Lily duduk di pojok bar dengan pipi memerah, gelas cocktail di tangannya tinggal setengah. Tawa teman-temannya menggema memenuhi udara malam yang riuh, lampu berwarna-warni menari di dinding dan musik menghentak lembut di telinga. Malam itu adalah pertama kalinya Lily menginjakkan kaki di sebuah bar. Semua ini demi merayakan pertunangan sahabatnya, Alina.
Meski ragu sejak awal, Lily tak kuasa menolak saat Alina menariknya masuk ke tengah keramaian. Gadis polos itu mencoba menyesuaikan diri, mengikuti irama musik, dan akhirnya menyeruput satu, dua gelas minuman manis yang katanya ringan. Namun efeknya datang lebih cepat dari yang dia kira. Wajahnya semakin merah, tawanya makin keras dan langkahnya mulai goyah.
"Kayaknya Lily udah cukup," kata salah satu teman mereka, menopang tubuh Lily yang mulai limbung.
"Aku... aku baik-baik saja.." ujar Lily sambil tertawa kecil, mencoba berdiri dengan anggun, namun malah terhuyung ke arah sofa.
Melihat keadaannya, teman-temannya segera memesan layanan sopir bayaran. Tak lama, seorang pria datang menjemput, mengenakan jaket gelap dan ekspresi datar. Dengan hati-hati, ia membantu Lily masuk ke dalam mobil, sementara Lily menggumamkan lagu dengan suara kecil, sesekali tersenyum tanpa alasan.
Di dalam mobil, Lily menatap ke luar jendela yang dipenuhi cahaya malam. "Pertama kalinya... dan terakhir kalinya," bisiknya, sebelum akhirnya tertidur dengan senyum lelah di wajahnya.
Pintu apartemen kecil di lantai delapan terbuka dengan bunyi klik pelan. Lily melangkah masuk, terhuyung pelan sambil melepas sepatunya dengan satu tangan berpegangan pada dinding. Raut wajahnya masih memerah, rambutnya sedikit berantakan karena angin malam dan sisa tawa barusan.
"Terima kasih..." gumamnya pelan, meski sopir yang mengantarnya sudah pergi. Ia melambai kecil ke udara, seolah masih ada yang melihatnya, lalu menutup pintu dengan pelan.
Ruangan mungilnya disambut lampu tidur yang redup. Hanya ada satu sofa kecil, rak buku yang penuh novel roman, dan ranjang sempit di sudut ruangan. Lily menjatuhkan tas ke sofa, lalu berjalan seperti penari mabuk menuju tempat tidur. Tapi sebelum sempat mendarat, ponselnya berbunyi dengan nada dering ceria.
Dengan gerakan dramatis, Lily meraih ponselnya. "Halooo..." ujarnya, masih terdengar ceria dan linglung.
Suara Alina langsung terdengar di seberang sana. "Lily! Kamu udah nyampe rumah?"
"Udah doong. Aku udah di kamarku yang manis dan... dan kasurnya manggil aku~" sahut Lily sambil terkekeh, lalu memeluk bantal.
Terdengar suara tawa keras dari Alina. "Aduh Lily, kamu tuh... Kamu sadar nggak harusnya kamu tuh nggak pulang, tahu nggak?"
"Hah? Maksudnya?" tanya Lily polos, duduk tegak meski kepalanya masih berat.
"Kamu itu harusnya bersenang-senang di hotel, tahu nggak? Maksudku... sopir itu, duh, tampan banget! Gimana bisa kamu cuma pulang dan tidur kayak anak baik?!"
Lily terdiam sebentar. "Emang kenapa? Aku... emang harus ngapain di hotel? Kan capek…"
Di ujung sana, Alina tertawa terpingkal-pingkal. "Ya ampun Lily! Kamu tuh polos banget! Maksudku, kalau aku yang diantar cowok kayak gitu, mungkin malam ini aku nggak tidur sendirian."
Lily mengerutkan kening. "Tapi... itu kan sopir bayaran. Masa kita ganggu kerjaannya buat hal begituan?"
Alina menghela napas panjang. "Astaga... Lily, kamu tuh kayak keluar dari buku cerita putri tidur. Dunia nyata tuh... beda, tahu!"
Lily menguap kecil, memeluk bantalnya lebih erat. "Kalau dunia nyata capek banget, aku pilih tidur aja deh..."
"Polos banget sih, dasar! Nanti kamu tua dalam kesendirian loh!" ejek Alina sambil tertawa.
"Aku nggak papa... asal ada kucing..." balas Lily pelan.
"Udah sana tidur, dasar gadis lugu!" suara tawa Alina menghilang saat sambungan terputus.
Lily meletakkan ponselnya di samping bantal, menatap langit-langit kamar dengan senyum kecil. "Lugu ya... emang salah ya?"
Lalu dengan satu tarikan napas panjang, ia pun terlelap, tenggelam dalam mimpi yang damai.
Dia benar benar hilang.
Keesokan harinya.
Sinar matahari menelusup masuk melalui celah tirai jendela apartemen. Jam dinding menunjukkan pukul 10.03 pagi ketika Lily terbangun dengan kepala berat dan mata masih sepat. Ia mengerang pelan, menyesali sedikit minuman manis malam tadi.
"Ugh... kenapa rasanya kayak ditabrak truk," gumamnya sembari duduk di ranjang, rambutnya acak-acakan seperti sarang burung.
Tapi tunggu dulu, ini di mana?"
Mata lili berputar putar ingin mencari tempat yang dia kenal.Tapi kenapa rasanya begitu aneh apakah mungkin karena kepala akibat dari mabuk tadi malam?
Ahh...mungkin kebetulan aja"pikir lili dalam hati.
mengesampingkan rasa aneh di hatinya Lily Berencana untuk pergi mandi .
Beberapa menit kemudian, suara gemericik air memenuhi kamar mandi. Lily berendam sebentar untuk menyegarkan tubuhnya, lalu mengenakan pakaian santai,kaos longgar dan celana pendek.
Lagi-lagi dia di bingung kan dengan kondisi yang kontras dengan ingatan nya sendiri.
Ahh lupakan saja.
Dia mengikat rambutnya seadanya, membuka jendela balkon yang kecil, dan mulai menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur, dan segelas susu dingin.
Balkon mungil di lantai delapan itu sudah menjadi tempat favoritnya. Di sana dia bisa melihat jalanan kota, deretan toko kecil, dan taman mungil di seberang jalan. Udara pagi cukup sejuk, walau agak panas karena sisa musim panas yang belum benar-benar berlalu.
Lily duduk dengan santai, menggigit roti panggangnya sambil memandangi jalanan di bawah.
Namun, pagi itu terasa... aneh.
Bunyi klakson dan deru mesin biasanya ramai di jam segini, tapi sekarang justru senyap. Tidak ada suara anak-anak sekolah. Tidak ada ibu-ibu yang mendorong kereta bayi. Suasana begitu lengang... terlalu lengang.
Lily menyipitkan mata, mencondongkan tubuh ke arah balkon, mencoba melihat lebih jelas.
Dan saat itulah dia melihatnya.
Di ujung jalan, seorang pria berlari terpincang-pincang, pakaian robek, dan darah membasahi wajahnya. Dia tampak panik, terus menoleh ke belakang. Tak lama kemudian, muncul sosok lain. Atau lebih tepatnya... makhluk. Berjalan kaku dengan mulut terbuka, tubuh berlumuran darah, dan mata kosong menatap lurus ke depan.
Jantung Lily langsung melonjak ke tenggorokannya. Roti yang ada di tangannya terjatuh.
Makhluk itu mengejar pria tersebut, dan sebelum sempat berbelok, pria itu terjatuh. Dengan suara mengerikan, si pengejar langsung menubruknya, menggigit lehernya seperti binatang buas yang kelaparan. Darah memercik di jalanan.
Lily membekap mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar hebat.
"Apa itu...?" bisiknya, matanya membelalak tak percaya.
Teriakan mulai terdengar. Dari kejauhan, orang-orang berlarian, dan beberapa dari mereka juga tampak... aneh. Gerakan mereka kaku, namun cepat. Tubuh-tubuh yang tak semestinya bisa berdiri kembali berjalan, mencakar, menggigit siapa pun yang ada di sekitar mereka.
Taman di seberang jalan berubah menjadi ladang kekacauan. Seorang wanita tua diseret oleh tiga makhluk yang menggigit lengannya bersamaan. Suara retakan tulang dan jeritan minta tolong menggema di udara.
Lily terpaku di tempatnya. Napasnya memburu.
"Apa ini... film? Ini mimpi, kan...?"
Namun saat melihat seorang pria memanjat mobil dengan tubuh penuh luka, hanya untuk diseret dan ditarik paksa oleh gerombolan makhluk buas itu, Lily sadar...
Ahhhhkkkk
Ini nyata.
Lily mundur perlahan dari balkon, tubuhnya gemetar. Kakinya terasa lemas, hampir saja ia terjatuh saat punggungnya menyentuh dinding kaca pintu. Tangannya mencari-cari ponsel yang masih tertinggal di meja makan kecil. Dengan jari gemetar, dia meraihnya dan langsung mencari nama seseorang .Anehnya telepon dan data di sana, bukan miliknya.
Tapi masa bodoh.
Tidak perduli apa, dia harus menelepon seseorang.
Satu dering. Dua dering. Tidak diangkat.
"Angkat... angkat dong..." bisiknya putus asa.
Nada sambung terus berdering tanpa jawaban. Lalu dia mencoba satu nomor lagi,kontak emergency,juga no taksi online yang tadi malam mengantarnya pulang. Tapi ponselnya mendadak kehilangan sinyal.
Layar menampilkan pesan “tidak ada layanan”
"Kenapa... kenapa tiba-tiba..." gumamnya, matanya mulai berair.
Baru kemudian sebuah ingatan eneh datang.
Wow,dia bukan lagi lili di abad 21,tapi lili lain yang seperti nya berada di ujung dunia.
"Ya tuhan, apa ini hukuman karena mabuk tadi malam??"
Huhuhu...tolong, tolong huhuhu.
Ketakutan yang menyelimuti seluruh tubuhnya seperti selimut dingin di tengah musim salju.
Dia mendekati jendela lagi, hanya sedikit, dan mengintip dengan perlahan. Suara-suara teriakan masih terdengar. Sebuah mobil ambulans lewat dengan kecepatan tinggi, namun sebelum bisa melewati perempatan, sebuah sosok melompat ke atas kap mobil, menghantam kaca depan dengan kepala.
Ambulans itu oleng dan menabrak tiang lampu jalan.
Lily mundur lagi. Napasnya sesak. Dia berjalan ke pintu apartemen, memutar kunci ganda, lalu menggeser kunci rantai. Ia memeriksa lubang intip.
Lorong apartemen masih sunyi. Tidak ada suara, tidak ada tanda-tanda orang lain.
Dia kembali ke jendela, melihat ke bangunan seberang. Di balkon lantai lima, ia melihat seorang gadis lain sedang menangis, juga melihat ke bawah. Pandangan mereka sempat bertemu, sama-sama ketakutan.
Lily menutup tirai rapat-rapat. Lalu dia duduk bersandar di pintu, memeluk lututnya.
"Apa ini akhir dunia?" bisiknya. "Apa aku... akan mati di sini?"
Namun saat suara ketukan terdengar dari pintu apartemen, tubuhnya langsung menegang.
Tok. Tok. Tok.
Pelan. Lalu semakin keras.
TOK. TOK. TOK!
Lily berdiri perlahan. Nafasnya memburu. Tapi dia tak berani membuka pintu. .
Suaranya... tidak seperti orang biasa. Jelas ini adalah suara geraman samar yang terdengar di balik pintu.
lily mundur.
Ponselnya masih kehilangan sinyal. Stok di kulkas tadi... hanya cukup untuk dua hari.
Lily berdiri di tengah apartemennya yang sempit, sendirian. Dunia luar telah berubah menjadi mimpi buruk, dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tapi satu hal pasti,ini bukan mimpi.
Ini nyata.
Lily duduk kembali di lantai ruang tengah, tubuhnya masih gemetar dan matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Jari-jarinya masih mencengkeram ponsel. Ia membuka daftar kontak dengan harapan ada seseorang… siapa saja… yang bisa ia hubungi.
Sebagian besar kontak hanyalah rekan kerja, nomor toko, atau teman lama yang jarang dihubungi. Tapi matanya terhenti pada satu nama:
Mira.
Sahabat lama pemilik tubuh semasa kuliah. Mereka tidak terlalu sering bertemu, tapi Mira selalu menjadi orang pertama yang mengangkat telepon saat Lily asli merasa kesepian.
Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol panggil.
Layar menunjukkan,tidak ada layanan.
Lily memukul dadanya dengan frustrasi. "Ayolah… ayolah…" katanya lirih.
Beberapa detik kemudian… satu bar sinyal muncul.
Berdering.
Lily menahan napas.
Suara napas yang terputus-putus terdengar di ujung sana. Lalu, terdengar isakan.
“Mira?” suara Lily tercekat.
“L-Lily? Astaga… kamu hidup? Kamu beneran hidup! Aku… aku pikir kamu…”
Suara Mira pecah, penuh ketakutan. “Aku nggak tahu harus hubungi siapa. Mama Papa aku nggak bisa dihubungi. Lily… aku lihat sendiri! Mereka… mereka bangkit dari tanah! Mereka makan orang, Li!”
Lily ikut menangis, suaranya tercekat. “Aku lihat juga dari balkon. Aku pikir aku mimpi. Tapi itu nyata, Mira. Nyata…”
Keduanya saling terdiam dalam tangis beberapa saat. Dunia di sekitar mereka hancur, namun dalam suara satu sama lain, ada seberkas kehangatan yang menenangkan.
“Aku… aku pernah lihat ini di film. Di novel. Tapi aku nggak pernah nyangka… kita bakal ngalamin sendiri…” Mira tertawa getir di sela isaknya. “Manusia jadi kayak binatang. Mereka nggak bisa diajak bicara… mereka cuma menggigit. Aku lihat tetangga sebelahku,mereka baru pulang belanja,digigit sama… sama orang asing yang berdarah-darah….”
“Mira…” Lily menarik napas dalam-dalam, lalu berkata pelan, “Aku nggak punya makanan…”
“Ha?”
“Di rumahku… cuma ada sisa roti dan susu dari tadi pagi. Aku biasanya beli take-out. Aku nggak pernah masak… bahkan mie instan pun nggak ada…”
Keheningan.
“Aku juga nggak tahu harus gimana,” Mira berbisik. “Aku sembunyi di kamar mandi. Aku dorong lemari ke depan pintu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan kita bisa… bertahan?”
Tangisan mereka kembali terdengar, kali ini lebih lirih, lebih putus asa.
Namun, tak lama kemudian…
Tuuut… tuuut…
Sambungan terputus. Sinyal hilang lagi.
Lily memandang layar ponsel yang gelap. Tidak ada layanan. Tidak ada lagi suara. Tidak ada siapa-siapa.
Dia menunduk, dan untuk pertama kalinya sejak dunia berubah, Lily menangis tanpa suara.
Setelah teleponnya terputus, Lily duduk mematung. Waktu terasa berhenti. Dunia di luar sana berubah menjadi mimpi buruk, dan di dalam apartemennya yang sempit, satu-satunya yang tersisa hanyalah dirinya… dan kesunyian.
Lalu, penyesalan mulai datang perlahan seperti kabut.
“Aku bodoh…” bisiknya parau. “Kenapa "dia" nggak pernah beli bahan makanan? Kenapa harus selalu pesan makan di luar?”
lili berdiri lemas, lalu berjalan ke dapur kecil. Tangan gemetarnya menarik pintu kulkas. Angin dingin menyambut wajahnya, tapi tak membawa ketenangan. Hanya rasa takut… dan kosong.
Matanya menyisir isi kulkas yang tampak mengenaskan.
Satu kotak susu separuh isi.
Dua butir telur.
Sisa salad kemarin malam.
Setengah potong keju.
Tiga botol air mineral kecil.
Dan satu piring plastik berisi ayam goreng yang sudah mulai mengering.
Tangannya meraih pintu freezer. Hanya ada sebungkus kecil nugget dan beberapa balok es batu.
Lily menghembuskan napas panjang. Dia menghitung ulang dengan suara lirih, seolah menghafal daftar harta karun terakhir di dunia.
“Susu… telur… salad… keju… ayam… nugget…”
Ia mengulanginya lagi. Dan lagi.
Sampai akhirnya suaranya pecah, dan tubuhnya merosot ke lantai dapur.
Tangisnya pecah, dan dadanya terasa sesak.
“Kalau saja aku seperti tokoh-tokoh di novel itu…,” gumamnya dengan suara parau, “yang tiba-tiba punya ruang dimensi. Bisa simpan makanan… bisa bersembunyi….”
Bukan kah seseorang seperti dia akan mendapatkan sesuatu.
Ya kan.
Matanya menatap langit-langit dengan putus asa. “Tolonglah…” katanya, nyaris tak terdengar, “aku nggak minta jadi pahlawan… cuma kasih aku… sesuatu. Ruang penyimpanan. Kekuatan kecil. Apa saja… asalkan aku bisa bertahan hidup…”
Ia menunggu.
Hening.
Tidak ada sinar cahaya. Tidak ada suara misterius. Tidak ada perubahan pada tubuhnya.
Hanya napas sendiri… dan perut yang mulai terasa kosong.
Lily menunduk, memeluk lututnya sendiri. Tangis kembali merayap perlahan hingga mengoyak dadanya.
Tapi di sela isaknya, ia berusaha menguatkan diri. “Aku… harus bertahan… harus bertahan… selama mungkin…”
Ia bangkit lagi, menarik napas dalam-dalam, dan kembali ke kulkas.
Kali ini, ia menyalakan memo kecil di ponselnya. Menulis daftar isi kulkas satu per satu.
Lalu ia duduk dan mulai menghitung.
Kalori. Takaran. Jumlah hari.
“Kalau aku makan sebutir telur tiap dua hari… dan setengah gelas susu… salad bisa tahan dua hari… nugget bisa untuk tiga kali makan…”
Hitungan yang sangat ketat. Sangat menyakitkan.
Tapi tetap tidak cukup.
Lily menghapus ulang perhitungannya. Mengulang dari awal. Lagi dan lagi. Tapi hasilnya tetap sama.
Ketika akhirnya ia selesai, Lily menatap layar ponsel dan angka-angka itu.
Lalu, lagi-lagi… air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Wooow.... huhuhu...
Di tengah dunia yang telah berubah menjadi neraka, Lily hanya punya satu pertahanan: dirinya sendiri… dan harapan kecil yang nyaris padam.
Setelah menangis cukup lama, Lily akhirnya bangkit dengan napas tersengal. Matanya bengkak, tapi ada sesuatu yang mulai menyala dalam dirinya.sebuah tekad yang rapuh, namun cukup untuk menggerakkan tubuhnya yang lelah.
"Aku nggak boleh cuma nangis terus," gumamnya dengan suara parau.
Ia mengusap air matanya dengan lengan baju, lalu menatap sekeliling apartemen yang sempit namun selama ini jadi tempat nyamannya.
Pikirannya mulai berputar,mengingat potongan-potongan dari novel-novel kiamat yang pernah ia baca dulu. Semua cerita itu… yang awalnya cuma hiburan belaka, kini terasa seperti buku panduan hidup.
“Kalau ini benar-benar wabah zombie… biasanya setelah ini air dan listrik bakal mati…” pikirnya, tubuhnya langsung menegang.
Tuhan sebenarnya tidak akan membiarkan manusia hidup. bagaimana bisa hidup tanpa air dan listrik bahkan gelap tanpa makanan, huhuhu
Tanpa menunggu lebih lama, Lily mulai bergerak.
Ia mengambil semua ember kosong, baskom, bahkan panci dan botol minuman bekas. Apa pun yang bisa menampung air ia bawa ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membiarkan air mengalir memenuhi semua wadah. Bahkan bak mandi besar pun tak luput,dia isi hingga penuh, meski airnya mulai meluap sedikit.
Dalam banyaknya sekarang hanya ada kata air air dan air.
“Aku nggak tahu kapan ini bakal berhenti… tapi selama masih mengalir, aku harus kumpulkan semuanya.”
Setelah urusan air selesai, dia beralih ke kekhawatiran berikutnya, listrik.
"oh tidak listrik juga akan mati bagaimana aku bisa hidup tanpa listrik Tuhan.....
lagi dipikir semakin gugup jadinya.
Dia segera mengumpulkan semua barang elektroniknya,ponsel, laptop, dua powerbank yang sudah lama tak terpakai dan lampu darurat bertenaga surya yang entah kenapa dulu ia beli karena promo diskon.
“Untung pemilik asli nggak buang barang-barang ini…” bisiknya sambil menyambungkan kabel-kabel.
Bahkan senter kecil yang menggunakan tenaga surya ia jemur di dekat jendela, berdoa agar cahaya pagi cukup kuat untuk mengisi tenaganya.
Ia sempat berhenti sejenak dan menatap semua benda yang mulai terisi daya. Hatinya bergumam dalam syukur, “Aku nggak punya kemampuan hebat, tapi… setidaknya aku punya ini…”
"tapi berapa lama aku bisa bertahan dengan barang-barang ini, ckck. kapan jadi emasku akan datang?"
Hari itu, Lily bekerja tanpa henti. Tubuhnya masih lemas karena efek mabuk dan emosi yang belum stabil, tapi ketakutan membuatnya terus bergerak.
Saat senja mulai merayap dan cahaya matahari memudar, Lily duduk lemas di lantai ruang tengah. Perutnya keroncongan, tapi saat membuka kulkas dan melihat isi di dalamnya… dia menutup pintunya perlahan.
“Belum… belum saatnya,” bisiknya pelan.
"harus berhemat harus berhemat... tapi aku lapar,Huhuhu."
Sehemat apapun orang mereka masih belum makan.
Sebagai gantinya, dia mengambil roti sisa sarapan paginya,roti tawar kering yang tinggal setengah,dan mengunyahnya perlahan.
Tanpa selai.
Tanpa apapun. Tapi cukup untuk membuat perutnya berhenti berteriak.
Dan di tengah kelelahan itu, Lily duduk di samping jendela, memandangi langit yang mulai gelap.
“Aku harus bertahan…” katanya dalam hati. “Sampai kapan pun itu… aku harus bertahan.”
Meski demikian air mata nya terus mengalir. Dia sendiri tidak tahu apa yang salah sampai dia terlempar di tempat ini.
Padahal dia hanya mabuk loh.
Sungguh dosa.
Hanya karena mabuk dia dihukum seperti ini, padahal dia masih muda. belum cukup bersenang-senang.
Oh bisakah aku mau minta maaf saja? Hem?
Tapi sayang beberapa kali pun dia menutup dan membuka mata dia masih tetap di tempat ini. Tidak ada yang berubah sama sekali.
Serta merta lili langsung hilang semangat.
Malam datang perlahan, menggantikan cahaya matahari dengan kelam yang sunyi. Lily menyalakan satu lampu kecil bertenaga surya, cahayanya redup namun cukup untuk menyingkirkan kegelapan dari sudut-sudut apartemennya yang mungil.
Ia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut tipis, mencoba menenangkan diri. Tapi ketenangan itu hanya bertahan sejenak.
Dari luar jendela, suara-suara mulai terdengar.
Bukan suara geraman mengerikan… tapi suara manusia. Suara tangis. Suara amarah. suara kesedihan semuanya bercampur aduk di malam ini.
Lili ketakutan mendengarnya.
"Aku sudah bilang padanya jangan keluar! Kenapa dia malah nekat!"
"Anakku… anakku masih kecil… tolong, Tuhan… kembalikan dia…"
"Apa salah kami?! Kenapa dunia jadi begini?!"
Teriakan dan isak tangis itu bersahutan seperti nyanyian duka. Satu per satu penghuni gedung atau rumah di sekitar meluapkan kepedihan mereka. Ada yang menjerit, ada yang mengutuk, dan ada pula yang hanya menangis histeris tanpa kata-kata.
Lily duduk terpaku. Tangannya mencengkeram selimut erat-erat, matanya membulat menahan air mata yang tiba-tiba kembali tumpah.
Dia tak punya siapa-siapa. Tak ada keluarga yang bisa ia tangisi. Tapi mendengar tangisan orang lain,jeritan hati mereka yang kehilangan,rasanya seperti ikut dihantam badai kesedihan yang sama.
"Aku sendirian… Tapi kenapa rasanya begitu sakit…" bisiknya dalam hati.
Sakitnya hanya di dalam hati dan hanya dia yang merasakannya.lili menyesal mabok Tuhan.
Mungkin karena suara tangis yang bergema di luar sana, lili mulai tertular dan dia menangis lagi untuk kesekian kalinya hari ini.
"Tuhan, cuman mabuk doang kok..huhu aku tahu salah huhu"
Hicup .
Lalu tiba tiba sebuah suara keras menghentikan semuanya.
"DIAM! SUARA BERISIK BISA MENARIK MEREKA! APA KALIAN INGIN MATI?!"
Sejenak semua terdiam.
Sepi.
Hening yang menakutkan. Bahkan hembusan angin pun terasa begitu nyaring.
Lily menutup mulutnya sendiri, seolah suara napasnya pun bisa menjadi panggilan maut. Tubuhnya gemetar, dan matanya menatap ke pintu dengan ketakutan yang mengiris.
Bayangan wajah mengerikan dari novel-novel zombie yang pernah dibacanya kembali menghantui pikirannya. Wajah-wajah itu menatap kosong, berjalan limbung, dengan darah mengering di mulut dan kuku tajam mencakar-cakar… Mereka datang karena suara.
"A-aku nggak akan bersuara… Aku nggak akan bersuara…" gumamnya berulang kali, seperti mantra penyelamat.
Satu desahan saja, pikirnya, dan mungkin monster itu akan muncul dari balik pintu. Membobol jendela. Mencium bau hidup dari tubuhnya yang masih berdetak.
Lily menekuk lutut dan meringkuk di atas lantai, seperti anak kecil yang ketakutan pada petir. Tapi ini lebih buruk dari badai,karena badai akan berlalu, tapi ini… entah kapan akan berakhir.
Malam itu, Lily tak tidur. Ia hanya meringkuk dalam diam, takut bergerak, takut bernapas, takut berharap.
Pagi menyambut dengan langit mendung dan udara pengap yang seolah ikut merasakan kekacauan dunia. Lily membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa lemas, dan perutnya bergejolak kelaparan. Tapi seperti kemarin, dia menolak untuk membuka kulkas. Ia hanya duduk di lantai dapur, menggenggam gelas kosong dan kembali mengisinya dari bak mandi yang telah ia penuhi kemarin.
“Aku bisa menahan lapar. Aku harus…” gumamnya, meneguk air seteguk demi seteguk.
Dia minum… dan minum… sampai perutnya terasa penuh, meski itu tidak menghilangkan rasa lapar yang terus menghantui. Kepalanya berdenyut, dan matanya mulai berair bukan hanya karena haus, tapi karena rasa takut dan putus asa yang tak juga reda.
Tiba-tiba,...trrrrt!
Lily terkejut saat suara notifikasi dari ponselnya berdering nyaring. Seketika ia menatap layar dengan mata membesar. Bar sinyal muncul… satu… dua garis!
“Sinyal…?” bisiknya tak percaya.
Layar menunjukkan satu pesan masuk. Nomor pengirim "Pengelola Apartemen.
Dengan tangan gemetar, Lily membuka pesan tersebut. Sebuah pengumuman panjang muncul di layar.
> Kepada seluruh penghuni Apartemen Sakura Tower,
>
> Dalam kondisi darurat saat ini, kami mohon semua penghuni untuk tetap tenang dan tidak bertindak gegabah.
>
> Pemerintah telah mengetahui situasi ini dan kami yakin bantuan akan segera dikirim.
>
> Demi keamanan bersama, PINTU UTAMA LOBI AKAN DITUTUP SEMENTARA WAKTU.
>
> SIAPA PUN yang ingin keluar dari gedung, WAJIB melapor terlebih dahulu.
>
> Setelah keluar, pemeriksaan ketat akan dilakukan saat kembali masuk untuk memastikan TIDAK ADA YANG TERGIGIT atau terluka.
>
> Ini untuk mencegah penyebaran virus di dalam bangunan. Mohon pengertiannya.
>
> Tetap tenang, tetap kuat. Kita bisa melewati ini bersama.
Lily membaca kata demi kata dengan jantung berdetak keras. Tangannya mengepal di dada. Ketakutan yang ia rasakan kemarin kini bertambah parah.
Pintu akan dikunci.
Keluar berarti risiko.
Masuk lagi harus diperiksa,jika ada luka, mereka bisa dianggap terinfeksi. Bayangan orang-orang yang ditolak masuk, diusir, atau bahkan dibunuh karena dicurigai sebagai zombie, menggelayuti pikirannya.
Dia memeluk lututnya sambil menunduk.
“Apa gunanya bertahan kalau akhirnya… mati juga? Apa lebih baik mati saja dari sekarang?” pikirnya lirih.
Air matanya mengalir tanpa suara. Gadis polos itu, yang bahkan belum pernah berpikir tentang bertahan hidup di dunia yang begitu kejam, kini dihadapkan pada kenyataan paling brutal.
Namun dalam hati kecilnya, ada suara lemah yang menolak menyerah. Ada harapan kecil yang belum padam.
Tapi untuk saat ini… dia hanya bisa menangis. Menangisi rasa takut. Menangisi ketidakberdayaannya. Menangisi kenyataan bahwa dunia yang dikenalnya telah berubah untuk selamanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!