Alina dan teman-temannya sedang berada di sebuah mall yang tak jauh dari kampusnya.
"Seneng banget deh aku, sering-sering saja deh dosennya gak hadir gini, kan bisa hangout bareng, ya nggak?? hehe," celetuk Sinta.
"Ah elah, pikiran kamu hangout mulu. Tugas numpuk belum dikerjain tuh," timpal Dewi sambil menepuk bahu Sinta. Dan mereka bertiga tertawa bersama.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dari tadi.
Mereka berjalan menuju restoran yang berada di lantai dua. Mereka duduk didekat jendela, agar bisa melihat indahnya tengah kota dari balik jendela tersebut.
Pelayan restoran menghampiri mereka. Mereka memesan beberapa menu yang menjadi favorit mereka saat hangout.
"Aku ke toilet sebentar," pamit Alina dan hanya dijawab dengan anggukan saja oleh Sinta dan Dewi.
Alina pergi meninggalkan tempat duduknya. Tanpa sengaja matanya menangkap sesosok pria yang dirasa dari tadi memperhatikan Alina dan teman-temannya.
"Loh, bukannya itu pria yang tadi. Apa dia mengikuti kami. Tapi untuk apa? Apa mungkin punya niat jahat. Ah, mungkin hanya kebetulan saja," batin Alina
Alina menepis pikiran negatifnya. Toh, inikan tempat umum. Ia tak mau ambil pusing memikirkan hal itu. Alina melanjutkan langkahnya menuju toilet.
Sosok pria tersebut tak lain adalah Arvin Alvaro Mahardika. Seorang CEO perusahaan terbesar di Jakarta. Mahardika Compeny. Yang saat itu ada janji dengan kliennya di mall tersebut. Setelah urusannya selesai, ia bergegas pergi meninggalkan mall. Namun, ditengah-tengah langkahnya, terdengar tawa Alina yang mengusik telinganya dan membuatnya penasaran. Arvin lalu mengikuti Alina dan temannya.
Arvin rasa ia telah jatuh cinta kepada Alina pada pandangan pertama. Jantungnya berdebar saat menatap Alina. Hatinya telah jatuh pada Alina. Arvin ingin mengenal lebih jauh tentang wanita yang telah membuatnya jatuh hati. Namun, ia urungkan karena ia takut untuk mendekatinya. Terlebih lagi, mereka tak saling mengenal sebelumnya. Akhirnya, Arvin hanya mengikuti mereka dari jauh saja.
Lima menit kemudian..
Makanan yang mereka pesan sudah dihidangkan. Alina juga sudah kembali dari toilet. Mereka segera menyantap makanan tersebut. Sebenarnya Alina ingin bercerita kepada temannya tentang pria yang dari tadi memperhatikan mereka. Tetapi, Alina rasa itu bukan sesuatu hal yang penting. Jadi, ia memilih mengabaikannya.
❇❇❇❇❇
Di kantor
"Sial, kenapa tadi aku gak kenalan saja. Kalau begini, bagaimana mau tahu tentang wanita itu. **** banget sih," Arvin berdecak kesal. Pasalnya ia baru menyadari kalau dirinya belum tahu siapa nama gadis itu.
"Untung saja tadi sempat mengambil foto wanita itu." Senyumnya mengembang. Ia segera menghubungi seseorang.
Tutt...tutt...
"Halo.."
"Awasi mall yang tadi siang saya pakai meeting sama klient. Saya akan kirimkan foto seseorang. Kalau kamu menemukannya segera kabari saya," perintah Arvin.
"Baik tuan, apa ada hal lain lagi?"
"Sementara tidak ada."
Arvin memutuskan sambungan teleponnya. Dan segera mengirim foto wanita itu.
Seperti apa yang diperintahkan oleh Arvin, pengawalnya mulai berjaga di mall. Memperhatikan setiap sudut mall itu. Memperhatikan keadaan sekitar, jika sewaktu-waktu wanita yang dimaksudkan datang ke mall.
Sehari berlalu...
Dirinya tak mendapati Alina mengunjungi mall itu.
Dua hari. Masih belum mendapatkan kabar tentang Alina. Tetapi Arvin tak putus asa. Dia yakin bahwa Alina akan mengunjungi mall lagi, kalau bukan hari ini, mungkin besok atau lusa.
Tiga hari berlalu. Ditengah-tengah sibuknya, sesekali Arvin menelpon bawahannya yang bertugas mengawasi mall tersebut. Namun belum menemukan hasil.
Empat hari.
Lima hari.
Enam hari.
Sudah enam hari pengawalnya berjaga di mall siang dan malam, namun tak mendapati wanita yang dimaksud.
Karena di tempat itulah Alina dan dua temannya hangout sekaligus berdiskusi tentang tugas perkuliahannya, mau tak mau ia harus mengunjungi mall itu. Arvin tetap yakin dirinya akan menemukan Alina dan tak akan melepasnya jika mereka bertemu kembali.
Hari ketujuh..
Kini, Alina dan temannya sudah berada di mall, mereka memasuki restoran favoritnya. memesan beberapa makanan ringan. Karena hari ini hari Minggu, mereka ingin menghabiskan waktu bersenang-senang, berbelanja dan bercanda bersama.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa like dan komen ya😊
Terima kasih😉
"Eh lihat deh, bukannya itu wanita yang boss cari." Salah satu pengawal Arvin menyadarinya.
"Iya benar, aku akan telepon boss. Kamu awasi kemana wanita itu pergi."
"Baik."
Tuttt...tuutt...
"Ya, ada info apa?"
"Boss, kami sudah menemukan wanita yang boss maksud."
"Tetap awasi, aku akan segera kesana."
"Siap boss."
Arvin bergegas menuju mall. Ia sangat bahagia, akhirnya ia menemukan wanita yang beberapa hari ini sudah mengganggu pikirannya. Bahkan sampai menyuruh bawahannya mengawasi mall itu. Ini sungguh gila. Benar-benar gila. Sepanjang perjalanan ia tak hentinya tersenyum.
30 menit kemudian.
Arvin sampai di parkiran mall. Ia berlari menuju tempat yang telah diinfokan oleh bawahannya. Tiba-tiba..
Braakkk...
Arvin tak sengaja menabrak seorang wanita. Yang tak lain adalah Alina.
"Maaf..." ucap Arvin dengan rasa bersalahnya.
"Ahh...minumanku...duhh, jadi basah kan bajuku. Lain kali hati-hati dong!" Alina mendongak keatas. Ia kaget, pria yang ia tabrak itu...pria yang waktu itu memperhatikan dia dan teman-temannya.
Arvin pun tak kalah kagetnya. Pasalnya, wanita yang ia cari beberapa hari ini, berada dihadapannya.
Deg
Deg
Deg
Jantung Arvin berdegub kencang. Tak salah lagi, ia telah jatuh cinta pada wanita ini.
"Terus bagaimana ini, bajuku basah. Minumanku tumpah." Alina berdecak kesal.
"Emm..bagaimana kalau sebagai permintaan maaf, aku traktir kamu saja."
"Makasih, tapi gak perlu. Aku bisa beli sendiri," Alina bergegas pergi meninggalkan Arvin. Namun, Arvin terus mengikutinya.
"Ayolah... Nona, tolong jangan tolak permintaan maafku. Aku benar-benar tidak sengaja tadi. Aku buru-buru."
"Sudah aku bilang kan gak perlu. Lagian hanya sebotol minuman saja."
Alina berjalan menuju tempat duduknya. Dan Arvin tentu saja masih mengikutinya.
"Alina...siapa itu? Pacar baru ya?" tanya Dewi dengan penuh curiga.
"Waahh. Ganteng banget. Kenalin dong," goda Sinta.
"Ehm...maaf, tadi aku tidak sengaja menabrak dia hingga minumannya tumpah. Aku disini mau menggantinya dan mentraktir kalian. Apakah boleh?"
Tentu saja, apapun akan Arvin lakukan. Karena kesempatan tidak datang dua kali. Ia bahkan sampai menawarkan diri mentraktir Alina dan teman-temannya. Hari ini, Arvin harus mengetahui siapa nama wanita itu dan setidaknya ia bisa mendapatkan nomor teleponnya juga.
Alina hanya menatap pria itu dengan kesal. Bahkan, ia tak memperdulikan apa yang dilakukan pria itu. Alina sudah terlanjur badmood.
"Apakah aku boleh duduk di sini?" tanya Arvin.
"Tentu saja," sambut Sinta dengan senang hati. Pria ini sungguh tampan.
"Oiya, namaku Arvin..kalian??"
"Oh hai..Aku Sinta, dan ini Dewi."
Sinta menatap Alina memberikan isyarat, namun Alina abaikan.
"Aku ke toilet sebentar. Mau membersihkan bajuku dulu." Lalu Alina bergegas menuju toilet.
Di toilet.
"Sial banget sihh.. Apaan coba? Dasar pria aneh. Baru bertemu saja udah main traktir segala. Emangnya aku gak bisa apa beli minuman sendiri," gerutunya sambil membersihkan baju yang ketumpahan minuman tadi.
Tiba-tiba, pria itu masuk ke dalam toilet. Yang sontak membuat Alina kaget bukan main. Secara, ini toilet wanita. Apa yang dia lakukan di sini.
"Ehh...apa yang kamu lakukan di sini?"
"Mencarimu," jawab Arvin dengan singkat.
"Gausah ke sini juga kali. Ini toilet wanita loh, kamu gila ya!"
Tapi Arvin tak memperdulikan perkataan Alina. Ia berjalan mendekati Alina. Alina semakin takut. Dirinya berjalan mundur dan ternyata sudah menabrak dinding di belakangnya.
Alina bergegas pergi, tangannya di cekal oleh Arvin. Alina panik bukan main. Mau apa pria ini. Gak mungkin kan, berbuat mesum di sini.
"A-apa yang kamu lakukan. A-aku akan teriak kalau kamu gak lepasin aku." Rasa gugup menyelimuti Alina. Ia merasa ketakutan.
"Hem.. Teriak saja. Gak akan ada yang mendengar kok," ucap Arvin sambil terkekeh.
Wajah Arvin mulai mendekat, menepis jarak di antara mereka. Sumpah demi apa, pria ini sungguh gila.
"Apa dia akan menciumku?" ucap Alina dalam hati. Ia hanya bisa memejamkan mata. Dirinya tak bisa kemana-mana.
Alina mencoba membuka matanya. Menatap pria itu. Sungguh jaraknya sangat dekat. Hembusan napas pria itu dapat ia rasakan. Alina menelan saliva. Mencoba mencari cara agar bisa kabur dari pria gila ini.
"Aku hanya mau minta nomor handphone kamu." Arvin masih menatap wanita pujaannya itu.
"Gak...aku gak mau memberikan nomor hp ku," ucapnya dengan kesal.
"Kamu hanya punya dua pilihan sekarang. Aku menciummu atau kamu memberikan nomor Hp kamu," tutur Arvin sambil memperhatikan wajah cantik Alina. Arvin sungguh terpesona. Ingin sekali ia mencium bibir imut itu. Namun ia tahan. Beberapa kali ia menelan saliva. Sungguh, menggoda.
Deg
Deg
Deg
"Bagaimana jika aku tak memilih keduanya?" ucap Alina dengan melihat ke sembarang arah. Mencari-cari cara agar bisa kabur dari pria gila ini.
"Berarti kamu ingin aku cium?" tanya Arvin dengan sedikit menggoda.
"Aku baru kali ini, bertemu pria gila sepertimu yang tidak tahu malu," Alina dibuat semakin kesal dengan pria ini. Berani sekali pria gila ini memaksanya seperti ini.
Arvin terkekeh. Apapun yang dilakukan Alina semakin membuatnya gemas. Apalagi bisa sedekat ini. Rasanya, jantungnya mau loncat keluar. Dia benar-benar dibuat gila oleh gadis ini.
"Aku hitung sampai tiga. Jika kamu masih diam, berarti aku anggap kamu setuju aku cium," tegasnya sambil menatap Alina tanpa berkedip.
Alina semakin bingung. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Beberapa kali ia hanya bisa menelan saliva. Berharap ada seseorang yang datang menyelamatkan dia dari jeratan pria gila ini.
"Satu..." ucap Arvin dengan pelan dan lembut. Membuat Alina semakin gusar. Alina benar-benar takut dan bimbang.
"Dua..." Pria itu tetap melanjutkan hitungannya. Pandangan Arvin semakin lekat menatap Alina. Namun, Alina masih diam mematung tanpa berkata sepatah katapun. Membuat Arvin agak gelisah, bilamana nanti sampai hitungan ketiga Alina belum juga menjawabnya. Apa Arvin harus mencium Alina sungguhan? Padahal itu hanya ancaman saja, agar Arvin mendapatkan nomor Hp Alina.
"Ti..."
"Oke..aku akan kasih tahu nomor Hp aku," jawab Alina cepat. Alina sangat takut bila pria gila ini sampai melakukan hal aneh kepadanya. Terlebih lagi hanya ada mereka saja di dalam toilet.
Alina menatap Arvin sejenak. Memasang wajah kesal. Bisa-bisanya dia dibuat tak berkutik seperti ini. Hembusan napas antara keduanya beradu. Menambah suasana semakin hening. Mereka hanya diam mematung dan saling memandang. Entah sudah berapa lama posisi seperti ini mereka tidak menyadarinya.
"Handphone ku ada disaku celana sebelah kiri. Kamu ambil sendiri," suara Arvin didekat telinga Alina. Memecahkan lamunan Alina. Alina kaget, kenapa juga harus mengambil sendiri.
Alina masih memandang Arvin dengan penuh kekesalan. Ingin rasanya memukul wajahnya. Namun apa daya, ia hanya seorang wanita.
Tangan Alina bergerak ke arah saku celana Arvin. Ia mengambil Handphone itu dan langsung membukanya. Handphone nya memang tidak dikunci. Jadi ia bisa langsung mengetik nomer teleponnya di Hp tersebut.
Setelah selesai menyimpan, Alina memandang Arvin kembali. Memperlihatkan kepadanya bahwa nomornya telah disimpan. Terlihat Arvin tersenyum bahagia.
"kamu telepon balik" ucap Arvin lagi. Arvin hanya ingin memastikan kalau itu benar-benar nomornya Alina. Alina yang kesal sedari tadi langsung mendial dan memanggil nomor tersebut. Tak lama kemudian, Hp Alina berdering. Ia memperlihatkan kepada Arvin. Arvin tersenyum puas. Akhirnya, ia berhasil mendapatkan nomor tersebut.
"Kembalikan ke saku ku lagi" ucap Arvin.
Dengan penuh kekesalan, Alina langsung mengembalikan Hp tersebut ke tempat semula. Namun, saat Alina ingin memasukkan Hp nya kembali, secara sengaja Arvin memundurkan kaki kirinya. Sehingga membuat Alina sedikit maju kedepan. Dan...
Cup
Alina tanpa sengaja mengecup bibir Arvin. Mereka sontak kaget. Membelalakkan mata mereka lebar-lebar. Sadar akan posisinya, Alina langsung mendorong Arvin. Ia menutup wajahnya karena malu. Keadaan sedikit canggung. Sedangkan Arvin hanya mengusap bibirnya dan tersenyum.
"Manis." Arvin tersenyum ke arah Alina yang masih menutup wajahnya.
"Dasar, pria gila. Brengsek.!!" umpat Alina.
"Hehe..terima kasih nona" Arvin pun keluar, saat diambang pintu ia melambaikan tangannya ke Alina.
"Jangan ganti nomor Hp kamu. Kalau sampai itu terjadi, aku akan menculikmu," Arvin berucap sambil mengedipkan mata sebelah kiri. Lalu ia pergi meninggalkan Alina. Arvin berjalan menuju ke tempat teman Alina tadi. Ia tak hentinya tersenyum. Merasa bahagia dan mungkin sedikit gila hahaha.
"Maaf, saya ada kepentingan mendadak tidak bisa menemani kalian. Tetapi tenang saja, semua sudah saya bayar kok," pamit Arvin kepada Sinta dan Dewi.
"Yaahh...gak ketemu lagi dong," ucap Sinta sedikit bersedih hati. Memanyunkan bibirnya. Arvin hanya tersenyum kepada mereka.
"Kak, kalau memang sibuk gak apa-apa kok hehe, terima kasih sudah ditraktir," ucap Dewi sambil memegang pundak Sinta seolah menenangkannya.
"Terima kasih ya, maaf gak bisa menemani."
Arvin berjalan meninggalkan mereka. Sebenarnya ia tidak ada kepentingan sama sekali. Arvin hanya canggung ketika nanti bertatap muka dengan Alina yang mungkin akan marah kepadanya. Sebab itu ia memilih pergi.
Sedangkan Alina masih terdiam mematung. Masih kaget dengan apa yang terjadi tadi. Ia memegang bibirnya lalu menutup wajahnya yang memerah.
Alina berjalan menuju wastafel. Mencuci muka dan berdiam sejenak. Alina menarik napasnya dalam-dalam dan membuangnya dengan pelan. Lalu berjalan meninggalkan toilet.
Sesampainya di meja teman-temannya, Alina menoleh ke kanan kiri mencari-cari Arvin yang dari tadi tidak kelihatan. Temannya tersebut memperhatikan Alina yang tampak aneh.
"Lin, cari apa sih?" tanya Dewi sambil mengikuti Alina menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Di mana pria gila itu? Kok gak ada?" tanya Alina balik. Ia masih kesal dengan kejadian tadi.
"Oh, kak Arvin ya? Tadi sih bilangnya ada keperluan mendadak gitu. Jadi pulang duluan, memangnya kenapa sih?" jelas Sinta sambil memandang Alina dengan tatapan penasaran.
"Dasar brengsek!! Awas aja ya. Bukannya minta maaf malah kabur. Dasar!!" maki Alina dalam hati. Ia benar-benar marah. Jelas saja Alina marah, mana ada orang yang meminta nomor Hp dengan pemaksaan seperti itu. Berlebihan sekali. Dasar.
Melihat tingkah Alina, Sinta dan Dewi hanya saling memandang dan mengangkat bahunya.
"Aku pulang duluan. Bye!" Tanpa menunggu jawaban temannya, Alina langsung bergegas pergi.
Kedua temannya semakin bingung dengan tingkah Alina. Mereka mencoba memanggil Alina tetapi tidak dihiraukannya. Mereka ingin menyusul dan bertanya apa yang sudah terjadi. Tetapi sayang, makanan itu belum mereka habiskan. Apalagi jarang-jarang dapat traktiran. Mereka duduk kembali dan menikmati makanan tersebut. Dan mereka sepakat akan bertanya setelah pulang dari mall.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!