Rahayu Almeera Romeesa. Gadis berambut panjang berwarna kecoklatan yang bergelombang dan dengan kedua bola mata yang bulat dan besar itu, tampak sedang duduk di teras Mesjid dengan sesekali menatap ke arah dalam Mesjid.
Ia tersenyum lebar ketika melihat seorang wanita berhijab berwarna biru langit dengan seorang pria tinggi memakai peci, baru saja keluar dari dalam mesjid dan datang menghampirinya.
"Udah selesai?" tanya Meera.
"Udah. Yuk, makan," ujar si pria tinggi sambil mengajak Meera beranjak pergi dari tempatnya duduk.
Meera mengangguk. Ia langsung mengangkat pantatnya setelah wanita berhijab yang berdiri di sampingnya itu, mengulurkan tangannya bermaksud membantu Meera untuk berdiri.
"Baru pulang kerja?" Kali ini wanita berhijab itu bertanya kepada Meera sambil menggandeng tangan kanannya.
"Iya, ada jadwal pemotretan tadi, tuh."
"Lagi sibuk-sibuknya, yah?"
"Banget, Kak Ai. Makanya, sebelum nanti Meera sibuk banget, Meera ingin ketemu kalian dulu untuk melepas rindu." Meera terlihat begitu manja. Sambil memeluk kakak perempuannya itu dari samping, Meera menaruh kepalanya yang terlihat mungil di atas dada kakak perempuannya.
"Kakak yg bawa mobilnya yah, Ra," ujar si pria tinggi yang ternyata adalah kakaknya.
"Iya. Nih, kunci mobilnya, Kak." Meera langsung memberikan kunci mobil miliknya itu kepada kakaknya.
Setelah semuanya masuk ke dalam mobil, sang kakak langsung mengemudikan mobil Yaris hitam milik adiknya itu. Mereka pun langsung bergegas pergi untuk segera menuju tempat makan favorit mereka.
"Gimana kabar ayah, Kak Riz?" tanya Meera yang duduk di samping kakaknya yang sedang menyetir.
"Alhamdulillah baik. Ayah nanyain kamu loh, Ra. kapan ke rumah katanya?"
"Iya, Ra. Ayah katanya rindu sama kamu, udah hampir 7 bulan apa 8 bulan yah gak ketemu? Kayanya udah lama banget juga," tutur Aisyah; kakak perempuan Meera yang duduk di jock belakang mobil.
Almeera tersenyum tipis. Ia memandang ke arah dashboard mobilnya di mana, di sana terpampang sebuah bingkai foto. Di mana, di dalam bingkai foto tersebut ada foto kebersamaan dirinya bersama ayah dan ke empat kakaknya.
Rianti, kakak pertama Meera ini sudah menikah dan dikaruniai 3 orang anak. Beliau kini tinggal di Bandung ikut bersama suaminya yang kebetulan seorang dosen di Universitas tinggi Negeri di sana. Sementara Rianti sendiri ini merupakan seorang guru TK.
Aisyah, kakak ke dua Meera ini sudah menikah dan memiliki 2 buah hati. Beliau adalah seorang guru SD sementara suaminya adalah seorang guru SMP di daerah Bekasi.
Sementara Rizky adalah kakak ketiganya dan merupakan satu satunya pria di antara ke empat kakaknya. Rizky juga sudah menikah dan dikaruniai sepasang anak kembar laki laki yang tampan. Beliau adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit swasta di kota Jakarta, sementara istrinya adalah seorang bidan.
Sekar, kakak ke empat Meera ini tinggal di kota Bogor. Sekar merupakan seorang penulis dan baru saja menikah 1 tahun yang lalu. Suaminya sendiri adalah salah satu editor di perusahaan penerbit buku yang cukup ternama.
Sementara Meera sendiri adalah seorang model ternama yang merambah ke dunia desainer di ibu kota dan sudah memiliki butiqnya sendiri, bahkan cabangnya sudah ada beberapa di kota besar di Indonesia.
"Kak, apa kakak bahagia?" tanya Meera tiba-tiba.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Ra?" tanya Rizky sambil menatap ke arah Meera dengan tatapan bingung.
Meera menghela nafas pendek. Ia membuka kaca mobil di sampingnya dan menatap ke arah luar dengan kedua matanya yang sendu.
"Kemarin malam, bunda telepon Meera, Kak. Bunda menangis dan bilang rindu sama ayah," jawab Meera dengan mata berkaca-kaca.
Aisyah yang duduk di belakang langsung menundukkan kepalanya. Sementara Rizky, ia berusaha tetap tegar dan menahan air matanya agar tidak keluar dari pelupuk matanya.
"Bunda bilang, dia rindu kebersamaannya dulu bersama ayah. Dan, apa kalian tahu, semenjak bunda menikah lagi 5 tahun yang lalu. Sebelum hari pernikahannya, bunda menangis sendirian di kamarnya. Meera sendiri nggak berani masuk ke dalam kamar bunda, karena Meera tahu bunda ingin menangis sendirian tanpa di temani."
Aisyah meneteskan air matanya. Ia memalingkan wajahnya dan menatap ke arah yang tak pasti. Sementra Rizky berusaha untuk tetap fokus dan menatap lurus ke depan.
Setelah sampai di tempat makanan favorit mereka, sebelum keluar dari mobil, Rizky menggenggam tangan Meera dan menatap adiknya itu dengan lirih.
"Ra, kamu yang paling dekat dengan bunda sekarang. Kamu yang paling sering juga ketemu sama bunda, kakak berharap kamu selalu menemani bunda dan membuatnya tersenyum. Kamu bisa kan, Ra?"
"Iya, Ra. Kami mungkin tidak seberuntung kamu yang bisa bertemu setiap hari dengan bunda, bercengkrama dengannya dan bisa memeluknya setiap saat. Jadi, kak Ai berharap kamu tetap teguh yah, Sayang. Dan, buatlah bunda bahagia. Biarkan kami membahagiakan bunda dan menyayangi bunda dengan cara kami sendiri. Cinta dan kasih sayang kami untuk bunda tak pernah lekang oleh waktu."
Aisyah memegang kepala Meera lembut dan membelai-belai rambut adiknya itu dengan penuh kasih sayang.
"Kak, Meera selalu berdoa untuk kita semua agar selalu bahagia dengan caranya masing-masing. Meera sayang kalian semua," tangis Meera yang kemudian pecah.
"Kita juga sayang sama kamu, Dek," tutur Rizky dan Aisyah sambil memeluk adik bungsunya itu dengan erat.
Setelah makan siang bersama di tempat sate maranggi kesukaan mereka. Meera mengantar Rizky kembali ke rumah sakit untuk bekerja dan mengantar Aisyah ke stasiun kereta api.
"Makasih waktunya yah, Kak Ai. Makasih banget sudah meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Meera yang lagi kangen sama kalian."
"Sama-sama, Ra. Kalau ada apa-apa kamu telepon kita aja. Atau telepon kak Ai sendiri juga bisa."
"Meera takut ganggu kak Ai kerja."
"Ya nggaklah, Sayang. Family is number one, kamu itu adik bungsunya kakak. Jadi, kamu prioritas utama kak Ai," tutur Aisyah sambil menyubit pipi kanan Meera dengan gemas.
"Ya udah, hati hati di jalan yah, Kak. Kalau udah sampai, kabarin Meera, yah?"
Meera langsung memeluk kakaknya kemudian bergegas untuk kembali.
"Meera!" teriak Aisyah hingga membuat langkah Meera terhenti.
Meera membalikkan badan dan menatap wajah kakaknya yang terlihat sudah lelah itu.
"Kalau kangen kita, kamu bisa melihat kami di dalam bingkai foto yang berada di dashboard mobil kamu."
"Always, Kak Ai."
"Love you, Dek."
"Love you to, Kak Ai."
Meera berjalan dengan perlahan menuju parkiran mobil. Saat masuk ke dalam mobilnya, ia kembali menatap ke arah bingkai foto di mana, ada foto kebersamaan dirinya dengan ayah dan ke empat kakaknya walau tanpa kehadiran bundanya di dalam foto tersebut.
Sementara di samping bingkai foto kebersamaan dirinya dengan ayahnya, ada satu bingkai foto kecil di mana di dalam foto tersebut ada foto dirinya bersama sang ibu.
"Aku sayang kalian semua," tutur Meera dengan air mata yang mulai mengalir dan membasahi kedua pipinya.
Meera duduk di sebuah bangku panjang berwarna putih. Ia terlihat sedang membaca sebuah buku, di mana buku tersebut merupakan sebuah novel yang cukup tebal dengan cover bukunya yang terlihat berwarna cerah dan cukup menarik untuk di lihat.
"Elo lagi baca apa , Meer?" tanya seseorang yang langsung saja duduk di samping Meera dan membuka sebuah kaleng minuman kemudian meminumnya.
"Gue lagi baca novel buatan kakak gue. Kemarin lusa, kalo gak salah baru aja di rilis." Meera masih menatap lembar demi lembar novel yang dibalut kertas berwarna kecoklatan itu dengan seksama.
"Oh, kak Sekar ya, Meer?" tanyanya lagi hingga membuat Meera menganggukkan kepalanya, dengan mata yang masih mengarah ke arah novel yang di bacanya. "Meer," panggilnya kembali.
"Hmmm . . ."
"Gue putus sama Reza."
Meera langsung mengalihkan pandangan matanya ke arah seorang perempuan yang duduk di sampingnya dengan ekspresi wajah yang cukup terkejut. Dia langsung menutup buku miliknya, kemudian menggenggam tangan perempuan yang berada di hadapannya itu.
"Bukannya kalian mau tunangan? Kenapa tiba-tiba kalian putus? Ko, tiba-tiba banget?"
"Ya, susah sih buat tunangan juga, Meer. Orang tuanya gak setuju Reza married sama gue."
"Tapi, kenapa? Bukannya, hubungan lo sama Reza baik-baik aja?"
"Perbedaan keyakinan, Meer. Selama hampir 2 tahun pacaran sama Reza, gue baru tau banget kalo ayahnya Reza itu seorang ustadz. Pantas aja selama ini Reza kaya yang ragu gitu kalau sedang membicarakan soal pernikahan. Apalagi, dia gak pernah cerita soal latar belakang keluarganya. Keluarganya tuh islami banget, Meer."
Almeera kembali mempererat genggangam tangannya dan menatap sahabat yang duduk di sampingnya itu dengan sorotan mata iba.
"Bukannya orang tuanya Reza baik sama lo, Sil?"
"Baik sih memang. Tapi, selama 2 tahun pacaran, gue cuma beberapa kali aja ketemu sama orang tuanya Reza. Keseringannya sih, Reza yang ketemu keluarga gue. Jadi, gue nggak tahu banyak juga tentang keluarganya."
Meera menghela nafas pendek dan kembali menatap wajah sahabatnya itu dengan seksama.
"Elo sayang banget ya sama Reza?"
"Gue sayang banget sama Reza, Meer. Walau gue tahu sih pada akhirnya kita akan ribet dan bermasalah soal perbedaan keyakinan kita. Tapi, Reza itu pria yang sangat berbeda dari kebanyakan pria lainnya."
"Gue ngerti ko, Sil. Gue ngerti perasaan lo buat Reza gimana. Tapi, lo sendiri tahu kan ending hubungan lo sama Reza bakalan gimana? Kan, dari awal lo pacaran sama Reza juga, gue udah sering banget nasehatin lo."
Sesilia. Sahabat Meera sejak masih SMP hingga sekarang yang sama-sama berprofesi sebagai Model. Sahabat di mana tempat untuk saling berbagi suka maupun duka, senang maupun susah, teman untuk berkeluh kesah dan masih banyak hal lainnya.
"Meer, apa dulu saat bokap dan nyokap lo married, nyokap lo galau gak sih?" tanya Sesilia tiba-tiba hingga membuat Meera melepas genggaman tangannya dan mengalihkan pandangan matanya.
"Gue nggak tahu percis, Sil. Gue gak pernah berani menanyakan soal itu lebih dalam ke nyokap."
"Apa gue?"
"Sil," potong Meera dengan cepat. " Jangan terburu-buru mengambil keputusan kalo pada akhirnya nanti lo akan menyesal. Pernikahan itu suci, bukan sebuah permainan. Tuhan tidak suka jika kita mempermainkan sebuah pernikahan apalagi mempermainkan Nya. Jangan gegabah dalam bertindak sebelum lo mengkaji masalah ini lebih dalam."
Sesilia tertegun. Ia menundukkan kepalanya dan terlihat begitu gelisah. Selama 2 tahun menjalin hubungan memang bukan waktu yang sebentar.
Sejak dulu, Sesil sendiri tahu resikonya jika berhubungan dengan seseorang yang berbeda keyakinan dengannya. Apalagi jika hubungan mereka semakin dalam dan menjurus ke dalam suatu hubungan yang semakin serius.
"Jangan sampai apa yang menimpa nyokap bokap gue, lo alami juga, Sil. Gue nggak mau lo kaya gitu, gue ingin lo bahagia lahir batin," tutur Meera dengan ke dua bola mata yang berkaca-kaca.
Setelah percakapannya dengan Sesilia. Meera duduk termenung di dalam mobilnya seraya memikirkan beberapa hal yang cukup rumit di dalam fikirannya.
Ia kembali memandangi bingkai foto di mana di dalam foto tersebut ada foto dirinya bersama keluarganya yang bisa dibilang tidak utuh.
Saat tengah memandangi foto kebersamaan dirinya bersama keluarganya, Meera tidak sengaja melihat seorang kakek tua yang tengah mendorong sebuah gerobak yang berisi kardus-kardus bekas. Namun, entah kenapa kardus-kardus itu tiba-tiba saja berjatuhan dan berserakan di dasar tanah.
Karena merasa tak tega, Meera langsung membuka pintu mobil dan keluar untuk membantu kakek tersebut. Saat tengah membantu kakek itu untuk mengambil kardus-kardus yang berserakan di dasar tanah, tiba-tiba saja seorang pria bertopi putih datang menghampiri Meera dan kakek tua itu untuk membantu mengambil kardus-kardusnya.
"Terima kasih banyak, Nak," ujar kakek tua itu terbata-bata.
"Sama-sama, Kek. Kakek mau ke mana? Biar saya antar," tutur Meera pelan.
"Kakek mau ke mesjid sana, mau sholat ashar dan istirahat sejenak," jawab si kakek sambil tersenyum tipis.
"Saya bantu dorong gerobaknya yah, Kek," ujar si pria bertopi putih itu sambil membantu si kakek mendorong gerobak miliknya.
Melihat pria bertopi putih itu mendorong gerobak si kakek, Meera pun ikut membantunya. Meera dan di pria bertopi putih itu pun saling melempar senyum.
"Kasian yah kakek tua itu." Meera kembali membuka suara ketika kakek tua itu tengah mengambil air wudhu untuk menjalankan ibadah sholat ashar. "Sudah tua, tapi masih bekerja untuk mencari nafkah."
"Beliau adalah sosok yang pekerja keras. Saya sering melihat kakek itu di daerah sini."
"Oh, begitu."
"Hmm, mbanya mau ke mana?" tanya pria itu tiba-tiba.
"Oh, saya mau pulang, Mas."
"Hm, kalau gitu hati-hati di jalan, Mba. Saya tinggal sholat dulu. Mari, Mba."
"Oh, iya makasih banyak, Mas. Mari juga, Mas."
Setelah kepergian si pria bertopi putih itu, Meera membalikkan badan dan kembali melangkahkan kakinya menuju tempat di mana mobilnya terparkir.
"Mba!!" teriak si pria bertopi putih itu tiba-tiba hingga membuat langkah Meera terhenti.
"Iya, Mas? Kenapa?"
"Hati-hati di jalan."
Meera tampak bingung, tapi lambat laun ia tertawa kecil.
"Kan, tadi masnya udah bilang."
"Oh, iya. Saya lupa, maaf."
Meera kembali tertawa hingga membuat si pria bertopi putih itu menundukkan kepalanya karena malu.
"Iya, santai aja, Mas. Silahkan, lanjutkan kembali ibadahnya."
"Iya, Mba."
Meera melangkahkan kakinya menuju parkiran mobil. Saat masuk ke dalam mobil, ia kembali tersenyum tipis saat mengingat kembali interaksi singkat antara dirinya dengan si pria bertopi putih yang ikut membantu si kakek tua tadi bersamanya.
"Lucu sekali pria itu," katanya pelan kemudian menjalankan mobilnya dengan perlahan.
Suara lagu dari Westlife - Hello My Love mengalun begitu keras. Meera yang sedang berada di dalam kamar mandi, langsung berlari kecil menuju kamarnya begitu suara nada dering handphonenya berdering.
Begitu melihat nama yang tertera di layar handphone, Meera tersenyum riang dan segera mengangkat telepon dari seseorang yang telah membuatnya tersenyum bahagia seperti itu.
"*Hallo, Ayah? Apa kabar??"
"Meera, alhamdulillah ayah baik-baik saja. Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya seorang pria separuh baya dari sebrang telepon sana dengan suara yang berat namun terdengar lembut*.
"*Puji Tuhan, Meera baik juga ayah. Bagaimana kabar ibu?"
"Ibu juga baik, Nak. Nak, maafkan ayah yang sudah lama tak mengunjungi dan menghubungimu*."
"Tidak, Ayah. Justru, Meera yang mau minta maaf karena telah berdosa tidak menghubungi ayah duluan maupun tidak mengunjungi ayah dalam beberapa bulan ini. Maafkan Meera, Ayah," ujar Meera yang terdengar sedih dan merasa bersalah juga menyesal.
"*Tidak apa-apa, Anakku. Dengan mendengar suaramu lagi saja, itu sudah cukup bagi ayah. Ayah mengerti, kamu pasti sibuk sekali."
"Ayah* . . . ."
"Jaga kesehatanmu, Nak. Jangan lupa makan yang banyak, jaga pola makan dan tidurmu. Banyaklah beristirahat bila tubuhmu sudah merasa lelah. Perbanyak minum air putih dan makan sayuran. Itu sangat baik untuk kesehatanmu, Meera."
"*Iya, Ayah. Meera mengerti dan akan melakukan apa yang ayah sarankan untuk kebaikan Meera."
"Yang terpenting, jangan lupa untuk selalu berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa, Nak. Berdoa untuk kesehatan, kelancaran dan rezekymu. Walau kita berbeda, tapi ayah selalu mendoakanmu kepada Allah SWT karena kamu adalah anak ayah, darah daging ayah yang paling ayah sayangi di dunia ini*."
Mendengar kata demi kata yang di lontarkan ayahnya, Meera merasa sangat terharu dan sempat meneteskan air matanya. Walau pun perbedaan itu ada di antara keluarganya dan jelas adanya, namun perbedaan itu tidak menjadi dinding pemisah untuk dirinya dan juga ayahnya yang begitu ia sayangi.
"*Jaga kesehatan ayah juga, yah? Meera berharap ayah selalu panjang umur serta selalu diberikan kebahagiaan oleh Tuhan."
"Aamiin, Nak. Kalau begitu ayah sudahi percakapannya sampai di sini, yah. Nanti kita sambung lagi, ayah tidak mau mengganggu pekerjaanmu*."
"*Ayah tidak mengganggu, ko."
"Iya, ayah faham. Mudah-mudahan, dilain kesempatan kita bisa bertemu ya, Nak*."
"Iya, Ayah. Secepatnya kita pasti akan bertemu. Meera janji."
Setelah menutup telepon dari ayahnya, Meera kembali menatap layar handphonenya dengan lirih. Meera merasa berdosa sekali karena dalam beberapa bulan ini tidak pernah mengunjungi ayahnya.
Kalau bukan karena segudang pekerjaannya, Meera pasti langsung meluncur dan bertemu dengan Ayahnya untuk melepas rindunya.
"Meer, terimakasih untuk hari, yah? Besok sore kita lanjutkan sesion foto selanjutnya dengan tema Vintage," tutur Heru; pria yang merupakan salah satu fotografer terkenal.
"Iya mas Heru. Terima kasih juga sudah mau bekerjasama."
"Makanlah, dari tadi siang kamu belum makan."
"Aku mengerti."
Setelah selesai menjalan sesion pemotretan untuk hari ini, Meera segera berganti pakaian dan segera menuju caffe terdekat untuk makan siang.
Begitu hendak menuju mobilnya, Meera tidak sengaja melihat ada seorang pria yang sedang berbincang-bincang dengan Rita yang merupakan desainer terkenal di Jakarta dan salah satu dari gurunya yang mengajarkannya tentang dunia desainer.
"Mba Rita? Lagi ngobrol sama siapa dia? Rasanya, gue seperti kenal dengan pria yang sedang berbincang dengan mba Rita."
"Almeera!!" teriak Rita memanggil begitu Rita melihat Meera yang berdiri di dekat mobilnya sedang menatap ke arahnya.
Begitu di panggil, Meera langsung berjalan menghampiri dengan langkah kaki yang begitu cepat.
"Mba, ada apa?" tanya Meera setelah menghampiri Rita.
"Ian, ini Almeera yang tante maksud tadi," ujar Rita yang membuat Meera terlihat bingung maksud dari perkataan Rita tadi.
"Maksudnya apa, Mba?" tanya Meera terlihat bingung.
"Ini Adrian, Meer. Keponakan mba Rita. Dia itu seorang Jaksa di salah satu kantor Kejaksaan di Jakarta. Adrian ini sedang mencari desain baju vintage yang unik untuk ia berikan sebagai hadiah kepada adik perempuan kesayangannya."
"Hallo saya Adrian," ujar pria tinggi itu memperkenalkan diri.
"Almeera, sepertinya kita pernah bertemu, yah?" ujar Meera sambil membalas uluran tangan Adrian.
"Gadis yang bertemu dengan Kakek tua kemarin itu, yah?" serunya tampak antusias.
Almeera mengangguk dan tersenyum tipis. Ternyata, Meera tidak menyangka sama sekali kalau dirinya bisa bertemu lagi dengan si pria bertopi putih yang membantu kakek tua kemarin sore.
"Kalian sudah saling mengenal?" tanya Rita kembali.
"Tidak sengaja, Tan," jawab Adrian sambil menatap wajah Almeera dengan ramah.
"Bagus kalo gitu. Ian, minta bantuan saja kepada Meera. Sebagian model desain pakaiannya itu typenya vintage campur modern. Meera itu sangat berbakat, jadi kamu tidak akan salah pilih orang untuk membantumu dalam mencarikan hadiah untuk Dian."
"Mba, apaan, sih? Aku belum sehebat dan seberbakat Mba Rita, ko," tuturnya merendah.
"Gak usah merendah gitu, Meer. Tolong bantu Adrian yah, Meer? Adrian ini pemilih banget anaknya. Menyulitkan tapi baik ko anaknya," bisik Rita yang membuat Adrian tertawa kecil begitu mendengarnya.
"Tan, apaan, sih?"
"Akan aku usahakan, Mba."
"Kalau begitu aku tinggal, yah. Kalian ngobrol-ngobrol aja dulu. Aku masih banyak kerjaan. Ian, nanti telepon tante kalau sudah selesai, oke?" ujarnya yang langsung bergegas pergi.
Adrian memberikan satu jempolnya kepada tantenya yang sudah pergi. Begitu ditinggal, Adrian dan Meera terlihat canggung dan juga gugup.
"Sudah kenal tante Rita berapa lama?" tanya Adrian membuka suara.
"6 Tahun, Mba Rita itu guru dan seorang motivator buat gue. Dia yang membuat gue bisa jadi sampai sekarang ini. Beliau sangat berjasa di sepanjang karir gue sebagai model dan desainer muda."
Adrian manggut-manggut begitu mendengarnya. Suasana sunyi mulai menyelimuti kembali diantara mereka. Perasaan kaku dan canggung sangat terlihat begitu jelas.
"Elo sibuk?" tanya Adrian.
"Nggak sih, mau ngobrol di mana? Biar enak aja gitu ngobrolnya, kalau di sini rasanya bising banget."
"Caffe terdekat aja sambil ngopi gimana?"
"Oh, boleh."
Setelah memilih-milih dan menyesuaikan tempat untuk berbincang, Adrian dan Meera langsung bergegas pergi dengan kendaraan mereka masing-masing menuju lokasi.
15 menit berlalu begitu cepat, setelah memparkirkan kendaraan masing-masing dan memilih meja yang kosong, Adrian dan Meera kembali terlihat canggung begitu mereka saling berhadap-hadapan.
"Adiknya berapa tahun?"
"24, dia anaknya suka banget sama gaya- gaya retro gitu."
"Masih muda, yah? di bawah gue setahun."
"Oh, Ya? seangkatan berarti ya kalian?"
"Bisa dibilang. Emang lo berapa tahun? Eh, sorry kalau gue gak sopan."
"Santay, dalam hitungan bulan, gue akan masuk kepala 3."
"Masih muda, ko," tutur Meera yang membuat keduanya tertawa.
Setelah suasana cukup mencair, suasana mulai terasa hangat dan juga nyaman. Obrolan mereka pun terasa lebih menyenangkan dan mengalir begitu saja.
Dibalik percakapan mereka, seperti ada sisi rasa kagum diantara keduanya, hingga membuat Adrian dan juga Almeera tampak merasa nyaman satu sama lainnya.
"Eh, udah magrib. Gue sholat dulu yah, Meer."
Meera tersenyum tipis begitu Adrian pamit untuk melaksanakan ibadah sholat magrib. Begitu melihat Adrian pergi, Meera terlihat terdiam sejenak dengan ekspresi wajah yang terlihat bingung dan seperti memikirkan sesuatu.
"Hanya kagum, bukan hal lainnya. Rasa kagum bukan berarti menyukainya, kan?" gumam Meera pelan.
Almeera
Adrian
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!