NovelToon NovelToon

Wings & Dream

Prolog

"Dan mereka akhirnya hidup bahagia selamanya." Kalimat akhir itu selalu terkutip pada setiap buku dongeng. Nenek menutup sampul buku tebal itu, kemudian mematikan sumbu lentera yang tergantung di dinding.

"Bahagia selamanya," gumam seorang gadis kecil. Ia menutup kelopak matanya dengan sayu, sambil membungkus tubuhnya sendiri dengan selimut tebal dan hangat. Malam hari selalu terasa dingin, apalagi dengan badai musim salju yang tengah menerjang desanya.

Nenek meninggalkan kecupan di kening cucunya, kemudian membelai sedikit rambutnya. "Tidurlah, nak. Semoga mimpi indah." Setelah itu, terdengar bunyi deritan pintu yang disusul dengan suara klik pada gagang pintu.

Tidak butuh waktu lama agar gadis kecil itu segera terlelap. Sebenarnya ia sudah menunggu-nunggu agar mimpi indah segera menghantuinya, mimpi yang setiap malamnya selalu mengulangi kejadian yang sama.

Mimpi mengenai kisah dongeng yang baru saja dibacakan oleh Neneknya.

Bedanya kali ini ia berperan sebagai sebuah pohon di tengah musim semi. Ia baru akan memprotes kepada Dewi Mimpi atas perannya yang sangat menyedihkan sebelum dia akhirnya melihat mereka. Dua makhluk rupawan yang masing-masing memiliki sepasang sayap yang indah. Telinga lancip mereka memantulkan cahaya matahari yang tengah bersinar dengan teriknya. Seorang pria dan wanita Fae.

Kelopak bunga bertebaran, berjatuhan di atas kepala dua pasang sejoli itu. Seorang Pangeran dan Putri Fae, pikir gadis kecil ini. Mereka tampak sangat bahagia.

Pangeran itu menuntun Sang Putri, melewati deretan pepohonan musim semi. Keduanya memancarkan aura bahagia. Pangeran itu tiba-tiba berbalik badan untuk menghadapi Sang Putri. Jubahnya yang sangat panjang tertiup oleh angin sepoi-sepoi. Pria itu lalu membisikkan sesuatu di telinganya.

Ingin rasanya ia menghampiri mereka, berusaha mendengarkan apa yang kira-kira Sang Pangeran katakan kepada Putri itu sehingga senyum mengembang pada wajah mereka. Gadis kecil ini pun ikut tersenyum, meskipun kedengarannya aneh karena sebuah pohon tidak mungkin bisa tersenyum. Meskipun begitu, ia tidak menyesal sudah berperan sebagai pohon di dalam mimpinya, bahkan jika itu artinya ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

Karena ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tubuh mereka berdekatan, tak lama mereka saling berpelukan. Ciuman indah mereka membuat gadis ini oleng. Nenek selalu berkata ini adegan dewasa, pikirnya sambil cekikikan. Tapi ini mimpiku seorang diri.

Ya, mimpi adalah tempat dimana gadis kecil ini bisa bebas bereksplorasi. Tempat dimana ia bisa bebas menumpahkan seluruh imajinasinya dan menciptakannya sesuai kehendak dirinya sendiri. Mimpi adalah bunga tidur yang paling indah.

"Clara." Gadis kecil ini mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. "Clara, bangun."

Tidak. Rasanya ia ingin berteriak, mengatakan kepada siapapun yang berusaha mengacaukan fantasinya agar segera berhenti memanggil namanya. Aku tidak mau kembali! Mimpi adalah kehidupanku!

"Clara!" Gadis kecil itu terkesiap. Pandangannya terhadap dua Fae itu segera terkabur. Ia berusaha menggapai mereka, menahan dirinya sendiri agar bisa terus bersama mereka. Aku gak mau kembali ke kehidupanku! Aku gak mau kembali!

"Clara!" Kedua matanya terbelalak. Cahaya lampu yang sangat terang menusuk matanya. Ia bisa melihat banyak orang yang sekarang sedang mengelilinginya. Tubuhnya bergetar. Keringat membasahi wajahnya. Ia bisa melihat Nenek yang berdiri di sampingnya.

"Pindahkan dia. Sekarang," perintah Neneknya sesaat sebelum dua pria berbadan besar mulai melingkarkan lengannya pada tubuhnya.

"Jangan sentuh aku!" Gadis kecil itu meronta-ronta, berusaha untuk melepaskan dirinya dari sentuhan pria-pria asing ini. "Kubilang lepaskan aku!"

Namun, semuanya terlambat. Setiap malam, setiap kali dua pasang Fae itu berciuman, ia selalu terbangun dalam keadaan seperti ini. Dipindahkan dari kamar tidurnya ke kamar besar milik Nenek. Setelah itu, tubuhnya akan disentuh oleh banyak orang.

Gadis kecil ini tidak mengerti alasannya, namun satu-satunya hal yang menenangkan dirinya adalah penampakan di sudut ruangan, penampakan yang hanya bisa dilihat oleh dirinya seorang.

Fae yang tengah tersenyum kepadanya.

Ch.1 - Hari yang Sial

Ratterdam, 2008

"Clara! Kamu dimana?!"

"Iya, iya! Tunggu seben-Aahh!" Celana panjangku terciprat lumpur karena mobil yang entah muncul darimana tiba-tiba melaju dengan kencang. Kini, sepatuku pun jadi becek.

"Clara? Kenapa teriak-teriak begitu?!" Suara temanku terdengar dari ponselku. Aku buru-buru mendekatkan ponsel di telingaku, sambil berusaha membersihkan noda kotoran di bajuku. Aku tidak punya waktu untuk menepi. Aku lagi-lagi melirik jam tangan yang melingkar pada pergelangan tanganku, kemudian mengumpat dengan kesal.

"Bukan apa-apa! Pokoknya, bentar lagi aku sampai!" Setelah itu, aku menutup panggilan telepon dan memasukkan ponselku ke kantong celanaku.

Aku terus berlari, tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatku sambil sesekali menggelengkan kepala mereka. Penampilanku pasti terlihat menyedihkan. Seorang gadis remaja berusia 18 tahun yang lagi-lagi telat bangun pagi. Perasaanku jadi lega saat melihat gedung pencakar langit yang sudah familiar.

"Pagi, Pak!" Teriakku kepada satpam yang tengah menjaga pintu masuk gedung. Bapak itu menyilangkan tangannya dan membalas, "Pagi?! Ini sudah jam 11 siang, Clara!"

"Hehe!" Aku menaiki anak tangga dua-dua. Kakiku hampir tersandung karena sepatuku yang masih licin. Alhasil, aku hampir menabrak seseorang yang saat itu sedang menuruni tangga.

"Clara?" Rupanya itu Jon, pacarku yang sudah menjalin hubungan denganku selama 6 bulan. Senyuman langsung terlihat di wajah laki-laki berusia 20 tahun itu. Ia langsung memelukku, tak peduli dengan baju formalku yang sudah kotor.

"Jon!" Aku membalas dekapannya, menghirup aroma parfum dari tubuhnya yang membuat jantungku berpacu. Seluruh perasaan tak nyamanku tadi menjadi hilang, digantikan oleh perasaan rindu dan cinta yang meluap-luap.

"Kenapa rambutmu acak-acakan begini?" Jon sudah menyentuh beberapa helaian rambutku. Merasa malu, aku langsung membenarkan rambut panjangku yang kusut, lalu berdeham. "Tadi aku keci- eh, maksudku, tadi Stef nelpon makanya-"

"Clara!" Benar saja. Temanku yang bernama Stef itu sudah menuruni tangga dan menghampiriku yang sedang terpojok oleh tubuh Jon. Gadis itu hanya menggeleng-geleng dan menarik lenganku. "Kalo kamu begini terus, bisa-bisa naskah ceritamu di blacklist!" Tanpa mengatakan apa-apa lagi, aku meninggalkan Jon seorang diri di tangga, mengikuti Stef yang berceloteh panjang lebar.

"Kamu tau ga, aku harus kasih alesan apa ke ibu itu?!" Omel Stef saat ia sibuk menarik tanganku dan menuntunku melewati lorong kantor. "Aku bilang, Clara ada penyakit hipotermia, makanya suka telat bangun."

"Hipotermia?! Penyakit yang katanya suhu tubuh bisa dibawah 35 derajat Celcius?!" Aku tertawa terbahak-bahak. "Apa hubungannya hipotermia sama gangguan tidur?"

"Ya, aku kan bukan anak kedokteran!" Gerutu Stef. Aku bisa melihat sebuah pintu bercat merah yang tertutup. Stef melepaskan pergelangan tanganku. Aku langsung berinisiatif membenarkan rambut serta bajuku. Aku tidak mau terlihat berantakan pada hari pertama wawancaraku. Stef merogoh saku celananya dan mengeluarkan tisu basah. Ia lalu mengelap noda lumpur pada lengan serta kakiku.

"Sumpah Clara, kamu ketiban sial mulu," katanya dengan nada mengejek. Aku menyisir rambut panjangku yang berwarna coklat dengan jariku. Aku pun meringis kesakitan saat rambutku terjambak.

"Iya, mau gimana lagi?" Aku mengusap wajahku dengan pasrah, lalu mendesah. "Kalau wawancara ini gagal, aku terpaksa harus balik ke rumah nenek-"

"Clara." Stef menekan kedua bahuku. Ia menatapku lekat-lekat. Terkadang, wajah cantiknya sampai membuatku kehilangan akal. Stef ini darah campuran, ada keturunan Eropanya. Mata birunya berlentik, dengan wajah cekung yang tajam serta rambut pirang yang membuat semua laki-laki salah tingkah. Tak jarang aku berpikiran negatif setiap kali Jon berbicara santai dengannya. Pasti ada saja perasaan cemburu yang muncul di hatiku.

"Kamu itu berbakat, Clara," katanya lagi. "Yang baca naskahmu itu bukan puluhan lagi kayak dulu. Bukan juga ratusan. Tapi ribuan."

"Lebih tepatnya, hampir satu juta."

"Ya, pokoknya meningkat jauh kan?" Stef berkacak pinggang. "Udah, sono masuk! Kamu udah telat hampir setengah jam tau ga!" Temanku ini lagi-lagi mengomel. Aku hanya mengangguk. "Siap, ibu." Kemudian, gagang pintu pun terbuka.

.

.

.

Hai semua 😁 Makasih sudah mampir! Kalo suka, pencet like dan favorit ya! Kalo mo bantu semangatin author biar sering-sering update, boleh kasih vote ato tipnya, hehe :D

Sampai jumpa di eps berikutnya! 🥰

Wawancara

Seorang wanita berkacamata dengan rambut hitamnya yang disanggul memberikanku tatapan yang mematikan. Aku menelan ludah, dan buru-buru menelaah suasana sekitar. Terdapat dua pria lainnya yang duduk disamping wanita itu, namun yang paling membuatku gugup adalah wanita berparuh baya itu.

"Clara Stockholm?" Suara wanita itu pun terdengar menakutkan, pikirku sambil mengarungi langkah diantara kami. Aku mengangguk dan mengambil salah satu kursi yang tersedia di dekatku. "Ya, Bu Lucy."

"Kamu masih berusia 18 tahun?" Tanyanya kepadaku sambil menaikkan sebelah alisnya. Dua pria lainnya hanya mengamatiku, seolah-olah aku ini mangsanya. "Ya," jawabku lagi dengan gugup.

Bunyi klik pena memenuhi isi pikiranku. Wanita yang bernama Lucy itu sibuk menuliskan sesuatu diatas kertasnya. Aku dapat melihat tumpukan kertas lain yang sedang dilihat oleh pria di samping kirinya. Bola matanya berpindah dengan cepat, lalu dengan sekali anggukan, ia membalikkan halaman kertas tersebut.

Itu naskah ceritaku, batinku. Kira-kira hasilnya bakal kayak gimana ya?

"Clara Stockholm, usia 18 tahun, tinggal di area pusat Ratterdam City, tidak mempunyai orangtua?" Tanya Lucy lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum. "Benar, bu."

"Gadis berusia 18 tahun tapi pembacanya sudah ribuan?" Pria satunya lagi yang berada di sebelah kanan Lucy menyengir kepadaku. Badannya berotot, dan giginya yang berwarna kuning diperlihatkan kepadaku. "Edward, menurutmu bagaimana?"

"Hmm, lumayanlah," balas pria yang ternyata bernama Edward itu. Matanya masih memandang naskahku yang jumlahnya beratus-ratus halaman. "Ceritanya terlalu...biasa dan agak membosankan...?"

Hatiku langsung tertusuk oleh perkataannya. Aku menundukkan kepala dan menggigit bibir bawahku. "Tapi, kalau dilihat dari segi kosa kata dan kerapian, kuberi nilai A." Edward lalu menaruh tumpukan kertas itu di ujung meja dan melipat tangannya. Matanya lalu mendarat ke wajahku. "Silahkan, Clara. Jelaskan alasan kenapa kamu ingin menerbitkan naskahmu dengan kami."

Tanganku bergetar, namun kuusir perasaan gugupku. Aku sudah menyiapkan hal apa saja yang perlu kukatakan. Sebagai seorang penulis, menuliskan sesuatu di atas kertas adalah hal biasa bagiku. Aku membayangkan diriku yang akan menjalani wawancara dengan santai dan berbicara dengan luwes. Namun, yang terlintas di pikiranku sekarang justru wajah bahagia Jon saat aku memberitakannya kabar baik bahwa aku diterima untuk mengikuti wawancara.

"Aku...saat jumlah pembacaku mulai meningkat pada saat itu..." Aku memulai penjelasanku. "Ada yang bilang kalau naskahku bagus dan bisa langsung diterbitkan-"

"Siapa yang kira-kira berkata seperti itu?" Potong Lucy. Matanya masih tidak lepas dari wajahku. "Pertama-tama, kamu masih tergolong sangat muda. Kedua, cerita fantasimu itu bisa dibilang terlalu biasa saja." Ia meraih salah satu kertas halaman naskahku, lalu mulai membacakan isinya. "Kedua Fae ini akhirnya hidup bahagia selamanya, tanpa adanya suatu masalah sedikitpun." Ia tertawa kecil. "Bukankah itu terdengar membosankan?"

Wajahku langsung merona. "Ta-tapi! Baca dulu inti permasalahannya-"

"Tak ada yang perlu dibacakan," sengal Lucy lagi. "Wawancaramu sudah selesai. Kamu boleh mengambil kembali naskahmu." Ia melempar tumpukan naskah itu ke lantai, menghasilkan bunyi gebukan yang keras. Aku menggigit lidahku, kemudian mengambilnya dengan cepat. Rasanya air mataku mulai tertumpah. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku menghentakkan kaki dan membanting pintu keras-keras.

"Membosankan?!" Teriakku karena kesal. "Kalau saja wanita sial itu membaca baik-baik ceritaku-"

"Clara?" Aku tidak sadar sudah menangis di depan Jon. Laki-laki itu sedang membawa dua botol minuman jeruk di tangannya. Saat membaca ekspresi yang tergambar di wajahku, senyumannya langsung sirna. "Ada apa?"

Aku buru-buru menghapus kedua air mataku, kemudian memaksakan sebuah senyuman. "Bukan apa-apa."

"Kamu jelas-jelas nangis tadi," gumamnya sambil merangkulku. Sekarang, kami sudah berjalan keluar gedung dan menuju ke restoran terdekat. "Berarti wawancaranya gak sukses," lanjutnya lagi.

Aku benci mendengar fakta menyakitkan itu, apalagi langsung dari mulut Jon, jadi aku hanya terdiam. Jon segera memesan makanan untuk kami berdua. Ketika pelayannya sudah pergi, ia melanjutkan pembicaraannya. "Mau cerita?" Dia sudah menggenggam tanganku, lalu mengelusnya dengan jempolnya.

Aku memutar bola mataku. "Mungkin. Iya. Gak. Gak tahu," aku hendak melepas tanganku, tapi Jon dengan sigapnya menahannya. Aku menatapnya tak sabaran.

"Clara, jangan dipendam sendiri. Aku jadi khawatir kan-"

"Iya, iya khawatir! Aku sebel banget sama wanita itu!" Kali ini, aku tak bisa lagi menahan amarah dan air mataku. Jadi, kulepaskan saja. "Kamu tahu kan artinya kalo aku gagal?" Kataku di sela isak tangisku. "Itu artinya aku gak bisa cari uang sendiri. Aku harus balik ke desa terpencil itu dan tinggal berduaan sama Nenek sampe dia mati kelaparan!"

Tanpa kusadari, tatapan semua orang mengarah kepada teriakanku. Tubuhku kini bergetar, rasa malu kembali melandaku. Jon untung menyadarinya, dan segera menarik tubuhku. "Ayo kita pergi dari sini."

Akhirnya Jon menuntunku dengan pelan. Apartemen kami untungnya berdekatan dengan restoran tadi, jadi aku tak perlu menghadapi tatapan aneh orang-orang saat melihat seorang gadis yang sibuk menangis.

Jon menutup pintu kamar apartemennya, kemudian memelukku. Aku kembali mengeluarkan air mata dan balas memeluknya. Keheningan tercipta diantara kami. Bentuk tubuh Jon sudah sangat familiar. Otot perutnya yang dapat kurasakan, serta detak jantungnya yang terdengar di dalam dadanya. Jon mencium kepalaku dan tubuhku pun tak lagi bergetar.

"Kamu masih 18 tahun, Clara," katanya dengan pelan. Ia meraba-raba punggungku. "Perjalanan hidupmu masih panjang. Aku udah cukup dewasa. Aku bisa cari pekerjaan. Kita bakal hidup bersama."

Kalimat itu membuatku tersenyum. Tinggal berduaan dengan Jon di apartemen. Jantungku kembali berdetak dengan cepat. Aku juga merasakan tangan Jon yang tidak lagi meraba punggungku. Dia melepaskan sedikit dekapannya, kemudian mendekatkan wajahnya.

"Hidup bersama," kataku sesaat sebelum ia mencium bibirku. Rasanya segala perasaan khawatir menghilang. Aku larut dalam perasaanku kepadanya. Ia menggendongku, masih tidak melepaskan bibirku. Saat sudah berada di sofa, ia melepaskan jaketku yang sudah kotor. Aku merasakan angin yang menggelitik pada bahuku yang terbuka.

Kini, tubuhnya sudah berada di atasku. Ia mengecup bahuku dan berbisik, "Selamanya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!