Hai ketemu lagi...
Ini cerita kedua choco 😁
Semoga suka ya
Selamat membaca. Jangan lupa vote, comment nya juga. Lebih baik lagi kalau ada yang kasih saran dan tanggapan.
*******************************
"Micha..." panggilan itu tak menghentikan ku sama sekali.
Aku terus melangkah dengan cepat, menyusuri trotoar jalan. Hujan yang mengguyur satu jam lalu membuat jalanan cukup licin sehingga rawan kecelakaan. Tapi apa peduliku, aku hanya ingin menjauh dari sini secepatnya.
"Micha... berhenti sebentar," aku kembali tak menggubris sama sekali laki – laki yang sedari tadi mengejarku.
Dengan seragam SMA lengkap, aku melangkah tampa menghiraukan genangan air bercampur lumpur merusak seragamku.
Air mata menetes bercampur dengan keringat yang mengalir dari rambut ku yang terlihat acak acakan. Hasil pergulatan sengit dengan perempuan yang seumuran mama. Dan cakaran yang sekarang mulai terasa perih, bekas kuku tajam gadis remaja yang tampak seumuran dengan ku.
Hingga beberapa saat kemudian kembali terdengar langkah kaki cepat yang diluar bayanganku.
"Micha, sayang. Jangan seperti ini, kita bisa bicarakan masalah ini," katanya saat tangganku ditangkap dengan paksa.
Dia berhasil mengejarku. Laki – laki itu terlihat kacau, wajahnya tak pernah semuram ini. Aku tak pernah melihatnya seperti ini. Tapi semenyedihkan apapun raut wajah yang dia buat malam ini, aku tak akan mengasihaninya sama sekali.
"Lepas!" bentak ku.
Sambil berusaha menghentakkan tanganku yang digenggam kuat oleh laki – laki itu.
"Micha, jangan seperti ini. Ayo kita cari tempat teduh dulu, kita bicara disana," katanya ketika rintik hujan kembali turun.
"Apa lagi yang mau anda bicarakan? Bukankah sudah cukup? Saya sudah mendengar semuanya. Perempuan ja*ang itu sudah merebut semua yang mama miliki? Apa lagi yang ingin ada jelaskan? Kenapa anda tidak pergi saja dengan perempuan ja*ang itu? Jangan pernah menampakan wajah anda pada kami," ujarku sambil menahan tangis yang menyeruak keluar.
"Apa perempuan ja*ang? Dasar gadis kasar! Apa perempuan itu tak pernah mengajarkanmu sopan santun?" bentak perempuan yang tadi saling jambak denganku.
"Gwen, jangan ikut campur."
Laki – laki itu kembali menatapku, wajahnya cemas dan kesedihan menenggelamkan mata coklatnya yang selalu menatapku hangat.
Perempuan yang dipanggil Gwen memilih menutup mulutnya dan tak lagi ikut campur dengan pembicaraan kami.
"Lepas!" bentakku sekali lagi. Dan kali ini genggaman tangan laki – laki itu terlepas dengan mudah.
"Sekarang anda bebas, saya tak akan pernah mempertanyakan apa yang akan anda lakukan lagi. Anda bebas bersama perempuan ja*ang ini dan hidup bahagia bersama anak haram kalian." Aku berbalik setelah mengatakan itu dengan isakan tangis yang sudah tak bisa lagi kutahan.
"Kamu," geram seseorang dari belakangku, tapi aku tak mempedulikan mereka lagi.
"Hannah!"
Bersamaan dengan bentakkan yang terdengar dari belakang, cengkraman kuat pada rambutku terasa. Kali ini gadis bernama Hannah itulah pelakunya.
"Berani beraninya kamu mengatai mamaku perempuan ja*ang," gadis itu tarus saja menarik rambutku, "Apa? Anak haram? Kamu yang anak haram."
Kepalaku terasa sakit dan panas karena tarikan kuatnya. Kurasa sebentar lagi semua rambutku akan tercabut dari kepalaku. Tak ingin kalah, aku menginjak kaki dengan sepatu ku. Membuatnya berteriak kesakitan. Cengkramannya di rambutku terlepas, aku langsung menampar pipinya. Dan menatapnya tajam.
Tapi itu hanya menimbulkan pertikaian yang lain. Wanita bernama Gwen itu langsung menamparku balik begitu melihat putri kesayanganya di tampar oleh gadis kotor sepertiku.
"Berani beraninya kamu menyentuh putriku?" bentaknya, aku tekejut dengan nada bicaranya yang semakin tinggi.
"Cukup!" ucap laki – laki yang ada disebelahku.
"Mas..."
"Dasar perempuan ja*ang!" teriak ku kesal pada wanita itu.
Dan seketika dia mendorongku dengan kuat membuatku melangkah mundur dan kemudian terhuyung – huyung jatuh dari trotoar.
Laki – laki yang berdiri disebelahku mencoba menangkapku, tapi disaat yang bersamaan sebuah truk melintas dan suara tabrakan kuat terdengar.
"Papa!" teriakan itu menggema ditelingaku.
Bersamaan dengan itu aku terbangun dengan keringat membanjiri tubuhku. Nafasku memburu. Bandanku bergetar ketakutan memikirkan kejadian dalam mimpiku. Aku meneguk segelas air di atas lemari kecil di samping tempat tidur ku.
"Papa," lirihku.
Aku menekuk lutut, mendekatkannya ke arahku. Meringkuk dan memeluk diriku sekuat mungkin. Kepalaku tenggelam dalam lenganku dan isakan tangis terdengar di kamar.
Malam ini aku tak bisa tidur lagi.
***
"Nggak bisa ma... Rere nggak bisa pulang minggu ini. Kan bulan lalu Rere udah pulang buat cobain resep baru mama."
Terdengar suara rengekan mama yang khas seperti anak kecil yang nggak kebagian kue. Tapi itu hanya berlangsung sebentar saat aku bilang akan bawa Raka untuk ikut pulang. Suara mama langsung berubah, menjadi nyonya-nyonya kolong melarat yang berwibawa.
Jurus paling ampuh, Raka Saveri Abel Pollitton. Musuh bebuyutan aku dan Mama.
"Mama, tau. Tapi kan sayang sama voucher nya, kapan lagikan dapat discount 40% buat kursus disana... ayolah re, kamu cuma perlu datang sekali habis itu biar mama yang tanganin sisanya."
"Rere usahain ya ma, tapi rere nggak janji, lagian mama ada ada aja deh. Masa voucher buat kursus masak harus cantumin nama sama foto rere. Kenapa nggak nama mama aja"
"Habisnya chef nya ganteng, mana tau nanti kecantol sama kamu," gumam mama di seberang telepon.
"Aha, udah ketebak kemana jalan cerita 'Insiden Voucher Masak' nya mama," jawabku sambil menyuap nasi goreng.
"Makanya jangan bawa Raka pulang, nanti bisa kacau rencana mama," suara mama terdengar terlalu bersemangat di seberang telepon, membuatku makin curiga.
"Kayaknya ide buat bawa Raka harus aku pertimbangin deh ma, biar di bilang pasangan pengantin baru yang belajar masak, kan lebih keren."
"Rere!" teriak mama.
"Hahaha.... Iya deh, Rere tutup ya, udah terlambat nih," aku melirik jam dinding di ruang tamu.
"Mmmm... Jangan lupa makan, nanti maag kamu kambuh lagi loh. Istirahat yang cukup jangan banyak begadang. Jangan pulang dengan wajah kucel kayak bulan lalu. Mama sampai nggak bisa bedain kamu sama kain pel."
"Iya, walaupun kucel aku tetep anak mama yang paling syantik. Dah.. Rere tutup dulu ya. Bye ma. Muah," kecup ku dari seberang telepon.
Setelah panggilan telepon dari mama berakhir, aku kembali melanjutkan sarapan.
Perkenalkan, namaku Adresia Michael Polliton, kalian bisa panggil aku Adre atau Rere. Aku hanya wanita biasa dengan tinggi 160 cm. Anak pertama dari 2 bersaudara. Pemilik saudara paling menyebalkan yang pernah ada.
Namanya Raka Saveri Abel Pollitton. Aku sudah menyebutkannya tadi. Mendengar namanya saja sudah membuatku enek, apalagi melihat wajahnya.
Saudaraku, ralat maksudku adikku adalah seorang laki laki yang entahlah bagi sebagian wanita menyebutnya ganteng dan hot. Tapi aku tidak tau deskripsi tadi berasal dari mana. Ya ku akui untuk seorang laki laki yang berusia 21 tahun dia cukup lumayan. Lumayan yaa.
Tapi dibandingkan dengan papaku. Raka? Bah, langsung KO. Kalau kata mama nih, Raka bisa dibilang ganteng kalau dilihat pake sedotan dari atas Monas!
Tapi hot? Who Knows. Mungkin ada yang liat Raka dengan sedotan Aqua gelas dari atas Monas. Atau kalau nggak, mungkin saja cewek-cewek itu kebanyakan begadang nonton film korea makanya nggak bisa bedain yang mana makhluk astral dan cowok ganteng.
Karna Raka yang aku tau itu, adalah makhluk yang menyebalkan yang pernah ku kenal. Di dunia ini jika ada kontes saudara teraneh, Raka akan jadi pemenangnya. Aku seratus persen yakin itu. Tapi, walaupun wewegobel satu itu aneh, dia tetap yang terbaik dari yang terbaik. Dan aku menyayanginya.
Upayaku menghabiskan sarapan akhirnya berhasil, aku menyambar tas yang ku taruh di sofa di ruang depan, dan berangkat ke kantor.
Aku tinggal di apartemen seorang diri, apartemenku ini hanya bersisi satu ruang tamu, ruang makan sekaligus dapur, dua kamar dan satu kamar mandi. Itu sadah cukup bagiku yang hanya tinggal sendirian, ya walaupun terkadang Raka sering mengisi kamar yang satu lagi jika ia pulang dari koasnya.
Dua puluh menit kemudian aku sampai dan langsung melangkah ke ruanganku. Aku bekerja disebuah perusahan sebagai asisten manager keuangan.
"Pagi semua," sapaku pada seluruh karyawan yang ada di departemen keuangan. Semuanya menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku melewati kubikel karyawan lain karena letak ruanganku paling ujung di departemen ini.
"Pagi mbak rere... morning Coffee dulu mbak." Tawar Rita salah satu karyawan yang baru keluar dari pantry dengan membawa satu mug yang mengepul dengan aroma kopi.
"Lanjut ta. Gue masuk dulu."
Begitu memasuki ruangan, aroma strowbery langsung menyeruak dalam indra penciumanku. I love strowbery. Jadi ruangan kantor, rumah, dan kamarku memiliki pengharum yang sama. Bagiku aroma strowbery menenangkan pikiranku. Setelah meletakan tas, aku langsung beralih ke beberapa dokumen yang harus ku kerjakan hari ini.
Sementara aku tertimbun dalam laporan yang harus diselesaikan hari ini, ketukan pintu menyadarkanku.
"Re.. lo nggak ikut rapat, bukannya lo gantiin mbak Mel rapat hari ini?" tanya Dimas. Salah satu rekanku di divisi keuangan. Aku dan Dimas sudah berteman lama, plus dia juga senior di club di kampusku.
"Oh.. my god, gue lupa. Dim jam berapa sekarang?" aku benar benar lupa, aku bangkit dan mengambil beberapa dokumen yang kuperlukan untuk rapat pagi ini.
"Jam 9:45 cepatan, kalau nggak lo bakal terlambat. Rapatnya bentar lagi mulai," setelah mengatakan itu, Dimas langsung beranjak dari ruanganku.
"Thanks Dim,"
"Hmmm, gih sana," lalu Dimas menghilang dari ruanganku.
Dengan kecepatan Usain Bolt aku keluar, berjalan dengan cepat ke ruang rapat. Aku menekan tombol lift. Seperti ingin menjahiliku, liftnya masih saja stak di lantai 2. Aku langsung menuju tangga darurat dan naik ke lantai 6, toh cuma dua lantai nggak masalahlah dari pada terlambat.
Aku bekerja di La-Gufta group. Merupakan perusahan besar yang bergerak di bidang real estate. Kondominium, townhomes, gedung perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan, perumahan, dan beberapa properti industri yang cukup terkenal milik La-Gufta group.
Sedangkan tempatku bekerja adalah salah satu dari pusat perbelanjaan. Setelah menghabiskan beberapa menit menaiki tangga, akhirnya aku sampai didepan ruang rapat. Setelah mengtuk pintu dan masuk keruangan. Kulihat banyak pasang mata menatapku.
"Maaf saya terlambat," ku berikan mereka tatapan dan senyum sungkan. Lalu aku duduk di kursi kosong di meja yang berbentuk persegi panjang. Setelah berhasil duduk dan meletakan dokumen diatas meja, ku lihat Kevin yang meliriku di seberang sana. Dia menatapku tajam, seolah berkata:
Kenapa bisa terlambat, kan dari kemarin udah gue ingetin.
Aku hanya meringis melihat tatapan Kevin. Lalu kembali mengarahkan pandangan ke Pak Yono yang sedang menerangkan strategi pemasaran. Menjelang giliranku, aku merasa gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal dari rapat ini, aku merasa tak nyaman karena itu. Walaupun aku berusaha untuk fokus tapi tetap saja perasaan itu mengganjal.
Aku menyisir ruang rapat. Memeriksa keadaan. Tak ada yang aneh, semua orang terlihat fokus dengan pemateri di depan. Saat aku merasa lega karena tidak ada yang salah, aku tak sengaja mengalihkan tatapanku pada kursi di meja paling ujung, kursi CEO.
What The Hell He is Doing Here?
Laki laki itu sedang berbisik dengan Pak Ardi yang ada disebelahnya. Lalu tatapan kami bertemu di udara. Dia tersenyum menyebalkan.
Aku spontan mendorong kursiku mundur, bersembunyi di balik tubuh Pak Mohan yang ada di sebelah kiriku. Beruntung dengan tubuh Pak Mohan yang tambun dapat menutupi sebagian tubuhku.
Oke, kenapa laki-laki keturunan setan itu ada disini?
Aku melirik laki-laki di depan sana. Wajah datar dan mata tajam itu menatapku. Terkejut, aku perlahan-lahan kembali mendekat kearah Pak Mohan. Bersembunyi dibalik tubuhnya sambil menginspeksi keadaan.
Sementara aku sibuk memahami apa yang terjadi. Laki-laki itu malah santai. Dia terlihat akrab dengan Pak Ardi direktur pusat perbelanjaan ini. Melihat dari pakaian, pesona yang dikeluarkan dan tatapan intimidasi yang diarahkannya saat rapat. Dan cara dia bertanya dengan tone dingin dan tegas khas seorang pemimpin penuh kharisma.
OH MY GOD
Mungkinkah...
Keano Ardana Shagufta CEO baru Perusahaan ini?
Keano Shagufta, L-Gufta Group.
***
Terima kasih untuk vote and comment nya
Jangan lupa vote and comment nya ya. kontribusi pembaca sangat berharga bagi penulis.
Selamat membaca,
***
Keano Ardana Shagufta, L-Gufta Group.
Kenapa aku baru sadar sekarang???? Argggggg.
Keano. Pria bengis. Berhati dingin. Si Perfeksionis yang minta di di kunyah dengan gerigi besi. Hancur sudah ketenangan hidupku. Porak poranda lagi. Kenapa aku di pertemukan kembali dengan dengan pria kejam, berhati dingin seperti Lucifer ini.
Keano Shagufta, teman SMA-ku yang kerjaannya selalu marah marah, marah marah, dan marah marah.
Laki laki yang selalu bercokol dihatiku, berakar dengan kuat, tak mau hilang. Laki-laki egois yang suka PHP-in perempuan. Laki-laki yang bakal aku celurit pertama kali kalau hukum dan dosa di tiadakan.
Tiba-tiba telinga ku berdengung, badan ku terasa ringan dan pandanganku langsung kabur.
Lalu kilasan memori masa lalu menghampirku. Membuat badanku langsung gemetar ketakutan.
Aku harus menghindarinya. Apapun yang terjadi. Begitu rapat selesai aku harus cepat keluar dari ruangan ini. Lagian nggak ada alasan kenapa aku harus bertegur sapa dengan CEO perusahaan ini. Aku yang hanya rakyat jelata, yang beda kasta dengan nya tentu saja tak memiliki kepentingan untuk beramah-tamah.
Selain itu, aku dengar CEO yang sekarang baru diangkat. Jadi pasti banyak hal yang harus dilakukannya. Kenapa dia harus repot berurusan dengan ku.
Di tambah kantor pusat yang merupakan sarang bagi CEO, berada jauh dari sini. Artinya tak akan ada pertemua kedua, ketiga atau keempat kalinya aku dengan pria bengis, berwajah rupawan, dengan senyum menggoda iman itu.
Setelah berfikir begitu aku kembali rileks.
Kean meliriku, sesekali dia masih berbisik dengan Pak Ardi. Aku kembali fokus pada rapat, tidak kuhirauhkan sama sekali Kean yang tampak senang menggangguku.
Kevin menatapku bertanya saat melihatku resah, aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum padanya agar jangan menghiraukanku. Dan dia kembali fokus pada peresentasi di depan. Saat tiba giliranku, aku berusaha menormalkan detak jantungku dan bersikap sewajarnya.
Mulai dari getar suaraku, ekspresi wajah hingga gesture tubuhku semua normal. Sesekali aku melihat Kean yang seperti binatang buas siap menerkam mangsanya, aku bersikap acuh tak acuh, tak memperdulikan aura gelapnya yang mendominasi ruangan dan tentunya juga mengintimidasiku. Aku tak mau gemetar ketakutan seperti kelinci yang digigit lehernya oleh binatang buas bernama Kean.
Dan setelah rapat selesai, aku bergerak perlahan lahan meninggalkan ruang rapat. Tapi apa daya saat Pak Ardi memanggilku.
"Adre.. ikut saya sebentar keruangan, ada yang perlu kami bicarakan"
Aku hanya memperhatikan Pak Ardi yang bicara padaku, dan saat kata 'kami' keluar dari mulutnya aku tau yang dimaksud kami adalah Pak Ardi dan Kean.
"Baik pak," jawabku dengan senyum terpaksa.
Aku hanya bisa pasrah mengikuti langkah Pak Ardi dan Kean yang berjalan di depanku. Dengan gontai aku memasuki lift. Aku melirik kearah Kevin yang juga mengikuti Pak Ardi dan Kean, baru menyadari kehadirannya saat berada di lift. Aku membuka aplikasi chat, dan mengirim pesan ke Kevin yang ada di sebelah.
Me: lo juga dipanggil?
Kevin: ya, tapi kenapa dari tadi gue perhatiin wajah lo...
Me: Wajah cantik gue kenapa?
Me: Mascara gue luntur?
Me: Bedak gue belepotan?
Me: Atau jangan jangan alis gue yang bermasalah.
Me: Tinggi sebelah? Tebel sebelah?
Me: Yang mana? Kiri? Kanan?
Kevin: Pfffftttt... 🤣🤣 emang yang cewek, make up aja yang diurusin.
Me: terus kalau bukan karena itu, apa dong? Jangan jangan....
Kevin: Jangan jangan apa?
Me: ....
Me: ....
Me: kantong hitam di mata gue keliatan jelas ya?????
Kevin: gue kira apaan
Me: terus apa dong yang salah dari muka gue, kalau bukan itu, berarti bukan masalah besar.
Kevin: gue rasa masalah ini lebih besar dari masalah lo tadi, buktinya muka lo kayak kambing yang lagi diseret kerumah jagal 😂
Me: 😡lo mau gue keluarin jurus slending kepala?
Kevin: Bwhaaaa...
Me: wah benar benar ni temen satu.
Me: wajah lo juga kenapa gitu?
Me: kayak dunia hancur, habis ditolak gebetan lo ya?
Kevin: ini lebih dari itu, gue barusan ditampar kenyataan
Me: Pasti menyakitkan, gue turut merasa bahagia buat lo vin...
Me: jadi gimana ceritanya lo di tampar kenyataan? Kayaknya kenyataan tanggannya lebih kuat dari gue ya, sampe buat muka lo ditekuk parah gitu.
Kevin: 😑 apa lagi kalau bukan karena bos yang didepan lo noh.
Kevin: Gue dengar ya re, dia itu perfect banget.
Kevin: Auranya aja beda, udah ganteng, jabatan ok, kaya, terkenal juga di antara para cewek, gue dengar karyawati di divisi gue teriak kalau bos kita tu super hot... ini hot banget namanya, sekseh.
Chat dari Kevin masuk dengan kecepatan penuh di ponselku.
Me: Siapa pak Ardi?
Me: Ngapain lo pake minder sama pak ardi?
Kevin: Oalah Neng, otak lo di pake nggak sih, jangan jangan otak lo udah turun ke dengkul makanya nggak nyambung.
Kevin: gua kan bilang bos kita, pak Kean. Emang pak Ardi hot?
Me: yey, mana gue tau lo ngomongin si kean.
Me: Pak ardi itu bos paling hot, apalagi kalau dia marah keluar deh tu keahlian rapper yang keren abiisssstttt. 😉🤣
Lalu beberapa detik kemudian kami berusaha menahan tawa. Membayangkan Pak Ardi yang mengomel panjang dengan cepat hingga napasnya habis dan wajahnya merah. Aku dan Kevin masih saling lirik satu sama lain, mengontrol ekspresi wajah. Kean terlihat sedang berbincang dengan Pak Ardi. Mendisikusikan sesuatu.
Dasar karyawan durhaka. Semoga aku nggak dapat karma karena durhaka dengan atasan. Aamiin.
Kurasa lift ini bergerak terlalu lama, aku dengan gelisah memperhatikan gerakan lift. Dengan frustasi aku memutar jari-jariku. Memperhatikan kegelisahanku, iblis didepanku malah tersenyum nakal. Itu sangat menjengkelkan dan membuatku merasa terus diremehkan oleh nya. Aku muak dengan senyumannya. Tidak bisakan situasi ini cepat selesai.
Tak berapa lama doaku terkabul, akhirnya pintu lift terbuka dan kami segera keluar menuju ruangan pak Ardi. Banyak pasang mata memperhatikan Kean. Sudah bisa dipastikan mereka penasaran dengan CEO baru mereka. Apalagi CEO muda, dijamin berpotensi membahayakan iman.
Memasuki ruangan Pak Ardi, kami langsung duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Tak lama kulihat Mbak Ziya membawakan minuman, tak lupa sedikit senyum sebagai pemanis yang diberikannya hanya pada Kean.
Langsung deh ya, jiwa bucinnya menguar. Dasar cewek. Kalau udah liat yang bening dikit aja langsung deg deg ambyar. Aku terkekeh dalam hati memperhatikan Mbak Ziya beraksi.
Kean sama sekali tidak menggubris perlakuan Mbak Ziya, dan malah menatapku. Merasa canggung karena tertangkap basah sedang menertawakannya. Aku melarikan tatapanku pada Pak Ardi yang berada di kursi sebelahku. Setelah Mbak Ziya pergi, Pak Ardi mulai berdiskusi dengan Kevin.
Begitu Kevin keluar, Pak Ardi menatapku lekat.
"Adre," ku dengar Pak Ardi memanggilku.
"Iya pak,"
"Seperti yang kamu tau, aku sangat menyukai karyawan sepertimu. Kerena pak Kean baru diangkat menjadi CEO kita, dan membutuhkan sekretaris jadi aku merekomendasikanmu menjadi sekretarisnya."
Apa?
Apa ini karma karna aku ngomongin Pak Ardi tadi?
Aku berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut bos kesayangaku ini. Seberapa pun ia menyukaiku tidak bisakah ia mempetimbangkan orang lain sebagai sekretaris dari laki laki menyebalkan ini. Kenapa dia mengirim karyawan favoritnya ini ke medan perang penuh mala petaka? Selain itu, aku tidak pernah berpikir ingin menjadi sekretaris, terlintaspun tidak.
"Adre.. bagaimana kamu mau kan, saya sudah mengenal Pak Kean dari kecil. Ia akan mudah beradaptasi dengan pekerja sepertimu," tutur Pak Ardi.
"Mmm... jadi... saya harus bekerja menjadi sekretaris pak Kean pak, Bapak serius memilih saya?"
"Ya.. Saya serius, kamu akan bekerja dengan pak Kean sebagai sekretarisnya, saya merasa kamu akan sangat membantu. Karena Pak Kean tentu akan membutuhkan dukungan, apalagi kamu sudah berpengalaman di perusahaan, jadi saya memilih kamu. Meskipun awalnya saya menyarankan agar kamu meng-handle sementara sebelum sekretaris yang cocok direkrut. Tapi Pak Kean memutuskan untuk merekrut kamu saja."
"Apakah saya punya pilihan untuk menolak pak? " aku langsung to the point. Pokoknya aku nggak mau. Bisa bisa aku kena stroke di usia muda kalau jadi sekretrasinya setan bengis ini.
Menjadi sekretaris Kean artinya aku harus siap jiwa ragaku tercabik cabik oleh binatang buas ini. Selain itu, akan selalu ada perang saraf di antara kami. Dan itu hanya akan menambah beban pekerjaanku saja.
"Sayangnya kamu sudah nggak bisa menolak lagi Adre. Surat pindah tugasmu sudah disetujui. Meli atasanmu juga udah setuju. Ini akan bagus untukmu, guna menambah pengalamanmu." Bagaikan disambar petir, ucapan Pak Ardi seperti ketokan palu atas hukuman mati yang dijatuhkan padaku.
Kepalaku berdenyut menyakitkan, kenapa aku harus bekerja sebagai sekreteris laki laki menyebalkan ini. Dan dia terlihat sah-sah saja jika aku bekerja dengannya. Harusnya ia juga menolak, mengingat dia sangat membenciku. Aku rasa kantor baruku akan menjadi medan perang yang mengerikan. Membayangkannya saja sudah membuatku merinding.
"Baiklah, sepertinya sudah dijelaskan semua jadi dalam dua minggu kedepan kamu sudah bisa bekerja," suara Pak Ardi mengembalikan ku kedunia.
Secepat itu?
Kalau begini aku bakal minta Raka buat cariin jantung tambahan. Buat jaga jaga kalau yang ini rusak. Kan masih ada cadangan.
"Saya berharap besar atas kinerjamu sebagai sekrertaris saya, Ibu Michael"
Deg
Michael...
Nama itu membangkitkan kenangan masa lalu. Aku langsung merasa pusing dan linglung. Langit terasa berputar dan suara suara mulai terdengar berdengung di telingaku.
'Micha!'
'Micha, gadis kecil papa'
Suara papa.
'Woi... Micha, bengong aja'
'Micha, sini!'
Suara Denis, dan suara... Keano.
'Itu dia yang namanya Michael'
'Itu Michael!'
Dan suara suara itu semakin lama semakin bertambrakan membuatku pusing dan sesak.
Tenang Re. Ambil nafas hembuskan, ambil nafas hembuskan. Aku mengulangnya beberapa kali. Setelah menenangkan diri, aku memandang Kean, yang sedang memperhatikanku dengan wajah berkerut sempurna. Lalu begitu aku menatapnya, wajahnya kembali datar. Tetapi ada sesuatu dari ekspresi itu yang membuatku mengingat sesuatu.
Perasaan menyesal.
Setelah terdiam cukup lama, dan menatap Kean. Tapi itu hanya membuat emosiku semakin campur aduk. Dengan wajah datar dan sorot mata yang meremehkan andalannya. Membuatku tambah kesal.
"Tentu saja Bapak Keano, semoga kita bekerjasama dengan baik," jawabku tegas.
Aku memberikan tatapan menantang pada Kean, tapi sepertinya ia tidak terpengaruh.
"Baiklah sepertinya semua sudah sepakat, karena sudah masuk jam makan siang sebaiknya kita juga bergegas mencari pengganjal perut." Pak Ardi beranjak dari sofa dan berjalan ke arah mejanya mengambil jas dan mengenakannya.
"Kalau begitu saya permisi dulu pak," jawabku. Dan langsung berdiri melangkah ke arah pintu keluar. Tapi seperti ingin berlama lama dalam perang saraf ini Laki laki yang satu itu malah mencegatku.
"Sebaiknya anda ikut kami Bu Michael, anggap ini sebagai salah satu pekerjaanmu. Kudengar anda sangat kompeten dalam pekerjaan," Kean menatapku tajam.
"Seperti yang anda katakan Pak, saya sangat kompeten terhadap pekerjaan. Karena saya baru mulai bekerja dalam 2 minggu lagi tentu saja saya tidak bisa menganggap makan siang ini sebagai pekerjaan, alangkah lebih baiknya saya menyelesaikan pekerjaan saya yang tertunda," jawabku tidak kalah tajam.
"Haha... kamu ini Re." Aku cukup terkejut dengan tanggapan santai Pak Ardi pada sikap kasarku yang reflex keluar saat bersama Kean. Beliau malah terlihat tak terpengaruh dengan urat sarafku yang akan meledak menahan amarah.
Apa pak Ardi sudah tau? Itukah sebabnya dia menyerahkanku ke binatang buas ini?
"Haha... anda benar benar pintar, tidak salah saya memilih anda sebagai sekretaris saya,"
"Kalau begitu saya permisi," aku langsung kembali melangkah kearah pintu dan meninggalkan ruangan Pak Ardi. Berlama lama disana hanya akan membuatku bertambah gila.
Kembali keruanganku dengan langkah gontai. Tenagaku terkuras setelah melihat Kean. Ketika melihat kubikel kubikel karyawan lain kosong aku langsung mempercepat langkahku. Meletakan dokumen presentasi diatas meja dan mengembil dompet. Aku akan makan siang dikantin kantor saja. Hari ini nggak ada waktu mencari makan diluar. Masih banyak pekerjaan yang menunggu.
***
Terima kasih untuk vote and comment nya
Setelah memesan makanan aku melihat Dimas yang duduk bersama Anggie. Ada juga mbak Ziya, Doni dan Kevin. Klub Lambe Turah perusahaan ini. Mereka duduk dimeja untuk kapasitas 8 orang. Aku melihat Dimas tersenyum kearahku. Aku duduk disamping Kevin yang tidak menyadari keberadaan ku.
"Lo tau nggak Re?" Tanya Dimas langsung seketika bokong cantikku mendarat di kursi.
"Nggak tau, kan lo nggak ngasih tau," aku menjawab dengan acuh jawaban Dimas sambil menyuap soto betawi menu hari ini.
"Ya ini mau gue kasih tau. Roman romannya nih ya, Si Arlan bakal lengser dari posisinya. Lo tau siapa yang menempati pencarian terpanas saat ini? Si bos Re, bos baru kita." Dimas langsung mendekat dengan mimik emak-emak kompleks yang ngegosip waktu lagi beli sayur.
"Kok bisa? Bukannya dia selalu jadi trending topik ya," tanyaku penasaran lengkap dengan mimik yang tak kalah sama dengan Dimas.
Maklum aku dan Dimas partner setia dalam hal menggosip. Baik itu di kampus, di Klub mahasiswa, bahkan sekarang di kantor sekalipun. Tetap yang namanya menggosip itu selalu terasa nikmat. Menggosip, bagiku menambah informasi. Hanya saja perlu saringan lebih banyak untuk info yang up to reality.
Mas Arlan ini bisa dibilang punya bibit, bebet, dan bobot yang jelas. Ditambah pula sekarang laki-laki mapan, tampan, jabatan oke, baik, ramah, dan single mulai punah. Makanya mas Arlan selalu jadi incaran cewek jomblo, butuh kasih sayang, dan kurang perhatian. Selalu aja ada gosip terbaru. Si Arlan beginilah, si Arlan begitulah.
Pernah aku tanya sama anak DK (Departemen Keuangan) kenapa sikap mereka kayak orang kesurupan kalau udah ada Si Arlan Arlan ini. And jawabannya permisa... kalau kata Rita nih ya "kalau ngomong sama mas Arlan tu pengen cepet cepet googling WO mbak, ramah tenan", atau kalau nggak kayak kata Anggie "kadang gue ngerasa asupan kewarasan gue kurang kalau udah ngadepin mas Arlan". Dan tanggapanku hanya menggelengkan kepala mendengar jawaban ngaur mereka berdua.
"Iya, anak anak sekarang pada ngomongin bos baru yang hot abis. Lo bukannya juga liat dia waktu tadi rapat? Gue liat dia tadi pas keluar sama Pak Ardi, duh badannya... Nggak kayak hasil olahan gym." Seru Dimas sambil menekan nekan otot lengannya yang lentur.
"Kalau mau dibandingin sama lo ya tentu beda, badan lo bongsor begini. Perut aja yang di pikirin, angkat kertas tiga rim dari gudang aja langsung ngos ngosan lo..." seloroh Mbak Ziya yang duduk di depannya.
Dan tawa kami semua meledak. Sebenarnya badan Dimas yang sekarang nggak terlalu gemuk juga, tapi dibandingkan dengan dulu ketika dia masih berstatus mahasiswa, bedanya jauh banget. Dulu badannya proposional karena rajin latihan karate. Tapi sekarang, semua otot yang sudah di bentuk kendur di gerogot jam kerja yang tak manusiawi.
Jadi waktu itu, Kang Arbi minta tolong Dimas dan Doni buat bantuin angkatin kertas yang dibawa OB. Dimas yang bawa paling sedikit kertas malah ngos ngosan pas naik ke lantai 4. Plus dengan keringat sebesar biji jagung yang buat kemejanya hampir basah semua.
Mbak Ziya yang kebetulan ada di TKP langsung menertawakan Dimas. "Oalah Dimas, Doni yang badannya kecil lo kasih 5 rim kertas. Nah elo cuma bawa 3 rim kertas udah ngos ngosan kayak habis lari keliling lapangan bola". Makanya kejadian 'Dimas dengan tiga rim kertas' masih jadi bahan tertawaan hingga sekarang.
"Eh, jangan salah ya mbak, gue gini gini masih di lirik cewek ya. Lo kalau liat gue tiga tahun lalu klepek klepek deh lo kayak ikan koi. Ya nggak re," bela Dimas.
"Iyain aja deh, dari pada senior gue nangis, kan kaciaan." Dan terdengar ledakan tawa dari Mbak Ziya dan yang lain.
***
Berita kepindahanku ke kantor pusat santar terdengar. Apalagi di DK yang lagi sibuk sibuknya karena sebentar lagi bakal ada event tahunan perusahaan dan di ikuti acara ulang tahun perusahaan. Mbak Meli yang baru balik dari luar kota, langsung kocar kacir dengan kerjaan yang segunung.
"Re, lo sini deh. Nih, lo cek ya, harus selesai besok soalnya." Mbak Meli mengasongkan lima bundel map besar padaku.
"Mbak," rengekku. Ketika melihat kerjaan yang tak ada habisnya.
"Sorry re, lo periksa sekarang ya," titahnya, "kepala gue pusing banget nih, satu lagi nanti siang ikut gue meeting bareng panitia acara." Dan setelah meninggalkanku yang terbengong, Mbak Meli kembali keruangannya sambil memijat bahunya yang pegal.
Lembur lagi deh.
***
Aku baru selesai memeriksa tiga map yang diberikan Mbak Meli padaku. Badanku terasa remuk karena harus bolak balik memeriksa persiapan acara dan laporan yang harus diselesaikan. Karena event tahunan perusahaan berdekatan dengan acara ulang tahun perusahaan, pekerjaan yang harus diselesaikanpun menjadi berkali kali lipat lebih banyak. Karena Departemen Keuangan harus bekerja ekstra keras untuk memonitor pengeluaran yang digunakan selama acara berlangsung agar tak mempengaruhi pengeluran perusahaan secara signifikan.
Jadi disinilah aku, masih memeriksa beberapa map yang tersisa. Aku melihat keluar ruangan, masih ada Doni dan Rita yang sama sama lembur denganku. Saat aku menoleh ke ruang Mbak Meli, terlihat dia sedang bersiap siap untuk pulang. Jam di desktop komputer menunjukan pukul 8:27. Aku meregangkan tubuh. Duduk di kursi seharian membuat badanku pegal semua.
"Re, gue pulang duluan ya," suara Mbak Meli terdengar dari seberang ruangan. Aku hanya mengangguk dan Mbak Meli berlalu sambil sesekali masih terdengar ocehannya dengan Doni yang juga sedang bersiap pulang.
Aku kembali melanjutkan beberapa kerjaan yang masih menunggu untuk di selesaikan. Tiga puluh menit kemudian terdengar suara Rita yang juga pamit untuk pulang. Aku masih terkubur dalam tumpukan kerjaan. Satu jam berlalu dan akhirnya pekerjaanku selesai.
Setelah dimakamkan lebih dari 15 jam di kantor, aku bersiap untuk pulang. Keluar dengan tampang lesu, rambut dan wajah yang berantakan. Aku bahkan sudah mengganti Scarpin ku dengan Sneaker yang lebih nyaman.
Setelah sampai ditempat parkir, aku merogoh kunci mobil yang terselip di dalam tas. Ketika aku masih berusaha mencari kunci yang masih bermain petak umpet di tasku yang penuh, hidungku menabrak dada bidang seseorang dengan keras.
Hidungku terasa sakit hingga air mataku keluar menahan nyeri. Sambil mengusap hidungku, aku menggumamkan semua sumpah serapah. Ini orang kalau jalan jangan berhenti sembarangan dong. Kalau mau berhenti klakson dikit atau kasih sein gitu. Di kira gedung ini punya nenek moyangnya apa, main berhenti di tengah jalan. Kekesalanku malah bertambah saat aku masih belum mendengar permintaan maaf dari laki-laki yang dadanya sekeras beton ini.
"Mas, kalau mau berhenti jangan di tengah jalan. Parkiran seluas ini jangan berhenti di dekat jalan orang lalu lalang juga dong, udah salah nggak mau minta maaf," tandasku kelewat sebal.
Ini cowok lagi sariawan ya, makanya nggak jawab. Saat aku melirik keatas dengan sebal pada wajah 'laki laki berdada sekeras beton', wajah yang familiar terlihat. Kenapa laki laki bengis ini ada disini?
Keano. Berdiri dengan pandangan tajam. Tangannya yang dimasukan ke dalam saku celana membuatnya terlihat dingin. Dia menyorotku dengan pandangan tak suka. Celana hitam dan baju kaos berkerah yang berwarna maroon menimbulkan citra kejam dari wajahnya yang datar. Aku balas menatapnya sengit.
"Saya tau perusahaan ini punya bapak, tapi tetap aja bapak nggak boleh seenaknya berhenti di tengah jalan kayak gini". Aku kesal melihat dia masih diam ditempatnya. Aku rasa nih orang memang lagi sariwan karena kebanyakan marah marah, makanya panas dalam.
Karena tak ada tanggapan, aku kembali melanjutkan langkahku dengan sebal sambil menghentakan kaki kesal. Nggak tau apa, ini udah malam. Aku capek, mau istirahat. Tapi malah ketemu setan gila di tempat parkir. Kurang beruntung apa lagi coba. Begitu aku berjalan kearah mobil yang tak jauh dari Kean berdiri mematung. Tanganku ditarik dengan kasar olehnya.
"Apa begini caramu meminta maaf setelah sekian lama?" suaranya yang dalam dan jelas terdengar menusuk ditelingaku. Aura kejam dan dominan yang biasa diarahkannya pada orang lain terasa lebih menakutkan ketika itu ditujukan padaku.
"Kenapa saya harus meminta maaf, bukannya bapak yang berhenti dan membuat saya menabrak bapak." Aku melepaskan cengkraman tangannya yang kuat di pergelangan tanganku. Tapi tak berhasil. Kean masih menggenggam tanganku dengan kuat. Membuatku meringis karena sakit.
"Apa begini cara anda memperlakukan karayawan?" tanyaku kesal.
Kean mendorongku ke salah satu mobil yang ada disebelah kami. Membuatku terjebak karena terkurung antara tubuhnya dan mobil yang ada dibelakangku. Tanganku yang digenggamnya berubah menjadi keunguan dan kesemutan karena Kean menggenggamnya dengan kuat.
"Dengar Micha, jangan berani berani memprovokasiku untuk bertindak lebih kasar." Suaranya berubah menjadi tajam dan deru nafasnya yang menahan amarah terasa di pipiku.
Tatapannya tajam. Matanya penuh bahaya. Aku menahan nafas gugup dibawah tatapannya. Tak berapa lama Kean melepaskan genggaman tanganku. Aku memperbaiki letak pakaianku yang tertarik karena tindakan Kean barusan.
"Jangan harap saya akan bersikap baik Micha," bisik Kean dengan nada rendah. Mengirimkan ancaman dan bencana yang akan menantiku.
Meskipun badanku bergetar ketakutan mendengar nada rendahnya, tapi aku tak bisa menerima sikap kasar Kean padaku. Bibirku bergetar menahan kemarahan yang meluap.
"Kamu pikir hanya hidupmu yang menderita?" tandasku begitu Kean berbalik. Hilang sudah sikap sopan yang sedari tadi aku coba pertahankan.
Dia menghentikan langkahnya. Berbalik menatapku. Aku memberanikan diri menyorot pupil matanya yang penuh kebencian.
"Menurutmu bagaimana denganku? Apa menurutmu aku hidup dengan bahagia setelah melakukannya?"
Kean masih terdiam. Berfikir dia membiarkanku untuk menjelaskan situasi kami. Aku kembali melanjutkan.
"Aku tau, salah bagiku untuk ikut campur saat itu. Tapi Kean..." sambil menyusun kalimat yang ingin kusampaikan pada Kean, laki – laki itu melangkah mendekat. Membuatku mundur dan terbentur mobil dibelakangku.
"Aku minta maaf, jika itu menyakitimu. Tapi, aku tak pernah menyesal sama sekali. Salah satu keputusan yang tak pernah aku sesali hari itu adalah mendatangi kakekmu."
Kean melangkah sekali lagi. Kali ini tak ada lagi tempat bagiku untuk melarikan diri.
"Maaf? Apa gunanya? Kamu bahkan tak menyesalinya Micha!" bentaknya. Lalu mencengkram bahuku.
"Kakekmu menyayangi mu Kean. Dia menyayangi cucu – cucunya. Begitu juga papa dan mamamu. Menurutmu bagaimana perasaan mereka saat kamu memutuskan hubungan dengan mereka? Meskipun cara mereka salah, mereka melakukannya karena pada saat itu mereka pikir itulah yang terbaik. Tidakkah kamu memikirkan pengorbanan kak Zoe? Orang tuamu dan kakekmu juga sedih karena meninggalnya kak Zoe. Meskipun mereka tak memperlihatkannya."
Kean semakin mengencangkan cengkramannya. Tapi aku tak akan berhenti disini. Sampai kapan aku bisa lari dari Kean. Dia akan menerorku terus menerus. Dan aku tak punya kekuatan lebih untuk menghadapinya.
"Jangan menyalahkan diri sendiri Kean. Itu bukan salahmu. Saat itu kamu masih terlalu kecil, tak bisa berbuat apa apa bukan kesalahan. Dan cobalah untuk mengerti tindakan kakekmu. Beliau hanya ingin melindungi kalian semua," kataku dengan sedih di ujung kalimat.
"Dia hanya ingin melindungi kami," aku mengulangnya sekali lagi dalam hati.
Benar. Papa juga melakukannya untuk melindungi kami semua. Jika bukan karenaku, akankah semuanya baik – baik saja?
Cengkrama Kean dibahuku sedikit demi sedikit melonggar.
"Bukankah kamu yang paling tau sebesar apa cintanya pada cucunya," ucapku menatapnya lembut.
Tangannya terlepas begitu saja. Kean terdiam begitu lama. Laki-laki yang sebelumnya mengancamku seperti binatang buas sekarang terluka dengan kata kataku. Dengan wajah tak berdaya.
Tapi itu hanya sesaat, sebelum tatapan tajam dan wajah dingin yang biasa terpasang kini muncul kembali.
"Itu tak ada bedanya bagiku. Kamu tetap menghacurkan segalanya Micha. Jangan harap aku akan membiarkanmu begitu saja."
Aku tau. Mengenal Kean adalah musibah. Tapi membuatnya marah adalah bencana. Dan sekali lagi, hidupku berada dalam bahaya.
***
Jangan lupa vote and comment nya ya.
Terima Kasih,
Chocomellow
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!