Bayu melangkah. Pandangan mulai goyah.
Lift terasa jauh. Lorong-lorong terlihat mirip semua.
Angka di pintu kamar tak lagi terbaca.
"Nomor kamarku... berapa tadi? 912? Atau 921? Ah, sial."
Ia menyentuh gagang pintu yang tidak terkunci.
Dan tanpa tahu bahwa hidupnya akan bergeser malam itu, ia melangkah masuk.
Kamar 912. Harusnya ia masuk ke 921.
Ayla mendongak dari tempat tidur saat mendengar pintu dibuka kasar. Jantungnya melonjak.
“Siapa?” tanyanya waspada. Ia yakin pintu tadi sudah tertutup rapat, meski... mungkin lupa menguncinya.
Pintu menutup. Sosok pria itu berdiri di ambang. Tubuhnya besar. Langkahnya limbung.
Dan saat cahaya lampu tidur menyorot sebagian wajahnya, Ayla seperti kehilangan napas.
Bayu.
Dunia seakan berhenti berputar.
Lelaki yang pernah mengisi seluruh ruang hatinya.
Yang suaranya bisa mencairkan luka, tapi juga meninggalkan bekas yang tak pernah sembuh.
"Bayu...?" bisiknya, nyaris tak percaya.
Bibirnya bergetar saat menyebut nama yang selama dua puluh tahun hanya hidup diam-diam dalam hatinya.
Nama yang tak pernah ia bisikkan bahkan dalam doa, karena menyebutnya pun terlalu menyakitkan.
Bayu memandangnya. Tapi matanya kosong. Seperti seseorang yang tersesat antara mimpi dan kenyataan.
"Laras... kamu... nyata?" suaranya parau, hampir patah.
Tangannya menyentuh kepala, dan ia limbung—hampir jatuh sebelum Ayla menyambutnya dengan panik.
"Astaga, kamu sakit?"
Napas Bayu berat. Keringat membasahi pelipisnya. Tubuhnya panas. Tapi tatapan itu...
Tatapan itu seperti pria yang akhirnya pulang ke rumah setelah tersesat begitu lama.
Ayla menuntunnya ke tempat tidur. Tangannya gemetar.
Ia tak tahu harus memanggil bantuan... atau membiarkan momen ini lewat seperti mimpi yang akhirnya datang lagi.
Bayu bersandar. Matanya terpejam sejenak, lalu terbuka dan menatapnya lagi.
“Laras...”
Nadanya rapuh, nyaris memohon.
“Aku... merindukanmu.”
Pelukan itu datang tiba-tiba. Erat. Hangat. Ayla terguncang.
Separuh dirinya ingin mendorong, separuh lagi tenggelam dalam kehangatan yang sangat dikenalnya.
“Bayu, kamu salah orang. Aku bukan—”
“Emm…”
Terlambat. Bibir itu telah membungkam ucapannya.
Dan dalam satu ciuman—yang mestinya ia tolak—seluruh logika meleleh.
Yang tersisa hanya dada yang bergemuruh, air mata yang menggenang, dan hati yang runtuh perlahan.
Ciuman itu bukan sekadar hasrat. Ada luka yang tak terlihat. Ada kerinduan yang tertahan lama. Ada kehilangan yang mendalam.
Pelukannya erat, matanya terpejam, namun tubuhnya penuh hasrat.
Laras menyadarinya. Tapi ciuman ini... pelukan ini... entah mengapa ia tak bisa melepaskannya. Atau mungkin tak mau melepaskannya?
Entahlah.
Tapi yang pasti, jantungnya masih berdetak kencang untuk pria ini.
Hatinya masih bergetar karena pria ini.
Dan satu pelukan bisa meruntuhkan benteng dua puluh tahun yang susah payah ia bangun.
"Ini salah!" teriaknya dalam hati.
Namun tubuhnya enggan menolak setiap sentuhan yang diberikan pria yang namanya tak pernah bisa ia hapus dari hatinya.
Bahkan Ayla tak berdaya menjauh, apalagi menolak saat tubuh mereka menyatu tanpa pembatas.
Melebur menjadi satu.
"Bayu.."
"Laras..."
Bahkan bibir mereka mendesahkan nama yang selama dua puluh tahun ini enggan disebut, namun tak pernah terhapus dalam memori.
Dalam hati.
Setiap sentuhan. Setiap kecupan. Semuanya bagaikan tumpahan kerinduan yang tak terbendung, menenggelamkan dua insan dalam satu napas cinta dan kerinduan yang tak pernah terlupakan, apalagi padam.
Waktu terus berjalan, bumi terus berputar, namun cinta mereka tak berubah meski dimakan zaman.
Tanpa sadar Ayla mencengkram punggung Bayu dan menggigit pundaknya saat sesuatu paling berharga yang harusnya ia persembahkan pada suaminya di malam pertama, kini diambil pemilik hatinya tanpa penolakan, apalagi perlawanan.
Hanya kepasrahan dan kerelaan yang tak pernah ia bayangkan.
"Bayu.." lirihnya diantara sakit dan deru napas yang terbakar hasrat.
Air matanya mengalir. Bukan penyesalan. Bukan kebahagiaan.
Tapi sesuatu yang tak pernah bisa ia beri nama.
"Aku mencintaimu..." desah Bayu diantara napas yang memburu dan peluh yang membasahi tubuh.
Bukan karena AC mati, bukan karena cuaca panas, tapi karena hasrat dan kerinduan yang tak pernah terpadamkan telah membakar dirinya.
Dan di malam yang seharusnya sunyi, Ayla terbaring di sisi Bayu, mencoba menolak gejolak yang menggerogoti batas yang dulu pernah mereka patahkan bersama.
Tapi Bayu memeluk tubuhnya. Hangat. Nyata. Seperti dulu.
Ia bisa mendorongnya. Tapi ia tidak.
Karena di kedalaman hatinya yang paling dalam, Ayla pun merindukan pria itu.
Ketika Bayu menyebut namanya—nama yang tak lagi ia gunakan sejak lama—Ayla tahu, satu malam ini akan mengubah segalanya.
Ia tahu ini salah. Tapi lebih dari itu, ia tahu satu hal:
Ia masih mencintai lelaki ini.
Dan malam itu... satu malam saja... ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan yang tak pernah ia lupakan dan rindukan, membiarkan hatinya kembali pulang.
***
Pagi datang.
Ayla menggeliat kecil. Tubuhnya terasa hangat dan nyaman. Hingga puzzle - puzzle di kepalanya mulai menyatu, kesadarannya.. pulih.
"Astaga..." Ayla cepat-cepat menutup mulutnya agar suaranya tak membuat seseorang yang kini mendekapnya terbangun.
"Bayu..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Matanya menatap pria yang sudah dua dekade tak dilihatnya. Wajah itu masih sama, bahkan terlihat semakin tampan dan berwibawa, berkarisma.
Tapi sayang... bukan miliknya.
Dulu mata yang terpejam itu selalu menatapnya penuh cinta. Bibir tipis itu selalu tersenyum saat melihatnya. Menyebut namanya. Tangan besar itu selalu menggenggam hangat jemarinya. Bahu lebar itu tak pernah goyah saat ia bersandar. Dada bidang itu selalu menjadi tempatnya bermanja dan mencari kehangatan dari kejam dan dinginnya dunia.
Dan semalam...saat ini... ia berada dalam dekapannya.
Namun Ayla seperti ditampar sesuatu yang tak kasat mata saat menyadari, pria yang kini memberinya kehangatan adalah... suami seseorang.
"Ini salah. Tak seharusnya terjadi. Aku harus pergi sebelum dia menyadari aku ada di sini. Aku tak ingin merusak pernikahannya dan menjadi orang ketiga," batin Ayla.
Dengan hati-hati ia melepaskan pelukan Bayu, namun pria yang telah lama tak merasakan kedamaian dalam tidurnya itu masih terlelap dengan wajah damai.
Laras bergegas membereskan barang-barangnya dan berusaha tak menimbulkan suara.
Sebelum meninggalkan kamar itu, ia menatap Bayu untuk terakhir kalinya.
"Aku pernah jadi milikmu di masa lalu. Tapi sekarang aku milik diriku sendiri. Jangan cari aku, Bay. Bahagiakan hidupmu tanpa melukai siapa pun, termasuk dirimu sendiri," bisik Ayla lirih nyaris seperti bisikan untuk dirinya sendiri.
Tanpa menoleh lagi ke belakang, Ayla meninggalkan kamar itu. Meninggalkan Bayu dan kenangan semalam yang mungkin akan menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah ia duga apalagi pikiran meski hanya sepintas saja.
Saat keluar dari kamar, Ayla berhenti sejenak sebelum memantapkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Ia tak menyadari, seseorang melihatnya.
Ellen -- istri Bayu.
"Perempuan itu..." Ellen mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
Ia menatap punggung Ayla dengan rahang yang mengeras, gigi gemeretak dan mata tajam yang seolah bisa melemparkan pisau yang menancap di tubuh Ayla.
Ayla tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang. "Aku merasa ada yang mengawasiku," batinnya, tapi tak ada siapapun di belakangnya.
Sunyi.
Kosong.
"Mungkin hanya perasaanku." Ia melanjutkan langkahnya dan tak lagi menoleh ke belakang.
Di balik dinding, Ellen bersandar menghindari tatapan Ayla. Setelah langkah kaki itu terdengar menjauh, ia kembali menatap Ayla dengan tatapan yang seolah bisa membakar Ayla.
"Jangan pernah mendekat. Atau kau akan menyesal..."
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Lima menit setelah Ayla keluar dari kamar itu, Bayu terbangun.
“Sstt… sakit…” gumamnya serak. Tangannya refleks memijit pelipis, tubuhnya berat, seperti baru tenggelam dalam mimpi yang terlalu dalam.
Namun seketika tubuhnya menegang. Pandangannya jatuh pada dadanya yang telanjang, lalu ke pakaian yang berserakan di lantai.
“Semalam…”
Bayu menelan ludah—pahit, seperti luka lama yang kembali terkoyak. Ia memejamkan mata, mencoba mengurai kabut dalam kepalanya.
Lantai 15.
Lampu gantung berpendar lembut. Gelas anggur berkilau. Orang-orang berlalu-lalang seperti bayangan tanpa jiwa.
Ia menyalami orang-orang yang tak dikenalnya, memasang senyum palsu yang sudah terlalu sering ia pakai.
Di sisinya, Ellen. Istrinya. Dingin. Tegak. Cantik, seperti patung porselen yang tak pernah retak—karena tak pernah disentuh.
Dua dekade menikah, tapi rumah selalu terasa seperti kantor. Pernikahan bisnis. Tak lebih.
“Bagaimana pertemuan tadi?” suaranya datar. Bukan tanya. Lebih seperti rutinitas.
“Baik.”
Jawaban Bayu singkat. Kosong.
Seorang pelayan datang membawa nampan berisi gelas-gelas tinggi. Salah satunya—entah kenapa—terasa berbeda.
Tanpa pikir panjang, Bayu meraih dan meneguk setengah isinya.
Segar. Tapi... pahit.
"Kenapa pahit? Atau cuma aku yang sedang lelah?"
Beberapa menit kemudian, matanya mulai kabur. Pelipisnya basah oleh keringat dingin.
Ia berdiri.
“Aku ke kamar dulu,” ucapnya.
Ellen hanya mengangguk. Tak bertanya. Tak peduli.
Dan Bayu pun melangkah, setengah terseret. Lift terasa jauh. Lorong-lorong serupa labirin. Angka-angka di pintu berbaur jadi satu.
Ia membuka pintu—entah kamar siapa. Atau, mungkin, siapa yang menantinya.
Lalu...
Bayu tersentak.
Laras.
Gadis yang pernah—mungkin masih—ia cintai.
Kilasan demi kilasan menghantam ingatannya. Aroma tubuhnya. Sentuhan. Isakan. Desahan nama. Tubuh Laras menggeliat dalam pelukannya. Hangat. Rapuh.
“Ya Tuhan…” bisiknya ngeri.
Ia menunduk. Menatap telapak tangannya. Lalu menoleh pada ranjang yang kusut.
Ada bercak merah di sana.
Bayu menggigil. Duduk di pinggir ranjang. Tangannya gemetar saat menyentuh seprei yang kusut.
Ada bercak merah.
Bekas keintiman yang terlalu akrab—terlalu asing.
Ia menatap bahunya. Sebuah bekas gigitan terlihat di kulitnya. Lalu ia meraba punggungnya. Perih. Bekas cakar.
“Ini… nyata,” desisnya.
Lalu ia sadar: ruangan itu sunyi. Laras tak ada. Tak ada suara. Tak ada parfum samar yang biasa ia kenakan. Tak ada satu pun jejak ditinggalkan.
Seolah... Laras hanya mimpi yang meninggalkan noda di dunia nyata.
Ia mendongak, panik.
“Laras…” napasnya tercekat.
Ia bangkit, mengenakan pakaian seadanya. Masih limbung. Kepalanya berdenyut, tapi ia terus bergerak, memeriksa seluruh ruangan. Menatap kamar itu seperti menatap kenangan yang tak seharusnya kembali. Tapi sudah terlanjur hidup.
Kamar mandi kosong. Tak ada tas. Tak ada jejak. Seolah Laras tak pernah ada di sana.
Bayu mematung. Napasnya berat. Ia kembali menatap ranjang.
“Laras…”
Ia meraih ponsel di atas nakas. Mungkin Laras yang meletakkannya.
Tanpa pikir panjang, ia menekan satu nama di daftar kontak.
“Cari jejak Laras di hotel ini. Sekarang.”
Langkahnya goyah menuju pintu. Ia sempat menoleh. Menatap ranjang. Dan diam-diam berharap Laras akan muncul dari balik pintu kamar mandi, tersenyum, berkata:
"Kita bisa mulai dari awal."
Tapi ruangan itu tetap kosong.
Bayu melangkah keluar, menatap pintu kamar yang baru saja ditinggalkan.
Kemudian, ia kembali bicara di telepon.
“Dia di kamar 912,” katanya lagi pada ponselnya.
Dengan suara yang nyaris patah.
---
Dalam pesawat yang sedang mengudara —
Ayla duduk di dekat jendela. Tatapannya kosong, menembus gumpalan awan yang berarak pelan di luar sana. Tangan kirinya menopang dagu, sementara tangan kanannya bermain-main dengan cincin perak di jari manisnya—cincin yang tak pernah ia lepaskan.
Ia baru saja meninggalkan Berlin, setelah menjadi pembicara di seminar hari terakhir untuk para penyintas kekerasan. Sebagai motivator, ia selalu terlihat tegar. Tersenyum. Menenangkan. Tapi malam itu—dan pagi ini—ketegarannya runtuh.
Semalam seharusnya menjadi malam biasa di hotel yang tenang dan megah. Namun siapa sangka, ia akan bertemu dengan masa lalu yang selama ini ia hindari. Bayu.
Pria yang dulu pernah ia cintai... dan masih ia cintai.
"Setelah sekian lama aku memilih hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, kenapa kita harus bertemu lagi… Bay?" batinnya lirih.
Setiap kenangan tentang Bayu tidak lagi menenangkan. Justru menyesakkan. Tatapan matanya, cara ia menyebut namanya—Laras, nama yang ia simpan rapat sejak memulai hidup baru sebagai Ayla.
Ia mengusap sudut matanya, namun air mata lain jatuh. Tanpa suara. Tanpa isak.
Penumpang di sebelahnya, seorang wanita paruh baya, memerhatikannya dengan cemas.
“Maaf, kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan. “Kamu terlihat… sangat sedih.”
Ayla tersentak kecil. Ia buru-buru menghapus air matanya, memaksa senyum.
“Ah… saya nggak apa-apa. Maaf, jadi bikin khawatir.”
Wanita itu tersenyum lembut.
“Kamu nggak harus cerita, tapi kadang berbagi bisa bikin lega.”
Ia mencondongkan tubuh, lebih bersahabat.
“Namaku Inge. Aku konselor pernikahan. Kebetulan baru pulang dari konferensi juga.”
Ayla tersenyum tipis. “Aku Ayla,” katanya. Hampir saja ia mengatakan "Laras."
Inge mengangguk. “Kamu habis kehilangan seseorang?”
Ayla menatap awan lagi. Jemarinya mengelus cincin yang melingkar.
“Bukan kehilangan. Tapi harus melepas... seseorang yang masih sangat aku cintai.”
Inge terdiam, lalu berkata lembut, “Melepas bukan berarti melupakan. Tapi kadang kita harus memilih mencintai dalam diam, demi menyelamatkan diri sendiri.”
Ayla mengangguk perlahan. “Aku sudah mencoba sepenuh hati menghapus dia dari relungku. Tapi ternyata... aku nggak mampu.”
Suara Ayla lirih, nyaris tak terdengar.
Inge menepuk tangannya dengan lembut. “Mungkin kamu belum siap menghapusnya. Dan itu... nggak apa-apa.”
Ayla tersenyum—pahit. “Setiap kenangan itu... bukan lagi pengingat akan cinta. Tapi pengingat bahwa aku... bukan orang yang bisa membuatnya bahagia.”
Ia memejamkan mata, berusaha meredam gejolak dalam dadanya.
“Aku harap kami tak bertemu lagi. Anggap saja ini... cuma mimpi yang tak akan pernah berulang.”
Inge menatapnya, penuh pengertian. “Tapi kadang mimpi datang karena hati belum selesai bicara.”
Ayla membuka mata. Pandangannya kembali ke luar jendela.
Di balik awan-awan itu, langit tetap biru.
Tapi di dadanya, masih mendung.
---
Berlin — Pagi itu di Hotel Silberhof
Bayu membuka pintu kamar hotel perlahan. Suasana masih senyap, hanya terdengar bunyi gesekan roda koper dari kejauhan. Ellen duduk di sofa dekat jendela, mengenakan setelan pagi yang rapi dan berkelas. Cangkir kopi di tangannya masih utuh, uapnya pelan-pelan menghilang—seperti sabarnya yang mulai menguap. Matanya menatap lurus ke arah Bayu yang baru masuk.
Pria itu terlihat dingin. Wajahnya kaku. Tanpa suara, ia melepas jas dan melemparnya ke atas koper. Ia bahkan tak menoleh sedikit pun ke arah wanita yang resmi menyandang status istrinya.
"Aku nggak tidur semalam," kata Ellen datar. “Aku nungguin kamu.”
Bayu diam. Tak ada niat untuk menjawab.
Ellen meletakkan cangkirnya. “Kamu pergi ke mana semalam?”
Bayu berjalan menuju meja, membuka botol air mineral, lalu meneguknya. "Urusan," jawabnya singkat.
Ellen mengangkat alis. Suaranya mulai dingin. “Urusan dengan wanita?”
Bayu menoleh, hanya sekilas. Sorot matanya tajam. “Itu bukan urusanmu.”
Ellen berdiri, menahan amarah yang mulai naik ke dada. “Aku ini istrimu, Bayu!”
Bayu menatapnya lelah. “Kita hanya pasangan di atas kertas, Ellen. Jangan memaksakan peran yang nggak pernah benar-benar kamu miliki.”
Ellen terkekeh miris. “Pasangan di atas kertas?” Ia melangkah mendekat. “Kamu lupa? Aku orang yang menyelamatkan nyawa papamu saat semua dokter menyerah! Aku yang berdiri paling depan ketika semua orang memilih pergi!”
Bayu menghela napas panjang. Tatapannya kosong.
“Itu tidak ada hubungannya denganku.”
Ellen menatap tak percaya. “Bagaimana kamu bisa bicara kayak gitu? Dia ayahmu, Bayu!”
Bayu mendekat. Ucapannya pelan tapi menusuk. “Memangnya kenapa kalau dia papaku? Dan kau pernah menyelamatkan nyawanya? Kalau kau merasa dia berhutang padamu, bicaralah langsung ke dia. Jangan tarik aku ke dalamnya.”
Ellen terdiam. Bibirnya bergetar. “Kamu benar-benar nggak punya hati.”
Bayu mendengus pelan. “Simpan dramamu, Ellen. Aku nggak pernah minta diselamatkan. Dan aku juga nggak pernah minta menikahimu.”
Ellen terdiam sesaat. Lalu, dengan suara nyaris tak terdengar, ia bertanya, “Karena kamu masih mencintai dia, 'kan? Laras.”
Nama itu. Laras.
Bayu memejamkan mata. Nama itu menusuk seperti belati. Dalam. Lambat. Tapi pasti.
“Aku lihat dia tadi,” lanjut Ellen. “Berjalan sendiri di lorong hotel. Jangan bilang kau menghabiskan malam dengannya.”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Bayu tak menjawab. Ia hanya menunduk, rahangnya mengeras, jemarinya mengepal.
“Itu bukan urusanmu,” sahutnya akhirnya, datar.
“Tentu saja urusanku,” suara Ellen meninggi, nyaris retak. “Karena dia, kamu tak pernah benar-benar melihatku lebih dari sekadar... wanita yang pernah menyelamatkan ayahmu. Yang kau lihat cuma masa lalu—wanita itu—bukan aku, bukan kita.”
Bayu melangkah ke kamar mandi tanpa menanggapi.
“Bayu...!” panggil Ellen, suaranya pecah, menggantung di udara.
Bayu berhenti di ambang pintu. Menoleh perlahan. Tatapannya tajam, tapi kosong. Hampa. Lelah.
“Kau memaksa masuk ke hidupku lewat utang budi,” ucapnya pelan, namun setiap katanya seperti pisau. “Tapi kau lupa, Ellen... cinta tak pernah bisa dipaksa.”
Lalu ia menutup pintu tanpa menoleh lagi.
Ellen berdiri mematung. Di tengah sunyi yang mendadak terasa pekat, hanya detak jantungnya yang terdengar. Ia menunduk, menatap cangkir kopi yang sudah dingin. Dan untuk pertama kalinya pagi itu, ia merasa... benar-benar kalah.
Karena sejak awal, ia tahu: bayangan masa lalu pria itu terlalu hidup untuk bisa ia matikan.
Dalam Kamar Mandi
Air hangat mengalir membasahi tubuhnya, tapi Bayu tetap membeku. Matanya terpejam, dahinya menempel pada dinding kamar mandi. Namun dalam gelap itu, justru semua yang ingin ia lupakan muncul makin jelas.
Napas Laras. Suaranya yang bergetar. Tatapan matanya yang basah saat menyebut namanya. Rasa kulitnya. Aroma tubuhnya. Dan... jejak di bahunya—gigitan kecil penuh gairah. Cakaran di punggung. Bukti nyata bahwa semalam bukan mimpi.
“Damn...”
Ia memutar shower lebih deras. Seolah air bisa menghanyutkan rasa bersalah dan dilema yang mencabik dadanya.
Tapi satu kalimat terus bergema di kepalanya: Dia masih perawan?
Setelah dua puluh tahun. Setelah pernikahan. Setelah luka dan pengkhianatan dan perpisahan. Laras... tetap menjaga dirinya.
Dan ia—Bayu—yang pertama.
Ia menutup mata lebih rapat. Dalam. Menahan sesuatu yang ingin pecah dari dadanya.
Sebagai pria, ada rasa bangga—naluri primitif yang sulit dijelaskan dengan logika—karena menjadi yang pertama. Tapi sebagai pria yang mencintainya? Ada rasa bersalah yang menghantam seperti palu, karena telah menodai perempuan yang ia cintai dengan segenap jiwanya.
“Kau benar-benar menjaganya, Laras... Bahkan setelah semua luka, semua tahun yang terbuang. Dan aku...” Bayu mengatup rahangnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku brengsek. Aku menodainya. Aku menodai keteguhanmu... cintamu...”
Bayu menengadah pelan, membiarkan air menampar wajahnya. “Kenapa kamu nggak pernah biarkan siapa pun mendekat, Laras?” gumamnya lirih, nyaris seperti doa yang tak pernah dimaksudkan untuk didengar siapa-siapa.
Dan yang paling menyakitkan—semalam... juga yang pertama baginya.
Bayu tak pernah menyentuh wanita mana pun. Bahkan Ellen—istrinya yang sah selama dua dekade.
Sebab sejak awal, pernikahan itu bukan tentang cinta. Itu tentang melindungi.
Melindungi Laras dari ayahnya. Dari restu yang tak pernah datang. Dari ancaman yang bisa menghancurkannya.
Bayu menikahi Ellen hanya untuk satu alasan: agar ayahnya berhenti mengganggu hidup Laras.
Dan kini, dua puluh tahun kemudian... semuanya kembali berputar. Sama. Tapi lebih menyakitkan.
Karena semalam, Laras memberinya sesuatu yang tak ternilai—dan ia memberinya kembali luka yang lama.
Beberapa Menit Kemudian
Bayu keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit pinggang. Rambutnya basah, tetesan air mengalir sepanjang leher dan dada. Namun yang lebih mencolok adalah jejak samar gigitan di bahunya dan dua garis merah di punggungnya.
Ellen berdiri di dekat jendela, matanya tajam menatap bayangan Bayu di cermin.
“Kita harus check out pagi ini,” ucapnya tanpa basa-basi.
Bayu mengangguk pelan, lalu mulai mengenakan pakaian tanpa menjawab.
Ellen mendekat. “Aku sudah pesan mobil. Penerbangan ke Swiss sore ini.”
“Aku nggak ikut,” sahut Bayu datar, tak menoleh.
Ellen menegang. “Maksudmu?”
“Kau pulang duluan. Ada yang harus aku selesaikan di sini.”
“Yang harus kau selesaikan... atau seseorang yang harus kau cari?” Suara Ellen bergetar, penuh amarah yang ditahan.
Bayu diam. Tidak membenarkan, tidak juga menyangkal.
Itu cukup.
Ellen melangkah cepat ke arahnya. “Kau masih mencarinya? Setelah semua ini? Setelah semua yang kupertaruhkan untuk tetap berada di sisimu?”
“Jangan mulai lagi, Ellen,” Bayu menghela napas, menatapnya dengan sorot kosong. “Kau tahu posisi kita dari awal.”
“Kau suamiku, Bayu!” seru Ellen. “Terlalu mudah bagimu menyebut pernikahan ini hanya selembar kertas, tapi aku wanita yang selama dua puluh tahun menunggumu untuk sedikit saja melihatku!”
Bayu menarik napas tajam. “Dan selama dua puluh tahun itu... aku tidak pernah bisa.”
Ellen terdiam. Matanya membara. “Karena Laras.”
Bayu menunduk. Tak menyangkal.
Ellen tertawa pendek, getir. “Kau tidur dengannya, bukan?”
Bayu mengangkat wajah. Ada kepedihan dan beban dalam matanya. Tapi tak ada penyesalan. Dan itu—lebih dari apapun—membuat Ellen merasa hancur.
Ia memalingkan wajah, menahan tangis yang ingin meledak. “Kau benar-benar tidak punya hati...”
“Justru karena aku masih punya hati... makanya aku nggak bisa ikut pulang bersamamu.”
Ellen melangkah ke arah pintu. Tapi sebelum ia pergi, ia berbalik, menatap Bayu untuk terakhir kalinya pagi itu.
“Carilah dia, Bayu. Tapi ingat ini baik-baik... Aku adalah istrimu. Dan sampai dunia mengakuinya, kau tidak bisa menghapusku sesederhana kau mencoret nama dari agenda.”
Pintu tertutup keras di belakangnya.
Dan Bayu... hanya berdiri diam di tengah kamar hotel yang terasa semakin sunyi—seperti dirinya.
Di Dalam Mobil
Bayu duduk di kursi belakang, menatap layar tablet yang disodorkan Rendra, tangan kanannya yang paling bisa dipercaya. Layar menampilkan cuplikan dari CCTV hotel—rekaman singkat seorang wanita berjalan cepat di lorong lantai sembilan. Rambut hitam, tubuh ramping, langkah tergesa. Laras.
Jantung Bayu seperti dipukul keras. Tangannya mengepal.
"Ini... Laras," gumamnya lirih. “Dia beneran ada di sini.”
Rendra mengangguk pelan. “Saya juga yakin itu dia, Tuan. Tapi datanya... kosong.”
Bayu mengangkat tatapannya. “Maksudmu?”
“Kamar 912 dipesan atas nama Maya Sundaram. Warga negara India, paspor valid, kartu identitas lengkap. Tapi waktu saya telusuri lebih dalam, identitasnya tempelan. Semua terlalu bersih. Terlalu sempurna.”
Bayu memijat pelipisnya. “Palsu.”
“Bukan palsu, Tuan. Resmi, tapi... dibuat oleh pihak berwenang. Entah kedutaan, entah organisasi internasional. Saya cek juga lewat sistem imigrasi, pergerakan identitas ‘Maya Sundaram’ bukan identitas tunggal. Tiga bulan lalu dia ada di Kenya, sebelumnya di Argentina.”
Bayu mengerutkan kening. “Dia pakai identitas berbeda tiap kali pindah negara?”
“Sepertinya begitu. Kalau tebakan saya benar, dia di bawah perlindungan atau kerja sama dengan lembaga internasional. Bisa NGO, bisa UN Women, bisa lembaga untuk penyintas atau aktivis perempuan.”
Bayu membuang napas panjang. Matanya masih tertuju pada layar, pada wajah itu.
“Dia nggak pengin ditemukan,” katanya pelan. “Bahkan olehku.”
Rendra ragu sejenak sebelum bertanya, “Masih mau saya cari lebih lanjut, Tuan?”
Bayu memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk.
“Aku harus bertemu dengannya. Harus.”
***
Di Ruang Kerja Shailendra
“Dia ingin meninggalkanku, pa...!” Ellen menggenggam tangan Shailendra, air matanya mengalir deras namun matanya menyala penuh strategi. “Setelah semua yang kulakukan! Setelah aku menyelamatkan nyawa Papa waktu itu—semua tak bisa meluluhkan hatinya. Dia tetap mencintai wanita itu dan menganggap aku sebagai istri pajangan.”
Shailendra menatap tajam wanita di depannya. Ia tahu betul Ellen tak sekadar mengadu. Ia sedang menekan.
“Aku bukan siapa-siapa kalau bukan istri Bayu. Dan sekarang... dia mau kembali pada perempuan itu! Laras!” Ellen menggertakkan giginya. “Dia bahkan berani memintaku kembali ke Swiss sendirian. Apa menurut Papa aku pantas diperlakukan seperti ini setelah dua dekade tetap setia mendampinginya meski hanya dianggap istri di atas kertas?”
“Tenang, Ellen. Aku akan urus anak itu.”
...🍁💦🍁...
Note:
NGO adalah singkatan dari "Non-Governmental Organization" atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, UN Women adalah singkatan dari "United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women," yang dalam bahasa Indonesia berarti Entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!