Malam itu, di salah satu sudut kota besar, sedang dilanda hujan begitu deras. Cahaya kilat menyambar dari berbagai sisi langit. Serta gemuruh petir yang terus bermunculan, bahkan sesekali menggelar, sangat memekakkan telinga. Malam itu suasana cukup mencekam dan beberapa tempat terlihat sangat sepi.
Namun, sesuatu yang lebih mencekam, sedang dialami oleh seorang anak muda di rumahnya sendiri, di salah satu kawasan rumah mewah. Sejak beberapa puluh menit yang lalu, anak muda itu tertunduk dengan perasaan yang campur aduk.
Sedangkan di sekitar anak muda itu, terlihat, beberapa pasang mata, menatap tajam ke arahnya. Dari wajah mereka tergambar berbagai ekspresi, dan tidak satupu bibir yang melempar senyum pada anak laki-laki itu.
Mereka melempar tatapan penuh amarah. Bahkan, di antara mereka, sesekali ada yang tersenyum sinis, menyaksikan nasib yang sedang dihadapi anak muda berusia 20 tahun tersebut.
"Belum puas kamu bikin malu keluarga kamu, hah!" bentak seorang pria, yang paling dihormati dan ditakuti di rumah tersebut. Tatapan penuh amarah terpancar sangat jelas, dan pria itu sudah siap untuk meluapkannya. "Belum puas kamu bikin malu nama keluarga, Kevin!"
Anak muda yang dipanggil Kevin itu mencoba mengangkat kepala dan menatap pria yang biasa dia panggil Papa. "Itu fitnah, Pa, aku nggak mungkin berani berbuat sejauh itu," anak itu mencoba membela diri.
"Nggak usah bohong kamu!" Bentak pria yang dipanggil Papa.
"Yang sabar, Pa," seorang wanita di sana mencoba menenangkan pria yang tak lain suaminya. "Mungkin memang benar kalau Kevin tidak salah."
Didengar dari ucapannya, wanita itu sepertinya sangat peduli dengan Kevin. Namun di telinga Kevin, ucapan dan sikap wanita itu benar-benar membuat Kevin muak.
"Tidak salah bagaimana, Ma?" seorang anak muda yang usianya tidak jauh dari Kevin, ikut bersuara. "Udah jelas-jelas bukti di depan kita, masa Mama masih menganggap Kevin tidak bersalah?"
Diam-diam Kevin mengepalkan tangannya mendengar ocehan yang keluar dari anak itu. Namun, Kevin hanya bisa menahan amarah kepada anak muda yang menjadi saudara tirinya sejak beberapa tahun yang lalu.
"Kamu nggak cape apa, Vin, selalu bikin Papa marah?" Wanita lain yang usianya selisih lima tahun lebih tua dari Kevin juga ikut bersuara. Dia kakak kandung Kevin tapi sikapnya selalu menunjukan kebencian pada adiknya.
"Kapan kamu bisa berubah? Nggak bisa apa, kamu jadi anak baik, sehari saja?" ucap wanita yang akrab dipanggil Vina. "Tiap hari ada aja gebrakan yang kamu buat, untuk mempermalukan nama baik keluarga. Nggak cape kamu seperti itu?"
"Ya nggak bakalan cape lah, Vina," ucap seorang pria yang merupakan kakak kandung Kevin juga dan selisih usianya beda delapan tahun "Kamu kan tahu, sejak lahir, dia memang selalu bikin sial. Kalau nggak, mana mungkin Mama meninggal setelah melahirkan dia?"
Tangan Kevin semakin terkepal dan dia hanya bisa menunduk dengan segala amarah yang dia pendam. Tuduhan yang keluar dari mulut kakak lelakinya, selalu dijadikan senjata untuk terus menyudutkan Kevin dalam masalah apapun.
"Jangan ngomong seperti itu, Vano," wanita yang menjadi Mama tiri Kevin kembali bersuara dengan penuh kelembutan. Namun sayangnya, hanya Kevin yang merasakan kalau sikap wanita itu hanya sandiwara belaka.
"Kevin nggak usah dibela, Ma," ujar Vina. "Kenyataannya memang gitu kan? Kalau bukan karena Kevin lahir, pasti Mama Sofia saat ini masih ada."
Hati Kevin semakin teriris. Dia tidak bisa berkata apapun kalau sudah disinggung tentang kelahirannya. Sejak Kevin lahir di dunia, tuduhan itu langsung menempel erat kepadanya.
Dulu, Tak lama setelah melahirkan Kevin, Ibu Kevin mengalami pendarahan hebat dan dia menghembuskan nafas terakhirnya di saat Kevin baru berusia 13 jam. Sejak saat itu Kevin selalu mendapat perlakuan tidak adil oleh ayahnya serta dibenci oleh kedua kakaknya.
Awalnya Kevin tidak menyadari akan hal itu karena sejak lahir, Kevin diserahkan oleh ayahnya kepada orang tua dari ibu Kevin. Kevin tumbuh besar dalam asuhan nenek dan kakeknya. Ayahnya, sama sekali tidak pernah menjenguknya sekalipun. Bahkan sama sekali tidak pernah menanyakan keadaannya.
Namun, saat Nenek dan Kakeknya meninggal karena sebuah musibah, ayahnya terpaksa membawa Kevin tinggal bersama di saat usia Kevin 15 tahun.
Awalnya Kevin sangat bahagia karena pada akhirnya dia bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Namun, dari awal kedatangan Kevin, anak itu langsung merasakan perlakuan yang tidak baik. Kevin juga terkejut kalau ayahnya juga sudah menikah lagi dengan janda satu anak.
Di saat Kevin pertama kali tinggal di rumah mewah itu, hanya Mama tirinya yang selalu bersikap baik kepadanya.
Kevin cukup senang dengan sikap keibuan wanita itu. Apa lagi sejak lahir, Kevin tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu, jadi sikap Mama tiri Kevin membuat anak muda itu merasa nyaman tinggal di rumah tersebut.
Namun, suatu hari, Kevin tidak sengaja menyaksikan perbuatan tercela sang Mama tiri. Kevin pun mendengar perbincangan yang membuat Kevin terkejut bukan main.
Sayangnya, Mama tiri bernama Maya itu juga melihat Kevin dan saat itu juga Kevin disidang dan diintimadasi. Kevin remaja pun tidak berani mengatakan yang sebenarnya karena dia diancam.
Dari kejadian itu, kehidupan Kevin di rumah tersebut semakin terasa berat. Kevin sering mendapat fitnah dan semakin mendapat perlakuan tak adil dari semua penghuni rumah di sana. Hanya para pekerja di rumah itu yang memperlakukan Kevin dengan baik.
Bahkan, kejadian malam ini, Kevin juga sangat yakin kalau apa yang terjadi kepadanya, karena akal licik saudara tiri Kevin yang kebetulan satu kampus dengannya.
"Vina, Vano, kalian masuk ke kamarnya Kevin dan kemasi semua barang-barang anak itu!" titah sang Papa
"Buat apa, Pa?" tanya Mama Maya.
"Mulai malam ini, Kevin bukan anggota keluarga Dirgantara lagi. Besok saya akan umumkan, penghapusan nama Kevin dari daftar kartu keluarga!"
Deg!
Kevin terperangah. Anak muda itu bahkan sampai mendongak dan menatap tak percaya kepada Papanya.
"Papa jangan seperti itu," seperti biasa, Mama tiri selalu menunjukan topeng malaikatnya. "Jangan mengambil keputusan saat Papa lagi emosi."
"Tidak! Papa mengatakannya dengan sangat sadar," ucap pria yang akrab dipanggil Dirgantara. "Harusnya dari dulu, Pap sudah melakukannya. Lebih baik Pap kehilangan satu anak tak diri daripada saya menghancurkan nama baik yang sudah Papa jaga selama ini."
"Pa..."
"Sudah, Ma, nggak perlu bela anak itu lagi," ucap Papa. "Vano, Vina, cepat kerjakan perintah Papa. Argo, bantu mereka."
"Baik, Pa," ketiga anak muda itu justru menunjukan sikap yang sangat senang. Dengan senyum terkembang mereka segera beranjak menuju kamar Kevin yang letaknya berderetan dengan kamar pembantu di rumah itu.
Kevin masih terdiam diam dengan hati yang semakin bergemuruh.
"Pergilah dari rumah ini dan jangan pernah menganggap kalau kami adalah keluargamu dikemudian hari, mengerti!"
Dengan tanpa perasaan, pria itu berlalu, meninggalkan Kevin yang perasaannya hancur lebur.
Hujan belum juga reda, tapi untungnya hujan tidak sederas beberapa menit yang lalu. Petir pun tidak lagi menampakan kilatan cahayanya. Hanya tersisa gemuruh kecil yang sesekali terdengar.
Dengan perasaan yang campur aduk, Kevin menyalakan mesin motor maticnya, yang terparkir di halaman rumah. Satu-satunya harta yang bisa dia bawa, selain pakaian yang sudah berada dalam satu koper.
Di depan teras rumah, beberapa bibir menunjukan senyum kepuasan sambil menyaksikan anak muda, yang baru saja terusir dari rumah. Mereka sama sekali tidak menunjukan rasa iba meski dua diantara mereka adalah saudara kandung.
"Pergilah yang jauh dan jangan pernah kamu menghubungi keluarga ini lagi!" Teriak Vano lantang.
Kevin hanya melempar tatapan datar pada kakak pertamanya. Setelah itu Kevin langsung melajukan motornya dan pergi tanpa mengeluarkan satu kata pun.
Di sisi lain rumah mewah itu, ada beberapa mata yang memandang iba atas kepergian Kevin. Meski mereka hanya pekerja di rumah mewah tersebur, tapi mereka tahu betul bagaimana nasib Kevin selama tinggal di sana.
"Kasihan, Den Kevin, Pak," ucap seorang wanita paru baya dengan bibir bergetar. "Dia pasti bingung, mau tinggal dimana?"
Dia tidak akan kebingungan, Bu," jawab pria yang bekerja sebagai supir di rumah itu. "Den Kevin anak yang baik dan dia juga banyak teman."
"Tapi kan Tuan tidak seharusnya seperti itu. Di rumah ini, Kevin tuh kurang perhatian dan kasih sayang. Selalu kena marah. Padahal Bapak tahu, sebaik apa Kevin sejak tinggal di sini," ucap wanita yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di sana.
"Ya mau bagaimana lagi, Mbak Dar. Dari kecil, Den Kevin sudah dibenci. Sebaik apapun yang Kevin lakukan, yang terlihat di mata mereka, Kevin tetap salah," ujar wanita lain yang bekerja di sana.
"Yah, semoga Mas Kevin baik-baik saja," ucap si penjaga rumah.
Sedangkan anak muda yang saat ini sedang menjadi bahan pembicaraan, nampak melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Karena dalam kondisi hati yang tidak baik-baik saja, Kevin terus melajukan motornya tanpa tujuan yang pasti.
Jika bisa jujur, hal ini memang salah satu yang diinginkan Kevin. Pergi dari rumah mewah itu dan menjalani hidup yang lebih tenang. Sejak Kevin sadar kalau sikap keluarganya berbeda, Kevin menjadi sosok yang cukup berbeda dari sebelumnya.
Selama di rumah itu, tidak pernah sekalipun Kevin tertawa lepas bersama keluarganya. Bahkan Kevin tidak pernah duduk bersama, menyantap makanan bersama ayah dan kedua kakaknya.
Bagi Kevin, percuma gabung dan bercengkrama dengan keluarganya. Yang ada Kevin hanya akan mendapat sindiran, makian dan kemarahan.
Kevin pun menjadi sosok yang jarang pulang. Setiap pulang sekolah atau libur, Kevin lebih memilih bermain bersama teman-temannya. Kalaupun di rumah, Kevin lebih banyak memilih diam di kamar.
Setiap kali Kevin mendapat amarah, dia sama sekali tidak melawan. Bukannya takut, Kevin hanya jengah karena sudah pasti dia yang akan selalu disalahkan meski dalam posisi yang benar.
Kevin terus melajukan motornya, menerjang rintik hujan dengan pakaian yang sudah basah kuyup. Di saat laju motornya melintas di jalan yang sangat sepi, Kevin melihat ada mobil yang sepertinya baru saja menabrak sebuah tiang listrik.
"Ada kecelakaan!" ucapnya. Kevin langsung melajukan motornya, mendekati mobil itu. Begitu sampai, Kevin segera turun, dan memeriksa mobil itu.
"Astaga! Ada orangnya di dalam!" Kevin langsung bergerak cepat. "Tuan, Tuan!" Kevin mencoba menggedor kaca mobil. "Sial! Dikunci!"
Kevin berusaha mencari pertolongan. Tapi sayang, tidak ada satu pun kendaraan yang melintas saat itu. Untuk menghubungi seseorang pun Kevin tidak bisa. Sebab, Kevin sengaja meninggalkan ponselnya di rumah.
Kevin pun tak kehabisan akal. Dia berpikir cepat untuk segera melakukan pertolongan. Mata Kevin berkeliling mencari sesuatu hingga dia melihat batu yang cukup besar. Kevin segera meraih batu tersebut.
Baru saja Kevin meraih batu itu, dia kembali dikejutkan saat melihat sesuatu di sisi lain mobil. "Ada api? Gawat!" Tanpa menunda waktu lagi, Kevin langsung bergerak dan dengan sekuat tenaga, Kevin langsung berusaha memecahkan kaca mobil.
Kevin sempat mengalami cukup kesusahan. Namun, dia tidak menyerah. Hingga tak lama kemudian Kevin berhasil memecahkan salah satu kaca mobil dan tangannya langsung bergerak untuk membuka pintu mobil tersebut.
"Dia pingsan!" Lagi-lagi Kevin bergerak dengan cepat dan berusaha sekuat tenaga mengangkat tubuh seorang pria yang sedang tak sadarkan diri.
"Sial! Apinya semakin besar!" Kevin terlihat sangat panik. Namun dengan segenap tenaga yang dia miliki, Kevin berhasil mengangkat tubuh sosok pria itu dan membawanya menjauh dari mobil.
Duarrr!
"Akhhh!" Kevin teriak kencang dan tubuhnya tumbang ke atas aspal. "Untung saja aku gerak cepat!" Ucapnya sambil menyaksikan mobil yang terbakar.
Lantas Kevin berusaha menyadarkan pria yang masih terpejam. Tapi sayang, usahanya sia-sia. "Sepertinya, aku harus membawanya ke rumah sakit."
Kevin kembali mencoba memperhatikan jalanan, tapi lagi-lagi tak ada satupun mobil yang melintas.
"Kalau begitu, aku akan bawa dia pakai motor aja," Kevin meletakan sosok pria itu di jalan sejenak dan dia langsung bangkit menuju motor yang terparkir di seberang jalan.
Dengan semua sisa tenaga yang ada, Kevin berhasil mengangkat tubuh pria itu hingga naik ke atas motor. Meskipun kesusahan, Kevin mampu memposisikan pria itu seperti orang yang sedang membonceng.
Setelah merasa aman, Kevin segera melajukan motornya menuju rumah sakit. Kevin tahu, setelah keluar dari area sepi ini, ada kota kecil dan tersedia rumah sakit di sana.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, akhirnya Kevin berhasil membawa pria itu ke sebuah rumah sakit. Pria itu segera ditangani agar lekas tahu kondisinya.
Karena hanya Kevin yang datang bersama pria itu, dia tidak diijinkan pergi oleh pihak rumah sakit. Mau tidak mau Kevin pun menurutinya.
Selagi pria itu menjalani pemeriksaan, Kevin lantas menyempatkan diri pergi ke toilet untuk mengganti pakaiannya yang basah.
"Bagaimana keadaan Tuan itu, Dok?" tanya Kevin beberapa saat kemudian saat menemui dokter yang tadi memeriksa wanita yang dia tolong.
"Keadaannya baik-baik saja," jawab sang dokter. "Jika efek obat biusnya sudah hilang, dia akan segera sadarkan diri."
"Obat bius? Maksudnya, Dok?" Kevin nampak terkejut mendengarnya.
"Pasien tidak sadarkan diri, akibat menghirup obat bius dalam dosis yang cukup besar."
"Hah!" Kevin pun semakin terkejut.
Kevin cukup tercengang, begitu mendengar pernyataan dari sang dokter. Benaknya pun bertanya-tanya, apa yang terjadi pada pria yang dia tolong.
Sebelum mendengar pernyataan dari sang dokter, Kevin mengira kalau pria yang dia tolong, pingsan karena benturan. Namun, begitu mengetahui fakta lain, Kevin jadi memikirkan semuanya sejak awal dia melihat mobil yang tadi sempat meledak.
"Aku ingat! Harusnya mobil yang membentur tiang itu penyok. Tadi, sepertinya, mobil itu baik-baik saja deh. Api yang aku lihat juga agak aneh," benak Kevin tiba-tiba bergulat dengan pikirannya sendiri.
"Duh, pakai lapar lagi," ujar Kevin tiba-tiba. Kevin pun bangkit dari duduknya. "Aku mau cari makan dulu," pamitnya pada sosok pria yang dia tolong. Pria itu belum sadarkan diri dan Kevin tidak tahu, sampai kapan dia menjadi penanggung jawab pria tersebut.
Meskipun diusir dari rumah, bukan berarti Kevin sama sekali tidak memiliki uang. Bahkan, di usianya yang terbilang masih muda, Kevin sudah memiliki tabungan yang lumayan banyak.
Sumber keuangan itu berasal dari peninggalan nenek dan kakeknya. Waktu masih hidup, Kakek yang seorang pensiunan pegawai negeri, selalu menyisihkan uang gajinya untuk Kevin.
Ditambah lagi, Kakek dan Nenek juga punya penghasilan dari lahan yang ada di kampungnya. Lahan itu diolah oleh warga yang bisa dipercaya.
Semua itu diwariskan pada Kevin karena Ibunya Kevin merupakan anak tungggal. Hubungan Kakek Kevin dengan Dirgantara merenggang, sejak istri Dirgantara meninggal.
Hubungan mereka semakin buruk kala kedua orang tua itu merasakan Dirgantara yang memperlakukan Kevin berbeda dari dua saudaranya. Jangankan perhatian, dari Kevin bayi, anak itu jarang sekali dipenuhi kebutuhannya oleh ayah kandungnya.
Ditambah lagi, setelah Dirgantara menikah kembali dengan janda beranak satu, Kevin seperti terlupakan oleh ayah kandungnya.
Maka itu, sejak Kevin tinggal bersama ayahnya dan dia tahu kalau dirinya dibedakan, Kevin tidak pernah meributkan soal keuangan.
Meskipun Kevin tahu ayahnya termasuk pria yang sukses, Kevin sama sekali tidak pernah merengek meminta sesuatu yang mahal seperti saudara-saudaranya.
Dirgantara bahkan tidak tahu kalau Kevin tiap bulan mendapatkan penghasilan, warisan dari kakeknya. Yang dia tahu, dia sudah memberi jatah Kevin setiap satu minggu sekali.
Kevin menikmati hidangan yang dia pesan di kantin rumah sakit. Di sana, Kevin juga memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah dipecat dari keluarga Dirgantara.
"Lebih baik aku kembali ke kampung Kakek," gumamnya. "Toh di sana, aku lebih dianggap sebagai manusia," ujarnya dengan getir.
Puas menyantap makanan, Kevin segera kembali ke tempat pria yang dia tolong. Tak lupa, Kevin juga membeli beberapa botol minuman dan cemilan yang mungkin saja nanti dibutuhkan.
"Anda sudah sadar?" Begitu sampai di ruangan, Kevin cukup terkejut saat melihat pria yang dia tolong sudah duduk di atas brangkar.
"Kamu, yang membawa saya ke sini?" Bukannya menjawab, pria itu malah melempar pertanyaan dengan tatapan menyelidik.
Kevin mengiyakan sembari duduk di kursi yang ada di dekat brangkar. "Tadi saya tidak sengaja melihat anda pingsan di dalam mobil. Apa anda sekarang merasa lebih baik?"
Pria itu mengangguk pelan dengan ekspresi wajah datar. "Saya sama sekali tidak menemukan barang saya. Apa kamu menyimpannya?"
Mendengar hal itu, kening Kevin sontak berkerut dan dia terdiam untuk beberapa detik. "Saya pikir, anda tahu apa yang terjadi pada anda," ujarnya.
Giliran pria itu yang tertegun. Mendengar ucapan anak muda di hadapannya, pria itu pun seketika memikirkan kejadian yang menimpanya.
"Saya tidak menemukan barang apapun," ujar Kevin lagi. "Bisa menyelamatkan anda saja, saya sudah merasa lega. Mobil anda tadi meledak."
Pria itu pun terperangah. Namun tak lama setelahnya ekspresi wajahnya berubah. "Yah, saya ingat sekarang," ujarnya. "Terima kasih telah menyelamatkan saya, anak muda."
Meski bingung dengan ucapan pria itu, Kevin memilih mengangguk. "Apa anda mau minum?" Kevin menyodorkan botol yang masih di tangannya.
Pria itu tersenyum tipis dan mengambil satu botol air mineral yang ditawarkan.
"Kalau boleh tahu, dimana alamat rumah anda? Biar saya bisa menghubungi keluarga anda?" tanya Kevin.
Pria itu kembali tertegun dan menatap Kevin penuh tanya. "Kamu tidak mengenal saya?"
Mendengar pertanyaan seperti itu, sekarang, gantian Kevin yang menatap pria itu dan nampak kebingungan. "Emang anda siapa? Emang anda siapa? Apa anda aktor? Kayanya bukan."
Pria itu lantas tersenyum. "Bagus lah, kalau kamu tidak mengenal saya," pria itu kembali mengatakan sesuatu yang membuat Kevin semakin bingung. "Apa aku bisa meminjam ponselmu?"
Ekspresi Kevin masih sama. "Saya tidak bawa ponsel. Ketinggalan di rumah," jawabnya dusta.
"Oh," jawab pria yang belum diketahui namanya. "Lalu, bagaimana caranya kamu bisa menyelamatkan saya? Tidak mungkin kamu sendirian membawa saya ke sini kan?"
Kevin menghembuskan nafasnya secara kasar dan meletakkan tas plastik yang dia tenteng di atas meja samping brangkar. Kemudian, Kevin pun menjawab pertanyaan orang itu.
"Kalau ada orang lain, sudah pasti saya tidak ada di sini," Ujar Kevin kala ceritanya akan berakhir. "Tapi kok aneh ya?"
"Aneh kenapa?"
"Kata dokter, anda tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius. Terus mobil yang tidak tampak ada kerusakan, juga meledak."
Pria itu lantas tersenyum. "Kamu tahu dari mana kalau mobil itu akan meledak?"
"Aku nggak sengaja, melihat api di bawah mobil yang anda tumpangi," jawab Kevin, dan dia menceritakannya secara rinci. "Yang bikin aku kepikiran, api itu berasal dari mana?"
"Kemungkinan itu menggunakan sumbu," ucap pria itu. "Menurutku, api itu dinyalakan dari sisi lain dan bergerak maju dengan waktu yang sudah diatur."
Seketika Kevin terperangah.
"Tidak perlu terkejut seperti itu," pria itu lantas tersenyum agak lebar menyaksikan raut wajah Kevin saat ini. "Ternyata, aku bisa teledor juga."
"Teledor bagaimana maksud anda?" tanya Kevin.
"Ya itu, sampai aku pingsan karena obat bius. Itu kan pertanda kalau aku juga bisa lengah."
Kevin masih menunjukan raut wajah yang sama dan kali ini otaknya berpikir lebih serius. "Berarti, apa yang terjadi pada anda, itu sengaja dilakukan untuk mencelakai anda?"
Pria itu mengangguk sembari tersenyum tipis.
"Astaga..." seru Kevin. "Kok bisa begitu? Apa anda diculik dan keluarga anda dimintai tebusan, terus mereka enggan memberikannya?"
Seketika pria itu tertawa lirih. "Tidak sesederhana itu," jawabnya. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan."
Kevin nampak kecewa sedikit. "Ya sudah, terserah anda saja. Terus, anda selanjutnya akan bagaimana? Apa anda tidak apa-apa, ditinggal sendirian? Nanti anda bisa minta bantuan rumah sakit untuk menghubungi keluarga anda."
Pria itu malah terdiam. Matanya menatap lekat, anak muda yang ada di hadapannya. "Kalau kamu tetap di sini menemani saya bagaimana? Kamu tidak keberatan kan, saya kembali minta tolong sama kamu?"
"Hah!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!