NovelToon NovelToon

Surat Cinta Untuk Alana

Bab 1 | Anak baru

"Na, ayo cepetan ikut."

Sisi menarik paksa tangan Alana yang masih fokus menyalin pelajaran dari papan tulis, membuatnya menggebrak meja dengan kasar.

"Apaan sih! Nggak liat orang lagi sibuk?" Tangannya menarik alat tulis dan berpindah duduk di bangku paling depan.

"Minggir!" Bentaknya pada seorang siswi yang duduk di sana.

Sisi masih terpaku di tempat, dia menatap Alana tanpa berkedip. Beberapa saat kemudian dengan semangat, gadis itu kembali menghampiri sahabatnya dan membujuk agar mau ikut keluar kelas.

"Ayo dong, Na. Bentar aja, lagian nggak ada guru juga. Ini penting banget, aku baru dapet info dari kelas sebelah. Ada "prince charming" di ruang tata usaha, katanya pindahan gitu. Eh tahu nggak, dia ganteng banget, Na. Nih liat, kasep pisan euy. Liat, Na." Sisi memperlihatkan layar handphone tepat di depan wajah temannya yang masih sibuk menulis.

Alana menarik napas panjang, lalu menatap Sisi dengan wajah merah padam, tangannya sudah menggenggam erat hingga terlihat jelas buku-buku jarinya.

Vio yang melihat itu, segera berlari ke depan dan menarik Sisi keluar sebelum ada gunung meletus di kelas mereka.

Alana kembali melanjutkan aktivitas yang sempat terjeda, dengan cepat dia menyelesaikan pekerjaannya sebelum bel pergantian pelajaran berbunyi.

"Makasih," ucapnya ketus pada dua siswi yang duduk berhimpitan di sampingnya. Dia kembali ke tempat duduk di barisan paling belakang dekat dinding. Tempat favorit dan tak ada satu pun teman yang berani mengusiknya untuk pindah.

Sesuai prediksi, bel berbunyi nyaring. Sisi dan Vio berlarian masuk kelas dengan wajah penuh keringat namun senyuman tak pudar dari wajah mereka. Sisi langsung duduk di samping Alana dan kembali memperlihatkan layar ponselnya.

"Nih, Na. Ganteng banget kan? Katanya sih dari Mahardika. Plot twist-nya, dia juga kelas XI sama kayak kita. Semoga aja dia masuk di kelas ini." Sisi menangkupkan kedua telapak tangannya dengan mata terpejam.

Alana tak menggubris celoteh temannya, dia mengeluarkan buku dan alat tulis sesuai jadwal.

Tak berselang lama, seorang guru wanita yang anggun berjalan memasuki ruang kelas. Sisi dengan cepat kembali duduk di samping Vio, tepat di depan Alana yang duduk seorang diri.

"Selamat pagi anak-anak, bagaimana kabar kalian? Sudah belajar?" Guru itu tersenyum lembut mengedarkan pandangannya.

"Kaya ada bau-bau nggak enak ini mah. Gimana?" Bisik Sisi diikuti gelengan lemah dari teman sebangkunya.

"Mati-lah kita." Mereka berdua menepuk kening bersamaan, menciptakan bunyi yang cukup nyaring dalam suasana kelas yang hening.

Bu Ines menatap kedua siswi yang kini menunduk.

"Sisi, Vio. Ada apa? Kalian tidak belajar?" Suaranya membelah kabut ketegangan yang tiba-tiba muncul di ruang kelas.

Baik Sisi maupun Vio sama-sama menggeleng lalu memaksakan senyuman.

"Oke, kita lanjut ya. Simpan semua buku dan letakkan ponsel kalian di meja saya, se-ka-rang!"

Seperti biasa, yang duduk paling depan bertugas mengumpulkan.

"Mana hp-mu, Si? Cepet sini, keburu ngamuk tuh." Vio merebut benda pipih di tangan temannya lalu menyerahkan pada siswa yang masih berdiri di dekat mereka.

Tanpa diminta, Alana sudah meletakkan ponselnya di ujung meja. Dengan tenang, dia mulai mengerjakan soal demi soal yang diberikan guru tanpa kesulitan. Dia termasuk salah satu murid berprestasi di SMA Bhayangkara ini. Sejak awal masuk, Alana sudah menjadi buah bibir di kalangan guru bahkan sesama murid karena nilainya yang cukup memuaskan.

Detik demi detik berlalu, suara peringatan dari guru mulai terdengar santer di telinga.

"3 menit lagi harus dikumpulkan. Kalau tidak, akan Ibu beri nilai nol."

Seisi kelas mulai ribut, terlebih Sisi dan Vio yang melirik ke belakang, berharap Alana akan memberi contekan.

Dengan anggun, gadis itu berdiri dan berjalan melewati meja kedua temannya.

"Makanya belajar." Alana tersenyum kecil dan melenggang ke meja guru diiringi senyuman kecut dari sahabatnya.

"Waktu habis, cepat kumpulkan. Ibu hitung mundur ya, 3 ... 2 ... "

Suasana kelas semakin kacau, terlebih barisan cowok yang mayoritas tak pernah belajar dan lebih mementingkan penampilan.

"Apaan ngitung dari 3, pelit amat sih." Rio mengumpat pelan dengan keringat di kening. Tangannya gerak cepat menulis jawaban hasil mengarang, entahlah memang sepertinya sudah tradisi turun temurun jika pelajaran Matematika adalah ilmu pasti yang terkadang menjadi momok paling menakutkan di sekolah.

"Waktu habis. Oke, semua sudah mengumpulkan ya, Ibu harap nilai kalian lebih baik dari pertemuan kita sebelumnya. Untuk kali ini ... "

Suara ketukan membuat guru dan seisi kelas menatap ke arah pintu yang tertutup. Bu Ines, si guru Matematika itu beranjak membukakan pintu lalu mempersilahkan masuk.

Ruang kelas yang tenang, kembali riuh oleh suara penghuninya yang saling bersahutan.

"Tuh kan, Sisi emang paling bener kalau ngasih info." Vio hanya mengacungkan ibu jarinya dengan senyum getir.

"Baik anak-anak, kelas kalian kedatangan teman baru ... perkenalkan namamu, Nak," ucapnya lembut pada seorang siswa yang terlihat berdiri santai dengan seragam yang berbeda.

Dia mengangguk lalu sedikit melangkah maju, mengedarkan pandangannya lalu menyebut identitas dengan percaya diri.

"Halo semua, kenalin namaku Manggala Putra, kalian bisa panggil aku Gala. Aku pindahan dari SMA Mahardika dan mohon kerja samanya. Terima kasih."

Seisi kelas mulai ribut, terlebih para siswi yang kagum melihat penampilan anak baru yang cukup keren dengan wajah ganteng dan hidungnya yang mancung.

"Semua tenang. Baik Gala, kamu boleh duduk di ... " Bu Ines mengedarkan pandangannya lalu menunjuk ke barisan paling belakang.

"Nah, kamu duduk di samping Alana ya."

Mendengar itu, Alana segera berdiri.

"Maaf, Bu. Ini sudah ada yang nempatin."

"Vi, mundur sini, cepet." Kaki Alana berhasil menggoyangkan kursi Vio yang duduk tepat di depannya.

"Nggak ada protes-protesan. Gala, kamu duduk di sana ya. Kita akan lanjutkan materi."

Dengan kesal, Alana tak sedikit pun menoleh saat teman barunya duduk dan mengajak berkenalan. Berbeda dengan Sisi yang berulang kali menoleh ke belakang lalu mengulurkan tangan, dengan centil dia menyebutkan namanya.

"Hehe, maaf ya." Vio tersenyum simpul lalu menarik Sisi agar kembali menghadap ke depan.

Pelajaran kembali berlangsung tanpa ada keributan lain hingga bel tanda istirahat berdering.

Alana dengan cepat berdiri dan pergi begitu saja, membuat Sisi dan Vio buru-buru mengejar.

"Na ... tungguin!" Namun Alana tetap melangkah keluar kelas tanpa sedikit pun menoleh.

"Lah, ke mana tu orang? Bentar doang udah ngilang aja." Sisi dan Vio celingukan di depan kelas mencari sosok temannya yang kini entah di mana.

"Kantin, ya kita ke kantin coba. Mungkin dia lagi kelaperan jadi buru-buru." Sisi menarik tangan Vio ke arah kantin.

Sementara itu di lain tempat, tepatnya di aula yang sepi, Alana duduk seorang diri dengan tangan menggenggam erat sebuah botol minum.

Wajahnya memerah tanda tengah menahan amarah yang siap meledak kapan pun. Ponsel di sampingnya bergetar menampilkan sebuah nama, namun gadis itu tetap pada posisinya dan kembali mengatur napas meredakan gejolak emosi di dada.

Sisi menggeleng setelah mencoba berulang kali menghubungi Alana namun tak ada hasil. Dia dan Vio kembali mengedarkan pandangan ke penjuru kantin berharap sahabatnya ada di antara pengunjung kantin yang saling berdesakan.

"Ah, bodo amat. Aku laper nih, mau makan apa, Vi?" Sisi menepuk lengan Vio yang masih menggenggam ponsel, mereka menuju salah satu pedagang lalu ikut mengantri di sana.

Di dalam kelas, Gala hanya duduk sambil memainkan ponsel di tangan. Beberapa siswa menatap lalu mengajaknya kenalan.

"Hai, Bro. Kenalin gue Rio, ini Adit sama Juna." Mereka saling berjabat tangan. Tak butuh waktu lama, keakraban langsung muncul membuat obrolan mereka semakin santai.

"Bro, lo kudu ati-ati sama Alana, dia tuh singa di kelas kita. Pokoknya tu cewek 'senggol bacok' deh." Rio memberikan wejangan pada teman barunya, mengingat Alana tak seperti cewek kebanyakan yang akan luluh oleh tampang.

Gala hanya mengangguk tapi senyum tipis menghiasi sudut bibirnya.

Se-mengerikan apa tu cewek?

Batin Gala dengan wajah penasaran.

*

Bab 2 | Singa betina

Alana sama sekali tak pernah menyapa Gala meski mereka duduk bersebelahan. Sikap cuek-nya membuat dia seakan duduk sendiri seperti biasa.

"Hai, boleh pinjem bolpoin? Gue kehabisan nih, cuma bawa satu." Gala menatap cewek di sampingnya yang masih sibuk mencatat tanpa sedikit pun menoleh, apalagi membalas pertanyaannya.

Tunggu punya tunggu, tetap tak ada jawaban.

'Ealah, emang bud3k ni cewek.' Gala menggerutu dan mendengus pelan lalu kembali fokus mencatat materi dengan pensil.

"Anak-anak, sekarang kalian diskusikan bersama teman sebangku tentang materi yang baru saja dicatat. Jawab pertanyaannya lalu kumpulkan hari ini juga sebelum bel istirahat. Saya tinggal sebentar." Pak Rahman melangkah keluar kelas lalu kembali menutup pintu.

Kelas tanpa seorang guru, sudah pasti menjadi pasar. Sama seperti keadaan ruangan ini. Mereka mulai membahas materi dengan suka cita, berbeda dengan bangku di pojok belakang dekat dinding.

Kedua penghuninya saling diam. Alana terus mencatat sedangkan Gala jadi salah tingkah untuk bertanya pada teman sebangkunya yang sibuk sendiri.

Selang beberapa lama, pintu kelas terbuka menampilkan pak Rahman yang berjalan masuk dengan tatapan menyapu sekitar.

"Yang sudah, bisa kumpulkan sekarang," ucapnya dengan tegas.

Senyum simpul tersungging di sudut bibir Alana yang berjalan santai melewati Gala. Dia masih terdiam dengan kertas kosong di hadapannya lalu menunduk saat Alana mendaratkan tubuh di kursi samping.

"Hmm ... Alana, siapa teman sebangkumu? Apa masih duduk sendiri? Bukannya ada murid baru di kelas ini ya, berarti jumlah siswa genap berpasangan. Kenapa kamu masih sendiri?"

Dengan tenang, dia berdiri dan melirik sekilas pada teman sebangkunya.

"Ya, Pak. Saya sendiri."

Sontak semua mata menatap ke pojok belakang, lalu saling berbisik.

"Manggala, ini yang anak baru ya? Mana dia?" Pak Rahman berdiri dengan pandangan menyapu seisi kelas.

Merasa terpanggil, Gala berdiri mengangkat tangan. "Saya, Pak."

"Lho, kenapa nggak ngerjain tugas? Apa kamu belum paham? ... Alana, tolong bantu temanmu untuk mengikuti pelajaran kita." Pak Rahman kembali duduk lalu membenahi mejanya karena bel istirahat sudah terdengar nyaring.

Dengan kesal, Alana pergi keluar kelas meninggalkan Sisi dan Vio yang berlari mengejar. Langkahnya cepat menuju aula yang kosong.

"Aaiissshh ... kenapa malah senjata makan tuan gini? Enak aja seorang Alana jadi tutor anak baru, nggak banget." Gadis itu menendang kaleng bekas cat yang ada di hadapannya.

Suara nyaring terdengar dari aksinya, kemudian sekitar kembali sunyi.

Ponsel di saku bergetar, dengan cepat Alana membuka layar dan membaca pesan masuk lalu menunduk dalam.

Aula yang kosong dan berada di ujung bangunan membuatnya jarang dijamah kecuali untuk acara penting sekolah.

Sejak awal masuk, Alana lebih menyukai keheningan di ruangan itu, terlebih saat suasana hatinya tengah dilanda kegelisahan.

"Na ... "

Alana sontak menoleh kanan kiri mencari siapa yang memanggilnya, "Heh keluar, nggak usah pake nakut-nakutin segala. Cemen!"

Namun tak ada seorang pun yang datang juga terlihat di sana.

Dengan hentakan kaki yang keras, Alana keluar menuju kelasnya. Sementara di sudut aula kosong, seorang siswa menatap nanar ke arah pintu yang kembali tertutup.

Dalam ruang kelas, suasana ramai seperti pasar induk. Sisi dan Vio juga sibuk membahas drakor yang baru saja mereka tonton. Di sisi lain, sekelompok siswa tengah bermain game sambil menyanyikan lagu-lagu yang tengah populer.

"Bro, di sekolah lo yang lama, ceweknya cakep-cakep nggak? Kenalin lah, lama jomblo nih." Rio sengaja menepuk Adit dengan tawa tertahan, sedangkan Adit latah menepuk kepala Gala yang duduk di sampingnya.

"Heh, apaan? Sakit tahu!" Gala mengusap kepalanya dengan satu tangan.

"Maaf, maaf. Tadi Rio yang mulai." Adit menunjuk Rio yang tertawa puas di atas meja.

Mereka kembali fokus pada layar masing-masing hingga suara seseorang membuat ruangan seketika hening.

Alana menggebrak meja, lalu membacakan daftar nama yang belum membayar uang kas kelas.

"Terakhir hari ini, nggak ada alesan lagi. Pokoknya kudu lunas semua!"

Satu per satu penghuni kelas mendatangi meja di pojok belakang lalu menyerahkan uang. Alana sibuk mencatat dan menghitung uang yang terkumpul di meja. Dia tersenyum sinis ke arah Gala yang tengah menatapnya dari kejauhan.

Alana melangkah mantap ke arah para siswa yang masih sibuk dengan ponsel tanpa menghiraukan ucapannya.

"HEH RIO! BAYAR 15 RIBU. SE-KA-RANG! NGGAK PAKE ALESAN LAGI!" Alana mengambil paksa ponsel di tangan Rio yang masih menampilkan game di layarnya.

"HEH KAMPRET! BAL ... eh Na, kirain siapa. Ada apa, Na? Tumben mau nyamperin ke sini." Rio salah tingkah menatap Alana yang berdiri tepat di hadapannya.

Dengan wajah bengis, Alana memperlihatkan buku di tangan dan menunjuk sebuah nama.

"SEKARANG!"

"Tap ... tapi, Na. Gue lagi bokek, beneran sumpah. Duit jajan aja nggak dikasih sama Emak. Besok deh gue lunasin semua," ucap Rio dengan tampang memelas.

"Oke. Hape-lo jadi jaminan." Alana melangkah anggun kembali ke mejanya.

"NA ... " teriak Rio namun semua itu sia-sia karena Alana memasang earphone di telinga.

Rio mengacak rambut dengan kesal, dia menatap cewek yang telah merampas ponselnya dengan raut bimbang.

"Lah, kenapa nggak rebut balik? Cemen banget jadi cowok." Gala tertawa kecil dengan wajah meremehkan, membuat temannya menoleh dan menatap tajam.

"Dia tuh cewek jadi-jadian, siluman naga hitam, singa betina yang siap memangsa siapa pun. Kalo nggak percaya, sana deketin dia. Sampai kalian bisa pacaran, gue kasih duit deh, ya nggak, Dit."

Rio memukul Adit dengan buku, membuatnya seketika latah memukul Juna yang tidur di sampingnya.

"Banjir, banjir ... woii banjir ... " Juna tergagap dan langsung berdiri di atas kursi, membuatnya menjadi pusat perhatian di kelas.

Tawa riuh kembali terdengar memenuhi ruangan. Mereka mengolok-olok Juna si tukang tidur dengan berbagai kata candaan.

"Nama mah Arjuna, tapi kerjaannya molor mulu. Gimana mau perang coba?"

"Arjuna itu wayang yang tangguh, ganteng pula. Beda banget sama di sini. Udah molor-an, dibilang ganteng juga jatohnya fitnah."

Tawa puas disertai suara meja yang dipukul-pukul, membuat Alana melepas benda di telinga.

Dia menoleh ke arah Juna yang masih berdiri dengan wajah kebingungan.

"Dasar manusia aneh." Dia menghela napas lalu membuka ponselnya. Di saat yang sama, Gala mendekati Alana dan menyerahkan selembar uang berwarna hijau.

"Nih punya Rio. Lunas kan? Balikin hape-nya." Tangan cowok itu terulur tepat di depan wajah Alana yang menatapnya tajam. Cewek itu terbahak, tangannya sibuk meremas uang pemberian dari si anak baru.

Tepuk tangan dari Alana menyertai tubuhnya yang kini berdiri tepat menghadap si cowok,

"Sok jadi pahlawan kesiangan? Haha. BASI!" lalu dengan senyum sinis dia melempar sesuatu dari genggaman ke wajah cowok itu.

Alana juga melempar tas di kursi samping dengan tawa renyah yang memuakkan.

"Bisa-bisanya manusia modelan gini diterima Dirgantara, sama Mahardika aja dibuang." Alana kembali tertawa lalu memasang earphone dan mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama yang didengar.

Gala menatap tak percaya pada cewek itu. Dengan kesal dia mengambil tas-nya dan berjalan ke arah tempat duduk di sudut lain, di mana teman-temannya berada.

"Nah, itu namanya KaDeeRTe verbal. Nggak sopan istri teriak-teriak ke suami." Rio tertawa menatap Gala yang kini duduk di dekatmya.

"Berisik!" Gala menggebrak meja lalu merebahkan kepala di atasnya.

"Belom apa-apa udah nyerah? Nggak mau duit?" Rio mengeluarkan beberapa kertas dengan nominal beragam.

"Semua cowok di kelas ini ikut taruhan. Mereka kebanyakan bilang lo akan gagal dan nggak bakal bisa luluhin si ratu hutan, tapi kami setuju banget kalo lo mau nyoba sama dia, biar kami bisa tenang tanpa bayang-bayang omelan dia yang nggak banget tiap harinya." Rio menepuk pundak Gala yang kini menatap Alana dengan senyum misterius.

"Oke, kalo gue bisa, gue dapet duit kan?" Gala mengalihkan pandangan ke arah Rio dan teman-teman lainnya.

Sontak para cowok mengangguk mantap, Rio mengacungkan tangannya lalu bersorak girang.

Sepulang sekolah, Alana sudah berdiri di depan gerbang menunggu jemputan. Sambil menunggu, dia memainkan jemarinya di layar ponsel.

Klakson mobil membuatnya tersentak namun tak lama kemudian senyum mengembang di bibir tipisnya, dia masuk dan melaju ke tempat tujuan.

Sementara itu di balik gerbang, Gala menatap kepergian Alana yang semakin menjauh dibawa pergi.

"Jadi, dia udah punya cowok?"

*

Bab 3 | Tragedi toilet sekolah

Hari ini, Pak Cipto selaku guru olahraga sudah berdiri di tengah lapangan sembari meniup peluit. Satu per satu siswanya berlarian mendekat membentuk formasi barisan dan melakukan pemanasan.

Pak Cipto mulai memanggil anak didiknya sesuai absen untuk berlari keliling lapangan.

"Selanjutnya, Alana ... mana dia? Nggak masuk?" Kembali guru itu mengulang nama yang sama, hingga akhirnya...

"Maaf, Pak. Saya telat." Dengan wajah merah padam dan napas tersengal, Alana berlari mendekat.

"Seragammu ke mana? Ini waktunya olahraga bukan jam bebas." Pak Cipto mengeryitkan kening melihat Alana yang berdiri dengan kaos oblong dan celana kolor sebatas lutut.

Meski hatinya bergemuruh karena amarah, namun gadis itu tetap memberikan penjelasan yang sebisa mungkin masuk akal. Akhirnya dia mendapat pengurangan nilai dan hukuman untuk lari keliling lapangan di saat yang lain bermain volly.

Bel pergantian pelajaran terdengar nyaring di koridor sekolah. Pak Cipto membubarkan siswa siswinya untuk kembali ke kelas.

"Alana, nanti istirahat kamu temui saya di ruang BK." Pak Cipto berlalu dengan langkah lebar menuju ruang guru.

Sisi dan Vio segera mendekati sahabatnya yang masih terlihat kesal. Keduanya bertanya dengan hati-hati,

"Na, seragammu ke mana?"

Bukannya menjawab, yang ditanya justru semakin mempercepat langkahnya menuju kelas. Baru saja memasuki ruangan, beberapa temannya bersorak sambil menatap papan tulis. Alana latah lalu tersenyum simpul membaca tulisan di sana.

Jam pelajaran selanjutnya hanya mengerjakan tugas sebab guru tengah ada rapat di kantor dinas.

"Na, ganti nggak? Kita mau ke toilet." Sisi sudah siap dengan seragam di tangan, begitu juga dengan Vio yang menatap keduanya dengan mata mengantuk. Melihat itu, Sisi menyikut Vio dengan kesal.

"Baru juga beres olahraga, udah ngantuk aja kek ayam. Lo cacingan?"

Vio menggeleng lemah sembari memegangi perutnya.

"Siapa yang makan cacing? Emang aku tipes? Tadi nggak sarapan aja. Ntar beres ganti langsung ke kantin ya."

Mendengar itu, Sisi dan Alana hanya diam lalu berjalan keluar kelas diikuti Vio yang berlari dan sukses menabrak Gala di depan pintu.

"Eh, maaf nggak sengaja." Vio menunduk gemetar sedangkan Alana menghentikan langkahnya.

"Hei, Bro. Bukannya tadi tuh olahraga ya, kok ada yang pake baju bebas sih? Mau mancing?" Gala mengacuhkan ucapan Vio lalu menepuk bahu Rio sembari melirik ke arah Alana yang berjalan mendekat.

Tanpa banyak bicara, gadis itu segera menarik lengan Vio dan membawanya pergi dari hadapan Gala cs yang masih menatap kepergian mereka.

"Gal, Lo yakin dia nggak bakal ngerti?" Rio sedikit ketakutan karena sempat melihat lirikan Alana yang mematikan.

"Tenang aja, nggak bakalan tahu." Gala melangkah masuk diikuti teman-temannya.

Sementara di dalam toilet, Alana mengepalkan kedua telapak tangannya lalu menatap cermin dengan raut penuh amarah.

"Awas aja lo anak baru, gue ikutin game bikinan lo ini." Senyum misteriusnya tertangkap oleh Sisi yang baru saja keluar dari bilik kamar mandi.

"Na? Sadar, Na. Nyebut." Sisi terlihat panik. Begitu melihat Vio membuka pintu, dia segera mendekat dan menunjuk Alana.

"Vi, cepet panggilin guru. Alana kesurupan." Vio melongo lalu menatap pantulan wajah Alana di cermin yang masih tersenyum.

"Dia lagi kasmaran, Si?"

Mendengar itu, Sisi memukul lengan temannya. Mereka sibuk berdebat tanpa menyadari Alana yang sudah berjalan keluar.

"Lho, Vi. Alana ilang, lo sih, suruh manggilin guru nggak cepet pergi. Kalo udah gini gimana coba," tukas Sisi dengan panik membuka satu demi satu pintu kamar mandi sambil memanggil nama temannya.

"Ya kan dia lagi kasmaran, Si. Mungkin pergi ketemu cowoknya." Vio santai saja melipat baju lalu mencuci tangan di westafel.

"ALANA ILANG DIBAWA SETAN, VIOOOO!!!" Sisi berteriak membuat Vio seketika kaku.

Beberapa saat kemudian, keduanya berlari ke kantor guru dan menjelaskan apa yang terjadi.

Sisi, Vio dan dua orang guru segera menuju toilet dan mencari ke setiap sudut sekolah.

"Udah di cari ke kelas?" Ucap salah seorang guru yang terkenal sebagai guru agama.

Kedua siswi itu berlari ke kelas, membuka pintu dan tertegun melihat Alana tengah duduk manis dengan alat tulis di meja.

"Na?? Ini beneran lo??" Sisi menepuk pipi Alana lalu memeluk temannya sambil sesenggukan, begitu juga dengan Vio yang ikut memeluk Alana lalu berucap, "Na, tadi dibawa ke mana aja?"

"Siapa?" Alana menatap bingung dan lebih tak mengerti lagi ketika dua orang guru mendekatinya.

"Alana, syukurlah kamu selamat. Lain kali jangan melamun lagi ya, perbanyak dzikir." Pundak Alana ditepuk lembut oleh kedua guru tersebut, lalu mereka keluar.

"Kenapa sih?" Alana menatap Sisi dengan raut penuh tanya, sedang seisi kelas tengah menatap mereka bertiga dan menantikan penjelasan atas keributan itu.

"Na, lo tadi senyum-senyum di depan cermin ngapain? Lo kesurupan kan? Tadi lo juga ngilang dibawa setan kan, Na?" Sisi mengguncang kedua bahu temannya yang tiba-tiba saja terbahak.

"Gila lo ya, gue tadi baik-baik aja, ... satu lagi, gue nggak kesurupan apalagi dibawa setan, Si. Gue masih sadar, masih waras." Alana kembali berkutat dengan tugas di meja.

Tiba-tiba, seseorang nyeletuk dengan suara yang cukup mengganggu pendengaran.

"Mana ada setan doyan dia, orang dianya aja udah kek ratu setan. Hahaha."

BRAKK!!!

Alana menggebrak meja dan menatap lurus ke arah Gala, dia berdiri lalu berjalan menghampiri meja cowok itu dan...

"AWWW!!! SAKIT WOII!" Teriak Gala yang reflek mengusap bahunya yang terkena pukul penggaris besi miliknya sendiri.

Setelah puas meluapkan kekesalannya, Alana kembali duduk di tempatnya dan terlihat sibuk dengan deretan soal yang belum dia kerjakan.

Ini belom seberapa, lo liat aja hasil dari game yang lo mulai duluan ini. Hahaha.

Alana tersenyum simpul tanpa menghiraukan tatapan Sisi dan Vio.

Otak Alana kembali memutar kejadian beberapa jam sebelumnya, di mana peluit pak Cipto sudah terdengar memanggil, namun seragam olahraganya belum juga ditemukan. Padahal dia ingat sekali, tadi pagi sudah dimasukkan tas sebelum berangkat.

Hanya tinggal dia yang masih berada di kelas mencari-cari seragamnya yang hilang dan dia sudah putuskan akan ikut olahraga dengan seragam osis yang dikenakan.

"Na? Nggak ikut olahraga? Lo sakit?"

Alana menghentikan langkah dan menoleh, tatapannya bertemu dengan manik hitam milik seorang cowok dari kelas sebelah.

"Nggak papa, ini mau ke lapangan." Dia kembali berjalan namun baru beberapa langkah, cowok itu kembali memanggilnya.

"Gue tahu, baju lo ilang kan? Dari pada pake rok gitu, mending lo pake baju gue aja. Gue sengaja bawa buat maen ntar balik sekolah. Tunggu bentar," ucapnya sambil berlari dan tak lama dia kembali dengan kaos dan celana kolor.

"Pake aja, ntar gue bantu cari baju lo. Nih," dia menyerahkan ke tangan Alana yang masih menatapnya curiga.

"Jadi lo yang ngumpetin?" Suhu tubuh Alana mulai naik diikuti debar jantungnya yang bergemuruh.

"Sumpah, Na. Bukan gue. Tadi gue liat Gala cs keluar kelas sambil ketawa trus mereka ngomongin baju dan nyebut nama lo. Gue awalnya nggak tahu sampai tadi gue liat lo mondar-mandir di kelas nyariin sesuatu."

Peluit pak Cipto kembali terdengar, membuat Alana mau tak mau bergegas meraih baju itu dan membawanya ke toilet.

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!