Kereta melaju meninggalkan kota, menembus lanskap yang perlahan berubah. Dari gedung-gedung tinggi yang penuh hiruk pikuk, kini pemandangan berganti dengan sawah hijau membentang, pepohonan yang berjajar tenang, dan langit biru yang lebih jernih. Han Ji-Ho duduk di dekat jendela, menatap dunia yang semakin asing baginya, namun justru memberi rasa lega.
Perjalanan ini terasa berat sekaligus melegakan. Berat, karena ia meninggalkan segala yang sudah menjadi bagian dari hidupnya: panggung, musik, bahkan nama “Jimin” yang dulu dielu-elukan. Namun ada juga kelegaan, karena untuk pertama kalinya, ia melangkah tanpa beban sorotan kamera. Tidak ada yang mengenalinya di gerbong ini, tidak ada yang menuntut senyum atau sapaan. Ia hanyalah penumpang biasa, seorang pria dengan wajah letih dan mata yang dipenuhi bayangan masa lalu.
Di pangkuannya, jurnal Rose tetap ia genggam. Sesekali ia membuka halaman demi halaman, membaca kembali deskripsi Rose tentang desa kecil itu. Kata-kata Rose penuh cinta, seolah desa itu adalah tempat yang bisa menyembuhkan segalanya.
“Di sini, waktu berjalan lebih lambat. Orang-orang hidup dengan tenang, bunga bermekaran sepanjang musim, dan udara selalu terasa seperti pelukan. Jika suatu hari aku lelah dengan dunia, aku ingin kembali ke sini.”
Ji-Ho menutup jurnal dengan hati-hati, menahan napas. Kata-kata itu bukan sekadar catatan biasa. Itu adalah undangan, panggilan dari masa lalu, yang kini membawanya ke tempat yang belum pernah ia kenal.
Kereta berhenti di stasiun kecil. Ji-Ho turun dengan langkah hati-hati, menarik koper yang sederhana. Stasiun itu sepi, hanya beberapa orang yang menunggu atau menjemput. Udara desa langsung menyambutnya: sejuk, segar, dan berbeda dari kota yang penuh polusi. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan paru-parunya dipenuhi aroma tanah basah dan bunga liar yang tumbuh di sekitar jalur kereta.
Perjalanan dari stasiun ke desa tidak jauh. Ji-Ho memutuskan berjalan kaki, membiarkan matanya menangkap setiap detail. Jalanan berlapis bebatuan kecil, rumah-rumah kayu dengan pagar rendah, anak-anak berlari sambil tertawa, dan suara burung yang bersahut-sahutan dari pepohonan. Semua itu terasa asing sekaligus menenangkan.
Sampai akhirnya, matanya menangkap sebuah bangunan sederhana dengan papan kayu bertuliskan “Rumah Aroma”. Di depannya, berbagai pot bunga berjejer rapi, menampilkan warna-warni yang memikat. Aroma segar bunga mawar, melati, dan lavender bercampur dengan harum lembut lilac yang familiar.
Ji-Ho berhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat. Aroma lilac itu seolah membawa kembali Rose, namun dengan cara yang berbeda. Bukan luka, melainkan kehangatan samar. Ia berdiri cukup lama, menatap toko bunga itu, sebelum akhirnya mendorong pintu kayu yang bergemerincing lembut oleh lonceng kecil di atasnya.