NovelToon NovelToon

[S2] SETELAH LILAC GUGUR | Jirosé (ON GOING)

Bab 1 – Lilac yang Gugur

Happy Reading
Pagi itu datang dengan kesunyian yang tidak wajar. Di luar jendela, angin berembus pelan, mengguncang ranting yang rapuh dan menjatuhkan kelopak-kelopak lilac satu per satu. Han Ji-Ho duduk diam di kursi kayu yang sudah lama tak bergeser dari tempatnya, menatap lurus pada jendela yang pernah menjadi saksi kebahagiaan. Dulu, lilac di sana selalu bermekaran, memenuhi kamar dengan warna ungu lembut yang memberi ketenangan. Kini, hanya guguran yang tersisa. Seolah bunga itu ikut berduka, seolah ia paham bahwa pemilik senyum yang pernah berdiri di balik jendela itu sudah pergi. Hatinya kosong. Udara dingin merayap masuk melalui celah jendela, menusuk kulitnya. Namun yang lebih menusuk adalah kehampaan di dada. Sejak Rose pergi, segalanya berubah. Panggung, sorotan kamera, suara gemuruh penggemar—semuanya kehilangan makna. Ji-Ho, yang dulu dipanggil Jimin dengan sorak sorai dan cinta, kini hanyalah seorang lelaki yang melarikan diri dari dunia. Ia memilih meninggalkan cahaya itu, bukan karena ia membencinya, tapi karena cahaya itu menyilaukan luka yang belum sembuh. Di atas meja, sebuah jurnal berwarna ungu menunggu. Sampulnya sedikit usang, ujungnya mulai mengelupas, tapi bagi Ji-Ho, itu adalah harta paling berharga yang tersisa. Jurnal milik Rose. Ia meraihnya dengan tangan gemetar, membuka halaman pertama yang penuh coretan kecil. Kata-kata Rose selalu sederhana, tapi membawa dunia yang hangat. Matanya berhenti pada satu kalimat. “Aku rindu… tapi aku harus pergi.” Napasnya tercekat. Kata-kata itu bagai pisau yang merobek luka lama, menghadirkan kembali momen kepergian yang tak ingin ia ingat. Ji-Ho menutup mata, membiarkan perih itu mengalir.
Manajer
Manajer
Ji-Ho, kapan kamu kembali? Jadwalmu sudah menumpuk.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Aku… butuh waktu.
Manajer
Manajer
Waktu untuk apa? Fans menunggumu, industri menunggumu. Jangan sia-siakan karirmu.
Ji-Ho, berbisik
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Mereka tidak mengerti… tak seorang pun mengerti.
Ji-Ho, menatap lilac di jendela
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Rose… aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu. Semua terasa kosong.
Ponsel di tangannya bergetar lagi, tapi ia tidak peduli. Kata-kata manajernya hanya menambah beban. Bagaimana mungkin ia bisa kembali berdiri di atas panggung ketika setiap langkah terasa seperti menginjak pecahan kaca? Ia menunduk, menatap kelopak lilac yang berserakan di lantai. Setiap helai tampak seperti potongan ingatan. Senyum Rose, tawa Rose, tatapan hangat yang selalu menenangkannya. Semua hadir kembali hanya untuk menyiksanya. Dalam benaknya, suara Rose masih bergema. Bukan hanya kata-kata terakhirnya, tapi juga hal-hal kecil: gumamannya saat membaca buku, nyanyiannya yang pelan ketika sedang menyusun bunga, bahkan caranya memanggil nama Ji-Ho dengan lembut. Semua itu kini hanya tinggal gema.
Roseanne Park
Roseanne Park
Janji, Ji-Ho… jangan pernah lupakan aku.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Aku tak akan… aku tak akan pernah melupakanmu.
Janji itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap berdiri. Namun semakin ia berpegang pada janji itu, semakin berat beban di pundaknya. Bagaimana bisa ia melupakan, ketika setiap benda di sekitarnya adalah pengingat? Bagaimana bisa ia melanjutkan hidup, ketika setiap langkah membawa kembali bayangan Rose? Hari-hari terasa monoton. Pagi, ia bangun hanya untuk menatap jendela. Siang, ia membaca jurnal Rose, berulang-ulang, seakan berharap kata-kata itu bisa berubah. Malam, ia berbaring di ranjang kosong, menunggu mimpi menghadirkan kembali sosok yang hilang. Tapi mimpi hanyalah pengkhianatan lain; ia terbangun dengan lebih banyak luka. Namun hari itu berbeda. Saat membuka jurnal di halaman tengah, matanya menangkap sesuatu yang sebelumnya terlewat. Sebuah catatan kecil tentang sebuah desa. Rose menyebutnya sebagai rumah damai—tempat di mana bunga-bunga bermekaran, sungai mengalir jernih, dan langit selalu biru. Ji-Ho menelusuri kata-kata itu dengan jemari. Ada getaran aneh di dadanya. Sebuah tarikan halus yang menyuruhnya pergi. Mungkin itu hanya ilusi, mungkin hanya usahanya mendekat pada Rose melalui kata-kata. Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya, ia merasa ada arah.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Desa… rumah damai? Apa itu tempat yang kau rindukan, Rose?
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Apakah aku bisa menemukannya?
Ia menutup jurnal dengan hati-hati, seperti takut merusak sesuatu yang rapuh. Pandangannya jatuh pada koper tua di pojok kamar. Sudah lama ia tidak menyentuhnya. Keputusan itu lahir begitu saja: ia harus pergi. Bukan kembali ke panggung, bukan ke keramaian, tapi ke desa yang pernah disebut Rose. Malam menjelang. Bulan menggantung di langit, memandikan kamar dengan cahaya pucat. Ji-Ho berdiri di balkon, menatap langit yang penuh bintang. Angin malam membawa aroma samar lilac terakhir.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Aku akan pergi, Rose. Ke desa yang kau tulis. Mungkin di sana aku bisa menemukanmu… atau setidaknya, menemukan diriku sendiri.
Hatinya masih berat, tapi untuk pertama kali sejak lama, ada langkah yang ingin ia ambil. Dengan gerakan pelan, ia mulai mengemasi beberapa barang. Baju secukupnya, jurnal Rose, dan secarik foto lama yang selalu ia simpan di dompet. Di antara keheningan, ia merasakan sesuatu yang asing. Harapan. Tipis, rapuh, tapi nyata. Seakan gugurnya lilac hari ini bukan hanya akhir, tapi juga tanda awal baru. Han Ji-Ho menutup koper, lalu duduk kembali di kursi dekat jendela. Pandangannya menyapu ruangan, mengingat setiap detail. Besok, ia akan pergi. Besok, ia akan meninggalkan kamar ini, meninggalkan lilac yang gugur, meninggalkan kota yang hanya memberinya luka. Namun ia tahu, ke mana pun ia pergi, Rose akan tetap bersamanya—dalam ingatan, dalam jurnal, dalam setiap napas yang ia hirup.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Tunggu aku, Rose. Aku akan mencari jejakmu di sana… meski hanya melalui bunga yang kau cintai.
Angin malam kembali berembus, menebarkan kelopak lilac terakhir ke lantai. Ji-Ho menatapnya, lalu memejamkan mata. Dalam sunyi, ia merasakan langkah barunya mulai terbentuk. Sebuah perjalanan baru menanti, dan meski ia belum tahu apa yang akan ia temukan, ia yakin satu hal: hidupnya tidak akan berhenti di sini.
BERSAMBUNG

Bab 2 – Rumah Damai

HAPPY READING
Kereta melaju meninggalkan kota, menembus lanskap yang perlahan berubah. Dari gedung-gedung tinggi yang penuh hiruk pikuk, kini pemandangan berganti dengan sawah hijau membentang, pepohonan yang berjajar tenang, dan langit biru yang lebih jernih. Han Ji-Ho duduk di dekat jendela, menatap dunia yang semakin asing baginya, namun justru memberi rasa lega. Perjalanan ini terasa berat sekaligus melegakan. Berat, karena ia meninggalkan segala yang sudah menjadi bagian dari hidupnya: panggung, musik, bahkan nama “Jimin” yang dulu dielu-elukan. Namun ada juga kelegaan, karena untuk pertama kalinya, ia melangkah tanpa beban sorotan kamera. Tidak ada yang mengenalinya di gerbong ini, tidak ada yang menuntut senyum atau sapaan. Ia hanyalah penumpang biasa, seorang pria dengan wajah letih dan mata yang dipenuhi bayangan masa lalu. Di pangkuannya, jurnal Rose tetap ia genggam. Sesekali ia membuka halaman demi halaman, membaca kembali deskripsi Rose tentang desa kecil itu. Kata-kata Rose penuh cinta, seolah desa itu adalah tempat yang bisa menyembuhkan segalanya. “Di sini, waktu berjalan lebih lambat. Orang-orang hidup dengan tenang, bunga bermekaran sepanjang musim, dan udara selalu terasa seperti pelukan. Jika suatu hari aku lelah dengan dunia, aku ingin kembali ke sini.” Ji-Ho menutup jurnal dengan hati-hati, menahan napas. Kata-kata itu bukan sekadar catatan biasa. Itu adalah undangan, panggilan dari masa lalu, yang kini membawanya ke tempat yang belum pernah ia kenal. Kereta berhenti di stasiun kecil. Ji-Ho turun dengan langkah hati-hati, menarik koper yang sederhana. Stasiun itu sepi, hanya beberapa orang yang menunggu atau menjemput. Udara desa langsung menyambutnya: sejuk, segar, dan berbeda dari kota yang penuh polusi. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan paru-parunya dipenuhi aroma tanah basah dan bunga liar yang tumbuh di sekitar jalur kereta. Perjalanan dari stasiun ke desa tidak jauh. Ji-Ho memutuskan berjalan kaki, membiarkan matanya menangkap setiap detail. Jalanan berlapis bebatuan kecil, rumah-rumah kayu dengan pagar rendah, anak-anak berlari sambil tertawa, dan suara burung yang bersahut-sahutan dari pepohonan. Semua itu terasa asing sekaligus menenangkan. Sampai akhirnya, matanya menangkap sebuah bangunan sederhana dengan papan kayu bertuliskan “Rumah Aroma”. Di depannya, berbagai pot bunga berjejer rapi, menampilkan warna-warni yang memikat. Aroma segar bunga mawar, melati, dan lavender bercampur dengan harum lembut lilac yang familiar. Ji-Ho berhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat. Aroma lilac itu seolah membawa kembali Rose, namun dengan cara yang berbeda. Bukan luka, melainkan kehangatan samar. Ia berdiri cukup lama, menatap toko bunga itu, sebelum akhirnya mendorong pintu kayu yang bergemerincing lembut oleh lonceng kecil di atasnya.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Selamat datang di Rumah Aroma.
Ji-Ho tertegun, suaranya tercekat. Di hadapannya berdiri seorang perempuan dengan wajah lembut, rambut hitam sebahu, dan mata hangat. Ada sesuatu pada dirinya yang membuat napas Ji-Ho tertahan—sebuah kemiripan mencolok dengan Rose.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Aku…
Seo Yoon-Ah, tersenyum
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Anda mencari bunga tertentu? Atau hanya ingin melihat-lihat?
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Lilac.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Lilac… bunga yang cukup jarang dicari orang, tapi sangat indah. Anda menyukainya?
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Seseorang yang kucintai… menyukainya.
Seo Yoon-Ah, menunduk sebentar
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Ah… begitu. Lilac memang istimewa. Aromanya lembut, tapi punya daya tahan luar biasa.
Ji-Ho merasa dadanya bergetar. Kata-kata itu sederhana, tapi seperti ditujukan langsung pada lukanya. Perempuan itu—Seo Yoon-Ah, menurut papan nama kecil di meja kasir—bukan hanya mirip Rose secara fisik, tapi juga memiliki aura yang sama. Lembut, hangat, dan penuh cinta pada dunia kecil di sekitarnya. Ia mengamati gerakan Yoon-Ah saat mengambil seikat lilac dari rak. Tangannya halus, gerakannya tenang, seakan setiap kelopak bunga adalah sesuatu yang harus dihargai. Ji-Ho teringat bagaimana Rose dulu memperlakukan bunga dengan cara yang sama, penuh kelembutan.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Ini lilac segar yang baru dipotong pagi tadi. Apakah Anda ingin saya mengikatkannya menjadi buket?
Ji-Ho, masih tertegun
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Ya… tolong.
Seo Yoon-Ah, sambil merapikan lilac
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Pertama kali saya melihat seseorang begitu serius memandang lilac. Biasanya orang lebih memilih mawar atau tulip.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Lilac… punya kenangan tersendiri untukku.
Seo Yoon-Ah, menatap sekilas dengan lembut
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Kenangan… indah atau menyakitkan?
Ji-Ho terdiam. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata itu seperti macet di tenggorokannya.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Keduanya.
Seo Yoon-Ah, tersenyum tipis
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Begitulah bunga. Mereka menyimpan cerita, baik yang indah maupun yang perih.
Saat menerima buket lilac itu, Ji-Ho merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Kehangatan. Bukan karena bunga itu sendiri, tapi karena cara Yoon-Ah menyusunnya, cara ia memandang bunga seperti makhluk hidup. Hatinya berdesir, tapi juga bingung. Bagaimana mungkin ia menemukan seseorang yang begitu mirip dengan Rose di tempat ini? Apakah ini hanya kebetulan, atau semacam takdir yang disembunyikan waktu? Ji-Ho membayar bunga itu, tapi tidak langsung pergi. Matanya masih terpaku pada toko ini, pada perempuan yang berdiri di balik meja dengan senyum yang terasa familiar.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Apakah Anda baru datang ke desa ini?
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Ya. Baru saja.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Kalau begitu, selamat datang. Desa ini kecil, tapi… banyak orang datang ke sini untuk mencari ketenangan.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Itu yang kucari.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Saya mengerti.
Jeda hening. Ji-Ho ingin bertanya banyak hal—tentang Yoon-Ah, tentang toko ini, bahkan tentang mengapa ia begitu mirip Rose—tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya mengangguk pelan.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Terima kasih… untuk lilac ini.
Seo Yoon-Ah, tersenyum hangat
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Sama-sama. Datanglah lagi kapan pun Anda ingin. Rumah Aroma selalu terbuka.
Ji-Ho melangkah keluar dari toko dengan hati yang berdebar. Di tangannya, buket lilac seakan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia berjalan menyusuri jalan desa, membiarkan angin sore meniup wajahnya. Untuk pertama kali sejak lama, ia merasa sesuatu dalam dirinya bergeser. Luka itu masih ada, tapi ada juga percikan kecil—sebuah kemungkinan untuk sembuh. Ia berhenti di tepi sungai kecil yang mengalir di tengah desa. Buket lilac didekapnya erat. Di dalam hati, ia berbisik kepada Rose.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Rose… aku menemukan seseorang. Dia mirip denganmu. Sangat mirip. Tapi aku tahu, dia bukan dirimu.
Ji-Ho, suara bergetar
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Apa ini kebetulan, atau kau yang membimbingku ke sini?
Air sungai berkilau diterpa cahaya senja, menciptakan pantulan cahaya yang menenangkan. Ji-Ho menutup mata, merasakan hembusan angin, aroma bunga, dan gema kata-kata Yoon-Ah yang masih terpatri di telinganya. “Bunga menyimpan cerita, baik yang indah maupun yang perih.” Untuk pertama kalinya sejak Rose pergi, Ji-Ho merasakan sesuatu yang samar namun nyata: harapan.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Mungkin… di desa ini, aku akan belajar bernapas lagi.
Langit perlahan gelap, dan lampu-lampu rumah mulai menyala. Ji-Ho kembali melangkah, membawa buket lilac di tangannya. Ia tidak tahu apa yang menantinya esok hari. Namun satu hal pasti: perjalanan penyembuhan telah dimulai, dan Seo Yoon-Ah—perempuan dengan senyum lembut di toko bunga—akan menjadi bagian penting dalam cerita itu.
BERSAMBUNG

Bab 3 – Aroma yang Tertinggal

HAPPY READING
Sore menjelang malam ketika Han Ji-Ho menyusuri jalan desa yang semakin lengang. Lampu-lampu kecil mulai menyala di beranda rumah, menerangi jalan berbatu dengan cahaya kuning temaram. Di tangannya masih tergenggam buket lilac dari Rumah Aroma. Sesekali ia menunduk, mencium aroma bunga itu, seolah mencari ketenangan dalam setiap helai kelopaknya. Ia berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana dengan papan kecil bertuliskan “Penginapan Hanok Damai”. Dari luar terlihat hangat: dinding kayu dipoles rapi, atap genting tradisional, dan taman kecil di depannya dengan lampu gantung berbentuk lentera kertas. Ji-Ho mengetuk pelan pintunya.
Ibu Kang (pemilik penginapan)
Ibu Kang (pemilik penginapan)
Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Selamat malam… saya mencari kamar untuk menginap.
Ibu Kang (pemilik penginapan)
Ibu Kang (pemilik penginapan)
Oh, tentu. Silakan masuk. Anda beruntung, kami masih punya kamar kosong.
Ji-Ho mengikuti langkah pemilik penginapan, seorang perempuan paruh baya dengan senyum tulus. Interior penginapan terasa hangat, lantai kayu mengkilap, bau teh herbal memenuhi udara. Ia ditunjukkan sebuah kamar kecil dengan futon, meja rendah, dan jendela yang menghadap ke kebun bunga sederhana. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ji-Ho merasa tenang. Tidak ada suara klakson, tidak ada kamera, tidak ada teriakan penggemar. Hanya hening, ditemani bunyi jangkrik dan aroma tanah basah. Ia duduk di dekat jendela, memandang ke luar. Buket lilac ia letakkan di meja, seolah menjadi penjaga setia.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Rose… aku sudah sampai di tempat yang kau tulis. Desa ini benar-benar seperti yang kau gambarkan. Damai. Hangat. Tapi… tanpa dirimu, semua ini terasa berbeda.
Ji-Ho, suaranya pecah
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Aku merindukanmu. Setiap hari, setiap malam. Aku mencoba melupakan, tapi kenanganmu menempel di setiap helai rambutku, setiap detak jantungku.
Air mata mengalir tanpa ia sadari. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, membiarkan isak tertahan pecah dalam hening. Di luar, angin malam berhembus, membawa aroma bunga yang samar. Malam itu Ji-Ho tidur dengan lelah, buket lilac tetap tergeletak di meja, menjadi saksi bisu kerinduannya. --- Matahari menembus celah jendela, membangunkan Ji-Ho dengan hangat. Suara ayam berkokok, anak-anak berlarian di jalan, dan denting panci dari dapur penginapan memberi suasana yang berbeda dari kehidupan kota. Ji-Ho bangkit, mencuci wajah, dan menatap pantulan dirinya di cermin kecil. Wajah itu tampak letih, namun ada cahaya samar yang mulai muncul di matanya. Ia memutuskan keluar, membawa langkahnya kembali ke toko bunga yang kemarin membuatnya berhenti. Rumah Aroma. --- Begitu masuk, suara lonceng kecil kembali menyambut. Aroma bunga langsung memenuhi udara: mawar, melati, lavender, dan tentu saja lilac. Seo Yoon-Ah sedang merapikan pot bunga di sudut ruangan. Saat melihat Ji-Ho, ia tersenyum tipis.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Selamat pagi. Anda datang lagi.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Ya. Lilac yang kemarin… masih segar. Jadi aku ingin… melihat lebih banyak.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Lilac memang bertahan lama jika dirawat dengan benar. Anda merawatnya?
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Aku mencoba.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Bunga itu seperti hati manusia. Jika diperlakukan dengan lembut, mereka akan bertahan lebih lama.
Ji-Ho terdiam, kata-kata itu menusuk hatinya.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Kau… selalu bicara seperti bunga itu hidup.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Karena mereka memang hidup. Setiap bunga punya cara sendiri untuk bercerita.
Ji-Ho memperhatikan wajah Yoon-Ah. Ada ketulusan dalam matanya, ketulusan yang membuat Ji-Ho gelisah sekaligus terhibur. Wajah itu, cara bicara itu, begitu mengingatkannya pada Rose. Tapi ia tahu, Yoon-Ah bukan Rose.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Kau… sudah lama membuka toko ini?
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Ya, sekitar tiga tahun. Toko ini dulu milik kakakku… tapi sekarang aku yang melanjutkannya.
(Ji-Ho menoleh cepat. Hatinya bergetar. Ada sesuatu di balik kata-kata itu—entah luka, entah kerinduan. Wajah Yoon-Ah berubah sejenak, namun ia cepat menyembunyikannya dengan senyum.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Kau… kehilangan seseorang?
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Ya.
Hening panjang. Keduanya sama-sama tenggelam dalam bayangan kehilangan.
Bagi Ji-Ho, keheningan itu terasa seperti cermin. Ia melihat dirinya sendiri dalam Yoon-Ah: seseorang yang masih belajar bernapas setelah kehilangan. Untuk pertama kali, ia merasa tidak sendirian. Mereka berbincang lebih lama—tentang bunga, desa, dan kehidupan sederhana. Ji-Ho mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sementara Yoon-Ah bercerita dengan kelembutan yang menenangkan. Ketika matahari mulai condong, Ji-Ho akhirnya berpamitan.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Terima kasih sudah datang. Anda selalu bisa kembali kapan pun ingin.
Han Ji-Ho
Han Ji-Ho
Mungkin aku akan sering datang.
Seo Yoon-Ah
Seo Yoon-Ah
Kalau begitu, aku akan menyiapkan lebih banyak lilac.
Ji-Ho melangkah keluar dari Rumah Aroma dengan hati yang lebih ringan. Untuk pertama kali sejak lama, ia tersenyum tipis—sebuah senyum yang bahkan ia sendiri hampir lupa. Di desa ini, bersama Yoon-Ah, perlahan luka itu mulai menemukan tempat untuk sembuh.
BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!