merah. "Iya, saya sangat ingat, Pak."
"Aku akan mencari Rava. Dia harus menjelaskan dan meminta maaf."
Citra melihat ke luar jendela. Ia menatap langit yang mendung seperti hatinya yang kacau. "Rava, jika aku melihatmu lagi, kamu harus menebus semua ini!" bisiknya dalam hati.
Di rumah Pak Haris, keheningan tak berarti tanpa kegaduhan. Justru, semenjak acara pernikahan usai dengan mempelai pria yang ‘berbeda’, suasana menjadi penuh tanda tanya.
Para tetangga berdiri di pagar rumah seperti pasukan siaga, pura-pura menyapu halaman atau menata pot bunga, padahal telinga dan mata mereka sepenuhnya mengarah ke rumah keluarga Haris.
"Lihat tuh, padahal mahar cuma 5000, kok bisa dijemput mobil?" bisik Bu Erna pada Bu Rukmini.
"Enggak taulah, aku. Mungkin dia memang punya mobil."
"Tapi maharnya cuma 5000 loh, 5000! Buat gorengan aja cuma dapat 5."
"Jadi itu mobil siapa?"
"Bisa jadi rental, kan?"
"Nah, sepemikiran."
"Tapi, ya, dari pads buat rental mobil. Mending buat mahar, macam enggak ada harganya kali. Cuma 5000 loh."
"Tau tuh. Mana si Haris macam terima aja anaknya dimaharin segitu."
"Ya daripada malu, enggak jadi nikah. Kan?"
Mereka memandang sinis ke arah mobil yang baru saja meninggalkan rumah Pak Haris.
"Siapa tadi namanya?"
"Rama…"
"Ganteng, sih. Tapi, kayaknya tua ya, tadi?"
"Iya, kayak adeknya Pak Haris aja, ya? Dapat dari mana itu tadi, ya?"
Tebakan demi tebakan meluncur deras bagai air di musim hujan. Tapi tak ada satu pun yang tau siapa Rama.
Tak lama, suara mobil terdengar memasuki gang. Yani, adik Pak Haris, baru kembali setelah dua hari tak kelihatan batang hidungnya. Ia turun dari mobil dengan santai, dan mengibaskan rambut sebahu yang sedikit kusut.
"Eh, Yani! Baru pulang, ya?" sapa Bu Erna yang cepat-cepat menyeberang pagar.
"Lho? Kok rame banget? Ada apa ini?" tanya Yani sambil memicingkan mata ke arah rumah kakaknya. "Acaranya jadi, kan? Atau batal nikah?"
"Waduh, kamu ketinggalan drama besar. Citra nikah, tapi bukan sama Rava!"
Yani tersenyum tipis. "Iyakah?! Maksudnya?"
"Rava kabur! Katanya ilang dari pagi, nggak bisa dihubungi. Eh, ujung-ujungnya Citra tetap nikah. Tapi bukan sama Rava. Diganti orang lain."
Yani mematung sejenak. Wajahnya berubah dari kaget… lalu penasaran. "Terus yang nikahin siapa?"
"Rama!"
"Rama siapa?" Yani mengerutkan kening.
Bu Erna mengendikkan bahu. "Enggak tau juga. Yang jelas, dia pria dewasa, bukan anak muda. Kayaknya seumuran deh sama kamu."
"Wah… makin menarik. Mana dia sekarang?"
"Udah pergi sama Citra. Enggak tau kemana. Moga aja enggak di bawa ke Kamboja."
"Hush!"
Yani terkekeh. "Aku harus lihat sendiri! Ah, telat banget aku."
Tanpa ragu, Yani melangkah masuk ke rumah Haris. Ia membuka pintu tanpa mengetuk, seperti biasa.
"Mas Haris!" serunya sambil menjejak ke dalam ruang tamu.
Maya duduk di sofa, masih dengan mata bengkak. Haris berdiri di pojok ruangan, memijat pelipisnya.
"Yani?" suara Maya parau.
"Eh Mbak Maya, kok nangis?" tanyanya sembari menjatuhkan diri ke sofa.
Maya menggeleng pelan, tak bisa berkata apa-apa.
"Kamu dari mana, sih, Yan? Ke mana aja kemarin?" tanya Haris.
Yani tak menjawab, ia malah melirik ke sekeliling. "Citra mana? Katanya nikah sama lelaki tua!"
Haris menatap Yani dengan dingin. "Mereka sudah pergi. Rama yang bawa Citra ke rumahnya."
"Wah, sayang banget. Aku jadi penasaran, loh, Mas. Gimana sih orangnya? Umur berapa? Ganteng gak? Orang sini atau luar kota?"
"Kamu nanya atau interogasi? Kamu sendiri ke mana aja? Ponakan sendiri nikah, malah enggak terlihat sama sekali."
Yani mengangkat bahu santai. "Adalah Mas. Mau tau aja deh. Kami ada urusan keluarga juga. Penting! Eh, pulang-pulang langsung heboh begini."
Haris hanya mengangguk dingin. Maya diam, memejamkan mata sambil menahan emosi. Yani, yang tak peka, malah berdiri dan bersiul pelan. "Kalau gitu, aku ke rumah dulu. Tapi beneran, ya, Mas, kalau dia balik, aku harus lihat!"
...----------------...
Di sisi lain, setelah enam jam perjalanan dalam keheningan dan lelah yang menusuk, mobil jemputan sederhana itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar.
Citra menoleh keluar jendela. Mulutnya sedikit menganga. Ia tak mengira akan dibawa ke tempat seperti ini. Rumah itu tinggi, berdiri megah di antara pepohonan rindang. Dinding-dindingnya berwarna krem pucat, dengan jendela-jendela lebar berbingkai putih. Halamannya luas, taman depan tertata rapi, dan suara gemericik air dari kolam ikan kecil terdengar pelan tapi jelas. Bahkan udara di sekitar situ terasa lebih sejuk.
"Ini… rumah siapa?" tanya Citra pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya terdengar kecil di dalam kabin mobil.
Rama membuka pintu dan keluar lebih dulu. Ia memutar badan, lalu membuka pintu untuk Citra.
"Turunlah. Kita sudah sampai."
Dengan langkah ragu, Citra menginjakkan kaki ke tanah berbatu koral putih yang menghiasi halaman. Ia masih menatap rumah itu dengan bingung, nyaris tidak percaya.
"Bapak… ini rumah Bapak?" tanyanya sekali lagi.
Namun Rama tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis dan berjalan pelan menuju pintu depan.
Citra mengikutinya, langkahnya masih berat. Saat keduanya mendekat, pintu rumah perlahan terbuka dari dalam. Muncul seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya bersih dan tampak ramah, meski sinar matanya tajam memperhatikan Citra dari ujung kepala hingga kaki.
Wanita itu berdiri diam beberapa detik, lalu tersenyum sopan.
"Selamat datang, Mas Rama," ucapnya dengan suara lembut tapi tegas. "Akhirnya pulang juga."
Citra terkejut. Langkahnya terhenti seketika. Matanya langsung mengarah ke wajah wanita itu. Siapa dia?
Wanita itu lalu mengalihkan pandangannya ke Citra. Kali ini, senyumnya sedikit berbeda. Ada rasa ingin tahu yang tersirat dalam kerutan halus di sudut matanya.
"Dan ini…?"
Rama menatap Citra sejenak, lalu menjawab pelan.
"Ini... istriku."
Citra menoleh cepat ke arah Rama, jantungnya berdebar lebih cepat.
Wanita itu masih memandangi Citra. Tatapannya tajam namun tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk pelan, lalu mempersilakan mereka masuk.
"Siapa wanita ini? Apa dia istri pak Rama? Atau..."
"Cit, ini Bu Rumi. Beliau asisten rumah tangga di sini."
"Oohh..."
Wanita yang membuka pintu itu tersenyum kecil. Aura wibawa yang menyelimuti wanita itu sempat membuat Citra berpikir bahwa dia adalah istri Rama.
Citra langsung merasa wajahnya panas. Ia buru-buru menunduk. "Maaf, tadi.... saya… saya kira…"
Bu Rumi hanya terkekeh ringan, sopan. "Dikira apa Mbak Citra?"
"Saya kira, Ibu istrinya Pak Rama."
"Hihihi, Mbak Citra bisa aja. Pak Rama mana mau sama saya. Hihihi, saya memang udah lama mengabdi di sini, jadi mungkin auranya menular," katanya sembari melirik Rama.
Rama tersenyum tipis. "Bu Rumi, ini Citra. Istriku. Tolong bantu ia beradaptasi di rumah ini. Perlihatkan kamarnya. Aku ada urusan pekerjaan sebentar."
"Siap Pak Rama. Silakan."
"Bapak mau kemana?"
Rama menoleh pada Citra. "Ada kerjaan di luar. Cuma bentar kok. Nanti balik lagi."
Citra mengangguk pelan lalu mencium tangan suaminya. Ada yang bergetar, tapi bukan gitar. Ia tersenyum memandangi tangannya bekas disalim dan dicium Citra tadi.
"Hati-hati, Pak," kata gadis itu.
Rama mengangguk, tanpa berkata apa-apa Rama sudah berlalu, langkahnya ringan dan cepat. Lelaki itu bahkan tak menoleh lagi saat pintu tertutup.
"Ayo Mbak Citra, saya tunjukkan kamarnya," kata Bu Rumi mempersilakan Citra naik ke lantai dua.
"Saya bisa sendiri kok, Bu Rum," tolak Citra halus saat Bu Rumi hendak membawakan tas Citra.
Mereka menaiki tangga melingkar dengan karpet merah marun yang tebal. Rumah itu sangat besar, terasa lebih seperti villa daripada rumah biasa. Di dinding tergantung lukisan-lukisan klasik, dan aroma bunga melati samar-samar menyelimuti udara.
Saat pintu kamar dibuka, Citra terdiam. Matanya membulat. Kamar itu begitu megah. Langit-langitnya tinggi, tempat tidurnya besar dengan seprai putih bersih dan bantal-bantal yang tertata rapi. Ada jendela kaca lebar yang menghadap taman belakang, dengan tirai renda yang tampak mahal. Sebuah meja rias, lemari besar, dan sofa berwarna krem menghiasi ruangan itu.
"Silakan beristirahat dulu, Mbak Citra," kata Bu Rumi sopan. "Kalau butuh apa-apa, tinggal panggil saja."
Citra mengangguk lagi, masih terpukau. Setelah Bu Rumi menutup pintu, ia berjalan pelan ke jendela dan membuka tirai. Taman di belakang rumah terlihat sangat hijau dan rapi. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di tempat tidur. Lembut. Wangi.
"Waah, ini sih, definisi dibuang emas dapat permata."
"Aku enggak tau papanya Rava sekaya ini."
Citra masih terpukau.
"Dia enggak pernah cerita apa-apa tentang papanya."
Citra terdiam, jadi ingat Rava yang meninggalkan tanpa perasaan.
"Dimana dia? Kenapa dia tega sekali?" bisiknya lirih.
Citra tak ingin berlarut, ia menggeleng pelan.
"Enggak boleh begini, Cit. Ingat, kamu ingin membalas perbuatan Rava kan? Karena itu kamu nekad nikahi papanya."
Ia membuka koper, mengganti bajunya dengan terusan santai warna biru. Rambutnya diikat seadanya. Setelah merasa cukup segar, ia turun ke bawah dengan langkah pelan. Ia tak ingin tidur. Rasa penasaran masih menggelitik hatinya.
Saat menuruni tangga, Citra bertemu dengan Bu Rumi lagi di ruang makan.
"Mbak Citra mau melihat-lihat rumah?" tanya Bu Rumi ramah.
"Boleh, Bu. Kalau tidak merepotkan."
"Tidak sama sekali. Mari, saya antar."
Bu Rumi mengajak Citra ke ruang tamu, ruang keluarga, hingga taman belakang. Tapi saat memasuki dapur, Citra langsung menjerit kecil.
"Masya Allah… ini dapurnya?" matanya berbinar. Kompor modern lima tungku, oven besar, kulkas dua pintu, rak bumbu yang rapi, dan meja marmer putih membentang di tengah.
"Mbak Citra suka masak?" tanya Bu Rumi tersenyum.
"Iya, Bu Rum, suka banget," ujar Citra dengan mata berbinar.
"Bu. Boleh… saya masak sesuatu?"
"Tentu. Silakan. Nanti Mbak Novi bantu."
"Oh, baik, terima kasih," ucap Citra sambil menekuk lengan bajunya. Wajahnya tampak berseri. Ia membuka kulkas, melihat sayur dan bahan yang tersedia. Dengan cekatan, ia mulai menyiapkan bahan untuk membuat sayur sop dan bakwan jagung. Sementara Bu Rumi sudah pergi entah ke mana.
Mbak Novi, salah satu ART di rumah itu, menemaninya sebentar lalu pamit ke kamar mandi. "Sebentar ya, Mbak Citra. Saya ke belakang dulu."
"Iya, silakan," kata Citra, sambil tetap sibuk mengiris wortel.
Tak lama kemudian, suara pintu depan terdengar terbuka. Seorang wanita muda dengan tas belanjaan masuk ke dapur, wajahnya sedikit terkejut melihat Citra yang sedang sibuk memasak.
"Eh… Mbak, maaf, ini… siapa ya?" tanyanya sopan tapi curiga.
Citra tersenyum kikuk. "Saya Citra…"
"Citra?" alis wanita muda itu berkerut, "Apa dia art baru? Kok enggak ada yang bilang?" gumamnya pelan.
"Aku Retno, Mbak Citra."
Citra menyalami dengan sopan.
"Kamu masak apa?"
Tiba-tiba, suara ketukan tongkat terdengar dari arah lorong.
Retno menoleh cepat. "Astaga… itu Bu Lilis!"
"Siapa?" tanya Citra, pelan.
"Ibunya Pak Rama!"
Tak lama, muncullah sosok wanita tua. Rambutnya memutih, disanggul rapi. Bajunya bersih dan berkelas, meski sederhana. Wajahnya tenang, tapi pandangannya tajam dan penuh penilaian.
Bu Lilis berdiri di ambang pintu dapur, menatap Citra lama.
"Siapa gadis muda ini?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!