"Aku melakukannya demi Sean." gumaman itu meluncur pelan dari bibir seorang wanita yang tengah terbaring nyaman dengan mata terpejam. Tidurnya tampak begitu lelap, seolah terbuai dalam kehangatan malam, hingga detik berikutnya kelopak matanya terbuka perlahan, tersadar dari alam mimpi yang memeluknya.
Aurora mengerutkan kening, merasakan denyut tajam yang menyebar dari pelipisnya, diikuti oleh pusing yang menekan kepalanya, membuat pikirannya terasa kacau. Tubuhnya terasa berat, seperti ada beban yang membelenggu gerakannya. Perlahan, dia menyadari sesuatu yang asing melingkari perutnya. Dengan jantung yang mulai berdetak lebih cepat, Aurora mengedarkan pandangannya ke samping.
Di sana, terbaring seorang pria, wajahnya sebagian tertutup bayangan malam, namun suara dengkurannya jelas terdengar, membuktikan bahwa dia bukan sekadar ilusi.
Astaga!
Bukan!
Pikirannya bergolak, napasnya tercekat, tubuhnya terasa kaku seketika. Siapa pria ini? Mengapa ada pria lain bersamanya? Tidak, bukan pria ini yang seharusnya ada di sini. Bukan dia. Ingatannya berusaha merangkai potongan-potongan peristiwa yang tercecer dalam benaknya. Perlahan, kesadarannya mulai menyentuh kenyataan yang menyakitkan.
Ya, bukan pria ini. Seharusnya Sean, pria yang selalu mengisi ruang hatinya, yang seharusnya ada di sini. Lalu, siapa pria ini? Bagaimana dia bisa berada di sini bersamanya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Aurora menatap tubuh pria di sampingnya. Tubuhnya begitu kekar, berkulit putih, dan tampak begitu besar dibandingkan tubuhnya yang mungil. Dengan wajah telungkup, napas pria itu terdengar berat, seirama dengan detak jantung Aurora yang semakin kacau. Tangan pria itu masih melingkar di perutnya, hangat namun membuatnya merinding dalam ketakutan yang mulai merayapi tubuhnya.
Rasanya seperti tersentak dari mimpi buruk, Aurora langsung bangun, menarik tubuhnya dari dekapan pria itu. Jantungnya berdetak begitu cepat, seperti akan melompat keluar dari dadanya. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, seiring rasa dingin yang merayapi kulitnya. Udara kamar itu terasa lebih berat, seolah menambah beban pada kepalanya yang masih berdenyut hebat.
Dia mendongak, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang diterangi lampu tidur kecil di atas nakas meja. Cahaya temaram itu menciptakan bayangan samar yang membuat ruang kamar terasa lebih sempit dan menekan. Tubuh pria itu masih telungkup, punggungnya yang kokoh terlihat jelas meski terhalang selimut yang melorot hingga pinggangnya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aurora meraih pakaiannya yang berserakan di lantai. Satu per satu, dia kenakan kembali tanpa memedulikan rasa nyeri yang menjalar di tubuhnya. Setiap helaian kain terasa dingin, seolah mengingatkannya pada betapa asingnya situasi ini.
Tasnya tergeletak tak jauh dari kaki ranjang. Dengan langkah terburu-buru, Aurora menyambarnya, menyampirkan tali tas itu ke bahunya, lalu bergegas menuju pintu kamar. Namun sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Aurora menghentikan langkahnya, menoleh sekali lagi ke arah ranjang.
Pria itu masih terbaring di sana, wajahnya tetap tersembunyi dalam kegelapan, sebagian tubuhnya tertutupi selimut tebal yang berantakan. Cahaya lampu tidur kecil yang redup membuat sosoknya semakin sulit dikenali, seperti bayangan samar yang menghantui pikirannya.
Dengan napas yang terputus-putus dan kepala yang terasa semakin berat, Aurora menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah keluar. Suara detak jam di dinding terasa lebih keras, seolah menegaskan betapa berartinya setiap detik yang dia lewatkan di tempat itu.
Tanpa berpikir panjang lagi, Aurora membuka pintu dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun, sebelum akhirnya melangkah keluar, meninggalkan pria misterius itu dalam gelapnya kamar yang penuh rahasia.
Sialan!
Apa apaan ini!
Ayla segera pergi, langkahnya cepat, penuh dengan kekesalan yang terpendam. Setiap langkah yang dia ambil adalah bentuk kemarahan pada dirinya sendiri, merutuki kebodohannya yang telah merencanakan segalanya dengan begitu ceroboh. Rencananya yang seharusnya mulus kini berantakan, dan semuanya salah sasaran. Dalam perjalanan, pikirannya terus berputar, mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa dia bisa berakhir bersama pria asing itu, bukan dengan Sean yang seharusnya ada di sampingnya? Tapi setiap kali dia mencoba menggali kenangan itu, rasa sakit di kepalanya semakin menghentikan ingatannya. Semua terasa kabur, seperti sebuah kenangan yang hilang di balik tirai tebal yang sulit dijangkau.
Sakit kepalanya begitu mengganggu, membuatnya tak bisa berpikir dengan jelas. Pikiran-pikiran yang datang hanya datang dalam kepingan yang membingungkan. Rasanya seperti terjebak dalam ruang gelap, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, tapi seolah setiap jejak yang dia temukan hilang begitu saja.
Aurora tiba di lift apartemennya. Suasana di apartemen itu masih sangat sepi, hanya ada gemerisik angin dingin pagi yang terasa di lorong-lorong sempit. Hari belum benar-benar terang, dan kebanyakan orang masih terlelap dalam tidur mereka. Aurora menekan tombol lift dengan cepat, tubuhnya terhuyung sedikit karena sakit kepala yang tak kunjung reda. Tangannya terkepal erat di samping tubuh, bibirnya yang digigit menahan resah yang tak terkendali.
Setiap detik terasa begitu berat, seperti waktu berjalan lambat, menekan dirinya untuk segera menemukan jawaban dari kebingungannya. Apa yang terjadi? Apa yang dia lakukan? Kenapa semuanya terasa begitu salah? Pikiran-pikiran itu membanjiri benaknya, namun tidak ada satu pun yang memberikan jawaban yang jelas.
Ketika pintu lift terbuka, Aurora langsung melangkah keluar, menuju pintu apartemennya. Dia membuka pintu dengan terburu-buru, namun dengan kekuatan yang lebih besar dari yang dia maksudkan. Pintu itu terbuka dengan keras dan langsung tertutup lagi, menciptakan suara benturan yang memecah keheningan pagi yang masih ada di sekitar. Suara itu begitu keras, menggema di seluruh apartemen, hingga membangunkan seseorang yang tengah terlelap di kamar.
Dari dalam kamar, terdengar suara terkejut, diikuti dengan suara wanita yang menggerutu dengan mata masih setengah terpejam. "Astaga! Apa-apaan kau, Aurora?! Apa kau begitu senang setelah tidur dengan Sean sampai harus menutup pintu sekeras itu?!" suara itu milik Yuki, wanita yang tinggal bersama Aurora, sepupunya yang telah lama tinggal bersamanya. Suaranya penuh kekesalan, tubuhnya yang setengah terbangun terlihat bingung dan terkejut.
Aurora menatap Yuki dengan mata yang dipenuhi amarah. Semua kemarahan yang menumpuk di dadanya sejak tadi meluap begitu saja. "Diam, kau!" teriak Aurora, suaranya keras dan penuh kebencian. "Apa kau mau tahu aku tidur dengan siapa? Dengan pria asing! Yuki sialan!!!"
Tubuh Yuki terlonjak kaget, matanya yang masih berusaha terbuka menatap Aurora dengan kebingungan yang semakin besar. Dalam keadaan setengah sadar, Yuki mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya, namun tak bisa mencerna sepenuhnya. Aurora, dengan emosi yang tak terkendali, melangkah maju dan dengan kasar menyingkap selimut Yuki, membangunkannya secara brutal. Yuki terperanjat, tubuhnya merosot sedikit ke samping karena kaget, matanya terbuka lebar sekarang, menyadari bahwa sesuatu yang sangat aneh sedang terjadi.
Apa yang baru saja dikatakan Aurora?
Pria asing?
Bukan Sean?
Sebulan Berlalu..
Aurora menenteng plastik belanjaannya dengan langkah tergesa, melintasi lorong apartemen yang sepi namun terasa begitu sempit malam itu. Setiap langkahnya bergema di dinding-dinding yang dingin, seolah mempertegas kegelisahan yang berdenyut di dadanya. Sesampainya di depan pintu apartemen, tangannya gemetar saat menggeser kartu kunci, dan ketika pintu berderit membuka, ia segera masuk, menutup pintu rapat-rapat seakan ingin mengunci semua kecemasan di luar sana.
Ia bersandar sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, namun tetap saja jantungnya berdetak liar, memukul-mukul rusuknya dengan cemas. Aura ruang apartemen yang biasa terasa nyaman kini terasa menyesakkan, seolah udara yang dihirupnya tak pernah cukup mengisi paru-parunya.
Di sudut ruangan, Yuki yang tengah duduk di atas ranjang sambil memainkan ponselnya melirik sekilas. Alisnya terangkat tipis, namun bibirnya tetap malas bergerak. "Ada apa dengan wajahmu?" tanyanya tanpa melepaskan pandangannya dari layar, jarinya masih sibuk menggulir pesan-pesan yang berhamburan. "Kau seperti habis dikejar setan saja," lanjutnya dengan nada setengah acuh.
Aurora hanya diam, mengabaikan sindiran Yuki. Langkahnya berderak pelan mendekati ranjang, lalu tanpa banyak bicara, ia menjatuhkan plastik belanjaannya. Plastik belanjaan dari supermarket yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari terburai di atas kasur, bergulir pelan hingga ke tepi ranjang, menambah kesan berantakan pada ruangan yang sepi itu.
Aurora memandang barang-barang itu dengan tatapan kosong, sementara pikirannya terus melayang pada kekacauan yang tak pernah berhasil ia lupakan selama sebulan terakhir.
Aurora menangkap benda kecil yang baru saja dia keluarkan dari plastik belanjaannya. Tangan mungilnya langsung menggenggam erat tespek itu, seolah berat untuk melepaskannya. Pandangannya kosong, terfokus pada alat kecil yang kini seolah menjadi penentu nasibnya.
Yuki meliriknya lagi, menghela napas panjang. Suara gesekan jarinya yang terus-menerus menggulir layar ponsel kini terhenti. Matanya memperhatikan Aurora dengan sedikit rasa jengkel yang disamarkan di balik wajah malasnya. "Kau masih saja membelinya, lagi dan lagi?" ujarnya, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh dengan nada skeptis. "Astagaa, Aurora... Kau sudah meminumnya, bukan? Pil itu seharusnya cukup. Tenang saja," lanjutnya, suaranya berusaha terdengar santai meski ada nada sedikit gemas karena melihat sepupunya masih saja terlihat resah.
Aurora tidak menjawab. Tangannya mengeratkan genggamannya pada tespek itu, seolah takut melepaskannya. Pandangannya kosong menatap lantai, pikirannya terjebak dalam kekalutan yang terus menggerogoti hatinya.
Yuki hanya menggeleng pelan, kembali menatap ponselnya, mengabaikan wajah Aurora yang masih saja dibayangi kecemasan. Sudah sebulan berlalu, tapi Aurora belum juga berhasil melupakan apa yang terjadi malam itu. Semua kenangan yang berputar seperti film buruk di kepalanya seakan menolak untuk pudar, membekas di setiap sudut pikirannya, menggerogoti kewarasannya sedikit demi sedikit.
Nyatanya, Aurora memang tidak pernah benar-benar bisa tenang. Kenangan itu terus menghantuinya, membuat dadanya sesak setiap kali mengingatnya, seakan waktu yang berlalu hanya menambah beban di hatinya.
Setelah malam itu berlalu, ingatan Aurora mulai kembali perlahan, menyusun potongan-potongan kejadian yang tadinya terasa kabur dalam benaknya. Semua berawal dari rencana yang ia susun dengan Yuki. Malam itu, mereka sudah merencanakan semuanya dengan hati-hati. Aurora, dengan hatinya yang penuh cinta namun juga dendam, mengundang Sean untuk minum bersamanya setelah bekerja. Rencananya sederhana tapi berbahaya – sebuah usaha terakhir untuk merenggut Sean dari wanita lain, dari tunangannya, yang tak lain adalah musuh bebuyutan Aurora sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!