Tuhan menciptakanmu dengan paras yang begitu sempurna bak malaikat, namun hati yang begitu dingin bagaikan zamharir.
***
“I’m so lonely broken angel, I’m so lonely listen to my heart, one and only- ganteng banget!” suara pekikan Estelle yang cukup keras berhasil membuat Adam menoleh. Pria itu mengangkat sebelah alisnya saat melihat seragam Estelle yang berbeda dengan seragam yang sedang ia kenakan saat ini.
Tak ingin ambil pusing, Adam melanjutkan langkahnya meninggalkan Estelle yang masih terpaku dengan mulut yang terbuka sedikit.
“Njir malaikat,” gumam Estelle yang tatapan matanya masih saja tertuju pada punggung Adam yang semakin menjauh.
“Iya, malaikat maut,” ujar seseorang tepat di telinga Estelle hingga membuat gadis itu terperanjat.
“ANJ*NG! AAHH KAKAK MAH!” Estelle langsung merengek setelah tak sengaja mengumpat kasar. Ia memukul kakak laki-lakinya itu dengan sepenuh hati.
Axelle menyentil dahi Estelle pelan. “Heh, kasar! Gua aduin abang, mampus lo!”
“Ya abis … Kakak ngapain coba bisik-bisik di kuping gitu? Kan geli.” Estelle menggerutu pelan, mulutnya sudah maju beberapa senti mirip seperti bebek. Axelle yang gemas pun meraup mulut adiknya yang maju itu hingga si empunya berteriak kesal.
“Ya, lo sendiri ngapain di sini? Gua kira lo diculik sama gerandong karna tiba-tiba ilang gitu aja.”
Estelle semakin cemberut mendengar ledekan sang kakak. “Enak aja! Lagian orang mah dipegangin adeknya, digandeng gitu. Punya kakak gak peka banget!” protes gadis itu seraya mengulurkan sebelah tangannya dan memperagakan cara memegang tangannya.
Tak lagi membalas ocehan adiknya, Axelle langsung merangkul bahu Estelle dan menggiring gadis itu ke ruang tata usaha.
*
*
*
To, Kak Axelle: Kak … dimana?
From, Kak Axelle: Otw kantin.
Estelle celingak-celinguk kebingungan karena tidak tahu arah menuju kantin. Entah ini kebetulan atau memang keberuntungan gadis itu, dia melihat Axelle yang sedang bersama dengan temannya. Dengan berlari kecil Estelle menghampiri Axelle dan memeluk pinggang laki-laki itu.
Estelle tidak tahu jika tindakannya barusan bisa membuatnya terjebak dalam masalah, dia juga tidak menyadari puluhan pasang mata yang saat ini sedang memandangnya dengan tidak suka. Menghiraukan sekitarnya, Axelle pun dengan santainya ikut merangkul sang adik.
Mereka berjalan beriringan menuju kantin dengan tangan yang tertaut satu sama lain. Sampai akhirnya tatapan mata Estelle bertemu dengan gadis yang duduk satu meja dengannya di kelas. Dia tersenyum hangat dan menganggukkan kepalanya sopan namun gadis itu langsung saja pergi dengan ekspresi datarnya.
“Mau makan apa?” Suara Axelle berhasil menyadarkannya. Sadar jika adiknya tidak mendengarnya tadi, Axelle kembali mengulang tawarannya.
Estelle menoleh dengan mata berbinar mendengar tawaran Axelle. “Kecuali es.” Pupus sudah semangat gadis itu, dia menggeleng lesu dan beralih memperhatikan penampilan temannya Axelle.
“Kakak temennya kak Axelle?”
Laki-laki yang kini duduk di seberang Axelle mengulurkan tangannya dan disambut dengan hangat oleh Estelle.
“Gio,” ujar laki-laki itu memperkenalkan diri seraya tersenyum manis.
“Estelle …,” balas Estelle. Dia mengedipkan matanya lucu karena terpesona oleh kedua lesung pipi laki-laki itu.
“Kak Gio manis …,” lirih Estelle tanpa sadar dan Axelle yang mendengar itu pun melotot galak ke arah sang adik. Tatapan mata Axelle kini tertuju pada tautan tangan keduanya yang sampai sekarang tidak lepas juga, Estelle bahkan masih terpaku pada Gio yang terus saja menunjukkan senyum manisnya.
“Dateng juga lo, kemana aja?” Suara Axelle berhasil mengalihkan perhatian keduanya, Estelle sedikit terkejut saat melihat laki-laki yang tadi pagi.
“Eoh! Malaikat yang pagi tadi!” seru Estelle semangat.
“Malaikat?” ujar Gio bertanya-tanya.
Estelle mengangguk antusias seraya tersenyum lebar sampai kedua matanya menyipit. “Abis ganteng banget kaya malaikat.” Axelle meringis mendengar pernyataan sang adik.
“Adam, kaya malaikat? Pfft!” Gio tak bisa menahan tawanya mendengar komentar Estelle mengenai temannya itu. Ia bahkan sampai memukul-mukul meja karena di telinganya perkataan Estelle terdengar sangat konyol.
“Lain kali jangan kaya gini, bisa?” tegur Adam tegas pada Estelle yang masih menatapnya dengan tatapan kagum. Gadis itu langsung menundukkan kepalanya setelah diberi peringatan oleh Adam.
Axelle menatap temannya itu dengan tajam. “Lo juga bisa biasa aja gak? Adek gua kan cuma muji lo doang, harus banget sampe segitunya?” Estelle mengangkat kepalanya dan menggeleng panik saat suara sang kakak terdengar marah. Demi apa pun ia tidak ingin menyebabkan masalah di hari pertamanya sekolah di sini.
“Kak, gapapa kok. Lagian ini salah Estelle juga karena udah bikin kak Adam gak nyaman,” cicit Estelle sambil sesekali mencuri pandang ke arah Adam.
“See. Kalau gitu gua pergi-”
Estelle panik, dia langsung berdiri hingga Adam menghentikan perkataannya. “Jangan! Biar Estelle aja yang pergi, Kak Adam lanjut aja di sini. Kak Axelle, aku balik ke kelas ya ….” Setelah mengecup pipi Axelle, Estelle langsung pergi dari sana mengabaikan tatapan tajam Axelle yang menyuruhnya untuk tetap diam di tempatnya.
“Lo keterlaluan, Dam,” ujar Gio yang sedikit merasa bersalah pada Estelle. Kalau saja ia tidak tertawa tadi, Adam pasti tidak akan melampiaskan kekesalannya pada gadis itu.
“Salah gua gitu? Dia sendiri aja ngaku kok kalau dia salah,” balas Adam tidak terima.
“Gua sebagai kakaknya aja gak pernah kaya gitu ke dia. Lo siapanya sampe kaya gitu ke dia, hah?” Meskipun Axelle tidak meninggikan suaranya, namun Gio bisa menangkap kemarahan Axelle pada Adam lewat perkataannya.
“Gua salah karena ngingetin adek lo buat gak ganjen?”
Axelle menatap Adam tidak menyangka, begitu juga dengan Gio. Ia benar-benar tidak menyangka Adam akan berkata seperti itu tentang Estelle di hadapan Axelle langsung.
“Lo!” Axelle bangun dari tempat duduknya dan hendak memukul Adam, namun sayangnya Gio dengan cepat menahan Axelle.
“Anjing, awas aja kalau lo sampe nyakitin Estelle! Gua tebas pala lo!” Setelah membuat satu kantin terdiam karena perkataannya, Axelle langsung pergi dari sana untuk menyusul sang adik.
Di sisi lain ….
Karena bingung harus kemana, Estelle akhirnya memutuskan untuk duduk di depan kelasnya sambil melihat beberapa laki-laki bermain sepak bola.
Estelle menepuk-nepuk dadanya pelan, entah karena apa dadanya sedikit sesak. “Duh, aku kenapa sih?” tanya Estelle pada dirinya sendiri.
Segerombolan gadis menghampiri Estelle yang masih sibuk menepuk-nepuk dadanya. “Lo siapanya Kak Axelle?” tanya salah satu dari mereka. Estelle yang bingung karena tiba-tiba ditanya seperti itu pun hanya bisa diam dengan dahi berkerut.
“Heh, jawab!” bentakan itu berhasil membuat Estelle tersentak dan cegukan.
Estelle menatap gadis yang membentaknya dengan tajam. “Bisa hik biasa aja hik gak?! Jadi cegukan nih!” teriaknya kesal.
Bibir Estelle mengerucut sebal dan berusaha mengatur napasnya agar cegukannya hilang. Namun sepertinya gerombolan gadis tadi enggan menunggu. “Woi!” Salah satu dari mereka yang membentak Estelle tadi kembali berteriak dan mendorong Estelle sampai terjatuh dari duduknya.
“Kalian hik kalau mau hik ribut jangan hik curi start hik duluan dong! Hik gak aci!” teriak Estelle merengek.
“Kalian ngapain?” Axelle datang dengan wajah yang tidak bersahabat. Ia menatap satu-persatu gadis yang ada di hadapannya saat ini dengan tatapan tajam sebelum perhatiannya teralihkan pada Estelle yang terduduk di lantai.
“Lo kenapa duduk di bawah? Diapain sama mereka?” tanya Axelle seraya membantu Estelle untuk bangun dan mendudukan gadis itu di bangku.
Estelle menggeleng. “Gak kok hik. Ahh cegukannya gak hik mau berhentiii,” rengeknya. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh segerombolan gadis tadi untuk pergi dari sana.
“Heh, kalian!”
Estelle langsung menahan tangan Axelle dan menggeleng pelan. Axelle menatap wajah sang adik cukup lama dan menghembuskan napas panjang setelahnya. “Kalau ada masalah apa-apa ngomong, jangan diem aja. Kalau dihina, hina balik. Kalau dipukul, pukul balik. Jangan jadi kaya orang bego yang diem aja diperlakukan semena-mena sementara lo sendiri gak salah apa-apa.”
“Iya,” balas Estelle seadanya.
“Jangan iya-iya aja tapi dilakuin juga.” Axelle mengusak-usak rambut Estelle gemas.
Estelle merengut sebal. “Iya ih!”
Sepasang mata itu bersinar sangat cantik dan tanpa sadar membuatku terpikat.
***
Estelle menggerutu sepanjang koridor. Belum seminggu ia bersekolah di sini, catatan siswanya sudah tercoreng poin terlambat tiga kali karena Axelle selalu meninggalkannya beberapa hari ini dan yang lebih parah laki-laki itu tidak membangunkannya.
Ini sudah masuk jam pelajaran ke-2 dan Estelle belum sampai juga di dalam kelas. Ketar-ketir? Tentu saja. Biasanya ia bisa selamat sampai di kelas tanpa hukuman lagi karena sebelum jam perlajaran ke-2 dimulai ia sudah ada di kelas. Namun sekarang? Estelle ragu ia akan selamat kali ini.
Dan benar saja, akhirnya Estelle berakhir di toilet wanita bagian koridor barat yang ada di lantai dasar; yang mana merupakan toilet yang paling sering dipakai di sekolah ini. Jangan ditanyakan lagi bentuknya seperti apa.
Satu-satunya keberuntungannya pagi ini adalah ia berpapasan dengan salah satu petugas kebersihan yang memang berencana akan membersihkan toilet yang akan ia bersihkan. Jadi, ia tidak perlu susah-susah mengambil peralatan kebersihannya dan langsung mengerjakan hukumannya.
“Ibu tinggal dulu. Nanti begitu ibu kembali, ibu akan cek. Kalau belum bersih … jangan harap kamu bisa masuk ke dalam kelas.” Estelle hanya mengangguk pasrah mendengarnya.
Sudah hampir setengah jam Estelle membersihkan toilet ini dan semua bilik toilet sudah ia bersihkan. Dalam hati ia berdoa hasil kerjanya ini cukup bersih dan bu guru galak tadi mau memperbolehkannya masuk ke dalam kelas setelah ini.
Estelle keluar dengan segala peralatan yang ia pakai tadi untuk mencari angin. Ia memilih untuk duduk di salah satu bangku panjang yang ada di koridor tersebut. Sesekali, ia mengelap keringatnya dengan punggung tangannya yang tidak kotor.
“Ibunya mana sih dari tadi gak balik-balik?” gerutu Estelle sebal. Kedua matanya menyipit saat mendapati sang kakak dan teman-teman sekelasnya sedang berolahraga di lapangan tepat di hadapannya. Refleks ia menutupi sebagian wajahnya dengan lap yang ia pakai untuk bebersih tadi.
Mata bulatnya mengawasi pergerakan sang kakak bersama dua teman dekatnya yang kini asik bermain bola basket dengan penuh semangat. Estelle bisa melihat kebahagiaan dan kepuasan Axelle saat berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
Kini perhatiannya teralih pada Adam yang tampak begitu serius menghadapi sang kakak. Wajah adonis Adam kembali membuat Estelle berdecak kagum untuk ke-sekian kalinya. Tak bisa ia pungkiri, ia selalu terpesona oleh wajah rupawan milik Adam. Bahkan seringaian Adam yang saat ini berhasil menyamakan skor pun tampak begitu seksi di matanya.
Tanpa sadar, Estelle tidak lagi menutupi wajahnya dan beralih menggerakkan lap tersebut sebagai pom-pom milik cheerleader, menyemangati Adam diam-diam tanpa laki-laki itu tahu.
“Sudah selesai?” tanya guru yang tadi memberikan hukuman pada Estelle.
“Hah? Hah? I-iya, Bu. Tapi saya minta maaf ya kalau menurut Ibu toiletnya gak bersih. Saya gak pernah bersih-bersih soalnya, Bu.” Estelle mengekori guru tadi masuk ke dalam toilet. Guru tadi hanya mengangguk mendengar penjelasan Estelle.
“Ya tidak apa-apa. Kamu boleh masuk ke kelas sekarang,” ujar sang ibu yang langsung pergi dari sana meninggalkan Estelle yang terlebih dahulu harus membereskan peralatan bebersihnya tadi.
Sebelum pergi, Estelle mendekat ke arah lapangan untuk melihat Adam lebih dekat. Tatapan Estelle terus mengikuti arah pergerakan Adam di lapangan. Saking asiknya ia memperhatikan Adam, Estelle sampai tidak sadar dengan Axelle yang sudah berjalan menuju ke arahnya.
Saat tatapan matanya bertemu dengan sepasang mata milik Adam, barulah Estelle mengalihkan pandangannya. Semua itu tak luput dari mata elang sang kakak, Axelle.
“Stelle, what are you doing in here?” tanya Axelle dengan dahi mengerut tidak suka. Jangan lupakan fakta Axelle melihat betapa terkesimanya Estelle pada sang sahabat.
Estelle gelagapan tetapi berusaha tersenyum manis untuk menutupinya. “Liat kak Axelle dong.” Gadis itu dengan semangat mendekat ke arah sang kakak dan memeluk lengannya manja. Lagi-lagi tidak sadar kelakuannya itu membuat perhatian semua orang yang ada di sana tertuju padanya.
“Jangan nempelin gua dulu! Emang gak kebauan apa gua lagi keringetan gini?” Meski begitu Axelle tidak mendorong Estelle menjauh darinya dan malah mengusap lembut kepala sang adik yang kini tengah menggeleng pelan di bisep lengannya.
“HEH KAMU YANG DIPINGGIR LAPANGAN! ANAK KELAS BERAPA KAMU?!” Guru olahraga secara tidak langsung menegur keduanya.
Estelle yang merasa sedang ditanya pun dengan polosnya menyebutkan nama kelasnya. “Sepuluh ipa tiga pak!” teriak Estelle begitu jelas.
Axelle segera melepas Estelle. “Masuk kelas sana!”
Merasa diusir, Estelle merengut sedih. “Tapi bapaknya nanya aku, Kak.”
Refleks Axelle langsung memegang sebelah bahu sang adik seraya memejamkan matanya gemas. “Nanti pulang sekolah kamu bisa liat kakak lagi,” bujuknya. Untungnya Estelle mengangguk setuju dan langsung bergegas pergi dari sana.
Sepanjang perjalanan Estelle menuju kelasnya, tiada hentinya ia menggerutu kesal. Sesekali ia merengek sedih karena merasa Axelle tidak punya waktu untuknya akhir-akhir ini, ditambah tadi Axelle mengusirnya pergi. Makin kacaulah perasaan Estelle saat ini.
“Kamu dari mana saja Estelle? Jam pelajaran saya sudah mau habis.”
Estelle menunduk, matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis. “Say-saya …” Estelle bingung. Tidak mungkin ‘kan ia jujur kalau ia menonton permainan basket Adam dan Axelle terlebih dahulu sebelum ke sini?
“Tidak sengaja terpeleset Bu pas bawa alat-alat kebersihan tadi,” dalihnya. Guru itu pun mengangguk pelan mendengar kebohongan Estelle dan sepertinya wanita muda itu percaya dengan perkataan Estelle tadi.
“Ya sudah, duduk di tempat kamu lalu kerjakan tugas yang Ibu berikan. Ibu tunggu sebelum jam makan siang nanti.” Estelle mengangguk patuh dan bergegas ke kursi miliknya.
“Permisi,” ujar Estelle pada Joyceline; teman sebangkunya.
Joyceline hanya menatap Estelle sekilas tanpa minat dan dengan cepat memberikan ruang untuk Estelle lewat. Joyceline gadis bermata kucing tersebut kembali fokus mengerjakan tugasnya setelah memberi ruang untuk Estelle lewat.
Estelle berterima kasih dan berniat untuk menanyakan tugas pada Joyceline. “Celine, tugasnya-”
“Hal 45 bagian essai, tulis di kertas selembar, jawabannya aja.” Tanpa membiarkan Estelle menyelesaikan pertanyaannya, Joyceline langsung memotongnya tanpa menoleh ataupun melirik ke arah Estelle sekali pun.
Estelle kembali berterima kasih dengan senyum senang. Walaupun Joyceline bersikap ketus padanya, tetapi gadis itu selalu saja membantunya selama ia pindah kemari.
“Gak usah liatin gue terus. Kerjain tugas lo!” tegur Joyceline yang langsung beranjak dari duduknya untuk mengumpulkan tugas miliknya. Dan Estelle, alih-alih sedih, senyum gadis itu semakin mengembang mendengar teguran Joyceline padanya.
Estelle pun mulai mengerjakan tugasnya dengan serius agar cepat selesai seperti perintah Joyceline tadi.
*
*
*
Estelle menggerutu sebal karena tak kunjung menemukan lapangan basket indoor yang dimaksud oleh kakaknya. Sedikit menyesali kelengkapan fasilitas sekolah yang justru malah membuatnya kesulitan seperti ini. Sebenarnya kalau saja Estelle tidak buta arah dan mengerti cara membaca map, ia pasti sudah sampai ke lapangan indoor yang dimaksud Axelle dari tadi, mengingat terdapat map yang menjelaskan denah lokasi lingkungan sekolah di setiap lantainya.
Menyerah, Estelle memutuskan untuk menunggu Axelle menjemputnya di lapangan indoor bulu tangkis; tempat berdirinya ia sekarang.
Estelle yang tengah menunduk tidak melihat jika Axelle sudah datang dengan Adam di sampingnya. “Ayo.” Mendengar suara Axelle yang menggema ke seluruh penjuru lapangan, Estelle mengangkat kepalanya dan bangkit dari duduknya.
Menyadari ekstistensi Adam, Estelle melirik takut-takut ke arah laki-laki itu. Axelle yang menyadari itu pun menghembuskan napas kasar lalu segera menggiring sang adik dengan cara memeluk pinggangnya erat.
“Stelle, gua masih jadi orang yang paling lo suka di dunia ini, ‘kan?” bisik Axelle tepat di telinga Estelle sambil sesekali melirik Adam yang mengekori mereka di belakang. Adam sendiri tidak ambil pusing saat tatapan tajam sang sahabat sempat tertuju padanya.
Estelle berdehem pelan seraya menganggukkan kepalanya kaku. Cukup terkejut dengan pertanyaan sang kakak yang begitu tiba-tiba.
“Kalau begitu lo harus fokus ke gua pas gua latihan nanti, janji?” Lagi-lagi Estelle hanya bisa mengangguk kaku.
Dan benar saja sepanjang Axelle latihan, Estelle sebisa mungkin menahan hasratnya untuk memperhatikan Adam dan berusaha fokus dengan gerak-gerik Axelle. Gio yang sempat mencuri dengar pembicaraan kedua kakak beradik itu sebelum latihan pun menggelengkan kepalanya heran melihatnya.
Ombak pernah menghempasku, namun tidak sejauh dan sekeras yang kau lakukan padaku.
***
Mom pulang? batin Estelle saat mendengar suara percakapan sang mommy dengan Axelle di ruang keluarga.
“Mommy mau jodohin Estelle sama Adam? Yang bener aja dong, Mom?!” Estelle langsung bersembunyi di balik dinding setelah mendengar Axelle menyebut namanya, dia sedikit mengintip untuk melihat keduanya.
“Kamu kan bilangnya capek jagain adek kamu.”
Jleb!
Mendengar jawaban dari sang mommy entah kenapa membuat dada Estelle terasa sesak, kakinya lemas seketika. Axelle dan Agatha serentak menoleh ke arah ruang tamu kala mendengar suara benda jatuh yang cukup kencang. Mata Axelle membola ketika mendapati kondisi adiknya yang jatuh terduduk dengan kepala tertunduk dalam hingga seluruh wajahnya tertutupi rambut. Dengan cepat dia langsung menghampiri Estelle dan berniat untuk membantunya berdiri.
Plak!
Estelle menepis tangan Axelle dengan kencang, dia berusaha kembali ke kamarnya dengan merayap, enggan menerima bantuan sang kakak. Sekuat tenaga gadis itu pergi dari sana dengan merayap karena tidak kuat berdiri.
“Kamu ngapain begitu? Bangun!” Deep voice itu membuat semua orang yang ada di ruangan ini tegang. Bahkan Axelle sampai menelan ludahnya gugup. Bang Jacob pulang? batinnya.
Jacob mendirikan tubuh Estelle dengan mudah. “Kamu kenapa?” tanyanya dengan suara lembut.
Namun Estelle langsung pingsan saat dipaksa berdiri oleh Jacob. Dengan sigap Jacob langsung saja membawa adiknya itu ke dalam kamarnya yang sekarang ditempati oleh Estelle. Axelle membantu Jacob menyingkirkan barang-barang yang ada di kasur sang adik.
“Keluar … gue juga mau istirahat di sini.” Axelle mengangguk ragu, dia melihat Estelle sebentar lalu keluar dari kamar.
“I’m sorry, I’m late …,” lirih Jacob seraya mengusap dahi Estelle yang penuh keringat.
Tadinya hari ini dia akan memberi kejutan untuk semuanya dengan pulang tanpa memberitahu sebelumnya, namun ketika masuk ke dalam rumahnya dia malah dikejutkan dengan pemandangan adiknya yang sedang merayap menuju kamarnya.
Ini salahnya, harusnya dia tidak mempercayakan Estelle pada Axelle ataupun pada sang mommy, harusnya dia tidak meninggalkan adiknya itu di sini hanya untuk belajar, harusnya ia pulang lebih cepat dan menolak permintaan sang kakek.
Harusnya seperti itu, pikir Jacob sangat menyesal.
Keesokannya ….
Hari ini Estelle sengaja berangkat subuh-subuh untuk menghindari Axelle, dia masih tidak sanggup jika harus bertatap muka dengan Axelle mengingat percakapan laki-laki itu dengan sang mommy.
Estelle menghembuskan napas panjang, akhirnya dia sampai di sekolah.
“Estelle?” Estelle menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Dia tersenyum lebar saat melihat Joyceline; teman sebangkunya. Joyceline duduk di sebelah Estelle tanpa mengatakan apa pun lalu memberikannya sebungkus roti.
“Makasih.” Estelle berterima kasih seraya tersenyum hangat dan hanya dibalas oleh Joyceline dengan anggukan kepala saja.
“Tumben.”
“Hmm?” Dahi Estelle berkerut dalam karena tidak mengerti arah pembicaraan Joyceline.
“Tumben udah dateng.” Estelle tersenyum kecil mendengarnya, gadis itu menengadahkan kepalanya, entah kenapa matanya saat ini terasa panas.
Joyceline hanya diam, dia tahu gadis di sebelahnya ini sedang menahan tangis. “Aku lagi ada sedikit masalah sama kak Axelle …,” lirih Estelle.
“Ouhh iya, kak Axelle itu kakak aku. Jadi jangan salah paham ya,” lanjutnya. Dia tak ingin teman barunya itu salah paham seperti murid-murid lain hingga menjauhinya. Estelle tidak bodoh dan dia cukup peka jika semua siswi membenci kedekatannya dengan Axelle.
Joyceline hanya mengangguk kaku. Setelah itu keduanya terdiam cukup lama.
“Mau bolos?” Mata Estelle membola mendengar ajakan Joyceline.
“Mumpung sekolah masih sepi,” lanjut Joyceline yang sudah bangun dari duduknya. Gadis itu bahkan sudah menggendong kembali tasnya di pundak.
Estelle terdiam sebentar, lalu dia mengangguk setuju. “Boleh deh, mau kemana?”
Joyceline menarik tangan Estelle dengan lembut, dia membawa gadis itu melewati gerbang belakang sekolah. “Tunggu di sini sebentar,” perintahnya yang diangguki patuh oleh Estelle.
Joyceline pergi sebentar lalu kembali muncul dengan mengendarai mobil sport.
“Nae ap-e wajuseyo,” refleks Estelle ikut bernyanyi ketika mendengar lantunan salah satu lagu kesukaannya.
Joyceline tersenyum, mereka berdua akhirnya bernyanyi sepanjang jalan.
Estelle mengernyit saat Joyceline memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. “Kok berhenti?”
Joyceline tidak menjawab, gadis itu justru melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil. “Sebentar.”
Tak lama gadis itu kembali dengan ransel di tangannya. “Ganti,” perintah Joyceline seraya menyodorkan beberapa potong pakaian pada Estelle.
“Hah?” tanya Estelle tak mengerti.
“Biar leluasa tanpa ketahuan,” jelas Joyceline yang diangguki paham oleh Estelle.
Setelah berganti pakaian, Joyceline kembali menjalankan mobilnya menuju ke salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Mereka menonton film di bioskop, bermain, dan juga mengelilingi mall dengan memasuki toko satu persatu.
“Kamu gak jadi beli sepatu yang tadi?” Estelle menggeleng.
“Uang cash aku cuma ada tiga ratus ribu, kalau pake kartu kredit … nanti ketauan bolos,” ucap Estelle seraya melihat ponselnya yang dari tadi ia matikan, tanpa sadar dia kembali menyalakan ponselnya.
“Lagi niat banget sih, gak mungkin lah kak Axelle sampe segitunya.”
Estelle menggeleng frustrasi. “Kak Axelle emang gak sampe segitunya, tapi bang Jacob.” Dia mengaduk-aduk minumannya tanpa minat. Mendengar nama sang kakak ia jadi kembali teringat masalah semalam.
“Kamu punya kakak laki-laki dua?” Estelle mengangguk malas mendengar nada bicara Joyceline yang begitu antusias.
“Enak ya,” ucap Joyceline.
Estelle menghembuskan napas panjang. “Gak enak tau, mereka itu over protective tapi kalau udah sibuk, kita gak bakal dianggap.”
“Stelle, lo ke toilet gih,” perintah Joyceline yang tatapan matanya fokus ke luar tempat makan.
“Kenapa?” tanya Estelle yang tidak mendapat tanggapan apa pun. Ia pun mengikuti arah pandang gadis itu, matanya membola saat melihat Axelle dan Gio sudah ada di mall ini.
Joyceline menepuk-nepuk tangan Estelle panik. “Cepet! Nanti kalau udah aman gue samperin.” Estelle mengangguk patuh. Dengan tergesa-gesa dia membawa ponsel dan dompetnya ikut ke toilet. Padahal kan aku gak nyalain HP kenapa kak Axelle bisa ada di sini? pikirnya.
Duk!
Karena melamun, gadis itu tak sadar sudah menabrak seorang laki-laki saat hendak masuk ke toilet.
“Lo!” bentak orang yang ia tabrak.
Estelle memejamkan matanya takut sambil meminta maaf, dia berniat langsung masuk ke toilet tapi kaos yang dipakainya malah ditarik ke belakang hingga dia pun ikut tertarik ke belakang. Estelle membuka sebelah matanya dan langsung membelalak kaget saat melihat Adam di depannya.
“Abang lo telepon Axelle, bilang kalau lo lagi ada di sini. Axelle nyariin lo tuh kaya orang gila!” Nada bicara Adam sudah naik, bahkan beberapa pengunjung sampai melihat ke arah mereka.
Estelle menggigit bibirnya khawatir, dia menangkup kedua tangannya memohon dan menggosokkannya panik. “Anggap aja Kak Adam gak liat aku ya. Please please … kali iniii aja.” Estelle terdiam menunggu jawaban dari mulut laki-laki itu, tapi melihat ekspresi wajah Adam yang datar membuat gadis itu pesimis.
“Misi dong mba mas, kalau berantem jangan di depan toilet!” tegur seorang laki-laki yang sepertinya sedang terburu-buru.
Bruk!
Estelle terhuyung ke depan karena ditubruk oleh laki-laki tadi dan untungnya Adam menangkap tubuh gadis itu. “Maaf mba saya kebelet.”
Estelle buru-buru melepaskan diri dari Adam dan pergi menjauh.
“Temuin Axelle sekali.”
Langkah gadis itu terhenti mendengarnya, namun kembali melangkah saat melihat Joyceline yang hendak menghampirinya. “Itu kak Adam?” Estelle mengangguk, mereka pun bergegas untuk pergi dari sana.
“Kita mau kemana sekarang? Terus yakin lo- kamu bisa bawa mobil ini?” tanya Joyceline tidak yakin. Saat ini mereka berdua sudah ada di dalam mobil Joyceline dengan Estelle yang duduk di kursi pengemudi.
Estelle menyeringai tipis namun dalam persekian detik gadis itu tersenyum manis sampai kedua matanya menyipit. “Bisa kok, kamu tenang aja.” Meski begitu tetap saja Joyceline merasa khawatir. Bukan hanya karena ia tidak tahu bagaimana kemampuan Estelle dalam mengemudi, ia juga khawatir dengan keadaan mobil kesayangannya ini nanti kalau semisal terjadi sesuatu pada mereka berdua nanti.
“Seat belt, Celine.” Estelle mengingatkan gadis di sampingnya begitu mobil yang dikendarainya sudah keluar dari area pusat perbelanjaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!