Suara dentingan sendok makan yang beradu dengan piring terdengar dari dalam sebuah rumah minimalis bercat hijau.
Sesekali terdengar percakapan candaan dari ketiganya. Meskipun menu lauk pauk terbilang sederhana, tetapi tidak menyurutkan rasa syukur ketiganya.
“Syukur Alhamdulillah makasih banyak ya Allah atas nikmat yang Engkau berikan kepada keluargaku,” ucapnya yang lebih tua dari ketiga penghuni rumah itu.
Setelah sarapan pagi, ketiga saudara yatim piatu itu bersiap untuk berangkat beraktivitas seperti sebagaimana biasanya setiap harinya.
Anak sulung dari ketiga itu berangkat lebih duluan ke tempat kerjanya tanpa menunggu kedua adiknya.
“Bismillahirrahmanirrahim semoga daganganku hari ini laris manis,” Caca berulang kali memeriksa barang dagangannya karena tidak ingin ada barang jualannya yang terlupakan.
“Kak Caca sudah mau berangkat jualannya?” Tanyanya seorang anak laki-laki berseragam putih biru.
Perempuan muda yang disapa Caca itu menolehkan kepalanya ke arah adiknya yang bersiap berangkat sekolah.
“Insha Allah, ini baru mau siap-siap. Kenapa emangnya, Dek?” Tanyanya balik Caca.
Pemuda yang kira-kira berusia lima belas tahun itu garuk-garuk kepala kebingungan harus berbicara bagaimana untuk menyampaikan niatnya.
Gerak-geriknya terlihat aneh di mata kakak keduanya itu,” Zidan, ada apa? Ngomong saja sama kakak nggak usah seperti kayak orang kutuan gitu,” ujarnya Azzahrah yang sedikit bernada bercanda.
Zidan duduk di hadapan kakaknya yang sedang mengecek beberapa barang jualannya. Sedangkan kakak pertamanya sekaligus kakak kembarnya beberapa menit yang lalu berangkat bekerja menjadi buruh bangunan.
“Kak, kata Bu guru aku harus bayar lunas iuran SPP di sekolah paling lambat hari jumat ini,” ucapnya Zidan dengan hati-hati.
Azzahrah menghela nafasnya sebelum membalas ucapan adiknya itu,” memang berapa total yang harus kamu lunasin? Apa memang harus dibayar lunas minggu ini nggak boleh bulan depan gitu?”
“Aku sudah enam bulan menunggak dan belum bayar sepersen pun kak Caca, apa kakak lupa kalau pembayaran untuk tiga bulan lalu kakak pinjam katanya beli beras,” ujarnya Zidan pelan-pelan.
Azzahrah kebingungan harus menjawab apa permintaan adiknya itu, karena sejujurnya dia tidak memiliki uang saat ini. Dia tidak ingin berjanji sedangkan, ia juga punya hutang di toko langganan tempat mengambil beberapa barang jualannya. Kebetulan uang hasil penjualannya sudah dipakai untuk bayar sewa rumah selama setengah tahun.
Caca mengelus punggung adiknya,” doakan kakak semoga saja dagangannya kakak laku semuanya kebetulan malam ini kakak akan jualan di stadion. Tim Nasional Garuda Indonesia akan main melawan Bahrain pasti banyak yang akan beli dagangannya kakak.”
Kedua bola matanya itu berbinar seketika saking bahagianya mendapat ijin dari kakak keduanya, “Amin ya rabbal alamin, kakak gimana kalau aku ikut barengan kakak kebetulan besok kagak ada ulangan atau tugas dari sekolah,” pintanya Zidan yang berharap kalau dia diijinkan ikut bersama kakaknya.
Sudah lama sekali, Zidan mengimpikan menonton langsung di dalam stadion GBK pertandingan Tim jagoannya.
“Nggak usah ikut, takutnya Abang Zacky balik dari kerja nggak ada yang masakin makanan kasihan kakak loh kalau pulang-pulang sudah capek-capek kerja malah kelaparan,” imbuhnya Caca yang menolak permintaan adiknya.
“Aku akan masakin kakak makanan sebelum berangkat kak, terus nyusul kakak ke stadion, boleh yah kakak?” rengeknya Zidan yang memperlihatkan puppy eyesnya.
Caca tidak tega melihat permintaan adiknya untuk pertama kalinya merengek meminta sesuatu padahal sebelumnya tidak pernah seperti ini.
Dengan penuh pertimbangan akhirnya Caca mengabulkannya, “Baiklah,tapi kamu telpon kakak Zacky terlebih dahulu meminta izin takutnya kakak keberatan kalau kamu ikut jualan bareng kakak,” seru Caca.
“Alhamdulillah, kalau gitu aku berangkat dulu kak, assalamualaikum!” ujarnya Zidan dengan bahagia sambil meraih tangan kakak keduanya untuk diciumnya kemudian gegas mengambil sepedanya yang dipakainya setiap pergi sekolah maupun beraktivitas di luar rumah.
“Waalaikum salam, Hati-hati jangan ngebut,” teriaknya Caca yang tersenyum lebar melihat kepergian adiknya.
Azzahrah mengunci rumahnya setelah memeriksa terlebih dahulu kondisi rumahnya sebelum dia tinggalkan.
Pagi harinya Zahrah biasanya bekerja berjualan makanan dan minuman ringan di sekitar terminal bus hingga sore hari sebelum waktu magrib. Sedangkan kakak kembarnya yang bernama Zacky seorang buruh bangunan.
Azzahrah dan ketiga saudaranya anak anak yatim, semenjak usianya Caca dua belas tahun bapaknya meninggal dunia. Sedangkan ibunya yang memutuskan bekerja di luar negeri setelah beberapa bulan bapaknya meninggal dunia.
Tetapi, sudah empat tahun belakangan ini tidak pernah lagi terdengar ada kabar apapun tentang keberadaan ibu kandungnya.
Mereka sudah menghubungi teman-teman ibunya yang berangkat bersama dengan beliau ke Malaysia, tapi hasilnya nihil satupun tidak ada yang mengetahui keberadaan Bu Widyawati.
Fanya Nadira Azzahra gadis berusia 19 tahun itu banting tulang bersama kakak kembarnya yang bernama Zacky Azhar Fahmi bahu membahu bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Apalagi mereka memiliki seorang adik yang sekarang duduk di bangku kelas 9 sekolah menengah pertama bernama Zidan Azka Fahmi berusia 15 tahun.
Semenjak bapaknya meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang mau tidak mau harta yang dimilikinya ludes dijual untuk membayar hutang-hutangnya pak Fahmi yang ditinggalkannya semasa hidupnya.
Sehingga mereka terpaksa harus tinggal di rumah kontrakan kecil yang hanya memiliki dua kamar saja.
Bu Widyawati yang melihat anak-anaknya kelaparan,mau tidak mau menerima tawaran dari salah satu tetangganya yang menyarankan agar ikut bersamanya ke Kuala Lumpur Malaysia menjadi TKW.
Sudah tujuh tahun kepergian ibunya menjadi tenaga kerja Indonesia di negeri Jiran Malaysia. Tidak ada lagi komunikasi dan los kontak dengan Bu Widyawati ketika Caca berusia 16 tahun hingga detik ini.
Sejak itu pula kehidupan Caca dan kedua saudaranya hidup dalam pas-pasan, bahkan terkadang mereka akan berhutang beras ataupun kebutuhan pokok sehari-hari lainnya.
Zacky dan Azzahra saling menguatkan satu sama lainnya demi masa depan adiknya. Mereka beranggapan cukup mereka berdua yang hanya tamatan SMP dan nasib kurang beruntung tidak dialami oleh adik satu-satunya yang dimilikinya.
Zacky bekerja semrawutan demi sesuap nasi. Kulitnya yang dulu putih sekarang berubah hitam legam sedikit kecoklatan karena terkena paparan terpaan sinar matahari langsung.
Setelah yakin dengan kondisi rumah yang aman setelah diperiksa pintu, dapur dan jendela, Azzahrah berjalan ke arah jalan raya sambil menunggu kedatangan temannya yang selalu mengantar jemputnya bekerja di pasar maupun di terminal.
“Maaf terlambat,” ucapnya Annisa sambil menyerahkan sebuah helm yang warnanya sudah cukup pudar.
Caca tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya, “Nggak apa-apa kok santai saja.”
Waktu terus berlalu, sore harinya Caca dan temannya Nisa sudah berada di sekitar stadion Gelora Bung Karno.
“Zah, gue jualan di bagian sana yah. Kalau ada apa-apa Lo telpon saja,” ujarnya Nisa.
Caca hanya menaikkan jempolnya sambil tersenyum simpul,” siap Sista!” tersenyum lebar sambil memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi dan putih itu.
Azzahrah jika bersama dengan Annisa lebih akrabnya disapa Zah katanya kalau dipanggil Caca malah seperti merek gula-gula. Ada-ada saja kan Annisa.
Azzahra memandangi kemegahan stadion yang dijadikan markas besar Tim Nasional Garuda Indonesia.
“Masya Allah gede banget yah bangunannya, negara kita memang negara kaya,” pujinya.
Dia tidak pernah puas untuk mengagumi keindahan gedung SUGBK tersebut.
“Ya Allah kapan gue juga bisa duduk di dalam sana menyaksikan langsung pemain diaspora bermain. Ya Allah, semoga suatu saat nanti gue juga bisa nonton bareng dengan kak Zac sama Zidan,” gumamnya di tengah hiruk pikuk keramaian para penonton yang sudah membludak memenuhi setiap sudut penjuru GBK.
Caca memperhatikan sekitarnya,”kenapa Zidan belum sampai juga? Katanya berangkat dari satu jam yang lalu.”
Perasaannya sedikit tidak nyaman, resah dan gelisah menunggu kedatangan adiknya yang sudah berjanji akan datang menemuinya malam ini. Tetapi, dia berusaha hilangkan perasaan tidak nyaman itu dengan berjualan menjajakan barang dagangannya.
“Tiga botol minuman dinginnya dek, sama tissu yah,” pinta seorang perempuan yang memakai atribut lengkap suporter bola.
Caca tersenyum ramah,” iya kak.”
“Makasih banyak, Dek. Semangat yah jualannya,” ujarnya pembeli itu.
“Thanks kak, amin ya rabbal alamin.” balasnya.
Caca berjalan mulai menjajakan barang dagangannya ke semua orang yang bertemu dengannya.
Baru beberapa barang jualannya habis, tiba-tiba teleponnya berdering membuat hatinya Azzahra seketika ketakutan dan terkejut.
Caca mengelus dadanya yang sedikit terkejut karena getaran ponselnya yang tiba-tiba itu, “Astaghfirullah, bikin kaget saja,” ucapnya Caca sambil mengambil ponselnya dari dalam tas pinggangnya.
Caca mengerutkan keningnya karena tidak mengetahui siapa yang orang yang telah menghubunginya.
Sontak Caca kembali memegangi dadanya yang semakin berdebar tidak karuan,” ya Allah, apa yang terjadi kenapa hatiku tiba-tiba gelisah seperti ini.”
Caca menggeser tombol hijau karena dibuat penasaran dan juga ketakutan disaat yang bersamaan.
“Assalamualaikum, benar sekali saya Fanya Nadira Azzahra, ada apa yah Mbak?” Tanyanya balik Caca.
Caca mendengarkan baik-baik penjelasan dari orang seberang telpon. Tangannya tremor tubuhnya menegang, matanya terbelalak, wajahnya pucat pasi keringat sebesar biji jagung terlihat di pelipisnya.
“Tidak! Itu tidak mungkin!?” Teriak histeris Caca sambil memegangi ponselnya yang masih tersambung dengan si penelpon.
Semua orang yang kebetulan melihatnya keheranan sikapnya Caca yang berteriak. Caca gegas berjalan cepat ke arah jalan raya,dia tidak peduli dengan tatapan mata dari orang-orang yang memperhatikannya.
“Pasti Mbak salah orang!? Itu tidak mungkin!?” protesnya Caca yang sedikit meninggikan volume suaranya saking kagetnya dengan berita itu yang tidak pernah dibayangkannnya.
Kepalanya spontan tertarik ke belakang, refleks menutup mulut, wajah berubah memerah. Bahkan rahangnya terbuka lebar, karena mendengar informasi itu.
Air matanya jatuh menetes membasahi pipinya, tubuhnya hampir terhuyung ke belakang saking terkejutnya mendengar kabar duka itu.
Bibirnya bergetar hebat, tangannya sampai tremor memegangi benda pipih yang hampir terlepas dari tangannya ketika mendengar kabar duka itu.
“Innalillahi wa Inna ilaihi raji'un,” cicitnya.
“Astaghfirullahaladzim, Zidan. Tunggu kakak kamu pasti akan selamat dek, kamu akan baik-baik saja,” cicitnya sambil mencoba menghubungi nomor teleponnya Annisa.
Bibirnya bergetar, mimik wajahnya nampak tergambar jelas kepanikan. Jantung berdebar-debar kencang, nafasnya memburu saking takutnya ketika membayangkan kondisi dari Zidan adiknya yang mengalami kecelakaan.
Berulang kali mencoba menghubungi nomor ponselnya Annisa, tapi saking paniknya, tangannya sampai tremor memegangi benda pipih tersebut, hingga salah pencet beberapa kali dan malah terjatuh.
“Astagfirullah, kenapa juga bisa terjatuh,” rutuk Caca.
Caca berjongkok untuk mengambil ponselnya yang terjatuh, dia sedikit kesulitan karena barang dagangan yang terpasang di tubuhnya sehingga membatasi ruang geraknya.
“Astaghfirullah aladzim, Allahu Akbar, subhanallah,” cicitnya agar bisa menenangkan dirinya dari kegugupan, ketakutan dan kecemasan berlebih yang dirasakannya saat ini.
Hanya ketika men scroll kontaknya yang terpaksa diulanginya berapa kali karena penglihatannya sedikit kabur, disebabkan oleh air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Untungnya dalam sekali percobaan untuk menghubungi nomor ponselnya Annisa, sang pemilik hp langsung menjawab telepon temannya tersebut.
Orang-orang yang berada di sekitar stadion GBK memperhatikan apa yang terjadi padanya.
“Dek, kau baik-baik saja kan?” Tanyanya seorang bapak-bapak yang kebetulan barusan membeli beberapa barang jualannya.
“Sa-ya baik-baik saja, Om,” balasnya Caca.
Bapak-bapak dan istrinya meninggal Azzahra karena mendengar jawabannya.
Annisa gegas menemui temannya itu, dia juga ikutan prihatin dan ketakutan mendengar kabar duka tersebut.
Berselang beberapa menit kemudian, motor butut itu sudah berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya.
“Ya Allah, ini semua gara-gara aku sehingga adikku harus ditabrak mobil. Andaikan tadi pagi aku melarangnya pasti kecelakaan ini tidak akan terjadi,” lirih Caca yang selalu menyesali dan merutuki kebodohannya sendiri.
“Jangan terus menyalahkan dirimu sendiri!” Teriaknya Annisa karena suaranya yang berlomba dengan hembusan angin yang menerpa wajah mereka.
Caca tidak tahu harus berbuat apa dalam keadaan seperti saat ini. Dia kembali mendapatkan cobaan yang begitu besar dalam kehidupannya setelah kematian bapaknya Pak Fahmi dan menghilangnya Bu Widyawati di negeri Jiran Malaysia.
“Ya Allah, hanya kepadaMu aku meminta pertolongan, dan memohon ampunan atas segala dosa-dosaku selama ini. Selamatlah adikku ya Allah jangan biarkan terjadi sesuatu hal buruk padanya,” batinnya Caca.
Sepanjang dalam perjalanan, mulutnya terus komat kamit melafalkan doa-doa agar adiknya selamat dan ia juga bisa lebih tenang.
Tak berselang beberapa menit kemudian, Caca dan Nisa sudah berada di lobi rumah sakit. Salah satu perawat rumah sakit menghubunginya dan menyampaikan kalau Zidan adiknya mengalami lakalantas di jalan raya ketika akan menemuinya di stadion GBK.
Keduanya berlari cepat ke arah resepsionis rumah sakit untuk bertanya keberadaan adiknya.
“Maaf Mbak pasien kecelakaan yang bernama Zidan Azka Fahmi dirawat di bagian mana?” Tanyanya Caca sambil sesekali menyeka air matanya.
“Tunggu aku cek dulu, banyak pasien kecelakaan soalnya,” balas suster itu sambil mengecek layar komputernya.
“Iya Mbak suster, dia adik kami baru saja mengalami kecelakaan di jalan X,” sahutnya Annisa.
“Pasien kecelakaan yang bernama Zidan Azka Fahmi dirawat di UGD,” jelas suster itu.
“Maaf ruangan UGD nya berada di mana Mbak? Kami tidak tahu letak ruangannya soalnya,” balas Nisa.
Perawat itu pun mulai menjelaskan sekaligus menunjukkan arah dimana letak ruangan unit gawat darurat.
“Makasih banyak, Mbak,” ujarnya Nisa yang menyusul kepergian Caca yang berlari terlebih dahulu tanpa menunggu sahabatnya.
Caca semakin sedih melihat kondisi adiknya yang sangat memprihatinkan. Dia memperhatikan dengan seksama adiknya yang sedang ditangani oleh dokter didalam ruangan UGD melalui kaca pintu masuk ruangan tersebut.
“Ini semua gara-gara aku yang menyebabkan kecelakaannya Zidan, andaikan aku tidak mengijinkannya menyusul pasti adikku masih baik-baik saja,” sesalnya Caca yang tak henti-hentinya menangis meratapi kecelakaan adiknya itu.
Nisa ikut sedih melihat kondisi sahabatnya itu,” Zah, lo harus kuat dan tegar demi adikmu. Kalau Lo terus menyesali semua takdir Allah SWT yang menimpa Zidan itu sama saja akan menyiksa dirimu sendiri.”
Caca mengusap wajahnya yang basah karena air mata,” gue gak tau harus gimana menjelaskan kepada Abang Zacky kalau sampai dia mengetahui Zidan kecelakaan karena diriku.”
“Kita duduk di sana, Lo harus berusaha untuk tenang dan sabar karena apa yang Lo lakuin ini sama sekali nggak ada gunanya,” Annisa terus mengingatkan sahabatnya itu apa yang terbaik untuk saat ini dilakukan oleh Caca.
Caca mendengarkan dan menuruti permintaan dari sahabat satu-satunya yang dimilikinya saat ini.
Keduanya duduk di bangku tunggu khusus keluarga pasien. Mereka tak henti-hentinya melangitkan doa-doa terbaik agar doa mereka diijabah oleh Allah SWT.
Hanya berselang beberapa menit sejak kedatangannya di rumah sakit swasta itu, Zacky pun datang bersamaan dengan pintu UGD terbuka dari dalam, keluarlah seorang pria yang berpakaian seragam kebesaran kedokterannya.
“Abang,” cicitnya Caca ketika melihat kedatangan kakak kembarnya.
Zacky memeluk saudara kembarnya,” kamu jangan menangis, ini semua terjadi bukan karena kesalahannya kamu.”
“Abang, aku tidak mau terjadi sesuatu kepada Zidan, aku nggak mau…,” ucapannya terhenti karena Zacky menggelengkan kepalanya agar Caca terdiam.
“Stop! Jangan sekali-kali berpikir yang aneh-aneh dan tidak-tidak. Teruslah berdoa untuk keselamatan dan kesembuhannya Zidan dan berharap agar adik kita tidak kenapa-kenapa. Jadi yang perlu kita lakukan adalah perbanyak berdoa agar Zidan selamat dan bisa berkumpul kembali bersama kita semua,” Zacky diam-diam menyeka air matanya karena tidak ingin menambah kesedihan adiknya.
Keduanya saling menguatkan dalam kesedihan dan cobaan yang menimpa mereka saat ini. Kakak adik itu, hanya bisa pasrah akan kehendak Allah SWT Sang Maha Pemilik Kehidupan.
Annisa ikut terenyuh melihat kedekatan dan kesedihan kedua adik kakak itu,” insha Allah, Zidan pasti akan sembuh dan sehat sediakala.”
“Sebaiknya kalian duduk di sana agar bisa lebih tenang. Biarlah Allah SWT dan Tim dokter yang bekerja menyelamatkan Zidan, berdzikirlah karena Allah SWT selalu bersama dengan orang-orang yang selalu dekat dengannya dalam keadaan apapun,” nasehatnya Annisa wanita berhijab itu.
“Makasih banyak, kamu sudah membantu Caca hingga bisa ke rumah sakit. Kamu selalu ada disaat kami bertiga butuh bantuan,” ucapnya Zacky yang berusaha tersenyum meskipun dalam hatinya banyak beban yang bertumpuk dalam hati dan benaknya ke arah perempuan cantik nan ayu itu.
“Kamu tidak perlu repot-repot berterima kasih kepadaku karena ini sudah menjadi kewajibanku lagian aku melakukan semua ini karena aku menganggap kalian seperti saudara kandungku sendiri,” ujarnya Annisa yang tersenyum simpul.
Caca terus melangitkan doa-doa terbaik untuk kesembuhan dan kebaikan adiknya. Keduanya berpelukan dan sesekali menatap ke arah pintu UGD yang sudah beberapa menit berlalu belum ada terbuka juga.
Semua bisa bernafas lega setelah pintu UGD terbuka lebar ketiganya berjalan ke arah kedatangan seorang dokter laki-laki yang juga berjalan ke arahnya.
“Maaf apa Anda keluarga pasien yang bernama Zidan Azka Fahmi?” Tanyanya seorang Dokter.
Caca dengan Zacky berjalan mendekati dokter itu,” benar sekali kami adalah kakaknya, Dok. Ada apa yah Dokter, apa adik kami baik-baik saja?”
“Adik kami sudah siuman kan? Dia tidak kenapa-kenapa kan Dokter?” Tanyanya Caca yang memberondong pertanyaan dokter itu.
“Pasien harus segera dioperasi karena ada pendarahan di bagian kepalanya dan juga patah tulang di kaki serta beberapa tulang rusuk yang patah,” jelas Dokter itu.
Tubuhnya Caca terhuyung ke belakang setelah mendengar penjelasan dari dokter tersebut.
“Innalillahi wa Inna ilaihi raji'un, itu tidak mungkin,” ratapnya Caca air matanya kembali menetes membasahi pipinya
Zacky tak kuasa menahan rasa sedihnya, bibirnya bergetar, tatapannya tertunduk ke atas lantai keramik yang mulai basah terkena tetesan air matanya.
“Astaghfirullahaladzim, Zaidan,” lirih Zacky.
“Sabar, kamu harus kuat demi adikmu,” ucapnya Annisa yang memeluk tubuhnya Caca yang hampir ambruk terjatuh kebelakang.
“Ya Allah, cobaan apa yang Engkau berikan kepadaku? Aku tidak sanggup ya Allah,” ratap Caca.
Zacky mengusap wajahnya dengan gusar,” ya Allah, kasihan Zidan tubuhnya yang kecil mendapatkan luka yang banyak.”
“Kami butuh persetujuan dari pihak wali agar pasien secepatnya dioperasi, jika tidak kondisi pasien akan semakin parah dan bisa tidak selamat,” ucapnya Dokter itu kemudian berjalan ke arah dalam UGD.
“Baik Dokter, makasih banyak atas bantuannya Dokter,” ujarnya Annisa.
Seorang perawat menatap satu persatu dari ketiganya kemudian menjelaskan segalanya.
“Kami akan melakukan tindakan operasi secepat mungkin yang paling penting Anda harus menyelesaikan administrasinya,” imbuhnya perawat.
“Mak-sudnya apa yah, Sus?” Tanyanya Caca yang gelagapan mendengar penjelasan perawat tersebut.
“Administrasi? Maksudnya kami harus membayar lunas biayanya?” Tanyanya Zacky.
Perawat itu mengangguk,”Benar, kalian harus membayar lunas biayanya agar adik Anda secepatnya bisa dioperasi.”
“Ngomong-ngomong berapa biaya totalnya yang wajib kami bayar?” Tanyanya Zacky.
“Silahkan langsung ke bagian administrasi, mereka yang akan menjelaskannya. Usahakan secepat Nongko karena nyawa pasien bisa terancam,” ujar Perawat itu kemudian berlalu dari hadapan ketiganya.
Air mata keduanya semakin menetes membasahi pipinya, mereka sudah membayangkan kalau biaya operasi dan pengobatan adiknya pasti butuh biaya yang tidak sedikit.
Mereka sudah berjalan ke arah bagian ruangan administrasi. Kedua saudara kembar itu kembali dibuat shock terkejut setengah hidup mendengar perkataan dari pegawai administrasi.
“Ya Allah, dimana kami mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat?” gumamnya Caca.
Zacky menyugar rambutnya dengan gusar karena tidak berdaya dengan cobaan yang dihadapinya.
Dia berjalan gontai ke arah kursi besi yang berjejer di sekitar tempat itu, “Ya Allah,apa yang harus kami perbuat, bagaimana caranya kami mendapatkan uang ratusan juta dalam semalam?” cicit Caca yang tak henti-hentinya menangis meratapi ketidakmampuannya.
“Abang hanya punya uang lima ratus ribu saja, karena sudah dipotong kasbon minggu lalu,” ucapnya Zacky sembari mengambil sebuah amplop gajinya minggu ini.
Dia duduk sambil menatap langit-langit rumah sakit. Annisa dan Caca mengikuti Zacky yang duduk di sana. Hingga pikirannya tiba-tiba teringat dan terlintas tawaran dari teman sekolahnya.
“Apa gue terima tawaran dari Doni yah? Cuman itu cara yang paling cepat untuk mengumpulkan uang dalam waktu singkat,” batinnya Zacky.
“Aku ke mesjid dulu, belum shalat isya,” pamitnya Caca yang berdiri dari duduknya.
“Ca, Abang pamit menemui Doni dulu, Abang ada urusan dengannya. Kalau ada apa-apa kamu hubungi nomornya Abang saja. Nis, aku titip adikku yah. Aku keluar bentaran saja, assalamualaikum,” pamitnya Zacky yang bergegas berangkat karena tidak mau adiknya bertanya banyak hal yang tentunya akan sulit dijawabnya.
Caca menatap kepergian kakaknya dengan tatapan yang sulit diartikan,” Abang jangan berbuat macam-macam apalagi melakukan hal-hal yang tidak diridhoi oleh Allah SWT.”
Annisa berjalan ke arah UGD berlawanan dengan Caca karena dia berhalangan melaksanakan kewajibannya.
Caca hendak mengambil air wudhu tapi, tiba-tiba melihat ada seorang perempuan yang terjatuh dari atas kursi roda.
Bugh!!
“Ahhh!” Teriak orang itu.
“Astaghfirullah aladzim,” Caca tanpa berfikir panjang berlari ke arah perempuan yang sudah terjatuh ke atas lantai mesjid.
Caca berlari cepat ke arah perempuan yang berpakaian pasien rumah sakit.
“To-long,” rintihannya perempuan itu sambil melambaikan tangannya ke arah Caca.
“Mbak baik-baik saja?” Tanyanya Caca.
“Berhenti! Apa yang kamu lakukan kepada istriku!?” Hardik seorang pria yang berjalan cepat ke arah Caca.
Tatapannya tajam, napasnya menderu, rahangnya mengeras, alisnya menyatu mengerucut.
Tangannya sudah terkepal kuat, tatapannya tajam seperti elang yang mengincar buruannya. Kepalan tangannya melayang ke arah Caca.
“Tidak!” Teriaknya Caca sambil melindungi wajahnya.
“Ahh jangan!” teriaknya histeris sambil melindungi wajahnya karena takut terkena gamparan dari pria yang tidak dikenalnya.
Caca yang baru saja membantu seorang perempuan yang terjatuh dari atas kursi rodanya, kebingungan karena tidak melakukan hal-hal yang tidak baik malah hampir saja terkena pukulan.
“Mas, berhenti! Jangan dia yang telah membantuku,” ucapnya perempuan itu dengan suara lemah karena perutnya tiba-tiba kram habis operasi.
Pria yang hendak melayangkan tangannya ke arah Caca gegas mengurungkan niatnya karena mendengar suara istrinya yang amat dicintainya.
“Ya Allah! Apa memang dunia sudah terbalik yah!? Membantu orang lain malah disangka punya niat tidak baik dan dianggap penjahat! Nggak ditolongin dikira nggak punya hati nurani,” sungutnya Caca.
Pria itu melotot mendengarkan ocehannya Caca, tanpa sungkan dan ragu langsung mendorong tubuhnya Caca yang kebetulan menghalangi jalannya.
“Minggir! Kau menghalangi jalanku!” ketus Pria itu.
Tubuhnya Caca terdorong hingga terduduk ke atas lantai pelataran masjid.
“Auhh sakit!” Keluhnya Caca sembari mengusap bokongnya yang sakit sedikit ngilu dan kebas karena terbentur dengan lantai yang cukup dingin.
“Salah kamu sendiri yang menghalangi jalanku!” Balasnya yang tak mau mengalah.
“Astaganaga Bapak! Istrinya sudah aku tolongin bukannya berterimakasih malah main dorong saja! Emangnya aku ini kursi roda apa!?” kesalnya Caca.
“Dek, maafin suamiku yah, dia tidak berniat untuk bersikap kasar padamu, suamiku hanya ketakutan dan panik melihat istrinya terjatuh,” ucap Selina yang menyesali perbuatan suaminya.
“Nggak apa-apa Bu, nggak perlu meminta maaf lagian sudah terlanjur kejadian juga,” kesalnya Caca.
Imran hanya melirik sepintas lalu ke arah Caca, “Istriku kamu baik-baik saja kan?” Tanyanya yang nampak panik.
Perempuan itu menggelengkan kepalanya agar suaminya tidak mengkhawatirkan kondisinya yang sebenarnya luka bekas operasi di perutnya sedikit perih akibat terjatuh.
“Aku baik-baik saja kok, aku ingin shalat isya, apa Mas bisa membantuku melakukannya?” pintanya yang menatap dengan tatapan mengibah.
“Pak, kalau bisa sebelum emosi itu sebaiknya bertanya atau setidaknya melihat baik-baik apa yang sedang terjadi, jangan seenak jidatnya saja langsung mukul. Coba bapak mukul aku tadi pasti aku aduin ke pihak berwajib karena tindakan bapak yang main kekerasan,” sarkasnya Caca yang menatap jengah ke arah pria yang perawakan tinggi dan tampan itu.
Imran sama sekali tidak peduli ataupun menggubris perkataannya Caca, meski Caca mengancamnya dengan cara akan melaporkannya ke polisi.
“Selina, kamu itu sedang sakit dan tidak boleh kemana-mana. Kamu shalat di dalam ruangan saja,” balasnya pria itu.
“Mas Imran, aku baik-baik saja kok. Lagian aku masih sanggup melakukannya. Sudah lama nggak shalat di dalam masjid soalnya,” ucapnya lemah lembut agar suaminya setuju mengijinkannya.
“Mama dimana, kenapa dia nggak menjagamu?” Tanyanya Imran sambil mencari keberadaan Mama mertuanya itu.
“Mama balik ke rumah, katanya pegal-pegal jadi pengen beristirahat, insya Allah besok baru balik kesini,” jawabnya Selina.
“Kenapa sih Mama lebih mementingkan dirinya sendiri dibanding anak kandungnya? Mama masih saja egois,” ketus Imran.
Imran tidak pernah menyukai sifat mama mertuanya yang selama ini seperti ogah-ogahan menjaga dan merawat istrinya yang anak kandungnya sendiri.
“Mama Lidya kenapa belum berubah juga. Apa memang dia tidak pernah merasa kasihan melihat anaknya yang sakit-sakitan. Kayak Selina bukan anak kandungnya saja menyayangi setengah hati,” monolognya Imran.
Selina menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya dengan memperlihatkan senyuman termanisnya dan puppy eyesnya agar suaminya kembali memenuhi keinginannya.
Selina mengelus punggung tangan suaminya berharap keinginannya terkabul, “Aku mohon dengan sangat, please yah suamiku! Untuk hari ini saja lain kali nggak bakalan aku memintanya,” Selina memohon belas kasih suaminya.
“Baiklah, Mas kali ini izinkan kamu shalat di dalam masjid,” ucapnya juga akhirnya Imran yang tidak tega melihat Selina yang merengek memintanya.
Caca hanya menatap datar pria yang mendorongnya yang sedang berbicara dengan istrinya dan dia tidak ingin menjadi pendengar setia dari perbincangan kedua pasangan suami istri itu.
“Makasih banyak sudah membantuku,” ujar Selina sebelum Caca berjalan lebih jauh.
Caca hanya membalasnya dengan senyuman ramah, kemudian Ia gegas berjalan ke arah tempat mengambil air wudhu khusus untuk wanita.
Disela-sela setiap gerakan yang dilakukannya, air matanya menetes membasahi pipinya hingga terdengar suara isakan tangisannya.
“Aku bersimpuh kepadaMu wahai Rabb, ampunilah segala dosa dan khilaf ku dan kabulkan doa-doaku demi adikku ya Allah. Aku percaya padaMu ya Allah jika Engkau akan membantu kami,” lirih Caca yang menengadahkan kedua tangannya ke atas.
Selina tak sengaja mendengar keluh kesahnya Caca yang mengadukan segala keresahan, kegundahan dan permasalahannya hingga Alisnya menyatu, kepalanya miring satu sisi, matanya menyipit mencari sumber suara itu. Ia memasang telinganya dengan baik agar ucapan Caca terdengar dengan jelas.
Netra hitamnya menangkap sosok perempuan muda yang sepertinya yang sudah berbaik hati menolongnya.
“Bukannya dia gadis cantik yang membantuku?” gumamnya.
Tangannya terangkat ke atas hingga air matanya membasahi kedua telapak tangannya, “Ya Allah, aku harus dapatkan uang sebanyak itu dari mana? Tapi, kalau kami tidak dapat uang itu secepatnya bisa-bisa adikku tidak bisa diselamatkan dan akan meninggal dunia,” lirihnya Caca.
Selina yang mendengarnya seketika tersenyum miring,” kayaknya aku bisa manfaatin gadis ini untuk melancarkan rencanaku bersama Mas Imran.”
Selina mendorong kursi rodanya menuju dimana Caca berada yang masih khusyuk bermunajat kehadirat Allah SWT. Caca tak henti-hentinya meneteskan air matanya.
“Mungkin ini adalah jawaban dari doa-doaku selama ini. Aku yakin melalui gadis muda ini, aku akan mendapatkan keturunan yang sudah lima tahun kami tunggu kehadirannya,” monolog Selina.
Selina duduk tak jauh dari tempatnya Caca yang terduduk tafakur di atas sajadahnya.
“Aku yakin dengan iming-iming uang yang banyak gadis cantik ini mau menjadi ibu dari anakku, aku perhatiin secara seksama gadis ini cantik juga, meskipun berpakaian sederhana dan dari kalangan orang miskin tapi, Aku yakin dengan sangat dia sangat cocok menjadi surrogate kami,” batinnya.
Caca menyudahi doanya dan hendak melipat mukenah yang dipakainya Itu, tapi sedikit terkejut karena Selina sudah duduk di samping kanannya sambil tersenyum.
“Ehh ibu Selina, ngapain di sini? Seharusnya ibu itu berdiam diri di dalam kamarnya ibu untuk istirahat total dan perbanyak bedrest. Takutnya suaminya ibu melihat kita berduaan dan menganggap aku ingin melukai ibu lagi,” ujarnya Caca yang bernada sarkasme.
Selina tersenyum canggung mendengarnya,” insha Allah, Mas Imran tidak akan marah malahan dia bakal bahagia.”
Keningnya mengernyit keheranan mendengarnya,” maksudnya, ibu apa?”
“Bisa nggak usah manggil pake ibu segala, aku baru 32 tahun soalnya. Belum tua-tua amat juga,” jawabnya yang diakhiri dengan candanya.
Mata yang berbinar, tertawa lepas, giginya terlihat, matanya tersenyum seperti bulan sabit. Terlihat dari matanya yang berbinar, bibirnya mengulum senyum.
“Mbak Selina, kayaknya aku harus balik duluan karena adikku butuh kehadiranku. Aku pamit Mbak assalamualaikum,” Caca hendak berjalan meninggalkan Selina tapi tangannya ditarik pelan oleh Selina.
Keningnya kembali berkerut kebingungan,” ada apa Mbak? Aku harus menemani adikku yang harus segera dioperasi. Mbak bisa hubungin atau panggil suaminya. Atau mungkin Mbak mau aku bantuin panggilkan suaminya?”
Selina menarik nafasnya terlebih dahulu kemudian membuangnya dengan sangat pelan-pelan sebelum berbicara.
“Aku bisa melunasi biaya pengobatan dan perawatan adikmu asalkan kamu bersedia menjadi ibu pengganti calon anakku,” ucapnya Selina dengan penuh ketegasan dan keyakinan di setiap katanya.
Caca terdiam seksama memikirkan apa arti dari ucapannya Selina perempuan yang menatapnya dengan tatapan mata yang berharap penuh kalau keinginan dan permintaannya diiyakan oleh Caca.
Caca ingin mengabaikan permintaannya Selina, tapi disisi lain adiknya Zidan butuh ditangani secepatnya jika tidak maka nyawanya yang akan menjadi taruhannya.
“Ya Allah, apakah ini adalah solusi yang paling tepat agar adikku bisa selamat dan terus hidup?” batinnya Caca.
“Kalau kamu lama menjawabnya bisa-bisa adikmu tidak selamat. Maaf bukanya aku berharap atau mendoakan saudaramu yang tidak-tidak, hanya saja karena kamu menundanya kemungkinan terburuk bisa saja terjadi,” imbuhnya Selina yang berusaha untuk meyakinkan dan mempengaruhi Caca.
Caca masih saja terdiam mematung sambil menimbang dan mendengarkan permintaan dari Selena. “Ya Allah, apakah ini adalah jalan yang Engkau berikan kepadaku? Abang Zacky juga tidak mungkin mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat,” gumamnya Caca.
Baru saja Caca hendak menjawab permintaannya, tapi kedatangan Imran membuat Caca kembali mengurungkan niatnya untuk berbicara.
“Aku balik dulu Mbak, assalamualaikum,” pamit Caca.
“Dek, gimana dengan permintaanku? Aku mohon penuhilah permintaanku ini. Kamu mungkin masih bisa punya anak lebih banyak lagi dimasa depan sedangkan aku sudah tidak punya harapan lagi untuk memiliki anak,” air matanya Selina menetes membasahi pipinya yang sedikit tirus.
Imran dibuat keheranan mendengar ucapan dari istrinya,” sayang, istriku maksudmu apa?”
“Mas, aku meminta adek ini menjadi ibu pengganti calon anak kita kelak kebetulan adiknya butuh pertolongan segera mungkin dan aku menawarkan bantuan kepadanya dengan cara dia hamil anak kita berdua dan setelah anak kita lahir dia harus pergi menjauh selamanya dari hidup kita berdua untuk selamanya!”
Imran bukannya marah atau pun melarang niatan istrinya karena ini sudah lama mereka rencanakan sebelumnya.
“Kami juga akan memberikan sejumlah uang untuk masa depan kamu dengan keluargamu yang paling penting kamu melahirkan anak untukku dan jika kamu berhasil melahirkan anak laki-laki maka kami akan memberikan bonus selain biaya hidup,” jelas Imran.
Caca kembali ingin berbicara tapi, tiba-tiba ponselnya bergetar di dalam saku celananya.
“Maaf, aku angkat telpon dulu, Pak,” ucap Caca.
Keningnya mengernyit melihat layar ponselnya memperlihatkan sebuah nomor hp yang sama sekali tidak dikenalnya.
“Jangan lama-lama berfikirnya adikmu butuh pertolongan,” ucap Imran yang yakin kalau Caca pasti akan menuruti perintahnya.
Caca berjalan sedikit menjauh dari kedua pasutri itu untuk mengangkat telponnya.
“Assalamualaikum, iya benar sekali Pak, saya Fanya Nadira Azzahra,” jawabnya Caca.
Caca mendengarkan baik-baik apa yang disampaikan oleh orang yang berada di seberang telpon.
“Astaghfirullah aladzim, itu tidak mungkin Pak. Tidak mungkin kakakku melakukan apa yang Bapak katakan!” Protesnya Caca yang tak ingin mempercayai apa yang dikatakan oleh orang yang tidak dikenalnya.
Air matanya kembali menetes membasahi pipinya, wajahnya memucat, keringat sebesar biji kacang terlihat mengalir di pelipisnya, bola matanya membulat sempurna, dadanya berdebar kencang sempurna saking terkejutnya mendengar kabar duka itu.
Caca terduduk di atas lantai, air matanya semakin terlihat deras membasahi pipinya yang sedikit tirus,” Ya Allah, cobaan apa lagi ini?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!