Perkenalkan namaku Puri Indraswari dan sahabatku sering memanggilku dengan sebutan "Pho"
Saat ini aku sedang berada di kantin hapus untuk menunggu jam masuk kuliah.
Bukannya aku tidak mau lekas masuk ke kelas, tetapi saat ini banyak sekali pikiran yang menggangguku apalagi kalau tentang Mama.
Disaat sedang melamun tiba-tiba Yardani menepuk pundak Puri
"Pho, nggak masuk kelas? Pak Sasongko sudah melangkahkan kakinya menuju kelas," ucap Yardani Kakak senior ku.
Puri yang mendengarnya langsung segera berlari menuju ke kelas.
Ia tidak mau jika Pak Sasongko sekaligus Om nya mengetahui kalau ia terlambat.
"Lebih baik aku cari jalan pintas, "
Untuk cepat sampai ke kelas sebelum Om melihatku." pikir Puri sambil mempercepat langkahnya melewati lorong belakang gedung.
Ia menyusuri jalur sempit yang jarang dipakai mahasiswa lain, melewati deretan ruang laboratorium yang sepi.
Sesekali ia harus menunduk menghindari jemuran jas lab yang digantung sembarangan.
“Napas... napas… ayo Pho, kamu bisa,” gumamnya sambil menggenggam erat map berisi tugas makalah yang belum sempat dikumpulkan.
Begitu sampai di depan pintu kelas, Puri menarik napas panjang.
Ia merapikan rambutnya sejenak, lalu mengetuk pintu dengan hati-hati.
Puri membuka pintu kelas perlahan, berharap bisa menyelinap tanpa menarik perhatian.
Namun harapannya pupus ketika suara Pak Sasongko menggema tegas,
“Puri Indraswari. Sudah jam berapa ini?!”
Seluruh kelas langsung menoleh. Beberapa mahasiswa tampak menahan tawa, terutama geng "Sahabat Satu Tugas" yang duduk di pojok belakang.
Salah satu dari mereka, Mia bahkan berbisik cukup keras,
“Wah, keponakan dosen kok telat, ya?”
Puri menunduk, pipinya panas. “Maaf, Pak,” ucapnya sambil berjalan ke bangkunya. Tapi belum sempat duduk, Pak Sasongko melanjutkan.
“Keponakan saya atau bukan, semua mahasiswa saya perlakukan sama. Kalau kamu telat lagi, saya nilai tugasmu nol,”
Setelah Puri duduk, sebuah catatan kecil disodorkan dari bangku belakang. Isinya:
Puri hanya bisa menarik napas panjang saat membaca pesan dari Yudha.
Kampus bukan hanya tempat belajar, tapi juga panggung drama yang kadang terlalu nyata.
Puri akhirnya duduk di kursinya, berusaha menenangkan diri.
Ia membuka buku catatannya dan mulai mencoret-coret topik yang sempat ia pelajari semalam: Kelistrikan Otomotif — Sistem Pengisian dan Starter.
Pak Sasongko berdiri di depan kelas sambil menulis di papan tulis,
“Alternator, Regulator Tegangan, dan Aki — tiga komponen utama sistem pengisian,”
Suara beliau tegas dan jelas, tapi bagi Puri, tetap terasa dingin. Ia tahu Pak Sasongko tidak akan memberikan perlakuan istimewa padanya meski mereka masih satu keluarga.
"Jika arus dari alternator tidak stabil, apa yang terjadi dengan aki?" tanya Pak Sasongko tiba-tiba, matanya menyapu seluruh kelas — lalu berhenti pada Puri.
Beberapa mahasiswa langsung menoleh ke arahnya, menanti apakah dia bisa menjawab atau justru makin tenggelam dalam malu.
Dengan suara ragu tapi jelas, Puri menjawab, “Aki bisa overcharge, Pak ... atau bahkan rusak karena tegangan berlebih,"
Pak Sasongko mengangguk tipis. “Benar. Tapi awas, jangan cuma pintar teori. Kalian akan praktik langsung minggu depan,"
Kelas kembali tenang. Tapi bagi Puri, ketenangan itu semu — karena Yudha mengirim catatan lagi, kali ini dengan gambar kecil karikatur Puri pakai jubah superhero bertuliskan “PHO-wer Charge.”
Setelah lonceng tanda akhir kelas berbunyi, para mahasiswa segera beranjak keluar.
Puri hendak ikut keluar ketika suara khas Pak Sasongko memanggil dari depan kelas,
“Puri, ikut ke ruangan sebentar,"
Beberapa teman sekelas melirik, sebagian penasaran, sebagian menyindir dengan tatapan. Puri menunduk, mengikuti Pak Sasongko menuju ruang dosen.
Begitu pintu tertutup, suasana langsung berubah tenang.
Pak Sasongko duduk, menatap keponakannya dengan serius.
“Kenapa kamu terlambat tadi pagi?”
Puri menarik napas dalam, lalu menjawab jujur, “Tadi Puri di kantin, Om. Bukan nongkrong… tapi lagi mikir, apa bisa cari uang tambahan,"
Pak Sasongko mengernyit. “Untuk apa? Bukankah semua biaya kuliah kamu Om yang tanggung? Uang jajan juga cukup, kan?”
Puri menatap ke bawah. “Puri pengin bantu Mama, Om. Listrik di rumah hampir diputus. Mama bilang tunggu akhir bulan, tapi… Puri nggak tega,”
Hening sejenak. Pak Sasongko merogoh dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu menyodorkannya ke Puri.
“Ini. Berikan ke Mama kamu. Tapi jangan bilang dari Om. Bilang saja kamu dapat dari lomba atau semacamnya,"
Puri tertegun, matanya mulai berkaca-kaca.
“Tapi Om ...,”
“Tidak usah banyak alasan. Kamu itu tanggung jawab Om. Tugasmu sekarang cuma satu—belajar yang benar dan jangan pernah telat lagi. Paham?”
Puri mengangguk pelan, menggenggam uang itu erat, seakan ikut menggenggam harapan Mamanya.
Hujan mengguyur deras saat Puri menerobos jalanan dengan motornya.
Jaketnya basah, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal: segera sampai di rumah dan memberikan uang itu kepada Mama.
Namun, di pertigaan jalan dekat perumahan tua, matanya menangkap sesuatu—seorang lelaki berdiri di sisi jalan dengan payung setengah miring, terlihat kebingungan sambil membuka kap mobil.
Puri memutuskan untuk berhenti, meminggirkan motornya walau hujan makin deras. Ia menghampiri lelaki itu tanpa ragu.
“Mobilnya kenapa, Mas?” tanyanya sambil menyeka wajah dari air hujan.
Lelaki itu sedikit terkejut, tapi segera menjawab,
“Tiba-tiba mogok. Kayaknya kabel businya bermasalah, tapi saya nggak yakin ...,"
Puri tersenyum kecil. “Boleh saya lihat?”
Ia membuka kap mobil sepenuhnya, mengamati sambungan kabel, dan mulai mengutak-atik beberapa bagian dengan hati-hati.
Meski hujan membasahi bajunya, tangannya tetap cekatan—ilmu dari kelas Pak Sasongko pagi tadi membantunya.
“Nyalakan sekarang,” ucapnya setelah beberapa menit.
Lelaki itu masuk ke mobil dan memutar kunci. Seketika, suara mesin meraung lembut, menandakan mobil hidup kembali.
Lelaki itu keluar dengan wajah lega. “Wah, hebat banget! Terima kasih, Mbak… Nama saya Karan,”
Puri tersenyum, menyodorkan tangan. “Saya Puri,"
Keduanya berjabat tangan di bawah guyuran hujan, seperti awal dari sesuatu yang belum mereka sadari.
Setelah berpamitan dengan Karan, Puri kembali menyalakan motornya dan melaju menembus hujan.
Meski bajunya basah kuyup dan tubuhnya mulai menggigil, ada rasa hangat di hatinya—karena hari ini, meski penuh tekanan, ia merasa berguna.
Lima belas menit kemudian, Puri tiba di rumah kecil mereka yang sederhana.
Ia memarkirkan motor di bawah atap seng depan, lalu berlari kecil masuk ke dalam.
Melihat putrinya dalam keadaan basah kuyup, Mama Wiwik langsung mengelus bahunya penuh sayang.
“Anak Mama, kenapa tidak mau berteduh dulu?” ucapnya lembut, sedikit khawatir.
Puri hanya tertawa kecil, “Hehe, nanti malah makin telat pulangnya, Ma.”
Tanpa banyak bicara, ia segera menuju kamar mandi untuk menghangatkan badan. Dari balik pintu, suaranya terdengar,
“Ma, nanti setelah mandi, Puri mau ngobrol ya... ada sesuatu buat Mama,"
Mama Wiwik mengangguk, meski Puri tak melihatnya.
Di wajahnya tersirat penasaran, bercampur haru.
Ia tak tahu bahwa dalam beberapa menit ke depan, air mata yang jatuh bukan karena hujan, tapi karena ketulusan seorang anak.
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian hangat, Puri berjalan pelang menuju ruang tengah, rambut Puri yang masih masih basa tergerai bebas, sedangkan tangannya menggenggam sebuah amplop berisi uang yang diberikan oleh Pak Sasongko tadi siang.
Di ruang tengah, Mama Wiwik terlihat sibuk melihat baju cucian yang sudah kering, Puri segera duduknya di samping lalu ikut membantu.
Menyadari kehadiran Puri Mama Wiwik pun tersenyum lembut menyembunyikan kelemahan dibalik senyumannya.
"Ma..." panggil Puri lembut.
Mama Wiwik pun menoleh."Iya Nak," sahutnya lembut.
Puri membuka tasnya perlahan, mengeluarkan amplop putih, dan menyodorkannya.
“Ini ada uang sedikit dari Puri… Tadi Puri dapat arisan,"
Ia terpaksa berbohong, meski hatinya berat. Ia tahu, kalau ia bilang uang itu dari Om Sasongko, Mama pasti akan menolak.
Mama Wiwik menatap amplop itu, lalu memandang Puri dengan mata berkaca-kaca.
“Puri… kamu ikut arisan dari mana, Nak? Kan kamu masih kuliah ...”
Puri mengangguk cepat sambil tersenyum, menutupi rasa bersalahnya.
“Iya, Ma. Sama teman-teman kampus. Lumayan, bisa buat bantu-bantu dikit,” ujar Puri.
Mama Wiwik akhirnya menerima amplop itu dengan tangan gemetar.
Ia tidak berkata apa-apa lagi, hanya memeluk Puri erat, membiarkan air matanya jatuh di bahu anaknya.
Puri balas memeluk, dalam hati berdoa agar kelak ia bisa memberi lebih… tanpa harus berbohong.
Setelah pelukan hangat itu, Mama Wiwik mengusap air matanya dan berdiri perlahan.
Ia mencoba menyembunyikan haru di wajahnya dengan senyum kecil.
“Ayo makan dulu, Nak… Mama masak sayur asem, empal daging, sama sambal kesukaanmu,” ucapnya sambil berjalan ke dapur.
Mata Puri langsung berbinar. “Wah, serius, Ma? Udah lama banget Puri nggak makan empal daging buatan Mama!”
Tak lama kemudian, mereka berdua duduk bersila di ruang makan kecil yang sederhana namun penuh kehangatan.
Uap dari sayur asem mengepul lembut, aroma segar daun salam dan asam jawa bercampur dengan gurihnya empal daging yang digoreng kecoklatan. Sambal terasi buatan Mama yang selalu jadi favorit Puri tersaji di cobek batu kecil.
Puri menyuap nasi hangat bersama sambal dan empal, lalu menutup mata sejenak.
“Enak banget, Ma… kayak obat buat hati yang capek.”
Mama Wiwik tertawa pelan, “Ya ampun, lebay kamu. Tapi Mama senang kalau kamu suka.”
Di tengah kesederhanaan itu, tawa kecil dan percakapan hangat mengisi malam mereka.
Untuk sesaat, dunia luar terasa jauh dan yang ada hanya Puri dan Mama, dalam rumah kecil penuh cinta.
Setelah selesai makan malam yang hangat, Puri kembali ke kamarnya dengan perut kenyang dan hati lega.
Ia membuka kembali catatan kuliahnya tentang sistem pengisian listrik mobil yang sempat ia perbaiki siang tadi.
Lampu meja menyala temaram, suara hujan mulai reda di luar.
Puri mulai fokus membaca, menandai bagian penting dengan stabilo warna kuning.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu rumah. Tok tok tok.
Puri sempat terdiam, bingung siapa yang datang malam-malam begini.
Mama Wiwik yang masih merapikan dapur segera berjalan ke pintu dan membukanya.
Di luar berdiri seorang pemuda tinggi dengan jaket jeans, rambut sedikit acak, dan senyum yang khas—Yudha, teman kampus Puri yang diam-diam cukup dekat dengannya.
“Permisi, Tante. Maaf ganggu malam-malam. Saya mau ketemu Puri… ajak nonton film, kalau boleh.”
Mama Wiwik terkejut sebentar, tapi segera tersenyum ramah.
“Oh, Yudha ya? Tunggu sebentar.”
Mama memanggil Puri dari balik pintu kamar. “Nak, itu Yudha datang. Katanya mau ajak kamu nonton.”
Puri buru-buru keluar dari kamar, masih memegang pulpen di tangannya. Matanya membesar saat melihat Yudha.
Yudha melambaikan tiket dari tangannya. “Masih ada tayangan terakhir, mau ikut?”
Puri menatap Mama, seolah minta izin tanpa bicara. Mama Wiwik hanya tersenyum dan mengangguk.
“Pergi aja, tapi jangan pulang larut ya.”
Puri tersenyum lebar. “Iya, Ma. Makasih.”
Dan malam itu, setelah hari yang melelahkan, Puri akhirnya melangkah keluar lagi dan kali ini bukan untuk tugas, bukan karena tanggung jawab, tapi sekadar menikmati waktu muda… dan mungkin, sesuatu yang lebih dari sekadar film.
Suasana bioskop malam itu hangat dan ramai. Lampu-lampu neon memantul di lantai marmer, bau popcorn memenuhi udara.
Puri dan Yudha duduk berdampingan di bangku deretan tengah cukup sepi, memberi ruang bagi obrolan yang tak hanya soal film.
Selama film diputar, Yudha beberapa kali mencuri pandang ke arah Puri.
Senyumnya gugup, tangannya menggenggam secarik kertas kecil draft ucapan cintanya yang sudah ia susun berhari-hari.
Setelah film berakhir dan penonton mulai beranjak, mereka berjalan pelan ke luar.
Hujan sudah reda, malam terasa damai. Yudha memberanikan diri membuka percakapan.
“Puri…” ucapnya pelan, menoleh padanya.
Puri menatap Yudha, sedikit heran dengan raut wajah seriusnya.
“Aku… sebenarnya udah lama mau bilang ini…” Yudha menelan ludah, lalu tersenyum kikuk.
“Aku suka sama kamu, Puri. Bukan cuma karena kita sering bareng, tapi karena kamu…”
Bzzzzt…
Suara ponsel Yudha tiba-tiba berdering keras.
Ia melihat layarnya dan wajahnya langsung berubah panik.
“Astaga… ini dari rumah. Maaf, Puri, aku harus pulang sekarang. Ini darurat…”
Puri mengangguk, kecewa tapi memahami. Yudha buru-buru membuka dompet dan menyerahkan beberapa lembar uang.
“Ini, naik taksi aja, ya. Jangan pulang jalan kaki. Maaf banget…”
Yudha berlari ke arah parkiran, sementara Puri berdiri terpaku.
Ia memutuskan berjalan ke arah luar mal, menunggu taksi di pinggir jalan.
Tapi malam mulai sepi, dan kendaraan makin jarang lewat.
Saat sedang berjalan melewati gang dekat pertokoan yang tutup, tiga pria tak dikenal mulai mengikuti Puri.
Salah satu dari mereka bersiul mengejek, yang lain menyuruh Puri berhenti.
“Hai, cantik… malam-malam begini sendirian aja?”
Puri mulai panik, mempercepat langkah, tapi mereka malah mengejarnya.
Tiba-tiba suara motor terdengar dari kejauhan. Seorang pria berhenti dengan cepat di depan mereka.
Dengan wajah serius, Karan turun dari motor. “Ada masalah di sini?”
Para preman itu terdiam, melihat postur Karan yang tenang tapi tegas.
Salah satunya berbisik, “Udah, cabut aja… ribet urusan beginian.”
Mereka pergi, meninggalkan Puri yang masih gemetar. Karan mendekat, menatapnya penuh kekhawatiran.
“Kamu nggak apa-apa?”
Puri mengangguk pelan, masih terkejut.
“Terima kasih"
"Bukankah kamu Puri yang menolongku tadi?"
Puri mendongakkan kepalanya dan menatap wajah lelaki yang mobilnya mogok.
"M-mas Karan .... "
Karan menganggukkan kepalanya dan ia sangat senang bisa bertemu lagi dengan Puri.
"Kenapa kamu ada disini?" tanya Karan.
"A-aku mau pulang ke rumah tetapi tidak ada taksi yang lewat." jawab Puri.
Karan menawarkan helm cadangan. “Ayo, aku antar pulang. Ini bukan jam yang aman buat jalan sendiri.”
Suara mesin motor kembali menderu pelan saat Karan mengajaknya naik.
Tangannya yang hangat menggenggam tangan Puri sejenak sebelum membantunya naik ke boncengan.
Saat tangan Karan menyentuh pinggangnya untuk memastikan ia duduk dengan aman, jantung Puri berdetak tak karuan.
Ia bahkan bisa merasakan pipinya memanas, meski udara malam terasa dingin menusuk kulit.
“Pegangan yang kuat, ya. Jalannya agak berlubang,” ucap Karan lembut, namun tegas.
Puri mengangguk pelan dan memeluk pinggang Karan dengan ragu.
Detik itu juga, ada sesuatu yang asing tapi nyaman seperti perlindungan yang tak pernah ia sangka datang dari pria yang baru saja dikenalnya.
Motor melaju pelan, menembus dinginnya malam kota.
Lampu-lampu jalan menciptakan bayangan yang terus berganti di wajah mereka.
Setelah beberapa menit, Karan memperlambat laju motor dan berhenti di sebuah warung tenda pinggir jalan yang masih buka.
“Aku belum makan malam. Temani aku sebentar, ya?” katanya sambil menoleh ke belakang.
Puri yang masih sedikit canggung hanya menjawab singkat,
“I-iya, Mas,”
Karan lekas memesan nasi goreng, mie goreng dan dua gelas teh panas.
Karan tersenyum kecil, lalu menyesap teh hangat yang baru saja dihidangkan pelayan.
Uapnya mengepul pelan, seperti malam yang sejenak berhenti berlari.
"Kerja di mana, Mas?" tanya Puri pelan, matanya menatap gelas teh miliknya, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang belum sepenuhnya reda.
"Di mitra BUMN ," jawab Karan, santai. "Tapi kadang juga ambil kerja sampingan antar barang. Lumayan, buat tambah-tambah."
Puri mengangguk, tampak kagum. "Capek dong, Mas, kerja terus?"
Karan tertawa pelan. "Capek, iya. Tapi aku suka. Soalnya aku ngerjain yang aku ngerti dan suka. Lagian, kalau ada yang harus dikejar, capeknya jadi nggak terlalu kerasa."
"Yang dikejar?" Puri menoleh, sedikit bingung.
Tatapan Karan berpaut sebentar pada matanya.
“Mimpi. Dan kadang... orang yang bikin mimpi itu makin berarti.”
Puri tercekat sejenak. Entah kenapa, kata-kata itu menampar hatinya dengan lembut—seolah ada makna yang lebih dari sekadar obrolan warung malam hari.
Untunglah, makanan datang tepat waktu memecah suasana.
Puri tersenyum canggung saat pelayan meletakkan piring di hadapan mereka.
Karan buru-buru membuka sendok dan menggeser piring mie goreng ke arahnya.
"Makan, biar nggak masuk angin," ucapnya.
"Terima kasih, Mas," gumam Puri.
Malam terus bergulir, ditemani obrolan ringan dan tawa kecil yang perlahan mencairkan kecanggungan.
Di bawah lampu temaram warung tenda, dua hati yang baru bertemu itu mulai menemukan irama yang sama.
Setelah selesai makan, Karan merapikan sisa-sisa makanan di atas meja dan memanggil pelayan untuk membayar.
Puri yang sedari tadi memperhatikan, buru-buru berkata,
“Biar aku aja yang bayar, Mas. Kan aku diajak.”
Karan hanya mengangkat alis dan menatapnya sambil tersenyum.
“Enggak usah, Pur. Anggap aja ini malam traktiran pertama. Nanti kamu bisa balas kalau kita makan bareng lagi,”
Puri hanya bisa tersenyum, tak membalas apa-apa. Tapi hatinya berdesir.
Kalimat itu… "kalau kita makan bareng lagi"—seolah mengisyaratkan bahwa ini bukan pertemuan terakhir mereka.
Setelah membayar, Karan berdiri dan menatap langit malam sejenak.
“Langitnya cerah, ya. Padahal dingin begini, biasanya mendung.”
Puri ikut menatap ke atas. “Iya… kayak tenang banget. Tapi tetap dingin.”
“Kalau dingin, peluk aja yang bikin hangat,” seloroh Karan pelan, lalu menatap Puri yang langsung menunduk malu.
“Ayo, aku antar pulang,” lanjutnya, kali ini dengan nada lebih lembut.
Mereka kembali ke motor. Saat Puri naik ke boncengan, ia merasa tangannya sudah lebih ringan memeluk pinggang Karan.
Tidak seperti tadi, seolah malam itu telah mencairkan jarak yang sebelumnya tak terlihat.
Sepanjang jalan pulang, tak banyak kata yang terucap.
Tapi dalam diam, ada rasa yang tumbuh perlahan. Sebuah kenyamanan yang sulit dijelaskan.
Dan ketika motor akhirnya berhenti di depan rumah Puri, ia hampir tak rela malam itu usai begitu saja.
“Terima kasih, Mas. Untuk semuanya,” ucap Puri sambil turun dari motor.
Karan menatapnya sebentar, lalu berkata, “Kalau butuh sesuatu… atau cuma mau ngobrol, hubungi aku aja, ya?”
Puri mengangguk, lalu melangkah masuk. Tapi sebelum menutup pagar, ia menoleh sekali lagi.
Karan masih berdiri di sana, di atas motor, menatapnya dengan senyum kecil yang sulit dilupakan.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Puri tidur dengan senyum yang tak bisa ia tahan.
Puri masuk ke rumah perlahan, memastikan tak membuat suara.
Ia melihat sang mama yang sudah tertidur pulas di sofa, televisi masih menyala dengan volume kecil. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
Ia segera mematikan televisi, lalu menarik selimut untuk mamanya dengan hati-hati.
Tanpa banyak suara, ia masuk ke kamar. Hatinya masih hangat dengan percakapan tadi bersama Karan.
Namun kantuk tak bisa ditahan lebih lama. Ia merebahkan diri, memeluk bantal, dan perlahan tenggelam dalam tidur yang tenang.
******
Keesokan harinya di kampus, Puri langsung menuju kelas.
Matanya masih sedikit berat dan pagi ini ia memaksa untuk kuliah walaupun tubuhnya sedikit demam.
Begitu ia duduk, Yudha datang menghampiri dengan wajah canggung.
Ia berdiri di samping meja Puri sejenak sebelum akhirnya membuka suara.
“Puri… aku minta maaf soal semalam. Aku harus pulang buru-buru ke rumah."
Puri menoleh sebentar, lalu mengangguk pelan.
“Nggak perlu minta maaf. Aku ngerti kok, Yud.”
Yudha tampak lega, meski ada sesuatu yang belum sempat ia ungkap.
Tapi sebelum sempat melanjutkan pembicaraan, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu.
Om Sasongko, dosen mata kuliah kelistrikan otomotif, masuk ke kelas sambil membawa beberapa kertas dan laptop.
“Selamat pagi semua. Hari ini kita akan mulai materi baru: kelistrikan mobil modern. Siapkan catatan kalian, karena ini akan jadi dasar penting buat proyek akhir nanti.”
Kelas pun segera tenang. Puri membuka bukunya, berusaha fokus meskipun pikirannya masih sedikit melayang—tentang malam tadi, tentang Karan, dan tentang sesuatu yang mulai tumbuh tanpa ia sadari.
Suasana kelas pagi itu terasa padat tapi fokus. Om Sasongko menjelaskan dengan semangat tentang sistem kelistrikan mobil masa kini—dari ECU, relay, hingga sensor-sensor penting yang menentukan efisiensi kendaraan.
Puri mencatat dengan serius, sesekali melirik ke arah Yudha yang duduk satu bangku di sebelahnya.
Meski tadi sudah berdamai, ia masih bisa merasakan sedikit keanehan.
Yudha tampak gelisah, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi belum menemukan waktu yang pas.
“Baik, kelas selesai. Jangan lupa minggu depan bawa komponen sensor kalian masing-masing untuk praktik,” ucap Om Sasongko sambil merapikan barang-barangnya.
Begitu kelas bubar, mahasiswa mulai keluar satu per satu.
Puri mengemasi bukunya pelan-pelan, lalu berjalan menuju ke luar kampus.
Namun langkahnya terhenti saat dari kejauhan ia melihat sosok yang sangat familiar berdiri di dekat motor Yudha.
"M-mas Karan...." gumam Puri.
Puri terkejut sesaat. Ia mengenali jaket hitam dan helm yang digenggam di tangannya.
Yudha yang berjalan di samping Puri juga memanggil cepat,
“Karan! Maaf ya, tadi kelasku lama.”
Karan menoleh dan tersenyum. “Nggak apa-apa. Aku cuma mau ambil kunci motor yang kemarin kamu pinjam.”
Puri berdiri terpaku. Tatapan mereka bertemu, dan Karan tersenyum kecil.
“Eh… Puri?” Karan menyapa santai, seolah tak terkejut sama sekali.
Yudha yang menyadari keterkejutan Puri langsung berkata,
“Eh iya, kalian kenalan juga ya? Ini Karan, sahabatku dari SMA,"
Puri hanya bisa mengangguk, masih berusaha mencerna kenyataan bahwa pria yang semalam mengajaknya makan adalah sahabat dekat dari teman kampusnya sendiri.
“Dunia sempit, ya,” gumam Karan sambil tertawa kecil, lalu menoleh ke Yudha.
“Makasih motornya, Bro. Lain kali kau yang gantian antar aku makan malam.”
Yudha hanya terkekeh. “Siap.”
Karan lalu menatap Puri sebentar. “Senang ketemu kamu lagi, Pur. Jaga diri, ya.”
Puri membalas dengan senyum tipis. “Iya, Mas.”
Karan pun pergi setelah menerima kunci, meninggalkan dua orang yang kini terdiam di tengah parkiran yang perlahan sepi.
Yudha menatap Puri sebentar. “Kamu kenal Karan dari mana?”
Puri menoleh padanya. “Kebetulan... ketemu semalam.” ucap Puri yang tidak mengatakan kalau ia sudah menolong Karan saat mobilnya mogok.
Yudha hanya mengangguk. Ada sesuatu di wajahnya—sedikit bingung, sedikit penasaran.uat tambah-tambah."
"Maaf aku tidak bisa mengantarkan kamu pulang, Masih ada urusan sebentar," ucap Yudha
"Iya tidak apa-apa, " ujar Puri.
Yudha melajukan motornya dan ia meninggalkan Puri yang masih ada di parkiran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!