NovelToon NovelToon

MURID PALSU

Bagian 1

'Tolong..... Tolong..... Ada yang dibun*h di Toilet!'

Seorang pria berlari tergopoh-gopoh ketika menemukan seorang murid pria yang tergeletak di toilet belakang sekolah dengan keadaan bersimbah darah, kakinya yang lemas itu dipaksa lari untuk memberi tahu tentang apa yang dilihatnya.

Sontak teriakan pria itu membuat semuanya terkejut.

"Ada apa pak Rama? Tanya seorang pria yang berjabat sebagai kepala sekolah di SMA ANGKASA.

"Pak Jerry, a-ada yang diBun*h di Toilet belakang Pak." jawabnya dengan terbata-bata.

Seketika keadaan sekolah pun menjadi ramai, beberapa murid yang belum sempat pulang bergidik ngeri dengar kabar itu. Jerry Aurum selaku kepala sekolah pun langsung bertindak cepat untuk menghubungi pihak yang berwajib.

Suara sirine polisi dan ambulans terdengar memenuhi setiap penjuru gedung sekolah, Rama selaku saksi yang pertama kali melihat jasad itu pun sudah dimintai keterangan. Demikian Jerry dan beberapa guru yang ada disana sudah berkumpul dilapangan.

"Jadi, nama korban adalah Adam Sudam murid kelas 12 B?" tanya salah satu petugas kepolisian.

"Benar pak, saya sendiri wali kelas 12 B"

Orangtua Adam sudah dihubungi pun tiba disekolah, wanita yang merupakan Ibu Adam menangis histeris ketika melihat jasad putranya di bawa kedalam ambulans.

"Adaam.... Tidak mungkin Adaaam, jangan tinggalkan Mamah Nak."

Pria yang ada disebelahnya pun berusaha menenangkannya.

"Siapa yang sudah melakukan ini pada putraku? Aku akan menghukum kalian sampai m4t!" teriak Ayahnya Adam.

Para detektif pun langsung bergerak penyelidikan.

"Perkenalkan detektif Sean saya berharap kalian koperatif dalam menjawab semua pertanyaan yang saya berikan."

Satu persatu para murid di interogasi, namun tak ada yang mengarah pada pelaku dari penusukan itu.

"Disaat Adam Sudam diBun*h, kamu sedang berada dimana?" tanya detektif Sean pada salah satu murid laki-laki yang juga merupakan ketua Geng Motor.

Degang santainya murid laki-laki itu menjawab. "Saya tidak masuk sekolah, cek saja absensi Siswa kelas 12 C."

Lalu detektif Sean menyempitkan mata saat melihat beberapa luka lebam yang ada diwajah murid laki-laki itu.

"Wajah kamu kenapa?"

"Oh ini, saya berkelahi dengan anggota geng motor lainnya."

Walau murid laki-laki itu menjawab dengan tenang, namun detektif itu menaruh curiga padanya.

"Baiklah terimakasih atas waktunya, kamu sudah boleh pergi."

Penyelidikan masih berlanjut hingga memakan waktu sampe berbulan lamanya, barang bukti tidak ditemukan ditempat kejadian itu hingga menyulitkan para detektif mengungkap siapa pelakunya.

Detektif Sean dan rekan-rekannya menyambangi kediaman orangtua Adam untuk mengkonfirmasikan bahwa penyelidikan mereka stuck ditempat saja.

Terlihat raut wajah kecewa dari Budi Sudam ayah kandung Adam dan juga ibunya Sintya saat mendengar kabar yang disampaikan oleh detektif Sean itu.

"Ini mustahil, anak kami tidak mungkin bunuh diri ! Apa yang memicunya untuk melakukan tindakan bodoh seperti itu? Adam mendapatkan semuanya dirumah nya. kami memberi fasilitas yang baik saya yakin ini murni pembun*Han. Anak saya telah dilenyapkan oleh seseorang." ujar Sintya dengan tegas.

Detektif Sean menghela nafasnya. "Maaf Bu Sintya kami hanya bisa menyimpulkan seperti ini, karna menurut keterangan yang saya dapatkan dari teman sekelas Adam, Adam sering memaksakan kehendaknya sendiri tanpa perduli kan orang lain terluka atau tidak. Adam sering menggangu orang lain dan membully beberapa teman yang dianggapnya tidak selevel dengannya. Kami sudah mengintrogasi semua murid yang pernah di bully Adam namun mereka memiliki alibi yang kuat sehingga tidak ada yang bisa dijadikan tersangka."

Sintya membuat wajahnya sambil mendesah kecewa. "jadi kasus ini akan berhenti sampai disini?"

Detektif Sean pun mengangguk. "Kami sudah 3 bulan menganalisis kasus ini dan cukup mengganggu kegiatan belajar para murid disekolah Angkasa, dengan berat hati kami tidak bisa melanjutkan kasus Adam."

****

 3 bulan kemudian,

Hasifa Putriana, seorang wanita berusia 25 tahun yang berprofesi sebagai detektif di dalam sebuah badan intelijen negara, terpaksa menyamar sebagai Siswi di SMA ANGKASA demi mengungkap kasus pembunuhan yang telah di alami siswa bernama Adam Sudam. Adam Sudam ditemukan tewas di dalam toilet sekolah dengan luka tusuk dibagian perutnya.

Tak ada bukti dari kasus tersebut, dari pemilik yayasan, kepala sekolah, staf guru. Bahkan seluruh murid tidak ada yang bisa di jadikan tersangka. Detektif Sean yang semula menangani kasus itu pun sudah menyerah, karna kasus itu diam ditempat tanpa ada pergerakan kurang lebih selama tiga bulan ditangani oleh detektif Sean serta teamnya.

Orangtua Adam sendri bersih keras agar kasus putra nya memiliki titik terang, namun sampai saat ini tidak ada yang ditangkap jadi tersangka. Ayah Adam yang berprofesi sebagai pengusaha tambang yang cukup sukses dikotanya pun sudah mendesak para penegak keadilan untuk terus mengungkap kasus itu. Namun tetap saja pengaruh besar yang di miliki oleh Budi Sudam ayah kandung Adam tidak bisa membuat kasus itu berhasil diungkap.

Ibunya Adam yang bernama Sintya sudah hampir depresi karna kehilanganmu putra yang begitu dia sayangi.

"Kamu yakin akan meneruskan kasus ini Fa? tanya Sean saat mereka berada dikantor.

"Yakin bang, Abang selama ini keluar masuk kesekolah itu sebagai detektif. Jadi otomatis mereka berlaku sebaik mungkin agar tidak curiga. Maka dari itu saya akan masuk sebagai siswi baru dan perlahan menjadi teman mereka. Bukankah lebih baik berkamuflase sebagai teman yang baik di depan musuh?" ujar Hasifa.

Sean pun mengangguk setuju, tak lama kemudian seorang gadis seusia Hasifa pun datang dan bergabung berbicara dengan mereka.

"Astaga Fa, baru aja Lo selesai kasus pejabat itu dengan berkamuflase jadi babysitter. sekarang jadi cosplay jadi siswi SMA! Ngak habis pikir gue." tanya Anum, salah satu anggota yang bekerja disitu.

Hasifa pun terkekeh. "Lo kayak baru pertama kali kenal gue aja Num, anggap aja ini sebagai bentuk pengabdian terakhir. Sebelum gue resign dan pindah ke Paris, ini bakal jadi kasus terakhir gue." ujar Hasifa.

Anum menatap nanar pada rekan kerjanya itu, bekerja selama bertahun-tahun dengan Hasifa membuat Anum sudah menganggapnya lebih dari sekedar rekan kerja melainkan saudaranya sendiri.

"Lo serius mau pindah ke Paris Fa?"

"Kan gue udah bilang Num, sayang beasiswa gue ngak diterusin." ujar Hasifa.

Anum pun menghela nafasnya, walau dia tidak rela harus kehilangan sahabatnya itu, namun ia juga tidak mungkin menghalangi mimpi Hasifa untuk melanjutkan pendidikannya.

"Baiklah kalau kamu serius untuk ambil kasus ini, semua berkas tentang kasusnya Adam sudah tersusun disini, kamu kaji ulang saja Fa, semoga berhasil." ujar Sean sambil menyerahkan berkas berwarna coklat pada Hasifa.

Hasifa pun menerimanya. "Makasih yah bang."

"Sama-sama, Oh iya. Dari penyelidikan selama tiga bulan ini, sebenarnya saya sudah memiliki beberapa kandidat yang mungkin bisa dijadikan sebagai tersangka dari kasus pembunuhan*Han Adam." terang Sean.

Hasifa dan Anum menatap serius pada Sean. "Siapa bang?" tanya Hasifa.

Sean menghela nafas lalu dia menatap bergantian pada Hasifa dan Anum. "Ada satu murid yang terkenal sebagai ketua geng motor, geng itu berisikan lima orang pria. Geng itu bernama 'WOLVES' dan nama ketuanya adalah Gio Jhonatan. Seorang murid laki-laki yang di gandrungi hampir semua perempuan yang ada disana, sikapnya yang dingin, wajahnya yang tampan namun cukup misterius itu sudah melekat ditubuhnya yang tinggi dan tegap. Memiliki rahang yang tegas serta mata elang yang persis seperti laser yang siap membelah siapapun." ungkap Sean.

Hasifa terdiam sejenak setelah mendengar penjelasan dari pria itu. "Kenapa Abang mencurigai dia?" tanya Hasifa.

"Karna Adam terakhir kali bersitegang dengan Gio, Adam ingin sekali masuk kedalam geng WOLVES' namun Gio tidak mau menerimanya, selain itu. Gio juga tipe pria yang temperamental dan tidak segan menyerang siapapun yang berusaha mengusik hidupnya. Bisa jadi, Adam waktu itu terus memaksa untuk masuk ke dalam geng nya Gio, dan Gio hilang kendali." ujar Sean.

"Lalu apa yang Abang dapat waktu mengintrogasi dia?" tanya Anum.

"Dia cukup kompetitif dalam menjawab semua pertanyaan yang saya berikan dia juga memiliki alibi yang kuat untuk menyangkal tuduhan itu dengan bilang kalau sewaktu Adam terbunuh dia tidak ada disekolah, namun besoknya Gio masuk kesekolah dengan wajah yang memar seperti baru berkelahi dengan seseorang." ujar Sean.

Hasifa menghela nafas. "Apa dia salah satu anak petinggi disekolah Angkasa bang?"

Sean menggeleng. "Bukan, tapi dia seorang anak walikota bernama Aron Wasinton dan istrinya bernama Imelda."

Hasifa lalu mengangguk paham. "Baiklah, terimakasih atas semua infonya yah. bang kalau gitu aku bawah filenya ke meja kerjaku."

Sean mengangguk. "Good luck Fa! "

Hasifa tersenyum dan bangkit dari kursi, disusul Anum yang juga ikut keluar dari ruangan Sean.

"Lo dengar kan Fa, kalau kemarin Lo cuma berurusan cuma salah satu pejabat di kantor pemerintah, sekarang Lo berhadapan sama anak walikota langsung. Ayolah Fa pikir lagi." ujar Anum cemas.

Hasifa hanya tersenyum sambil menghempaskan tubuhnya diatas kursi kerjanya. "Num, tenang okeh? Gue cuma tinggal jadi bagian mereka, jadi murid SMA aja. Dan Lo mungkin lupa kalau umur gue lebih tua dari mereka, gue udah banyak melalui hal dalam hidup ini sampai yang paling pahit dan menyakitkan sekalipun. So, gue cuma minta Lo cukup support gue dan bantu gue jika adaan mendesak."

Anum membuang nafasnya dengan kasar. "Okeh, gue support Lo. Again!"

Hasifa tersenyum tipis sambil membentuk tanda love di jarinya untuk Anum, Anum hanya mendengus kesal saja.

******

Sore hari Hasifa bersiap untuk pulang kerumah, ia memakai helm terlebih dahulu kemudian naik keatas sepeda motornya yang selalu terparkir dengan gagah di halaman kantor itu. Tipe sepeda motor yang sering dipakai kaum pria itu akhirnya melaju membelah jalan dengan Hasifa yang mengendalikan nya. Mungkin sekilas orang-orang melihat Hasifa hanya seorang pria.

Sampai lampu merah Hasifa berhenti demi menaati peraturan lalulintas, banyak juga pengendara sepeda motor yang berhenti tepat disamping Hasifa. Termasuk para pemuda yang masih terlihat memakai seragam SMA berjumlah lima orang itu, motor yang mereka pakai bermodel sama dengan yang Hasifa pakai.

Salah satu dari mereka yang berada tepat disamping Hasifa pun menoleh. "Hey, mau balapan? Gue kasih Lo 50 juta kalau Lo bisa ngalahin gue dan teman-teman gue." ucapnya.

Hasifa pun menoleh tanpa membuka kaca helmnya, ia sempat ingin menolak ajakan pria itu namun kepalanya yang ditutup helm full face itu akhirnya mengangguk.

"Hitung-hitung hiburan buat gue." batin Hasifa.

Pemuda itu langsung mengacungkan jempolnya dan menutup kembali helm yang sempat dibukanya tadi, setelah lampu lalulintas berubah berwarna hijau, dalam sekali tarikan. Hasifa langsung melesat lebih cepat dari kelima pemuda itu, senyumannya pun terkembang dengan manis walau tertutup helm yang ia pakai.

Aksi saling ngejar pun terjadi, Hasifa terus memfokuskan diri saat salah satu dari pemuda itu hampir berhasil menyelinap. Hingga saat mereka akan melintas jalur yang biasanya banyak polisi bertugas Hasifa berbelok ke arah lain, meninggalkan semua musuhnya di belakang salah satu pemuda yang hampir berhasil menyelinap nya pun menepikan motornya di pinggir jalan dan tak lama semua temannya menyusulnya dari belakang.

"Kemana dia Yo?"

"Belok ke arah lain, kayaknya dia udah tau kalau ada polisi."

"Aiiish, ngak seruh ah, padahal cukup jago juga dia balapannya, sayang gue ngak sempat tanya dia anggota geng motor mana."

*****

Sementara itu, Hasifa yang mereka bicarakan itu sekarang telah sampai dirumah mewah berlantai dua yang berada di perumahan elit. Hasifa melangkah masuk kedalam rumah itu, rumah yang terlihat sepi dari luar karna semua penghuninya lagi sibuk dengan kegiatan masing-masing, namun melihat beberapa mobil mewah yang berjejer rapi di halaman rumah itu membuat Hasifa sudah bisa menebak sesuatu.

"Selamat sore semuanya." sapa Hasifa.

Sontak semua orang yang tengah duduk di sofa pun menoleh ke arahnya, senyum terkembang di bibir mereka saat melihat kedatangan Hasifa.

"Sayang kamu sudah pulang? Mommy Salsa kangen sekali sama kamu."

"Bunda Tiara juga rindu sama kamu.."

"Mama Kia juga sama, kangen sekali Nak."

"Sifa juga rindu Mommy, Bunda dan Mama." ucap Hasifa.

Mereka pun melerai dekapan itu, ketiga pria yang menjadi suami ketiga wanita itu ikut mendekat kepadanya.

"Gimana tugas kemarin, lancar kan semuanya?"

"Lancar Pi, baru kemarin orangnya diseret ke pengadilan." sahut Hasifa.

"Papi sudah menonton beritanya, kamu hebat Nak. Mau hadiah apa dari Papi? Kita jalan-jalan ke Korea yok? Sama Mami dan Cantika."

"Etsss, main ajak jalan-jalan aja, emangnya Hasifa cuma punya kamu dan Salsa doang? Hasifa punya tiga pasang orangtua dan juga tiga orang adik."

"Tau nih, si Leo. padahal gue yang punya hak asuh penuh pada Hasifa. Ingat yah nama Hasifa tercatat di kartu keluarga gue dan Kia. berati gue yang punya hak lebih ke Hasifa."

"Alah, emang kamu tuh suka memanfaatin privillage terus Lo. Jangan lupa Hasifa bisa masuk ke kartu keluarga karna emang waktu dulu, cuma Lo sama Kia aja yang udah menikah. Terpaksa kita semua melepasin hak asuh Hasifa sama Lo, walau gue ngak rela."

"He'em, gue juga sama, ngak rela."

"Oh jadi begitu yah saudara ku sekalian? Diam-diam Kalian menyimpan dendam?"

Perdebatan itu terus terjadi membuat Hasifa geleng-geleng kepala sambil terkekeh, perdebatan sering terjadi hanya untuk mendebatkan satu hal. Yaitu, Hasifa.

"Ya ampun udah deh mas, kenapa kalian pada ribut sih?" ucap Kia.

"Tau nih, anaknya pulang malah ribut." timpal Tiara dan Salsa mengangguk setuju.

"Sudah, berhenti semuanya. Apakah diantara semua orangtuaku ini tidak ada yang berkenan memberikan makan pada anaknya yang baru selesai bertugas ini? Hm, padahal aku sangat kelaparan dan hampir pingsan karna membayangkan masakan Bunda, Mama dan Mommy saat diperjalanan menuju kesini." ujar Hasifa sambil mengeluh.

"Oh, astaga! Ayoh kita makan sayang, Mama, Bunda dan Mommy sudah memasak makanan kesukaan kamu." ucap Tiara yang langsung menarik tangan Hasifa untuk menuju ke meja makan.

Semuanya pun mengikuti Hasifa, walau pun ketiga pria itu terdengar masih berdebat. Hasifa duduk di kursinya persis di depan meja makan yang sudah penuh oleh hidangan yang dimasak oleh ketiga wanita itu.

"Bunda ambilkan buat kamu yah sayang." ucap Tiara, seolah tak mau kalah Salsa dan Kia mengambilkan lauk pauk dan minuman untuk Hasifa.

"Begini nih, kalau anaknya udah pulang. Pasti lupa kalau udah punya suami." celetuk Rizal.

Mereka pun tertawa dan mulai mengambil makanan mereka masing-masing.

"Cantika, Cia dan Cahya mana? Mereka ngak mau makan bareng?" tanya Hasifa.

Semua orang pun saling menatap dan tak ada yang mau jawab, hal itu membuat Hasifa merasa heran.

"Ada apa ini?" tanya Hasifa sambil menatap mereka satu persatu dari ketiga pasangan orantuanya itu.

Hasifa tak ingin bertanya lagi, ia berniat bangkit dari duduknya, namun tiba-tiba semua terompet ditiup kearah belakang.

"Surprise!!" teriak ketiga anak yang suaranya sudah Hasifa hapal betul.

Semua orang bertepuk tangan dan bersorak hingga suasana berubah sangat meriah.

"Kalian ini, awas yah! Setelah ini kakak hukum satu-satu." ucap Hasifa dengan nada kesal.

"Ampun kak, ini semua idenya Cantika." ucap Cia.

"Aku juga disuruh Ayah." tukas Cantika yang membuat Rizal menunduk karna sudah tertangkap basah.

"Hem, sudah ku duga. pasti ini ulah Ayah." ucap Hasifa.

"Sudah yuk, kita mulai makannya. nanti keburu dingin, anak-anak kalian duduk di kursi masing-masing yah." ujar Kia

Kini, mereka pun sudah mulai menyantap makanan itu, walaupun masih dengan suasana meriah. Setelah makan bersama itu selesai, mereka menghabiskan waktu di ruang keluarga. Rumah Rizal dan Kia memang tempat berkumpul bagi semua orang, karna Hasifa lebih sering tinggal disana.

"Setalah kasus yang kemarin selesai, berarti kamu sudah mulai aktif kembali di kantor kan Sifa?" tanya Diko.

Hasifa menoleh dan tersenyum. "Ngak pih, ada kasus baru lagi. Dan Sifa akan kembali bergerak sebagai impostor."

Uhuuk .. Uhuukk...

Rizal langsung tersedak sama teh hangat yang sedang ia minum, tak hanya itu saja. Semua orang pun kini menatap dengan serius pada Hasifa.

"Kali ini harus jadi apa lagi Nak? tanya Tiara.

"Jadi anak SMA."

Bagian 2

POV Hasifa

17 tahun yang lalu...

Saat itu usiaku baru menginjak tujuh tahun, dimana aku harus mendapati kenyataan bahwa kedua orangtuaku tewas di tangan seorang pembunuh yang tidak aku ketahui siapa identitas nya. Yang aku tahu, ayah dan ibuku sudah terkapar bersimbah dar*h dirumah sederhana yang kami tempati. Rumah yang berada tak jauh dari daerah perbukitan.

Hidupku hancur bersamaan dengan gugurnya kedua orangtua ku. Entah kata apa yang pantas menggambarkan keadaan ku saat itu. Menangis pun rasanya tidak cukup untuk mengobati semua luka yang aku rasakan. Tidak ada sambutan hangat, tidak ada satupun yang memperdulikan nasibku yang malang. Hati teriris dan batin ku terasa diremas serta sesak yang menghimpit di dada. Untuk melanjutkan hidup pun, aku sudah tidak memiliki asa.

Hingga pada akhirnya aku diantarkan oleh kepala desa di tempat tinggalku ke sebuah panti asuhan bernama Permata Hati yang masih berada di daerah yang sama.

Hidupku langsung berubah saat aku harus menjalani hari-hari tanpa kedua orangtua ku lagi. Saat itu, Hasifa yang selalu ceria berubah menjadi seorang anak yang pendiam serta pemurung. Energi untuk melanjutkan hidup pun entah menguap kemana. Rasanya aku ingin ikut pergi saja bersama kedua orangtua ku.

Satu tahun berlalu...

Di pagi hari itu, semua orang berhamburan keluar karena desa tempat tinggal ku dilanda bencana alam. Semuanya sibuk menyelamatkan diri termasuk seluruh penghuni panti asuhan yang menjadi tempatku bernaung. Namun, dahsyat nya bencana itu mampu memporak-poranda kan semua tatanan desa, sehingga beberapa rumah menjadi hancur berkeping-keping. Untung saja, bencana itu tidak menghasilkan korban jiwa.

Kami berkumpul di tenda pengungsian untuk sementara waktu, hingga beberapa jam kemudian, bantuan dari berbagai organisasi serta pemerintah pun datang. Pakaian, makanan, minuman serta obat-obatan yang di tujukan untuk para korban bencana alam sudah sampai di lokasi.

Aku memiliki luka di lutut karena saat mencoba berlari menyelamatkan diri, aku terdorong oleh badan orang dewasa dan akhirnya terjatuh. Lututku mendarat di puing-puing bekas bangunan. Namun, entah kenapa aku tidak merasakan sakit, atau memang hidupku sudah terlanjur mati rasa. Lagipula, untuk apa aku berusaha menyelamatkan diri? Bukankah lebih baik aku gugur saja dalam bencana itu, sehingga aku bisa menyusul kedua orangtua ku.

Aku duduk di dalam tenda dengan memeluk kaki, aku melihat beberapa orang yang turun dari mobil bis, semua nya memakai baju berwarna putih dengan logo yang sama di bagian dada sebelah kiri nya. Aku terus menatap mereka, sampai akhirnya dua diantara mereka melihatku dan bergegas menghampiri ku.

"Hai, kami obati lutut kamu dulu, ya?" Ucap pria yang aku baca nama di tanda pengenal nya adalah Rizal Adipa.

Aku hanya terdiam di tempatku, membuat keduanya kebingungan dan saling pandang.

"Apa kamu tidak bisa bicara?" Selidik wanita yang kini aku baca namanya adalah Salsabila,

Karena aku masih tidak kunjung membuka suara, akhirnya mereka membuka kotak yang berisi berbagai macam obat. Perlahan, mereka mengobati lututku dan aku hanya menatap nya saja.

Mereka merasa aneh karena aku sama sekali tidak meringis kesakitan saat obat itu di oleskan.

"Sudah selesai, kalau kamu butuh sesuatu lagi, katakan saja ya pada kami."

Mereka sempat mengusap rambutku sebelum pergi untuk memeriksa warga yang lain di dalam tenda.

Sore hari, semua anggota organisasi yang menjadi relawan itu sedang beristirahat di tenda yang mereka buat khusus untuk menjadi tempat berkumpul sekaligus tempat tidur di malam hari.

"Zal, kamu ngerasa aneh gak sih, sama anak perempuan yang kita obati pertama kali itu? Dia sama sekali gak kesakitan waktu lutut nya kita obati. Tatapan mata nya juga aneh, kosong dan seperti tidak bernyawa." Ujar Salsa

Rizal mengangguk setuju, "Mungkin dia trauma karena kejadian ini."

Beberapa hari berlalu, semua korban bencana alam mulai bisa beradaptasi dengan kondisi yang terjadi. Para relawan yang masih ada disana pun membagi kan makanan kepada kami satu-persatu. Namun, entah kenapa aku malah duduk di dalam tenda dan tidak berselera untuk mengambil makanan itu.

Disaat anak-anak seusiaku mulai bermain dengan sangat ceria pun, aku tidak tertarik untuk bergabung. Dan sikapku yang seperti itu kembali mengundang perhatian dari kedua orang yang kemarin mengobati lutut ku.

"Hai, kamu tidak ingin ikut bermain? Mm, makanan nya kenapa tidak di ambil?" Tanya wanita bernama Salsa sambil melihat jatah makanan ku belum tersentuh sama sekali.

Tak lama, para relawan yang lain juga datang menghampiri ku. Dua orang wanita dan tiga pria yang salah satunya pria yang kemarin mengobati lutut ku.

"Dia anak yang kamu ceritakan itu, Sal?" Tanya seorang wanita bernama Kia.

"Iya, dia diam terus dan makanan nya juga gak diambil."

"Kamu ingin makan yang lain?"

Lagi-lagi, aku tidak membuka suara. Membuat mereka menghela nafas dengan kecewa. Tak lama, Bu Lara yang menjadi pengurus di panti asuhan pun mendekat.

"Maaf, ada apa ya?" Tanya Bu Lara karena melihat ku di kerumuni banyak orang.

Mereka pun menoleh dan lekas berdiri, "Mm, adik ini tidak mau makan apalagi bermain. Dia juga tidak mau bicara. Maaf, apakah dia memang tidak bisa bicara?" Tanya Salsa.

Bu Lara menatap ku sekilas dan ia menghela nafasnya, "Mari kita bicara di tempat lain. Saya akan ceritakan semuanya."

Keenam relawan itupun mengikuti Bu Lara, sedangkan aku masih diam di tempat.

Bu Lara dan keenam relawan itu duduk di tenda tempat para relawan berkumpul.

"Saya, Lara. Pengurus panti asuhan Permata Hati, tempat dimana Hasifa tinggal selama setahun ini."

Keenam relawan itu saling melempar tatapan, "Hasifa?" Tanya mereka serempak.

Bu Lara mengangguk, "Benar. Gadis yang kalian temui tadi itu bernama Hasifa, dia baru setahun tinggal di panti asuhan setelah kedua orangtua nya meninggal di waktu yang sama."

"Kecelakaan?" Tanya Rizal.

Bu Lara lalu menggeleng pelan, "Bukan, Kedua orangtuanya meninggal karena dibunuh oleh seseorang yang tidak di ketahui identitas nya sampai sekarang."

Keenam relawan itupun terkejut dengan bola mata yang melebar.

"Hasifa menjadi seorang anak yang pendiam setelah kejadian itu. Selama tinggal di panti asuhan pun dia terus diam menyendiri. Jarang sekali dia mau membuka suara nya, rasa trauma akan kehilangan kedua orangtua nya akan selalu membekas di dalam ingatan nya. Karena Hasifa sendiri lah yang pertama kali menemukan kedua orangtua nya tew's bersimbah dar*h di dalam rumah mereka. Semangat dalam dirinya sudah redup dia tidak ingin melanjutkan hidupnya, saya sendiri selalu menangis jika mengingat kisah hidupnya."

Ketiga relawan wanita itu kini sudah menitikkan airmata mereka, sedangkan para pria hanya bisa menunduk seraya merasa iba akan nasib yang Hasifa jalani.

Keesokan harinya, aku kembali di hampiri oleh keenam relawan itu, kini aku sampai mengenal semua namanya.

Rizal Sanopati, Salsabila, Kia Ayunda, Leonion, Diko Dikta dan Tiara Ayu. Keenam nya berusia 25 tahun saat itu. Ternyata mereka adalah sepasang kekasih sejak SMA, dan di diantara mereka, baru Rizal dan Ika saja yang sudah menikah, Salsa dan Leo serta Diko dan Tiara masih belum meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.

"Hasifa, kamu tahu tidak, apa pekerjaan seorang detektif?" Tanya Rizal.

Aku pun menggeleng karena memang tidak mengerti dengan yang di ucapkan nya.

"Detektif adalah orang yang bertugas mengungkap atau menyelidiki sebuah kasus, termasuk kasus pembunthan."

Aku yang semula tidak tertarik dengan pembicaraan itupun mendadak mengangkat wajahku.

"Apa pembun'h kedua orangtua ku bisa di temukan juga?" Ini pertama kalinya aku membuka suara di hadapan mereka. Hal itu pun membuat mereka tersenyum karena pada akhirnya aku mau berbicara.

"Bisa. Tentu saja bisa! Papanya Om Rizal adalah seorang detektif yang hebat. Kamu mau berkenalan dengan nya?"

Aku langsung mengangguk dengan begitu semangat, energi ku yang semula hilang entah kemana, kini sudah kembali lagi. Tekad ku saat itu adalah bertemu dengan detektif hebat yang di bicarakan oleh pria bernama Rizal itu. Aku ingin pembun'h kedua orangtua ku bisa di temukan dan berakhir di hukum dengan setimpal. Setidaknya, aku bisa melakukan hal terakhir untuk mendiang kedua orangtua ku.

Sebuah tawaran pun diberikan, aku diajak pergi ke kota tempat detektif itu tinggal. Aku meninggalkan desa yang kini sedang dilakukan proses pemulihan pasca bencana alam, Sedangkan aku pergi dengan keenam relawan itu ke kota tempat tinggal mereka.

Sesampainya di kota metropolitan itu, aku dibawa ke sebuah rumah yang begitu besar dan mewah, rumah yang biasa aku lihat di televisi, kini terpampang nyata di depan mata ku.

"Ayo, kita masuk." Ajak pria bernama Rizal itu, Aku pun menurut saja karena di dala fikiranku hanya terbersit bagaimana caranya menemukan pembun'h dari kedua orangtua ku. Sampai setelah aku menginjakkan kaki ke dalam rumah, aku melihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk di sofa sambil membaca koran,

Pria itu menatap padaku dengan kening yang berkerut, aku sempat takut dan ragu untuk mendekat ke arahnya.

"Pa, ini Hasifa, Anak yang Rizal ceritakan kemarin lewat telepon."

"Jadi ini, calon detektif hebat penerus Papa? Kemarilah, Nak. Saya sudah lama menunggu mu."

Kia menarik lenganku untuk mendekat pada pria itu, "Tidak usah takut, Hasifa, Dia pria yang baik, kalau dia jahat mungkin aku tidak akan mau jadi menantunya." Bisik Kia di telingaku.

Kini, posisi ku sudah berada dekat dengan pria itu.

"Siapa nama mu?" Tanya pria itu dengan serius.

"Hasifa."

"Lengkapnya?"

Aku pun menggeleng, "Hanya Hasifa saja."

Pria itupun mengangguk pelan, "Mulai sekarang namamu Hasifa Putriana Sanopati. Kamu akan menjadi bagian dari keluarga ini, Putraku Rizal dan menantuku Kia akan menjadi orangtuamu, dan saya Darma Sanopati adalah Kakek mu."

Aku terdiam mendengar ucapan pria itu, apakah benar kalau aku akan menjadi bagian dari keluarga ini? Disaat aku sudah terbiasa hidup sebatang kara setelah kepergian orangtua kandungku?

"Kakek akan mengajari kamu bagaimana caranya menjadi seorang detektif yang handal. Kelak, kamu sendiri yang akan menemukan siapa pembunth dari kedua orangtuamu, Hasifa."

Aku menjalani hidup di kota itu sebagai Hasifa Putriana Sanopati, dengan orangtua baru dan keluarga baru. Tidak disangka bahwa yang mengakui ku sebagai anak bukan hanya Rizal dan Kia yang sudah aku panggil Ayah dan ibu itu, tetapi Salsa dan Leo serta Diko dan Tiara pun ingin menjadi orangtua ku. Dengan panggilan yang berbeda. Mami Salsa dan Papi Leo, Papa Diko dan Mama Tiara begitulah aku memanggil mereka. Namun, namaku resmi masuk di keluarga Sanopati karena hanya Ayah Rizal dan Bunda Kia yang sudah resmi menikah dan memennuhi syarat untuk bisa mengadopsi seorang anak.

Awalnya, aku merasa heran, mengapa pasangan muda itu mau mengadopsi anak yang sudah berumur 8 tahun, sedangkan usia pernikahan mereka saja baru menginjak satu tahun. Mereka bahkan masih pantas untuk aku panggil Kakak.

Singkatnya, kini aku memiliki orangtua angkat berjumlah tiga pasang. Dengan kasih sayang yang sama, mereka selalu ada untukku. Mengajari ku banyak hal dan membuat hidupku kembali berarti. Hingga saat usiaku menginjak 17 tahun, dimana aku baru menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah atas, aku mulai bergerak untuk mencari pembuh yang telah membuat kedua orangtua ku pergi untuk selamanya.

Dengan berbekal ilmu yang aku dapat dari Kakek Darma, aku cukup bisa mengerti dengan cepat. Sehingga aku dengan mudah menemukan pembun'h itu yang tak lain adalah pamanku sendiri, adik dari mendiang Ayahku. Masalah yang memicu tindakan yang dilakukan pamanku adalah tentang harta warisan yang bahkan jumlah nya tidak seberapa, namun pamanku yang serakah berniat ingin menguasai nya sendiri.

Sampai ia gelap mata dan tega membunth kakak kandung serta kakak iparnya sendiri. Pantas pamanku terlihat biasa saja saat mendengar berita tentang kedua orangtuaku, aku menangis histeris pun tak ia pedulikan sama sekali, jangankan merangkul dan memeluk ku, menganggap ku ada saja tidak. Bahkan, ia sama sekali tidak berniat menahan ku saat kepala desa akan mengantarkan ku ke panti asuhan.

Alasan yang ia bilang adalah, ia belum mampu menafkahi ku. Padahal bisnis toko sembako nya masih berjaya kala itu.

"Apa paman sudah menikmati hasil dari apa yang paman perebutkan dengan Ayahku dulu?" Tanya ku saat berhadapan dengan pria itu di kantor polisi.

"Hahaha. Hasifa, Hasifa... Kamu tidak pernah bisa rela kedua orangtua mu itu m4ti? Andai saja Ayahmu dulu merelakan apa yang aku minta, mungkin kamu tidak akan jadi yatim piatu."

"Andai saja Ayahku tidak memiliki adik sepertimu, pasti dia masih hidup dan aku tidak akan menjadi yatim piatu. Sadarlah, orang yang harusnya tidak ada di dunia ini adalah kau, Paman. Bahkan mulut ku merasa berdosa memanggil mu dengan bentuk rasa hormat seperti itu. Andai saja kejadian itu terjadi saat aku sudah dewasa, mungkin pisau itu akan menyerang perutmu melalui tanganku. Syukurlah, saat itu aku masih kecil dan hanya bisa menangis. Tapi aku pun bersyukur karena kau panjang umur, setidaknya kedua orangtua ku bisa tenang di alam sana sambil menyaksikan mu yang terkurung di dalam jeruji besi." ujar Hasifa sambil melayangkan tatapan penuh intimidasi serta seringaian khas nya.

Flashback end...

Bagian 3

Ketiga pasang orangtua nya itu menatap serius pada Hasifa saat mendengar kalau anak mereka akan kembali bertugas untuk menyelidiki sebuah kasus yang belum terpecahkan. Raut wajah penuh kekhawatiran kembali muncul dari mereka ber-enam. Baru saja bisa bernafas lega karena Hasifa selamat dalam menjalankan misi nya. Kini gadis itu akan kembali menjalankan tugas yang sudah pasti cukup berat untuk dilakukan.

"Jadi anak SMA? Kamu belum bisa move on dari masa-masa SMA kamu enam tahun yang lalu? Sekarang masih harus sekolah lagi gitu maksudnya? Jadi murid SMA?" tanya Rizal.

"Papi tau, kamu memang senang berkamuflase jadi apapun. Tapi sekarang, kamu akan menjadi murid SMA lagi? Itu berarti kamu harus benar-benar menjalankan peran dengan sebaik-baiknya, Fa. Kamu juga akan bertemu dengan banyak orang, tidak seperti kemarin saat kamu berpura-pura jadi babysitter. Kamu hanya perlu menghadapi seorang bayi dan orangtuanya. Tapi sekarang, kamu harus kembali menjadi seorang murid hanya untuk menyelidiki sebuah kasus, Papi takut kalau identitas kamu akan terbongkar." ujar Leo.

"Tunggu deh, ini kasus nya tentang apa lagi, sih? Korupsi lagi?" sela Diko.

Hasifa langsung menggeleng pelan, "Bukan, Pa, Ini kasus pembunhan, Seorang murid laki-laki ditemukan dengan keadaan tidak bernyawa di gudang sekolah serta terdapat luka tusukan di perut nya. Detektif Sean yang menangani kasus ini tidak berhasil menemukan siapa pelaku yang sebenarnya, karena barang bukti juga hilang. Semua orang yang di curigai pun tidak bisa diseret sebagai tersangka karena tidak adanya bukti. Akhirnya, kasus ini haya berjalan ditempat selama kurang lebih 3 bulan. Maka dari itu, Detektif Sean menyerah." ungkap Hasifa.

"Dan kamu malah maju untuk menggantikan Detektif Sean. begitu?" Tanya Rizal.

Hasifa pun spontan mengangguk, "Dari sekian banyak orang yang ada di sekolah itu, apa mungkin salah satunya atau beberapa orang tidak bisa dijadikan tersangka? Ayah tau kan, kalau anak Ayah ini paling suka dengan kasus-kasus yang sulit untuk dipecahkan, itu sudah seperti tantangan tersendiri untuk ku."

Rizal, Leo dan Diko pun hanya bisa menghela nafas, mau mereka melarang seperti apapun, Hasifa akan tetap melakukannya.

"Gak ada cara lain apa, selain harus jadi murid di sekolah itu?" tanya Rizal.

"Terus Sifa harus jadi apa, Ayah? Jadi guru atau petugas kebersihan?"

Rizal memutar bola matanya, "Ya lebih baik jadi guru lah, daripada harus jadi murid SMA!"

"Sifa mau ngajar apa, Ayah? Lagipula melamar jadi guru belum tentu diterima, dan mereka juga pasti ingin melihat gelar sarjana aku dulu sebelum menerimaku untuk mengajar disana, Itu berarti aku harus memalsukan ijazah dan semua identitas ku dulu, lebih sulit jadinya. Maka dari itu, bukankah lebih mudah untuk masuk sebagai murid disana?"

Ketiga pria itupun terdiam di tempatnya masing-masing, membuat Hasifa merasa bersalah karena tidak menuruti keinginan mereka.

"Memangnya kenapa, sih? Sifa udah nggak cocok ya jadi siswi SMA? Wajah nya udah ketuaan?" Hasifa menampilkan puppy eyes nya yang membuat ketiga pria itu tak tega.

"Hasifa, ini bukan masalah cocok dan tidak cocok. Kamu mau jadi anak SMP seperti Cantika juga masih pantas. Kita semua lebih mencemaskan bagaimana nantinya kamu beradaptasi disana. Kamu juga harus menjalankan misi yang tidak mudah, anak SMA yang biasa kita kira polos belum tentu kenyataan nya seperti itu, kamu tidak tau ada rahasia besar apa dibalik kasus ini, bisa jadi hal ini akan menyeret beberapa orang penting di kota ini juga." ujar Rizal

"Benar, Fa. Kemarin saat kamu menyelidiki kasus di rumah pejabat itu saja, kami sudah ketakutan, Padahal lawan kamu sudah kami ketahui siapa identitas nya. Apalagi sekarang, kamu belum jelas berhadapan dengan siapa." timpal Leo.

Salsa, Kia dan Tiara yang sedari tadi hanya menyimak pun mulai membuka Suara.

"Sifa sayang, kami selalu mendukung kamu walau hati kami selalu dilanda ketakutan, tapi apapun yang menjadi keputusan kamu, kami harap kamu selalu berhasil dan selamat dengan kedaan utuh ya, Nak. Kasih sayang kami tidak perlu kamu ragukan, kamu tahu sendiri bagaimana kami menyayangi kamu seperti apa. Tapi, karena jiwa kamu sudah menyatu dengan apa yang kamu tekuni, maka kami akan mensupport kamu selalu. Asalkan kamu selalu berjanji akan baik-baik saja demi kami semua, para orangtua dan adik-adikmu." Ujar Kia dengan penuh pengertian.

Salsa dan Tiara mengangguk sebagai tanda bahwa mereka setuju dengan ucapan Kia. Hasifa menatap sendu ketiga wanita itu, ia benaar-benar beruntung bisa bertemu dengan sosok penyayang seperti mereka.

"Hasifa janji akan baik-baik saja. Bunda, Mami, Mama dan juga Ayah, Papi dan Papa, terimakasih banyak atas semua support yang selalu kalian berikan untuk Sifa, Tanpa kalian, Sifa tidak akan menjadi seperti sekarang, Sifa mengerti dengan kecemasan dan ketakutan kalian, tetapi Hasifa masih harus menjalani tugas dengan profesional. Hasifa sudah terlanjur mencintai pekerjaan ini, karena dengan menjadi seorang detektif, Hasifa bisa menemukan orang-orang yang pantas mendapat hukuman dari apa yang mereka perbuat. Termasuk dengan kasus yang akan Sifa tangani ini, orangtua korban masih menangisi anak mereka yang dibunth oleh seseorang dan pelakunya masih berkeliaran dengan bebas diluar sana, ini sungguh tidak adil. Sifa akan cepat menemukan pelaku yang sebenarnya walau sesulit dan sebahaya apapun."

Mereka pun mengangguk dan akhirnya mengizinkan Hasifa untuk melakukan tugasnya.

"Ini akan menjadi kasus terakhir yang kamu tangani kan, Fa? Kamu tidak lupa kan, kalau kamu akan melanjutkan S2 di Korea?" tanya Leo.

Hasifa pun mengangguk, "lya, Pi. Ini akan jadi kasus terakhir untuk Hasifa."

Semua orangtua nya pun menghela nafas lega, setidaknya ini adalah terakhir kalinya mereka akan merasa ketakutan akan resiko yang di dapat saat Hasifa menjalankan tugasnya.

Malam hari. Hasifa sudah berada di kamar nya, setelah kurang lebih satu bulan ia tidak pulang ke rumah dan bertemu dengan ketiga orangtua nya serta ketiga adiknya. Tuntutan tugas yang harus ia selesaikan, membuat Hasifa harus meninggalkan rumah dalam kurun waktu yang sangat lama, Belum lagi ia harus bergantian menjalankan tugas wajib yaitu menginap di rumah orangtua nya yang lain.

Hasifa akan berpindah tempat tinggal selama seminggu berturut-turut. Dan minggu besok, ia akan tinggal dirumah Mami dan Papi nya, lalu minggu berikutnya ia akan tinggal dirumah Mama dan Papa nya. Hal itu memang sudah menjadi kesepakatan yang mereka buat dari sewaktu Hasifa ikut dengan mereka ke kota.

Hasifa beranjak dari tempat tidurnya menuju ke meja kerjanya, Hasifa duduk sambil menatap layar komputer dan segera melakukan pencarian melalui internet. Jarinya mulai menekan beberapa huruf di laman pencarian. Saat ia sudah mengetik seluruh kosa katanya, barulah ia mengarahkan kursor pada tombol pencarian.

Dalam beberapa detik, beberapa artikel pun muncul memenuhi layar. Berbagai macam judul tertera disana, dan Hasifa mengklik artikel paling atas. Dimana ia bisa melihat potret dari sebuah keluarga yang terlihat bahagia.

"Hm, cukup menarik. Kira-kira apa yang di sembunyikan oleh Perfect Family ini? Suami bekerja sebagai pengusaha tambang, sang istri memiliki usaha restoran yang cukup terkenal, dan putra semata wayang mereka tidak pernah terlibat dalam kenakalan remaja dan sebagainya. Lalu, kenapa Adam dibunh? Masuk akal jika memang ada yang iri dengan nasibnya yang cukup sempurna ini. Dia juga pantas menolak beberapa wanita yang menyukai nya, melihat wajah nya yang cukup tampan sebagai seorang pria." Ujar Hasifa.

Jarinya kembali mengetik sebuah nama di kolom pencarian, kini ia bisa melihat beberapa artikel yang dimuat tentang seorang walikota bernama Aron Wasinton. Tak ada yang bisa Sifa temukan kecuali berita-berita tentang kegiatan pria itu selama kepemimpinan nya sebagai walikota, Semua berita yang dimuat tidak ada yang berkonotasi negatif.

"Entah karena dia seorang pemimpin yang jujur, atau memang semua kasus-kasus skandal nya sudah berhasil ditutupi." gumam Hasifa.

Lalu, ia terpaku pada sosok pemuda yang dicurigai sebagai pelaku pembunthan itu oleh Sean. Ciri-ciri yang Sean katakan memang sama persis dengan yang ia lihat di layar komputer nya.

"Wajah yang cukup memikat bagi semua wanita. Sekaligus menjerat siapa saja yang berani mengusiknya. Gio Jhonatan , is that you? Orang yang sudah menghilangkan nyawa Adam?"

Hasifa bangkit dari kursi sambil menunggu lembar foto yang sedang ia print. Setelah hasilnya keluar, Hasifa membawa foto itu untuk ia tempelkan pada sebuah page board di dinding kamarnya.

"Baiklah, ayo kita mulai dengan kerangka nya terlebih dahulu."

Hasifa menempatkan foto Adam di bagian paling atas dan disusul oleh kedua orangtua nya. Lalu, ia menempatkan foto Gio di bawah nya dengan di labeli sebagai kandidat tersangka pertama yang dicurigai.

"Kita lihat, foto siapa lagi yang akan memenuhi dinding ini," ucap Hasifa sambil menampilkan seringaian khas nya.

**

Keesokan harinya, Sifa menikmati sarapan dengan keluarga nya. Keluarga Sanopati yang sudah menjadi identitas nya.

"Kunjungi dulu Kakek kamu setelah sarapan pagi. Dia terus mengoceh karena kamu belum menemuinya." Cetus Rizal.

"lya, Sifa memang berniat mengunjungi Kakek Darma hari ini."

"Hm, baguslah. Bilang padanya, jangan sering marah-marah, nanti makin tua."

"Husst! Kamu ini bercanda nya keterlaluan, Mas. Dia itu Papa kamu." Sungut Kia.

Rizal pun terkekeh sambil mencubit lengan Kia, "lya maaf istriku yang paling cantik."

Kia mencebikkan bibirnya pada sang suami, "Mengenai pendaftaran kamu ke sekolah itu, akan di urus oleh siapa, sayang?" Tanya Kia pada Hasifa.

"Katanya sih mau di urus Papi Leo sama Mama Salsa." Jawab Hasifa.

Kia pun mengangguk, "Terus, setelah mengunjungi Kakek Dar, kamu mau kemana lagi, sayang?" Tanya Kia.

Sifa pun berfikir sejenak dan beberapa detik kemudian, ia langsung tersenyum manis, "Temenin Sifa ke Salon yuk, Bunda. Sifa kan perlu merubah penampilan agar terlihat seperti anak SMA sungguhan."

Kia pun spontan mengangguk, "Yuk, kita nyalon hari ini. Udah lama juga uang Ayah kamu nggak kita kuras, Fa." Cetus Kia.

Rizal pun memutar kedua bola matanya dengan malas, "Pada nginep sekalian di salon, Biar aku sama Cantika berdua jagain rumah." Sungut Rizal.

Kia dan Sifa pun tertawa, paling suka kalau sudah menjahili pria itu.

Pukul dua siang, Sifa dan Kia singgah dulu sebentar di sebuah rumah sederhana yang sekitar halaman nya di penuhi oleh berbagai macam tanaman, Rumah itu sangat terawat dengan baik. Sifa melangkah masuk dan langsung memeluk seorang pria yang sedang membaca koran di teras belakang.

"Hm, akhirnya detektif hebat ini datang juga ke rumah ku." Ucap pria paruh baya itu.

"Kakek. Maaf, Sifa baru selesai bertugas." Sifa pun duduk di dekat Darma, salah satu pria yang telah berjasa dalam hidup nya.

"Mm, bagaimana hasilnya? Dia sudah mendapat hukumannya?"

Sifa mengangguk cepat, "Menangkap seorang penjahat bukanlah hal sulit untuk Sifa, Kek." cetus Sifa berbangga.

Darma pun tersenyum, "Ilmu kamu semakin banyak. Tapi ingat, tetaplah hati-hati."

"Siap !" seru Sifa sambil memberikan hormat pada Darma.

"Bagus. Lalu, setelah ini kamu akan kembali bekerja di kantor saja, kan?"

Sifa terdiam, ia ragu untuk mengatakan kalau ia akan kembali bertugas untuk mengungkap sebuah kasus baru lagi.

Melihat Hasifa yang terdiam, membuat Darma menghela nafasnya, "Kamu akan kembali bertugas diluar? Kasus apa kali ini?"

Sifa menatap pria itu dengan serius, "Kasus pembunthan, Kek. Sifa juga kesini sekaligus ingin meminta restu dari Kakek. Baru kali ini Sifa mendapat kasus pembun han lagi setelah sekian lama."

Darma memegang pundak Sifa, "Kakek merestui kamu. Kalau kamu merasa berat dan kesulitan, datanglah kesini, Kakek akan membantu kamu."

Sifa tersenyum sembari mengangguk, "Terimakasih, Kakek memang yang terbaik!" seru Hasifa.

Sore harinya, Sifa dan Kia benar-benar pergi ke salon untuk merawat diri, lebih tepatnya untuk merubah sedikit dari penampilan Sifa agar terlihat seperti siswi SMA sungguhan.

Salon yang cukup ramai dan tentunya sangat terkenal di kalangan wanita sosialita itu sudah pasti memiliki kualitas yang tinggi, bukan hanya tempatnya saja yang mewah, seluruh pegawai disana pun direkrut langsung dari bidangnya. Sehingga, pekerjaan mereka selalu profesional dan memuaskan.

Sifa dan Kia duduk bersebelahan, tak lama seorang pegawai salon pun mendekat pada mereka.

"Ingin melakukan treatment apa, Dek?"

Sifa menatap wanita itu dan tersenyum, "Tolong rubah rambut saya seperti gadis SMA"

"Lho, memangnya umur kamu berapa? Saya fikir kamu memang masih sekolah." Jawab wanita itu dengan kedua alis yang berkerut.

Sifa pun menoleh pada bundanya, dan Kia terlihat sedang menahan tawa.

"Mm, iya saya masih sekolah. Maksud nya, saya ingin terlihat lebih muda lagi. Bisa kan?"

Wanita itupun mengangguk faham, "Pasti bisa, itu memang sudah tugas seorang hair stylist, saya akan melakukan apa yang diminta oleh pelanggan. Ya sudah, kita mulai saja ya sekarang."

Sifa mengangguk pelan dan membiarkan wanita itu mulai melakukan pekerjaan nya. Di sampingnya, Kia pun sudah mulai melakukan treatment dengan dilayani oleh pegawai salon yang lain.

Beberapa menit berlalu, Sifa pun mulai bosan, la memang bukan tipe wanita yang sering pergi ke salon, la akan pergi ke tempat itu hanya saat Bunda, Mami serta Mamanya memaksa agar Sifa ikut bersama mereka, Sifa lebih suka mengeksplore dirinya dengan hal-hal yang lebih menantang.

Latihan bela diri, berkuda, memanah, menembak, berenang, dan berburu adalah hobinya. Di banding pergi ke salon dan berbelanja bersama ketiga ibunya, ia lebih suka melakukan aktivitas yang sering dilakukan oleh ketiga Papanya.

Waktu berlalu, akhirnya Sifa sudah selesai dirubah penampilannya. Rambutnya masih memiliki panjang sebahu, namun kini bentuknya saja yang berbeda. Yang tadinya rambut itu bergaya belah dua ditengah, kini Sifa memiliki poni di kening nya.

Membuat ia benar-benar terlihat seperti gadis yang polos dan manis.

"Gimana, apa kurang remaja gaya rambutnya?" Tanya pegawai salon itu.

Kia yang baru selesai melakukan treatment di wajah pun terpukau dengan penampilan Hasifa. "Wah, anak Bunda cantik sekali. Kamu jadi sama seperti Cantika, Fa."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!