NovelToon NovelToon

Mencari Kebahagiaan

Luka yang tidak terlihat

Hujan turun perlahan, menyatu dengan air mata yang tak mampu Aira tahan lagi. Malam itu, di sudut kamar yang sepi, ia duduk memeluk lutut, mencoba merangkai kekuatan dari kepingan hatinya yang hancur.

Sudah terlalu lama ia bertahan dalam hubungan yang membuatnya kehilangan diri sendiri. Cinta yang seharusnya menjadi tempat pulang, kini justru menjadi penjara tanpa jeruji.

Delon tak lagi menjadi sosok yang ia kenal dulu. Kata-kata manis berubah menjadi sindiran tajam, perhatian menjadi pengawasan, dan cinta menjadi kontrol. Aira menyadari—ini bukan cinta. Ini luka yang tersamarkan oleh kenangan.

Dan malam itu, di tengah isak yang lirih, Aira mengambil keputusan terberat namun paling berani dalam hidupnya: ia akan pergi.

Bukan untuk lari, tapi untuk menemukan kembali siapa dirinya dan apa arti kebahagiaan yang sesungguhnya.

Perjalanan itu dimulai… dari titik paling gelap, menuju cahaya yang selama ini ia lupakan—dirinya sendiri.

Pagi itu, matahari bersinar cerah. Tapi bagi Aira, hari terasa kelabu. Ia duduk di meja makan, menyuap sarapan yang nyaris tak tersentuh.

Di seberangnya, Delon sibuk dengan ponselnya, tak mengucap sepatah kata pun.

Sudah beberapa bulan terakhir, pagi mereka seperti ini—hening, dingin, dan asing.

“Kenapa kamu nggak bilang mau pulang larut semalam?” Aira mencoba membuka pembicaraan, suaranya pelan.

Delon mendongak, wajahnya datar. “Kenapa? Emangnya aku harus izin setiap mau ke mana?”

Aira terdiam. Pertanyaan itu bukan untuk menyalahkan, hanya ingin tahu. Tapi Delon selalu mengartikannya sebagai serangan.

“Aku cuma khawatir,” jawabnya lirih.

Delon mendesah panjang, bangkit dari kursinya. “Khawatir? Jangan lebay, Aira. Aku butuh ruang. Jangan melarang aku dengan drama kamu setiap hari.”

Aira menunduk. Kata-kata itu menyayat, tapi ia sudah terlalu sering mendengarnya.

Setiap kali ia mencoba bicara, yang datang hanya amarah dan tuduhan.

Ia mulai ragu pada dirinya sendiri—apa benar semua ini salahnya?

Di tempat kerja, Aira berpura-pura tersenyum. Tapi di balik senyum itu, ia menyimpan banyak tanya: kapan terakhir kali ia merasa bahagia? Kapan terakhir kali ia merasa cukup?

Malamnya, Aira berdiri di depan cermin. Ia menatap wajahnya yang lelah, matanya yang kehilangan cahaya. Lalu sebuah bisikan muncul di benaknya, pelan namun tegas:

Kalau kamu nggak pergi sekarang, kamu akan hancur selamanya.

Di dalam kamar, Aira membuka lemari dan menarik keluar sebuah kotak kecil. Isinya penuh dengan surat-surat, tiket bioskop, dan foto-foto lama bersama Delon—kenangan masa lalu yang pernah membuatnya tersenyum. Tapi kini, semua itu hanya meninggalkan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan.

Ia memegang salah satu foto mereka di pantai. Di foto itu, Delon tersenyum sambil menggenggam tangan Aira erat.

Semua terlihat sempurna, namun hanya Aira yang tahu bahwa beberapa saat setelah foto itu diambil, mereka bertengkar hebat hanya karena Aira menolak meminjamkan ponselnya.

Perlahan, Aira menyadari satu hal: hubungan mereka dibangun bukan atas kepercayaan, tapi ketakutan.

Ia takut membuat Delon marah, takut ditinggalkan, takut dianggap tidak cukup baik.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Delon masuk:

 “Jangan lupa masak malam ini. Aku bawa teman.”

Tanpa “tolong”, tanpa “apa kabar”, tanpa “aku sayang kamu.” Aira menggigit bibirnya sendiri, menahan amarah yang tak tahu harus diarahkan ke siapa. Dirinya? Delon? Atau dunia yang terus membuatnya merasa salah mencintai?

Ia berjalan menuju dapur, mulai memotong bahan masakan sambil menahan air mata. Setiap gerakan terasa mekanis, seperti robot yang hanya menjalankan perintah.

Tapi malam itu, saat semua telah sunyi, Aira duduk di tempat tidurnya dan menulis satu kalimat di buku catatannya:

“Aku harus pergi, sebelum aku benar-benar hilang.”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidur sambil memeluk harapan kecil—bahwa mungkin, suatu hari nanti, ia akan benar-benar bebas.

Malam itu, Aira sudah menyiapkan meja makan dengan hati-hati. Tiga jenis lauk terhidang, semuanya masakan kesukaan Delon. Ia bahkan menyempatkan diri membeli bunga segar dan merapikan ruang tamu yang sudah lama dibiarkan berantakan. Dalam hatinya, masih ada sedikit harapan—mungkin Delon akan berubah, mungkin ia akan menyadari usahanya.

Sekitar pukul delapan malam, suara tawa keras terdengar dari luar. Pintu terbuka dengan kasar. Delon masuk, disusul oleh tiga wanita berpakaian mencolok. Wajah mereka asing, tapi mereka bertingkah seolah rumah itu milik mereka.

“Aira, mana makanannya? Kami lapar,” ujar Delon, tanpa memperkenalkan siapa pun.

Aira tertegun. Ia tidak menyangka Delon akan membawa teman sebanyak itu—apalagi semuanya perempuan.

“Ini sudah disiapkan,” jawab Aira pelan, berusaha tersenyum walau dadanya sesak.

Salah satu wanita melirik Aira dari ujung kepala hingga kaki, lalu berbisik sambil tertawa pada temannya. Delon ikut tertawa. “Kamu harus dandan lebih sering, Ra. Lihat mereka, baru enak dilihat.”

Aira menunduk. Kata-kata itu menusuk, tapi ia sudah terlalu sering mendengarnya. Ia melayani mereka makan, menyuguhkan minuman, bahkan membersihkan meja saat mereka tertawa keras dan membicarakan hal-hal yang membuatnya merasa asing di rumahnya sendiri.

Ketika semua tamu pergi, Aira mendapati dirinya sendirian di dapur, mencuci piring sambil menahan air mata. Delon duduk santai di sofa, memainkan ponselnya tanpa sedikit pun berterima kasih.

“Kalau kamu nggak betah, kamu bisa pergi,” katanya tiba-tiba, tanpa menoleh.

Kata-kata itu menghentikan tangan Aira. Ia berdiri kaku, punggungnya gemetar, bukan karena takut—tapi karena kesadarannya baru saja sampai pada titik akhir.

Dan malam itu, Aira tahu, ini bukan lagi tentang bertahan. Ini tentang menyelamatkan dirinya sendiri.

Setelah para tamu selesai makan, mereka tertawa keras di ruang tamu, membicarakan pesta akhir pekan dan tempat-tempat mahal yang tak pernah Aira datangi. Aira, seperti bayangan di rumah sendiri, sibuk membereskan meja makan. Ia membawa piring-piring kotor ke dapur dengan hati yang sudah terlalu sering diabaikan.

Delon masuk sambil membawa dua piring kotor terakhir. Tapi alih-alih meletakkannya di meja, ia melemparkan piring-piring itu ke lantai dapur dengan suara keras. Piring pecah berserakan, serpihan kaca meluncur ke dekat kaki Aira.

“Bersihin! Itu kerjaan kamu, kan?” bentak Delon, suaranya lantang hingga terdengar ke ruang tamu.

Aira terkejut. Ia menatap pecahan piring itu, lalu menoleh ke arah Delon. Matanya bergetar, bukan karena takut—tapi karena amarah dan rasa malu yang menumpuk jadi satu.

Salah satu wanita yang tadi datang ikut masuk ke dapur dan berdiri di ambang pintu. Ia tertawa pelan, menatap Aira dengan pandangan meremehkan.

“Dia ini pembantu atau pacar sih?” celetuknya sambil mengunyah permen karet.

Delon tertawa. “Pacar? Dia terlalu sensitif buat dibilang pacar. Tapi ya, selama dia mau nurut, nggak masalah.”

Aira menahan napas. Dadanya sesak. Tangannya gemetar saat ia mengambil sapu dan pengki, berlutut untuk mengumpulkan pecahan kaca. Ia bisa merasakan tatapan wanita itu di punggungnya, seperti menertawakan harga dirinya yang hancur berkeping-keping, sama seperti piring di lantai.

Tapi ia tetap menyapu. Bukan karena takut, bukan karena lemah—tapi karena ia tahu, ini akan jadi malam terakhir ia diperlakukan seperti ini. Ia hanya butuh satu dorongan terakhir untuk benar-benar pergi. Dan malam ini, Delon memberikannya.

Delon berjalan keluar dapur tanpa menoleh. “Cepat beresin. Nanti kita ngobrol soal siapa kamu sebenarnya di rumah ini,” ucapnya sinis.

Dan Aira tahu, ia tidak akan menunggu sampai percakapan itu terjadi.

Keputusan yang terlambat namun tepat

Keesokan paginya, rumah masih sunyi. Sisa-sisa pesta semalam masih berserakan di ruang tamu.

Gelas kosong, tisu bekas, dan sepatu yang tergeletak sembarangan membuat rumah itu tampak seperti bukan milik Aira lagi.

Delon bangun dengan wajah masam. Ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas, lalu menutupnya kembali dengan kasar.

"Mana kopi ku" tanyanya ketus.

Aira yang sedang melipat pakaian di ruang tengah menoleh pelan.

"Kamu bisa bikin sendiri, Delon. Aku lagi beresin baju."

Delon menatapnya tajam. "Sekarang kamu mulai membantah? Gara-gara semalam? Jangan drama deh. Itu cuma piring. Nggak usah lebay."

Aira menghela napas, menahan emosi yang mendidih di dalam dirinya.

Ia tidak menjawab. Tapi diamnya malah membuat Delon semakin naik pitam.

Delon menghampirinya, merebut pakaian yang sedang dilipat dan melemparkannya ke lantai.

“Aku yang bayarin semuanya di rumah ini! Makan kamu, tempat tinggal kamu! Sekarang kamu malah sok melawan?”

Aira menatap pakaian yang berserakan di lantai. Tangannya mengepal. Kali ini, tidak ada air mata. Hanya ketegasan.

“Aku nggak butuh dibayar untuk dihargai, Delon,” katanya pelan, tapi penuh keteguhan.

“Dan kamu udah terlalu lama memperlakukan aku seperti aku ini bukan siapa-siapa.”

Delon tertawa sinis. “Kamu mau apa? Keluar dari rumah ini? Silakan!”

Aira menatapnya. Dingin. Tenang. Tapi penuh luka yang tak akan ia izinkan tumbuh lagi.

“Iya. Aku akan pergi,” ucapnya.

Delon terdiam, seolah tak menyangka kata-kata itu benar-benar keluar dari mulut Aira.

Tapi Aira sudah bergerak. Ia mengambil tas ranselnya, memasukkan pakaian secukupnya, dompet, dan buku catatan kecil yang selama ini menjadi tempatnya menyimpan perasaan yang tak bisa ia ucapkan.

Tanpa tergesa, ia berjalan ke pintu. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi.

“Terima kasih karena kamu udah nunjukin siapa kamu sebenarnya. Sekarang aku tahu... aku layak untuk hidup yang lebih baik.”

Dan untuk pertama kalinya, Aira membuka pintu rumah bukan untuk menyambut seseorang, tapi untuk membebaskan dirinya sendiri.

Langkahnya ringan, meski dadanya sesak. Tapi ia tahu, kepergian ini bukan akhir.

Ini awal. Awal dari pencarian dirinya yang sesungguhnya.

Bus melaju pelan menyusuri jalanan kota. Di dalamnya, Aira duduk diam memandangi langit yang mulai berubah warna.

Tangannya menggenggam erat ransel di pangkuan, seperti mencoba merangkul sisa keberanian yang ia punya.

Sesampainya di depan rumah Dinda, Aira sempat ragu melangkah. Sudah lama mereka tidak bicara akrab.

Tapi sebelum sempat ia mengurungkan niat, pintu rumah terbuka.

Dinda berdiri di ambang pintu, tersenyum hangat meski matanya menatap penuh tanya.

Aira melangkah pelan, dan saat jarak mereka cukup dekat, Dinda langsung memeluknya erat.

Pelukan itu hangat—bukan karena kasihan, tapi karena rasa peduli yang tak pernah benar-benar hilang.

“Kamu terlambat datang ke titik ini, Ra. Tapi aku bangga akhirnya kamu berani pergi,” bisik Dinda.

Aira membalas pelukannya, menahan air mata yang hampir jatuh.

“Terima kasih udah mau nerima aku,” jawabnya pelan.

Hari itu Aira menginap di kamar tamu rumah Dinda. Ia duduk di ranjang kecil, menatap langit-langit, meresapi keheningan yang berbeda.

Tak ada bentakan. Tak ada sindiran. Tak ada rasa takut saat hendak memejamkan mata.

Malamnya, Dinda masuk ke kamar sambil membawa dua cangkir teh hangat.

Mereka duduk berdampingan, seperti dulu sebelum semuanya berubah.

“Aku pikir kamu udah nggak mau ngobrol sama aku sejak kamu milih Delon,” kata Aira sambil memegang cangkirnya.

Dinda tersenyum miris. “Bukan nggak mau. Aku cuma nggak bisa lihat kamu menyakiti diri sendiri dan pura-pura bahagia.”

Aira mengangguk. “Aku juga baru sadar... aku hilang terlalu jauh. Aku bukan Aira yang dulu lagi.”

“Tapi kamu bisa jadi Aira yang baru,” ucap Dinda mantap. “Yang lebih kuat. Yang lebih bahagia. Asal kamu mau sembuh.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Aira tidur nyenyak.

Bukan karena semua luka sudah hilang, tapi karena akhirnya... ia berada di tempat yang aman.

Pagi menyapa dengan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar tamu. Aira terbangun dengan perasaan asing—tenang.

Tidak ada suara pintu dibanting. Tidak ada ponsel berdering dengan pesan perintah. Yang terdengar hanya suara burung dan aroma roti panggang dari dapur.

Ia berjalan ke luar kamar, menemukan Dinda sudah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan.

“Tidurmu nyenyak?” tanya Dinda sambil menyajikan telur dan roti.

Aira mengangguk, lalu duduk di kursi kayu. “Aku bahkan lupa rasanya tidur tanpa rasa takut.”

Mereka makan dalam diam, tapi bukan diam yang canggung—melainkan nyaman.

Aira tahu, hari itu ia harus mulai dari awal. Hidupnya bukan lagi tentang Delon. Ia harus mulai memikirkan masa depannya sendiri.

“Din, aku mau cari kerja lagi. Mulai dari nol nggak apa-apa, yang penting aku berdiri di atas kaki sendiri,” kata Aira.

Dinda mengangguk dengan senyum. “Itu langkah bagus. Tapi jangan buru-buru. Sembuhkan dulu dirimu. Kamu berhak bahagia, bukan sekadar sibuk lari dari masa lalu.”

Aira terdiam. Kata-kata itu seperti menampar, tapi dengan kasih.

Benar—selama ini ia terlalu sibuk bertahan, hingga lupa rasanya memperjuangkan diri sendiri.

Siang harinya, Aira membuka buku catatan kecil yang selalu ia bawa. Di halaman kosong, ia mulai menulis:

Hari pertama tanpa Delon.

Aku tidak hancur. Aku bernapas. Aku bebas.

Mungkin ini bukan akhir dunia. Mungkin... ini awal dari hidupku yang sebenarnya.

Ia menulis dengan air mata menetes—bukan karena sedih, tapi karena lega. Ia telah memutuskan untuk pergi, dan ternyata... dunia tidak runtuh.

Hari-hari pertama di rumah Dinda berjalan pelan, seperti potongan waktu yang memberi ruang bagi Aira untuk bernapas kembali.

Tidak ada lagi tekanan, tidak ada suara keras, tidak ada wajah yang mencibir setiap gerak-geriknya.

Tapi di dalam hati, luka masih menganga. Luka yang tak tampak dari luar, tapi menyesakkan di dalam.

Suatu sore, saat Aira sedang duduk di teras rumah, ia membuka galeri ponselnya.

Foto-foto masa lalu bermunculan—dirinya bersama Delon, senyuman yang dulu ia kira tulus, pelukan yang ternyata hanya kamuflase dari manipulasi.

Aira menatap satu per satu, hingga akhirnya, ia memilih: hapus semua.

Butuh waktu beberapa menit. Jempolnya sempat ragu. Tapi saat file terakhir terhapus, ia merasakan napasnya lebih ringan.

Dinda yang baru pulang dari minimarket, melihat ekspresi Aira yang berbeda. “Kamu kelihatan lebih... lega?”

Aira tersenyum tipis. “Aku baru buang semua kenangan yang harusnya udah kubuang sejak lama.”

Dinda duduk di sampingnya. “Pintar. Luka nggak akan hilang dalam semalam, tapi kamu bisa berhenti menyesap racunnya.”

Aira menatap langit yang mulai jingga. “Kadang aku marah sama diri sendiri. Kenapa aku nggak pergi dari dulu? Kenapa harus nunggu sampai dihina, dilempari piring, direndahkan... baru sadar?”

Dinda menggenggam tangan Aira. “Karena kamu manusia. Kita semua butuh waktu buat bilang ‘cukup’. Tapi kamu udah berani bilang itu sekarang. Dan itu yang penting.”

Malam itu, Aira menulis lagi di buku catatannya:

Aku tidak sempurna. Aku terlambat menyadari. Tapi aku berani memulai. Dan itu cukup untuk hari ini.

Perlahan, ia mulai menyusun ulang kepingan-kepingan dirinya.

Bukan untuk kembali seperti dulu, tapi untuk menjadi versi baru dari seorang Aira—yang tahu rasanya terluka, dan tidak akan membiarkan dirinya dilukai lagi.

Langkah Kecil Menuju Diri Sendiri

Hari itu, Aira berdiri di depan cermin kamar tamu. Rambutnya diikat rapi, wajahnya polos tanpa riasan, tapi tatapannya berbeda—lebih tajam, lebih hidup.

Di tangannya, ada map biru berisi salinan CV, ijazah, dan lembar surat lamaran yang semalam ia ketik dengan penuh tekad.

Dinda muncul di pintu kamar, menyandarkan diri sambil tersenyum.

“Kamu siap?”

Aira mengangguk. “Aku nggak tahu bakal diterima atau enggak, tapi aku siap mencoba.”

Dinda mengantar Aira sampai ke halte, memberinya semangat seperti kakak pada adiknya.

Aira naik bus dengan dada yang sedikit berdebar, tapi tidak dengan takut—melainkan dengan harapan.

Sore harinya, Aira duduk di sebuah kafe kecil, menunggu jadwal wawancara di sebuah perusahaan desain interior.

Ia menatap sekeliling, menikmati suasana yang dulu tidak pernah ia izinkan untuk dinikmati sendiri.

Di meja seberang, sepasang kekasih tertawa sambil berbagi kue.

Aira tidak merasa iri. Untuk pertama kalinya, ia melihat cinta sebagai sesuatu yang indah—bukan yang membelenggu.

Panggilan wawancara berjalan singkat tapi bermakna.

Pewawancara tertarik dengan portofolio Aira yang ia bawa dari pekerjaan sebelumnya.

Meskipun belum ada kepastian, Aira melangkah keluar kantor itu dengan kepala tegak. Ia bangga pada dirinya sendiri.

Malamnya, Aira dan Dinda duduk di balkon rumah, masing-masing dengan secangkir teh.

“Gimana wawancaranya?” tanya Dinda.

“Baik. Aku belum tahu diterima atau enggak, tapi… rasanya seperti aku mulai kenal lagi sama diriku sendiri,” jawab Aira.

Dinda tersenyum. “Itu yang paling penting. Kamu nggak lagi lari dari luka, tapi pelan-pelan merawatnya.”

Aira mengangguk pelan. “Aku belum sembuh sepenuhnya. Tapi sekarang, aku tahu ke mana harus melangkah.”

Ia menatap langit malam yang bertabur bintang.

Dan di bawah cahaya bulan, Aira tahu meski perjalanannya belum selesai, ia telah memulai langkah pertamanya. Bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk dirinya sendiri.

Beberapa hari setelah wawancara, ponsel Aira berdering saat ia sedang membantu Dinda menyusun buku-buku di rak tamu.

Nama perusahaan yang ia lamar muncul di layar. Jantungnya berdegup lebih cepat.

“Selamat siang, Mbak Aira. Kami dari PT Sinar Interior ingin mengabarkan bahwa Anda diterima untuk bergabung sebagai asisten desain,” suara dari seberang terdengar ramah.

Aira nyaris tidak bisa menahan senyum. “Terima kasih banyak! Saya sangat menghargai kesempatan ini.”

Setelah telepon ditutup, Aira menatap Dinda yang menunggu dengan ekspresi penuh harap. “Aku diterima, Din.”

Dinda memeluknya erat. “Aku tahu kamu bisa.”

*****

Hari pertama kerja menjadi babak baru dalam hidup Aira.

Ia mengenakan kemeja putih bersih dan celana hitam sederhana.

Tidak ada yang mewah, tapi kali ini ia tidak berpakaian untuk menyenangkan siapa pun. Ia berpakaian untuk dirinya sendiri.

Di kantor, Aira disambut rekan-rekan yang ramah. Atasan barunya, Bu Lidya, adalah perempuan yang tegas tapi menghargai proses.

Ia tidak memperlakukan Aira seperti bawahan tanpa suara. Sebaliknya, ia memberi ruang untuk Aira bertumbuh.

Aira mulai mencintai pagi hari—sesuatu yang dulu ia benci karena selalu diwarnai bentakan atau tekanan.

Saat makan siang, ia duduk sendiri di kantin kantor. Seorang rekan, lelaki bernama Niko, menghampirinya.

“Boleh gabung?” tanyanya sopan.

Aira tersenyum. “Silakan.”

Mereka mulai mengobrol tentang desain, film, dan makanan.

Tidak ada basa-basi murahan. Hanya dua orang yang saling mendengar.

Aira belum siap membuka hati. Tapi ia tahu, tidak semua orang datang untuk menghancurkan.

Beberapa, mungkin, datang untuk menunjukkan bahwa dunia masih bisa hangat.

Malam itu, Aira menulis lagi di buku kecilnya:

Aku mulai percaya, bahwa luka tidak selamanya menjadi beban.

Ia bisa menjadi akar dari kekuatan. Dan aku mulai bertumbuh.

Hari-hari kerja Aira mulai terasa seperti napas baru dalam hidupnya.

Setiap pagi ia bangun tanpa rasa cemas, berjalan ke kantor dengan langkah ringan, dan pulang membawa perasaan puas.

Tidak semua hal mudah—kadang ia masih merasa canggung, masih ragu akan kemampuannya, dan kadang trauma masa lalu datang mengetuk pelan. Tapi bedanya sekarang, ia tidak lari. Ia hadapi.

Suatu hari, Bu Lidya memberikan Aira kesempatan untuk terlibat langsung dalam proyek interior sebuah kafe yang sedang direnovasi.

“Kamu punya mata yang teliti dan rasa desain yang lembut. Coba buat konsep awalnya dulu nanti kirim ke saya,” kata Bu Lidya.

Aira sempat terpaku. Dirinya yang dulu pasti akan mundur.

Tapi kini, ia justru merasa tertantang. Malam-malam berikutnya ia habiskan di kamar Dinda, membuat sketsa, mencari referensi, memadukan warna, hingga menghidupkan ruang lewat imajinasi.

Untuk pertama kalinya, ia merasa hidup karena sesuatu yang ia cintai.

Di sela kesibukan itu, Niko perlahan menjadi teman yang hadir tanpa banyak tanya.

Ia tidak pernah memaksa Aira membuka diri, tapi selalu ada ketika Aira ingin berbagi.

Suatu sore di pantry kantor, Niko berkata sambil menuang kopi, “Aku suka caramu lihat dunia, Ra. Tenang tapi dalam.”

Aira terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Dulu aku terlalu sibuk menyesuaikan diri sama dunia orang lain, sampai lupa caranya lihat dunia dari sudutku sendiri.”

Niko menatapnya, serius. “Kamu pantas punya dunia sendiri. Dan kamu pantas bahagia di dalamnya.”

Ucapan itu menempel di hati Aira sepanjang hari. Bukan karena romansa, tapi karena pengakuan yang tulus.

Ia mulai sadar—dirinya yang baru sedang tumbuh, perlahan tapi pasti.

Di halaman terakhir buku catatannya malam itu, Aira menulis:

Aku bukan lagi Aira yang takut ditinggalkan.

Kini, aku adalah Aira yang tahu: kepergian bisa menjadi penyelamatan.

Dan kebahagiaan? Ia datang setelah keberanian.

Beberapa hari setelah mereka berbagi percakapan hangat di pantry, Niko menghampiri meja kerja Aira menjelang jam pulang kantor.

Tangannya menyelipkan satu kotak kecil berisi biskuit kering buatan ibunya, lalu dengan nada santai ia berkata, “Aira, kamu sibuk malam ini?”

Aira mendongak, sedikit terkejut. “Enggak sih. Kenapa?”

“Aku tahu satu tempat makan enak, agak tersembunyi, tapi suasananya tenang. Mungkin kamu mau ikut? Anggap aja... perayaan kecil karena kamu dapet proyek pertama,” ucap Niko, senyumannya tulus, tanpa tekanan.

Niko meminta Aira untuk membuka chat grup dimana Aira yang mengerjakan proyek cafe.

Aira tidak menyangka jika Bu Lidya suka dengan sketsa yang ia kerjakan.

"Jadi, apakah kamu mau ikut?" tanya Niko

Aira sempat ragu. Bukan karena ia tak ingin, tapi karena kenangan lama masih sesekali menyergap.

Tapi ia melihat mata Niko—tak ada niat tersembunyi di sana. Hanya ajakan sederhana untuk menikmati malam bersama.

“Oke. Aku ikut,” jawabnya, lembut tapi mantap.

Kemudian Aira kembali melanjutkan pekerjaannya dan ia serius saat menggambar sebuah desain untuk proyek pertamanya.

Detik demi detik berganti dan jam menunjukkan pukul lima Sore.

"Ayo kita berangkat sekarang." ajak Nico.

Aira meminta Nico untuk menunggunya sebentar karena pekerjaannya hampir selesai.

Nico tersenyum dan ia duduk di samping Aira yang sedang menyelesaikan pekerjaannya.

Setelah selesai Aira dan Nico berjalan menuju ke Kafe yang ada di sekitar sana.

Tempat itu ternyata benar-benar nyaman. Sebuah kafe kecil bernuansa kayu dengan lampu kuning hangat dan musik akustik pelan di latar belakang.

Mereka duduk di pojok ruangan, ditemani dua gelas teh hangat dan sepiring pasta.

Percakapan mereka mengalir—tentang mimpi, kegagalan, dan luka-luka masa lalu. Niko tidak menyinggung Delon, tapi Aira sendiri yang akhirnya membuka cerita itu.

“Dulu, aku pikir bertahan itu bentuk cinta,” kata Aira pelan. “Ternyata, melepaskan juga bisa jadi wujud mencintai diri sendiri.”

Niko menatapnya penuh hormat. “Aku senang kamu selamat dari itu semua. Bukan cuma secara fisik... tapi juga hatimu.”

Aira terdiam, meresapi kata-kata itu.

Sebelum mereka berpisah malam itu, Niko membuka pintu mobilnya, lalu berkata, “Aira, aku nggak buru-buru. Tapi kalau suatu hari kamu merasa siap jalan bareng lagi, aku ingin jadi orang yang bisa kamu percaya.”

Aira menatapnya, tersenyum tanpa ragu.

“Aku belum tahu akan berjalan ke mana, Nik. Tapi malam ini... aku bahagia.”

Dan Niko mengangguk. “Itu yang terpenting.”

Malam itu, Aira pulang ke rumah Dinda dengan langkah ringan.

Tidak seperti dulu, ketika malam selalu berarti pertengkaran atau kesedihan. Kini, malam adalah ruang tenang—tempat di mana ia mulai percaya bahwa masa depan bisa seindah harapan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!