NovelToon NovelToon

Mystic Guard : Hari Kebangkitan Ibu Iblis Jahanam

Bunga Kematian

Langit desa Gunungjati malam itu gelap pekat, tanpa bulan, seolah alam pun enggan menatap apa yang sedang tumbuh di bawahnya. Angin dingin menggesek genting rumah-rumah tua, membawa bau tanah basah dan sesuatu yang lebih halus… seperti dupa, atau bangkai.

Di dalam rumah kayu sederhana milik pasangan Rokif dan Ningsih, televisi tua menyala di ruang depan. Suaranya cempreng, menyiarkan sinetron re-run yang tak lagi lucu bagi siapapun kecuali mereka yang ingin sekadar mengisi sunyi. Rokif duduk di kursi rotan, bersarung dan berbaju dalam, mengunyah keripik singkong. Di sebelahnya, Ningsih bersandar sambil menyulam, sesekali ikut tertawa kecil meski matanya tampak lelah.

Jam dinding berdetak pelan. Pukul 22.01.

“Kok anginnya makin kenceng, ya?” gumam Ningsih tanpa menoleh.

Rokif tak menjawab. Pandangannya tertarik ke layar TV yang tiba-tiba berbintik-bintik—suara mendesing menyusup, mengalahkan dialog sinetron. Ia meraih remote, memukul-mukul bagian belakangnya. “Ah, rusak lagi…”

Tiba-tiba... crrkk! Layar gelap total.

Lampu ruang tamu berkedip dua kali, lalu mati. Sunyi menyergap, hanya suara angin dan gesekan pohon di luar yang terdengar.

Rokif bangkit, menggerutu, “Listrik PLN kampret. Udah bayar juga tetep mati.”

Ningsih berdiri pelan, menoleh ke jendela. Matanya menyipit. “Mas... itu apaan di depan rumah?”

Di luar, di bawah cahaya samar dari lampu jalan yang meredup, tampak sesuatu. Sebuah sosok berdiri diam di tengah jalan tanah—gaunnya panjang, koyak-koyak. Rambutnya panjang menutupi wajah. Kakinya telanjang, dan di sekitarnya, bunga kamboja putih berserakan, seperti habis dilempar dari liang kubur.

Rokif menelan ludah. “Anak siapa malem-malem gitu...”

Sosok itu tidak bergerak. Tapi tiba-tiba, suara gamelan pelan terdengar. Lirih. Seperti dari kejauhan. Menyeret perasaan mereka turun ke lubang tak terlihat.

Lalu... suara tangisan bayi. Lirih. Jelas. Padahal mereka tak punya anak kecil. Dan tetangga terdekat berjarak puluhan meter.

Ningsih menggenggam lengan suaminya. “Mas... kita masuk kamar. Sekarang.”

Tapi saat mereka berbalik, TV menyala sendiri. Bukan siaran. Tapi rekaman tua—hitam putih—dengan gambar seorang wanita berpakaian adat, memegang pusaka. Wajahnya menghadap kamera. Matanya menatap tajam, hidup.

Dan wanita itu tersenyum.s

Rokif dan Ningsih tersentak mundur. Rokif buru-buru mematikan TV—tapi tombol remote seolah tak berfungsi. Layar itu terus menyala, wanita berpakaian adat tadi kini menunduk perlahan… seolah menyembah. Namun di bawah kain kebayanya, terlihat genangan darah perlahan-lahan merembes keluar.

“Mas… ayo. Sekarang.” Ningsih menarik lengan suaminya, hampir berlari ke kamar.

Mereka masuk terburu-buru dan mengunci pintu rapat. Jendela dikunci. Tirai ditarik. Rokif mencari sesuatu di bawah tempat tidur—sebuah parang tua yang biasa ia pakai menebas ilalang. Sementara itu, Ningsih bersimpuh di pojok ruangan, mulutnya merapalkan doa dengan suara gemetar.

Di luar kamar, suara langkah kaki terdengar. Bukan satu… tapi seperti beberapa, pelan… berat… menyeret. Krekk… kressh… krek…

Mereka saling menatap, napas tertahan.

Kemudian, dari bawah celah pintu… asap tipis mengalir masuk. Bukan asap biasa. Baunya… anyir, seperti rambut terbakar dan darah basi.

Lampu kamar berkedip, lalu mati total.

Gelap.

Tok… tok… tok…

Seseorang—atau sesuatu—mengetuk pintu kamar mereka tiga kali.

Lalu… suara pelan, seperti desahan dari liang kubur:

“Buka, Ningsih… aku tahu kau mendengar…”

Mulut Ningsih ternganga. Itu suara ibunya—almarhumah ibunya—yang telah meninggal lebih dari sepuluh tahun lalu.

Rokif mendekap istrinya. Di luar, suara gamelan kembali berdenting… lebih keras. Bunga kamboja tiba-tiba mulai berjatuhan dari ventilasi atap, satu per satu, membentuk lingkaran di lantai kamar mereka.

Dan di dinding—dengan darah—tertulis kata yang baru terbentuk malam itu:

IBU SUDAH BANGKIT.

Bersambung....

Hutan Borneo Di Terror

Kabut tipis mengambang di antara pohon-pohon raksasa di pedalaman Kalimantan. Dini hari belum sepenuhnya pecah, namun roh-roh penjaga hutan sudah berbisik di telinga Dinata Maharani.

Ia berdiri di atas akar pohon besar yang mencuat seperti lengan-lengan tua. Rambut hijaunya tergerai oleh angin hutan, jubah hijau gelapnya berkibar pelan. Di tangannya tergenggam Tongkat Cahaya Embun, senjata sekaligus relik peninggalan leluhurnya.

Matanya terpejam. Tapi pikirannya mengembara… terhubung.

“Ada yang rusak di seberang,” bisik suara nenek buyutnya dari alam arwah. “Perbatasan dunia sudah mulai retak.”

Dinata membuka mata. Suaranya dalam dan tenang. “Jawa Tengah…”

Ia melangkah menuruni akar, kaki telanjangnya menyentuh tanah basah, bergetar. Rasa dingin menjalar naik, bukan dari cuaca—tapi dari kegelisahan bumi itu sendiri. Semuanya terasa… berat. Alam tak lagi diam. Bahkan dedaunan yang biasanya menyambutnya dengan bisik lembut kini hanya bergeming.

Ia berjalan ke altar kayu kecil tempat persembahan malam, di mana sesajen bunga, minyak cendana, dan dupa tertata. Api dupa tiba-tiba padam meski tak ada angin.

Sebuah kupu-kupu hitam hinggap di pundaknya. Lalu suara itu datang, bukan dari langit, bukan dari bumi.

“Waktu kita habis, Asvara. Nyai Rante Mayit sudah kembali.”

Darahnya seolah berhenti mengalir. Dinata menggenggam tongkatnya lebih erat.

“…jadi benar,” gumamnya. “Segel itu akhirnya terbuka.”

Seketika, dari balik pepohonan, sosok bayangan tinggi dengan mata merah muncul—makhluk penjaga batas alam yang hanya muncul ketika dunia manusia dan roh mulai menyatu.

Ia menunduk hormat pada Dinata.

“Asvara… waktunya memanggil yang lain. Perang akan datang.”

Dinata membuka mata dari semedinya. Keringat dingin membasahi pelipis dan punggungnya, meski udara malam Borneo sedang sejuk. Di sekelilingnya hanya suara hutan dan bisikan samar yang belum mau diam. Tapi ia tahu… ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar mimpi buruk.

Langkah tergesa-gesa mendekat dari arah semak. Cahaya obor bergoyang-goyang diseret angin. Lalu muncullah seorang pria tua berjubah kain Dayak, lehernya dililit manik-manik upacara, dan wajahnya penuh guratan yang bicara tentang waktu dan penderitaan.

“Kepala Suku Laja?” Dinata berdiri, menahan napas.

Laja menunduk dalam-dalam, tapi bukan karena hormat—melainkan duka. “Anakku… Dinata Maharani. Kami butuh bantuanmu. Empat ibu muda di hulu sungai… semua bayi mereka… mati dalam kandungan.”

Darah Dinata terasa membeku.

“Dua malam lalu mereka bermimpi sama. Seorang wanita berpakaian putih... wajahnya seperti terbakar. Ia memegang keris dan menyanyi lagu Jawa... Tapi ini tanah kami, bukan tanah dia!”

Mata Dinata menatap tajam. “Apa yang ia nyanyikan?”

Kepala suku gemetar. “Lagu pengantar tidur… tapi liriknya… tentang darah, pengorbanan, dan ‘jalan menuju rahim arwah’…”

Suara angin menggema seperti erangan jauh dari dasar bumi. Dinata merasakan tarikan halus dari dalam tanah, dari akar-akar hutan, seolah ada rahasia purba yang ingin menjalar ke seluruh Nusantara.

Ia menatap bintang. Tapi langit seperti tertutup kabut hitam.

“Ada yang telah dibangkitkan,” bisiknya. “Dan ia tak mengenal batas pulau atau suku. Ini bukan hanya urusan kalian lagi.”

Kuda besi tua milik Kepala Suku Laja meraung pelan menembus kabut malam. Dinata duduk di belakangnya, matanya terus menatap jalan setapak penuh lumpur yang mereka lalui. Udara hutan berubah dingin dan berat, seolah malam menolak dilewati. Beberapa kali burung hantu menjerit, dan dari balik pohon tua, bayangan seperti mengikuti dari kejauhan.

Desa Hulu Tuyan akhirnya tampak. Beberapa warga masih berjaga, duduk bersila sambil membakar dupa dan menabur garam di depan rumah. Raut wajah mereka tak sekadar takut—tapi seperti orang yang tahu bahwa ini bukan hanya musibah… ini kutukan.

Dinata segera melangkah menuju salah satu rumah korban. Di dalam, seorang perempuan muda berbaring pucat, matanya kosong, perutnya yang dulunya membesar kini kempis. Di sisi ranjang, suaminya terus membaca doa dengan suara serak dan patah-patah.

“Aku boleh lihat?” tanya Dinata lembut.

Si suami hanya mengangguk. Ia menyingkir, membuka jalan. Dinata mendekat, duduk di samping perempuan itu.

“Aku… aku dengar dia nyanyi,” suara si ibu hampir tak terdengar. “Dia berdiri di ujung tempat tidur. Aku gak bisa gerak. Perutku dingin… rasanya seperti ditarik dari dalam. Bayiku… dia ambil bayiku.”

Air mata mengalir pelan. Dinata menyentuh perut sang ibu. Dingin. Terlalu dingin untuk tubuh manusia.

Ia lalu menarik keluar liontin kayu dari lehernya, meniupnya pelan, lalu meletakkannya di atas perut si ibu. Dalam sekejap, ruangan mengerang pelan. Udara jadi berat. Gorden tipis bergetar tanpa angin.

Seketika, mata Dinata terbelalak. Dalam penglihatan batinnya, sekelebat sosok putih melintas di sudut kamar—berwajah rusak dan berambut basah, berdiri di balik jendela… menatap balik ke arahnya.

Lalu, suara itu terdengar:

“Lulurlah tubuhmu, darahmu yang kutunggu… Bayimu hanyalah jalan…”

Dinata berdiri. Napasnya terputus sejenak.

“Ini bukan jin biasa,” gumamnya. “Ini sesuatu yang lebih kuno. Dan dia… dia sedang menyebar.”

Bersambung....

Teror Di Markas The Vault

Di bawah hiruk pikuk ibu kota yang tak pernah tidur, tersembunyi di kedalaman sebuah fasilitas bawah tanah berlapis baja dan ilusi digital, The Vault berdetak seperti jantung rahasia negeri ini. Bangunan tak kasatmata itu berdiri jauh dari peta, tak terdaftar di registrasi apapun, tapi menjadi pusat segala operasi paling rahasia terkait anomali mistis, supranatural, dan ancaman multidimensi.

Taki Dirgantara berdiri di tengah ruangan berisi layar-layar hologram yang terus berubah, memperlihatkan citra-citra satelit, grafik energi, serta laporan yang tak pernah berhenti mengalir. Jubah hitamnya bergoyang lembut setiap kali ia bergerak. Di tangannya, Pena Keabadian bersinar samar—bukan sekadar alat, tapi kunci penulisan ulang realitas.

“Hm…” gumamnya, matanya menyipit. “Ini bukan pergeseran energi biasa…”

Salah satu layar memperbesar citra desa kecil di Jawa Tengah. Ada fluktuasi yang ganjil: jejak spektrum roh naik drastis, disertai fenomena elektromagnetik yang tak seharusnya ada di wilayah terpencil itu.

“Ini seperti… dunia arwah membelah tirainya.”

Langkah sepatu hak terdengar mendekat. Seorang agen wanita membawa tablet, wajahnya tegang.

“Tuan Closer, kami dapat laporan tambahan. Tiga desa sekitar mengalami kejadian serupa. Semua korban perempuan. Semua… kehilangan bayi di kandungan.”

Taki menerima tablet itu, membaca cepat. Dahi dan bibirnya mengeras.

“Ada yang sedang membangunkan sesuatu,” bisiknya. “Atau… seseorang.”

Ia menoleh ke dinding di belakang—sebuah deretan rak berisi artefak terlarang yang sudah disegel dengan simbol-simbol kuno. Tangannya menyentuh salah satu stempel tua berwarna perak—dari abad Majapahit, bertuliskan aksara kuno yang kini bergetar sendiri.

“Waktunya mengaktifkan protokol bayangan,” katanya pelan, tapi tegas.

Layar di hadapannya menyala terang. Lima simbol muncul: satu di antaranya adalah milik Asvara, yang lain milik Rengganis, Hellhowl, dan…

Taki menyentuh simbol miliknya sendiri. “Mystic Guard…”

Ia menatap lurus, mata di balik topeng hitam emasnya memantulkan cahaya data yang bergulir cepat.

“Dosa lama ingin bangkit. Dan mereka ingin menuliskannya dengan darah.”

Lampu di lorong utama The Vault tiba-tiba meredup.

Bukan karena gangguan teknis. Ini... terasa seperti sesuatu yang hidup, menyentuh kabel-kabel, menghisap daya, menelusup ke dalam sistem dengan napas yang tak terlihat.

Layar-layar hologram mulai bergetar. Gambar citra satelit berkedip, lalu berubah sendiri menjadi sesuatu yang tak bisa dijelaskan: wajah-wajah mengerang, tangisan bayi, dan tulisan aksara kuno berdarah yang muncul dan menghilang secepat kilat.

Taki Dirgantara memutar tubuh. “Hentikan semua sistem eksternal. Kunci koneksi.”

Terlambat.

Dari ruang operator di seberang, jeritan terdengar. Seorang agen pria menggigil keras di lantai, matanya membelalak. Tubuhnya melengkung seperti melawan sesuatu yang tak kasatmata. Lalu ia berteriak dalam bahasa yang bukan miliknya—aksen Jawa Kuno tercampur suara perempuan tua yang serak, dalam, dan penuh dendam.

Agen lainnya ikut terdampak. Seorang demi seorang jatuh, meraung, menggaruk wajah sendiri, lalu... tertawa. Tawa yang melengking, tidak manusiawi, seolah ratusan suara bertumpuk dalam satu rongga dada.

Taki maju perlahan, tangannya mencengkeram Pena Keabadian.

"Ini bukan kesurupan biasa... ini... pengambilalihan."

Salah satu agen wanita yang merangkak mendekat tiba-tiba mendongak. Matanya kosong. Darah mengalir dari hidungnya, dan ia berseru dengan suara yang sama seperti sebelumnya:

> “Kalian pikir dunia ini milik kalian?

Kalian hidup di atas kuburan yang belum selesai dikutuk.

Hari Ibu akan datang.

Hari kami. Hari darah. Hari jahanam.”

Taki mencoret udara. Sekilas cahaya menyambar ke tubuh agen itu, menyegelnya dalam mantra pelindung. Tapi dari belakangnya, lebih banyak agen mulai jatuh satu demi satu, seolah ‘sesuatu’ yang mengintai berhasil menembus lapisan realitas dan masuk lewat celah pikiran manusia yang goyah.

“Fasilitas ini tak lagi aman,” gumam Taki. “Dia sudah tahu kita akan datang…”

Pena Keabadian mulai bergetar sendiri di tangannya.

Taki berdiri di tengah ruang kendali yang porak-poranda, menatap para agen yang masih tersisa—beberapa setengah sadar, sebagian lainnya dikunci dalam segel pelindung darurat. Ruangan itu kini sunyi, hanya diselimuti suara dengung elektronik dan desahan tubuh yang lelah berjuang melawan kekuatan tak terlihat.

Ia menekan panel komunikasi di lengan kirinya.

> “Unit Sembilan, Unit Dua Belas, dan Tim Siluman Jawa. Fokus wilayah operasi: Jawa Tengah. Segera lakukan evakuasi senyap terhadap seluruh ibu hamil di desa-desa sekitar lembah timur Pegunungan Menoreh. Prioritaskan perempuan usia subur yang menunjukkan gejala mimpi buruk berulang, pendarahan gaib, atau kelahiran yang tertunda.”

Suara agen dari kom luar terdengar panik.

> “Apakah ini protokol biasa, Kapten?”

Taki menatap layar. Wajah-wajah itu muncul lagi. Tapi kali ini mereka menangis. Mereka tahu. Mereka merasakan sesuatu yang akan datang.

> “Tidak,” katanya pelan. “Ini protokol sebelum neraka terbuka.”

Ia mengaktifkan proyeksi peta digital. Sebuah titik merah menyala terang dari tengah hutan—titik yang semula tak ada.

Taki menggertakkan giginya.

“Dia belum menunjukkan wujudnya, tapi dia sudah mulai memilih korban. Janin. Jiwa yang belum lahir. Dia ingin lahir kembali lewat pintu rahim yang kotor oleh ketakutan.”

Pena Keabadian bergetar pelan. Tulisannya mulai memudar.

Ia menatapnya dengan sorot yang dingin.

“Aku harus mempertemukan mereka. Sekarang.”

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!