Suatu sore di Harmony Spa, sebuah panti pijat kecil di pinggiran Kota Hagasa...
"Tuan Muda, saya mohon kembalilah! Kondisi Tuan Besar semakin memburuk. Keluarga Linardy dan Lozara Group membutuhkan kepemimpinan Anda!"
Seorang pria berambut putih dengan setelan jas yang parlente membungkuk 70 derajat di hadapan Martin dan mengatakan itu.
Pria itu diutus oleh Santoso Linardy, ayahnya Martin, pemimpin Keluarga Linardy sekaligus salah satu petinggi Lozara Group.
"Sudahlah, Paman Ben. Aku sudah bilang aku tak mau pulang. Apa pun yang terjadi pada Keluarga Linardy dan Lozara Group bukan urusanku lagi. Aku sudah menanggalkan nama Linardy sejak pria arogan itu mengusir aku dan ibuku tujuh tahun yang lalu!" kata Martin.
Keluarga Linardy adalah keluarga terkaya di Kota Hagasa. Lozaro Group sendiri adalah organisasi bawah tanah berkedok perusahaan internasional yang menguasai nyaris seluruh dunia. Mereka sukses dan berkuasa di berbagai lini mulai dari medis hingga pertambangan.
Dulu, Martin ikut menikmati kekayaan dan kemewahan yang dinikmati ayahnya. Namun semua itu berubah setelah ayahnya termakan hasutan wanita licik yang adalah simpanannya.
Dia pun mengusir Martin dan ibunya, bahkan mengubah status Martin menjadi anak haram. Sejak saat itu Martin dan ibunya hidup susah, bahkan menjadi semakin sulit ketika Ibunya mengalami penyakit serius dan perlu terus berobat.
Martin sendiri terus berganti-ganti pekerjaan hingga akhirnya dia bekerja sebagai tukang pijat di Harmony Spa.
Sampai kapan pun, Martin tak akan pernah memaafkan ayahnya. Dia tak peduli kalaupun ayahnya itu mati karena penyakit stroke yang menyerangnya.
"Tuan Muda, tolong pertimbangkan lagi keputusan Anda. Saya khawatir Tuan Besar tak lama lagi akan—"
"Cukup, Paman! Cukup! Aku tak mau dengar apa pun lagi darimu! Pergi sekarang juga!" bentak Martin, menunjuk ke pintu dan menatap Ben tajam.
Ben menatap Martin sedih. Dia sangat berharap bisa membawa Martin pulang. Tapi apa daya? Dia tak bisa memaksa Martin.
"Baik, Tuan Muda. Saya akan pergi. Tapi jika Anda berubah pikiran, silakan hubungi saya. Nomor saya masih yang dulu," kata Ben.
Dia mengangguk hormat pada Martin, lalu keluar diikuti sopirnya.
Martin mengamati kepergian mereka berdua dengan dada kembang-kempis. Jujur saja, dia tak menyangka kalau dia akan semarah itu.
"Martin, siapa yang barusan itu? Kenapa kau marah-marah padanya?" tanya resepsionis.
Sedari tadi dia mengamati apa yang terjadi antara Martin dan Ben dengan bingung. Ben turun dari mobil Rolls-Royce bersama seorang sopir dan tampak berkelas dengan syal hitam dan sarung tangan hitamnya, sedangkan Ben hanyalah karyawan biasa di Harmony Spa—gajinya bahkan di bawah rata-rata, hanya empat juta per bulan.
Sungguh tak masuk akal pria berkelas seperti Ben begitu hormat kepada Martin, apalagi sampai memanggilnya dengan sebutan "Tuan Muda".
"Bukan siapa-siapa," jawab Martin ketus, lalu melengos pergi.
Dia mendengar si resepsionis mengatainya dengan pelan, tapi dia tak peduli. Dia ingin membasuh mukanya berkail-kali. Kemunculan Ben dan permintaannya tadi membuatnya naik darah.
Di toilet, baru juga Martin memutar keran, ponselnya berdering.
Martin mengambil ponselnya dari saku celana dan mendapati Julia, istrinya, meneleponnya.
"Halo, Julia?"
"Martin, cepat ke rumah sakit!"
"Hah? Apa?"
"Aku bilang cepat ke rumah sakit! Jesina sedang ditangani di IGD!"
Mata Martin membulat. Jesina adalah anak semata wayang mereka. Kenapa dia dilarikan ke IGD?
"Oke, oke. Aku ke sana sekarang!" ucap Martin.
"Cepat, ya!" desak Julia.
Martin cepat-cepat membasuh muka dan mengeringkannya dengan tisu. Dia lalu ke ruang ganti karyawan, ganti baju, mengambil tas ranselnya dan kembali ke ruang depan.
Di Rumah Sakit Pelita Kasih, satu jam kemudian...
"Julia, bagaimana kondisi Jesina?" tanya Martin sambil mendorong pintu ruang rawat inap.
Jantungnya berdegup kencang sebab dia habis berlari dari loket administrasi. Dia juga panik saat dikabari Julia lewat chat kalau anak mereka menderita leukemia.
Mendapati Martin akhirnya muncul, Julia yang sedang duduk di kursi di samping ranjang pasien langsung berdiri dan berjalan ke arah Martin, tatapannya menakutkan.
"Aku memintamu datang satu jam yang lalu! Kenapa kau tak pernah bisa kuandalkan, Martin?!" raung Julia.
Martin menatap istrinya tanpa mengatakan apa pun.
Sebenarnya ingin dia jelaskan apa yang menahannya tadi, yakni bahwa dia tak diperbolehkan pulang lebih awal oleh supervisor-nya mengingat sisa jam kerjanya tinggal setengah jam lagi.
Tapi, kalau dia mengatakan itu, yang ada Julia malah tambah marah.
"Maafkan aku," akhirnya hanya itu yang dia katakan, kepalanya menunduk.
Julia mendengus kesal, kembali ke kursi yang tadi didudukinya. Martin merasa dadanya sesak. Dia paling tak bisa melihat istrinya begitu kecewa kepadanya.
Julia adalah wanita tercantik di Keluarga Wiguna, salah satu keluarga kelas dua di Kota Hagasa. Dia dulu begitu populer karena kecantikannya, tapi sejak menikah dengan Martin dia menjadi bahan olok-olok orang-orang.
Di mata kebanyakan orang di Kota Hagasa, Martin hanyalah pecundang yang tak punya apa-apa. Sungguh sebuah keajaiban dia bisa memikat wanita secantik dan sepopuler Julia.
Adapun Keluarga Wiguna sendiri mengangap pernikahan Julia dengan Martin itu sebagai aib. Jika saja bisa kembali ke masa lalu, mereka akan melakukan apa pun untuk membatalkan pernikahan memalukan itu—termasuk membunuh Martin jika perlu.
"Sudah kau pergi saja sana! Kau ada di sini juga buat apa? Memangnya ada yang bisa dilakukan pria tak berguna sepertimu? Kau pasti juga tak punya uang untuk melunasi biaya pengobatan dan perawatan Jesina, kan?" celetuk Fanny, ibu mertuanya.
Martin mengangkat kepalanya, mendapati beberapa anggota Keluarga Wiguna ada di situ, kebanyakan berdiri mengelilingi ranjang pasien.
Jesina sendiri terbaring di ranjang tersebut; selang infus terpasang di tangannya. Wajahnya sedikit pucat dan sorot matanya lemah.
"Tante Fanny benar, Martin. Kau pergi saja sana. Kami sudah ada di sini dan kami tak butuh sampah sepertimu," ujar Walton, kakak sepupunya Julia. Dia menutup hidungnya dengan tangan seolah-olah bau busuk menyeruak dari tubuh Martin.
"Aku tahu kau habis kerja seharian di panti pijat murahan itu. Mestinya sebelum ke sini kau mandi dulu sampai bersih. Kau juga harus mencuci tanganmu itu dengan sabun hingga berkali-kali. Seharian ini tanganmu itu pasti menyentuh kulit orang-orang miskin yang kotor dan penuh kuman. Ish! Menjijikkan!" ucap Vina, istrinya Walton yang penampilannya glamor.
Martin menatap pasangan suami-istri itu dengan amrah yang tertahan. Sebenarnya dia ingin sekali membalas perkataan mereka tapi tak berani.
Bagaimanapun, dia sadar kalau dia adalah orang luar. Meski secara hukum dia adalah suaminya Julia, kenyataannya Keluarga Wiguna tak pernah menerimanya sebagai keluarga. Dan meski empat tahun telah berlalu, nyatanya dia memang belum juga mencapai apa pun yang bisa dia banggakan di hadapan mereka.
Di titik ini, Julia menoleh dan meliriknya. Martin bisa melihat kekecewaan yang dalam di cara Julia menatapnya. Dia pastilah berharap Martin tak diam saja dihina-hina seperti itu.
"Ayah..."
Suara yang lirih terdengar. Martin sontak menatap Jesina, mendapati putrinya masih terpejam. Barusan sepertinya dia mengigau.
Martin refleks maju, hendak menghampiri putrinya itu, tapi tiba-tiba saja Benny menghalangi jalannya.
Benny adalah kakek istrinya. Pria tinggi-besar itu menatap Martin dengan garang.
"Julia, bukankah aku sudah memintamu untuk mengajari anakmu agar dia memanggil si payah ini dengan sebutan 'Paman' dan bukannya 'Ayah'?" keluh Benny, melirik sebentar kepada Julia.
Tak ada tanggapan dari Julia. Benny kembali mengarahkan matanya pada Martin.
"Heh, Pecundang, mau ke mana kau? Kau pikir apa yang sedang kau lakukan di sini, hah?" tanya Benny ketus.
"Aku... aku mau mendekat ke ranjang, Pa. Aku mau mengecek kondisi putriku," kata Martin.
"Tak perlu! Dokter dan perawat sudah mengecek kondisinya. Dan biar kukatakan satu hal: mulai hari ini Jesina bukan putrimu lagi; dia akan memakai nama Wiguna dan kau tak boleh mendekatinya lagi!" kata Benny.
Martin terdiam. Garis vertikal tebal muncul di antara kedua alisnya. Apa maksudnya ini?
"Satu hal lagi. Uang yang kau butuhkan untuk melunasi biaya pengobatan dan perawatan Jesina adalah 200 juta. Karena aku yakin uang sesedikit itu saja kau tak punya, aku mau menawarkan padamu sesuatu hal."
Benny memutar badan menoleh pada menantunya. Fanny mengambil tasnya dan mengeluarkan sebuah map dari situ. Dia bawa map tersebut dan dia serahkan ke suaminya.
Benny mengambil map tersebut dan membukanya, menarik keluar lembaran-lembaran dokumen dan mengeceknya.
Kemudian, dia sodorkan dokumen-dokumen tersebut ke Martin, berkata:
"Aku akan melunasi biaya pengobatan dan perawatan Jesina, serta mencari sumsum tulang belakang yang cocok untuknya, juga akan memberimu 100 juta, asalkan kau tanda tangani dokumen perceraianmu ini."
Deg!
Martin membelalakkan mata, menatap kakek istrinya itu tak percaya.
"Kakek mau aku bercerai dengan Julia?" tanya Martin.
"Ya. Ceraikan dia saat ini juga dan kau akan terbebas dari tanggung jawabmu untuk melunasi biaya rumah sakit," jawab Benny.
"Tapi kalau kau menolak, kau yang harus melunasi biaya rumah sakit. Aku tak akan mengeluarkan uangku sepeser pun!" lanjutnya.
Martin menaruh telapak tangannya di dada, berusaha mengendalikan amarahnya yang telah meluap-luap. Bisa-bisanya Benny menyeret-nyeret Jesina ke dalam tawarannya ini!
"Ayo tanda tangani saja, Martin. Uang 100 juta itu lumayan besar buat orang miskin sepertimu, kan?" ujar Fanny.
"Betul itu. Dengan uang itu setidaknya kau bisa berhenti jadi tukang pijat dan mencari pekerjaan lain yang lebih mendingan. Satpam kelab malam, misalnya," tambah Walton, tersenyum menghina.
Martin menatap mereka satu per satu. Upayanya untuk menekan amarahnya tak membuahkan hasil. Kini dia merasa tubuhnya memanas.
Dia ambil dokumen perceraian yang disodorkan Benny itu. Dia angkat dokumen tersebut ke depan wajahnya, lalu menyobek-nyobeknya.
"Kami tak akan bercerai!"ucapnya tegas, menatap tajam pada kakek istrinya.
...
..
Benny dan yang lainnya tercengang. Mereka tak mengira Martin akan berbuat sejauh itu.
Dengan menyobek-nyobek dokumen perceraian itu tepat di hadapan Benny, secara tak langsung Martin sedang menantang Benny dan Keluarga Wiguna.
"Keparat! Berani-beraninya kau melakukan ini!" semprot Benny sambil memelototkan matanya.
"Aku bersumpah aku tak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya rumah sakit! Kau yang harus menanggungnya!" lanjutnya sambil menekan-nekankan jari telunjuknya ke dada Martin.
Martin bergeming. Dia tahu dia telah melakukan sesuatu yang mungkin akan disesalinya nanti. Tapi dia tak punya pilihan. Dia tak akan bercerai dengan Julia apa pun yang terjadi.
"Tak masalah. Aku akan mendonorkan sumsum tulang belakangku dan melunasi semua biayanya. Kalian tak perlu merogoh kocek sedikit pun!" kata Martin, menatap sepasang mata kakek istrinya tanpa berkedip.
Julia terkejut dengan apa yang dikatakan Martin. Matanya membesar dan mulutnya menganga. Apakah Martin hendak mengorbankan dirinya?
Meski transplantasi sumsum tulang belakang kemungkinan berhasil, bisa saja nanti ada efek samping merepotkan yang akan dirasakan Martin. Bagaimana kalau Martin mengalami komplikasi serius?
"Enak saja! Kau pikir aku sudi menerima donor sumsum tulang belakang darimu untuk Jesina? Tak akan kubiarkan itu terjadi!" tolak Benny.
"Aku juga tak sudi. Jessica itu cucuku. Kau tak boleh mengotori tubuhnya!" tambah Fanny.
Martin menatap kedua mertuanya ini satu per satu. Lama-lama dia jengah juga. Sebenarnya apa mau mereka?
"Heh, Martin, kau tak usah sok pahlawan deh. Mendingan kau kumpulkan saja uang 200 juta itu. Itu pun kalau kau mampu," cemooh Walton.
"Ya ampun, Sayang. Jangankan 200 juta, 10 juta saja belum tentu dia mampu mengumpulkannya. Dia kan setakberguna itu orangnya," Vina ikut-ikutan.
"Sudah, sudah. Kalian ini kenapa sih? Ini rumah sakit loh! Jangan ribut di sini! Biarkan Jesina istirahat! Kalian tak kasihan padanya?" sela Julia sambil mengelus-elus kening purtinya.
Dia benar-benar kesal dengan kelakuan keluarganya. Tapi dia juga kesal dengan tingkah Martin. Menurutnya merobek-robek dokumen perceraian itu berlebihan. Gara-gara itu kakeknya jadi naik pitam.
"Martin, kalau kau memang ingin membuktikan bahwa kau bisa diandalkan, segeralah lakukan sesuatu. Kita butuh uang itu secepatnya. Dokter bilang kondisi Jesina bisa saja memburuk sewaktu-waktu," kata Julia, menatap Martin sedih.
Martin kembali merasa dadanya sesak. Kalau istrinya sudah berkata seperti itu, mau tidak mau dia harus mengumpulkan 200 juta itu. Dia pun memutar otak, mencari-cari solusi yang terjangkau olehnya.
Ting!
Sesuatu terpikirkan olehnya.
"Akan kudapatkan uang itu. Akan kubuktikan pada kalian kalau aku bisa memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ayah dan suami!" katanya.
Keluarga Wiguna menanggapi omongannya itu dengan tatapan meremehkan. Martin tak peduli. Dia keluar dari ruangan itu dan berjalan menyeberangi koridor, duduk berjongkok menghadap kolam ikan kecil.
Di situ, dia menelepon seorang teman dekatnya, Jordan.
"Jordan, aku bisa minta tolong?"
[Kenapa, Bro? Kau sedang butuh pertolongan apa dariku?]
"Aku mau minta tolong dipinjami uang 200 juta. Ini darurat. Putriku kena leukimia."
Hening sebentar. Jordan seperti sedang memikirkan apa yang harus dikatakannya.
"Kau ada uangnya, kan? Nanti pasti kuganti. Janji."
[Sebenarnya uangnya ada, Bro, tapi...]
"Tapi apa?"
[Heh, Martin! Jangan lagi kau pinjam uang ke Jordan! Tiga bulan lagi kami menikah!]
Martin menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga. Yang barusan bicara bukanlah Jordan melainkan pacarnya. Dia mengatakannya dengan separuh berteriak.
"Maaf, Agnes. Aku tak bermaksud apa-apa. Aku sangat membutuhkan uang itu untuk menolong putriku. Dia harus segera di—"
[Aku tak peduli! Itu bukan urusanku dan bukan juga urusan Jordan! Kalau kau tak punya uangnya, ya biarkan saja putrimu itu mati! Jangan ganggu Jordan lagi!]
Tuuut... tuuut...
Agnes mengakhiri panggilan begitu saja, meninggalkan Martin yang terdiam dengan mata membulat.
Dia bisa memahami kecemasan Agnes. Tapi, dia tak perlu sampai mengatakan sesuatu sejahat itu. Dia keterlaluan!
Martin menunduk lemas. Dia tak punya banyak teman. Dan di antara teman-temannya yang sedikit itu, tak banyak yang bisa dimintainya tolong di saat-saat seperti ini.
Lantas bagaimana dia akan mendapatkan uang 200 juta itu? Ke mana dia harus mencarinya?
"Martin, kau baik-baik saja?"
Suara Julia mengagetkannya. Martin langsung menoleh dan berdiri.
"Ada apa, Julia? Kenapa kau keluar?" tanya Martin.
"Anu... aku minta maaf kalau barusan aku terlalu keras padamu. Aku tak bermaksud menyinggungmu atau apa," kata Julia.
Butuh waktu beberapa detik bagi Martin untuk memahami apa yang dimaksud Julia. Dan ketika dia hendak mengatakan sesuatu untuk menenangkan Julia, istrinya itu menunjukkan hasil tangkapan layar di ponselnya.
"Aku sudah mentransfer 200 juta ke rekeningmu. Kau pakailah uang ini untuk melunasi biaya rumah sakitnya Jesina. Tapi, jangan sampai kakek atau ibu tahu. Kalau mereka tanya kau dapatkan uangnya dari mana, bilang saja kau dapat pinjaman atau apa. Oke?" cerocos Julia.
Pupil Martin melebar. Dia tak menduga istrinya akan berbuat sejauh itu untuk melindungi citranya di hadapan keluarganya.
Tapi pantaskah dia menerima bantuannya ini? Tidakkah itu membuatnya terlihat menyedihkan?
Lagi pula, setahu dia, tabungan Julia juga semakin menipis.
"Julia, aku tak bisa menerima ini. Aku transfer balik saja, ya. Kau butuh uang ini untuk mengembangkan bisnis kuliner yang belum lama ini kau mulai," ucap Martin.
Julia menggeleng. "Tak usah pikirkan itu," ucapnya. "Saat ini Jesina lebih membutuhkan uang ini. Aku juga tak terima mereka tadi menghina-hinamu separah itu."
Martin ingin membantah lagi tapi Julia mengangkat telunjuknya.
"Sudah. Sekarang ayo kembali ke dalam. Bilang ke mereka kalau kau sudah mendapatkan uangnya. Buat mereka bungkam!" ajak Julia.
Martin menghela napas. Senyum tipis terbit di wajahnya.
Dia terharu dengan bantuan dan dukungan Julia. Julia selalu bersamanya meskipun selama empat tahun ini dia belum juga bisa membuktikan diri.
Mereka berdua pun balik badan dan berjalan kembali ke ruang rawat inapnya Jesina. Yang tak mereka tahu, beberapa saat yang lalu Vina sempat keluar dan menguping percakapan mereka. Vina telah menceritakan apa yang didengarnya itu pada Walton dan yang lainnya.
"Memalukan! Di zaman modern seperti ini masih ada saja pria tak tahu diri yang mengandalkan uang istrinya!" kata Vina setelah Julia dan Martin masuk.
"Benarkah itu, Julia? Kau baru saja mentransfer 200 juta ke rekening suamimu yang tak berguna ini?" tanya Fanny.
"Apa sih yang kau pikirkan, Julia? Kenapa kau masih saja membela si payah ini? Kalau kau bercerai dengannya, kau pasti bisa mendapatkan pria kaya-raya yang akan memberimu uang bulanan puluhan hingga ratusan juta!" ujar Benny.
Julia menatap mereka dengan muka memerah. Tangannya terkepal.
"Aku dan Martin tak akan bercerai! Tak akan!" katanya dengan nada agak tinggi.
Keluarganya sempat tersentak, tapi kemudian muka mereka menjadi garang.
"Cukup, Julia! Berhenti membela orang yang tak seharusnya kau bela!" tegur Benny sambil melotot.
"Dan kau, Martin, sudah saatnya kau sadar kalau kau hanyalah benalu di keluarga ini! Kau bukan saja tak bisa menghidupi putriku, kau juga menguras tabungannya! Seharusnya kau malu pada dirimu!" sambungnya sambil menunjuk Martin.
Martin menatap kakek istrinya itu dengan mulut terkatup. Rahangnya menegang dan tangannya terkepal.
"Percuma bicara pada orang miskin, Kakek. Orang miskin kan biasanya bodoh," cemooh Walton, tersenyum menghina.
Martin mendelik padanya. Dia juga mendelik pada Vina yang mengacungkan jari tengah padanya sambil tersenyum miring.
"Martin, kau tak apa-apa?" Julia menatap Martin cemas.
Martin menatap istrinya sebentar, lalu menatap yang lainnya di ruangan itu satu per satu.
"Uang yang barusan ditransfer Julia ke rekeningku akan kutransfer balik. Aku akan mencari uang 200 juta dolar itu dengan tanganku sendiri. Itu janjiku pada kalian semua!" ucapnya lantang.
Tak ada tanggapan apa pun dari mereka selain sorot mata dan gestur meremehkan.
Martin balik badan, keluar lagi dari ruangan itu, kali ini berjalan cepat-cepat di koridor.
Dia mengambil ponselnya, mencari-cari nama Ben di daftar kontaknya, lalu meneleponnya. Ben langsung mengangkatnya di dering pertama.
"Paman Ben, aku berubah pikiran. Aku akan kembali tapi dengan satu syarat."
Benarkah itu, Tuan Muda? Anda berkenan kembali?]
Ben terdengar antusias. Martin bisa membayangkan di jauh sana Ben tersenyum lebar.
"Iya, aku akan kembali, dengan syarat kau memberiku 200 juta hari ini juga,"kata Martin.
[200 juta? Asal Tuan Muda mau kembali, 2 miliar juga akan aku langsung siapkan!]
Martin memikirkannya sebentar. Transaksi via M-banking memang sangat praktis. Uang itu bisa didapatkannya dalam waktu kurang dari satu menit. Tapi, dia punya ide lain.
"Aku butuh uang tunai. Aku ingin kau menyiapkan satu koper uang berisi 200 juta hari ini juga. Bisa?"
[Ah, baik. Siap, Tuan Muda. Segera saya siapkan satu koper uang yang Anda minta. Saya bawakan kopernya ke tempat Anda saat ini berada?]
"Jangan. Kau jangan ke sini. Biar aku saja yang membawa koper itu nanti. Kau tentukan saja di mana aku harus mengambilnya."
[Oh, kalau begitu, Anda bisa pergi ke Sapphire Sky. Nanti Anda bisa ke resepsionis kalau Anda mencari saya.]
Sapphire Sky adalah salah satu kelab malam termewah di pusat kota. Mereka yang berkunjung ke sana bisa menggelontorkan ratusan hingga miliaran rupiah setiap malamnya.
"Oke. Aku akan tiba di sana dalam setengah jam."
[Baik, Tuan Muda. Harap berhati-hati di perjalanan.]
Martin mengakhiri panggilan. Dia percepat langkah kakinya. Sekeluarnya dari rumah sakit dia langsung ke pinggir jalan dan menyetop taksi.
Setengah jam kemudian, Martin tiba di Sapphire Sky.
Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di situ lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Dulu sekali, dia kerap menghabiskan waktu di situ ketika sedang suntuk atau penat.
"Ada keperluan apa?" tanya seorang pria tinggi-besar mengenakan jeans dan kaus hitam.
Martin menatapnya. Di kaus pria itu terpasang nametag dengan tulisan Robin. Di pinggangnya tersarung tongkat kejut listrik.
Tak salah lagi, dia adalah penjaga keamanan kelab.
"Aku mau masuk. Mau ketemu orang," kata Martin ketus.
Di perjalanan tadi dia sempat terjebak macet beberapa kali dan itu membuatnya kesal. Dia ingin cepat-cepat masuk dan mengambil koper berisi uang 200 juta itu.
"Siapa orang yang mau kau temui?" tanya Robin sambil memindai Martin dari ujung sepatu hingga ujung rambut.
Tatapan merendahkan pun diberikannya. Penampilan Martin terlampau biasa untuk seseorang yang hendak menghabiskan waktu di Sapphire Sky. Bahkan kalaupun dia datang untuk menemui seseorang seperti yang dikatakannya, Robin tak yakin Martin kenal dengan seseorang di dalam sini.
"Benjamin Hermawan. Dia memintaku datang ke sini," kata Martin.
Robin mengernyitkan kening. Bukankah Benjamin ini nama bos?
Sebentar kemudian, mata Robin membulat. Robin tahu kalau Benjamin Hermawan memang sedang ada di dalam.
Robin kemudian menatap Martin bingung. Apa benar pria berpenampilan teramat biasa ini berteman dengan pria terhormat nan berkelas seperti Benjamin Hermawan?
"Hey, kau! Jangan macam-macam, ya! Kau tidak asal menyebut nama orang penting hanya untuk bisa masuk ke Sapphire Sky, kan?" kata Robin dengan muka angkuh.
Martin mendengus kesal. Penjaga keamanan ini benar-benar menguji kesabarannya.
"Aku buru-buru. Menyingkirlah dan biarkan aku masuk," pinta Martin.
Giliran Robin yang mendengus. Dia ingin sekali menonjok Martin, tapi dia masih harus mendengarkan apa-apa yang dijelaskan si resepsionis padanya.
"Begini saja," kata Robin sambil mencantolkan lagi walkie-talkie di pinggangnya, "aku beri kau kesempatan untuk pergi. Ini Sapphire Sky, kelab malam untuk orang-orang super kaya dan berkelas. Gembel sepertimu tidak diterima di sini."
"Gembel katamu?" Martin memicingkan mata. Dia kepalkan tangannya yang kanan.
"Iya, gembel. Kalau kau mau minum-minum sampai mabuk, kau pergi saja ke kelab malam biasa di pinggiran kota. Di sana kau bisa bertemu dengan gembel-gembel lain."
"Bukankah sudah kubilang kalau aku ke sini untuk menemui Benjamin Hermawan? Dia ada di dalam, kan? Kenapa kau tak biarkan aku masuk?"
"Cih! Masih saja mencoba menipuku, hah! Kau pikir gembel sepertimu bisa berteman dengan pria berkelas seperti beliau? Jangan mimpi kau!"
Kepalan tangan Martin menguat. Darahnya mendidih. Rasa-rasanya dia ingin meludahi Robin tepat di mukanya.
"Ada apa ini?"
Seorang pria berkacamata dengan setelan jas hitam muncul dari pintu kelab yang terbuka. Di pergelangan tangan kirinya ada jam tangan rolex berlapis emas.
"Pak Jason, ini ada orang yang mengaku-aku datang untuk menemui bos kita," kata Robin.
Jason berjalan hingga berhenti tepat di samping Robin. Seperti halnya Robin tadi, dia memindai Martin dari ujung sepatu hingga ujung rambut.
"Kau yang mengaku-ngaku datang untuk menemui Tuan Ben?" tanya Jason.
"Iya. Cepat biarkan aku masuk sebab aku tak punya banyak waktu!" jawab Martin.
Jason tersenyum mencemooh. Dia mengeluarkan ponselnya lalu mulai merekam dirinya sendiri.
"Halo, Guys. Aku Jason, salah satu Manajer di Sapphire Sky. Ini ada rakyat jelata yang datang ke Sapphire Sky dan mengaku-aku berteman dengan Benjamin Hermawan."
"Ya ampun. Halu pasti dia ini. Jangankan berteman, dia kenal dengan beliau saja itu sudah tak mungkin.
"Benjamin Hermawan bukan orang yang bisa dijangkau orang kebanyakan. Bahkan aku saja yang sudah bekerja di Sapphire Sky selama bertahun-tahun belum punya kesempatan untuk mengobrol dengannya.
"Ketahuan sekali, kan, bohongnya orang ini? Well, namanya juga rakyat jelata. Bisa apa lagi dia selain bohon? Sialnya dia, kali ini bohongnya kebangetan!"
Di tengah-tengah melontarkan olok-oloknya yang kurang ajar itu, Jason mengarahkan kamera ponselnya ke Martin, merekam dengan jelas wajah Martin yang tak bersahabat.
Dia senang dengan hal itu. Nanti dia akan mengunggah rekaman video tersebut ke salah satu akun media sosialnya. Akan dia bagikan juga postingan itu ke teman-teman nongkrongnya.
Di titik ini, Martin geleng-geleng kepala. Dia ambil ponselnya dan menelepon Ben.
"Paman Ben, aku beri kamu satu menit untuk segera membawa koper uang itu ke bawah," perintah Martin.
Jason dan Robin bertukar pandang sebentar dan mengernyitkan kening. Mereka lalu kembali menatap Martin. Jason menyeringai dan mulai merekam lagi.
"Aku harus cepat kembali ke rumah sakit," ucap Martin.
Selang satu detik, dia mengakhiri panggilan. Dimasukkannya lagi ponselnya ke saku. Ditatapnya dua orang bodoh di hadapannya itu dengan mata memicing.
"Guys, masih soal si rakyat jelata tadi nih. Jadi, barusan itu dia bertingkah seolah-olah menelepon Benjamin Hermawan dan memintanya keluar untuk menjemputnya. Gila! Bisa-bisanya dia sehalu itu. Jangan-jangan dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Hahaha..."
Jason tertawa lepas dan kencang. Robin di sampingnya tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. Mereka tampak sangat menikmati momen ini.
"Apalagi sekarang? Masih ada pertunjukan yang mau kau persembahkan, wahai rakyat jelata?" ledek Jason sambil mengangkat kedua alisnya.
Martin tak mengatakan apa pun. Dia sudah jengah berurusan dengan dua orang ini. Dia harap Ben akan muncul dalam beberapa detik.
Saat itulah, pintu didorong dari dalam dengan kasar. Robin dan Jason refleks menoleh ke belakang, dan mereka terdiam mendapati Ben berdiri di ambang pintu dengan muka kesal.
"Tuan Ben..."
Hanya itu yang bisa dikatakan Jason. Meskipun dia menilai dirinya berkelas, dia tak punya cukup rasa percaya diri untuk berinteraksi dengan seseorang seperti Ben.
Ben melirik sekilas pada Jason lalu mengabaikannya, berjalan lurus ke arah Martin.
"Silakan masuk, Tuan Muda. Koper Anda sudah siap," ucap Ben.
Jason seketika terbelalak, begitu juga Robin. Mereka saling menatap dengan muka bingung.
"Anu... Tuan Ben... Anda mengenal orang ini...?" Jason memberanikan diri untuk bertanya.
Ben mendelik padanya, berkata, "Pria ini adalah orang yang sangat kuhormati. Kalian akan membayar mahal karena tak membiarkannya masuk dan malah mengusirnya!"
...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!