☀️☀️☀️
Bel rumah Niken berdentang dua kali. Ia mengernyit, menaruh lap dapur dan berjalan pelan ke pintu. Jam dinding menunjukkan pukul lima sore, terlalu cepat untuk Damar pulang.
Begitu pintu dibuka, matanya langsung menangkap sosok gadis muda dengan wajah cantik namun tampak gelisah. Gadis itu berdiri ragu, tangannya menggenggam erat tali tas kecil yang kusut.
"Cari siapa?" Niken bertanya hati-hati.
Gadis itu menggigit bibirnya, menunduk, lalu mengangkat kepala perlahan. Matanya berkaca-kaca. "Permisi, Bu.... Aku Tania."
Niken mengerutkan kening. "Tania?"
"Aku.... Aku kekasih Pak Damar," suaranya bergetar.
Dunia Niken mendadak berhenti berputar. "Apa?" suaranya serak, hampir berbisik.
Tania menunduk dalam, air mata jatuh membasahi pipinya. "Saat ini, aku sedang hamil dua bulan Bu, anak Pak Damar."
Niken mematung. Tubuhnya bergetar hebat, jantungnya seolah berhenti berdetak. Dia menatap gadis itu lekat-lekat, berharap semua ini cuma mimpi buruk. Tapi kenyataan menamparnya keras.
"Masuk, kita bicara di dalam." kata Niken akhirnya, nadanya datar tapi nadinya berdegup liar.
Tania masuk perlahan, duduk di ujung sofa, menangis pelan. Niken duduk di seberang, menggenggam lututnya sendiri agar tetap kuat. Suasana menegang, hanya isakan Tania yang terdengar.
"Berapa umurmu?" tanya Niken penasaran.
"Sembilan belas tahun, Bu,"
"Umur semuda itu sudah belajar jadi pelakor?" Niken terheran-heran. Padahal, dulu saat masih seumuran Tania. Niken masih senang bermain dan belajar dengan teman-temannya dan belum kenal yang namanya pacaran. Dunia memang sudah tua.
Tak lama, suara mobil memecah keheningan. Pintu rumah terbuka dan langkah kaki berat menyusul.
"Ken? Aku pulang," sapa Damar.
Damar mematung di ambang pintu ruang tamu saat melihat Tania di sana. Wajahnya langsung pucat.
"Tania? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, nada suaranya tegang.
Niken berdiri perlahan. Matanya merah, suaranya dingin. "Mas Damar. Duduk."
Damar, yang biasanya percaya diri, kini tampak kikuk. Ia duduk di sisi lain sofa, matanya tak berani menatap Niken.
"Tania bilang dia kekasihmu. Dia sedang hamil dua bulan. Jelaskan padaku. Sekarang Mas!"
Damar menarik napas panjang, menunduk. "Niken.... Aku.... Aku minta maaf. Semuanya memang benar."
Deg.
Ucapan itu menusuk seperti pisau. Niken memejamkan mata, air matanya jatuh, tapi ia tetap berdiri tegak. "Kenapa, Mas? Kenapa kau lakukan ini padaku?"
"Maafkan aku, aku khilaf."
"Sejak kapan kalian berhubungan?" desak Niken.
"Beberapa bulan terakhir." jawab Damar jujur.
Dada Niken terasa sesak, jantungnya seperti mau pecah. Bagaimana bisa perselingkuhan itu berjalan selama beberapa bulan dan Niken tidak menyadarinya. Seketika Niken merasa dirinya sangat bodoh.
Tiba-tiba Tania menangis lebih keras, lalu memandang Damar dengan mata memohon. "Mas Damar, tolong.... Nikahi aku. Aku tidak mau anak ini lahir tanpa Ayah. Aku tidak kuat kalau harus menghadapi semua ini sendirian."
Damar menggeleng cepat. "Tidak, Tan. Aku belum bisa. Ini semua salahku, tapi menikah sekarang? Itu berat."
Tania terisak, lalu tiba-tiba bersujud di kaki Niken. "Bu Niken, aku mohon.... Tolong aku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain seorang Nenek. Aku cuma mau anak ini diakui. Aku tidak minta lebih."
Niken melihat ke bawah, melihat gadis muda itu menggenggam pergelangan kakinya, menangis sampai tubuhnya berguncang. Sakit hati Niken tak bisa ditahan lagi. Ia menarik kakinya pelan, matanya beralih pada Damar yang hanya bisa tertunduk dengan wajah penuh rasa bersalah.
"Selama ini kita berjuang agar bisa punya anak Mas, Aku rela disuntik hormon, cek ke Dokter bolak-balik. Aku rela sakit, demi kita punya anak. Tapi kau malah tega begini?"
Damar menangis tanpa suara, wajahnya memucat. "Aku tidak pernah mau menyakiti kamu, Ken... Aku cuma tergoda pesonanya sesaat saja."
"Tergoda sesaat? Itu alasan terburuk yang pernah kudengar." Niken menatap tajam. "Sekarang lihat apa yang kau lakukan. Dua nyawa yang kau rusak. Aku dan dia."
Tania mengangkat wajahnya, matanya sembab. "Bu... Aku tidak mau merebut Mas Damar dari Ibu. Tapi tolong.... Nikahkan kami. Setidaknya secara siri. Aku mohon."
Niken menutup mata, menahan gemetar tubuhnya. Air matanya terus mengalir, tapi ia membuka mata kembali, memandang suaminya dengan tatapan yang tak pernah Damar lihat sebelumnya—penuh luka, penuh kecewa.
"Kau harus bertanggung jawab pada gadis muda itu Mas. Dia anak yatim piatu. Nikahi dia secara siri kalau itu yang terbaik. Aku tidak mau anak itu lahir tanpa Ayah yang jelas."
Damar menggeleng lemah. "Tapi, Ken..."
"Ini bukan soal mau atau tidak, Mas. Ini soal harga diri seorang perempuan. Dia mungkin salah, tapi kau yang paling salah. Bertanggung jawablah."
Rumah itu hening. Tania masih menangis, Damar terisak pelan, dan Niken berdiri di sana, sendirian dalam hatinya yang hancur.
"Kalau kau masih punya sedikit rasa hormat padaku," lanjut Niken dengan suara bergetar, "Lakukan ini."
Damar menunduk, air matanya jatuh di lantai. "Baik, Ken.... Aku akan bertanggung jawab."
Niken berbalik, melangkah pelan menuju kamar, meninggalkan mereka berdua. Di dalam kamar, ia menutup pintu perlahan dan membiarkan tubuhnya ambruk di lantai. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya pecah tanpa bisa dihentikan.
Di balik pintu, ia menyadari jika hidupnya baru saja berubah untuk selamanya.
Bersambung....
☀️☀️☀️
Niken duduk di tepi ranjang, memandang kosong ke arah jendela yang tirainya masih tertutup rapat. Di luar kamar, terdengar samar-samar suara tamu yang datang dan pergi, suara para tetangga yang ikut menyaksikan akad nikah Damar dan Tania yang baru saja berlangsung di ruang tamu tadi sore. Hatinya masih terasa sesak, seolah ada batu besar yang menghimpit dada.
Pintu kamar diketuk pelan. Awalnya Niken diam saja, berharap mereka pergi. Tapi ketukan itu kembali terdengar, lebih keras kali ini.
“Ken, ini aku…,” suara Damar terdengar ragu dari balik pintu. “Aku sama Tania. Boleh kita masuk?”
Niken memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu berkata dingin, “Masuk saja.”
Pintu terbuka perlahan. Damar melangkah masuk, menggandeng tangan Tania yang tampak gugup. Tania menunduk dalam-dalam, sementara Damar terlihat gelisah, matanya tak berani menatap langsung istrinya yang duduk kaku di tepi ranjang.
“Ken…,” Damar membuka percakapan dengan suara berat. “Kami…. Sudah selesai akadnya.”
Niken hanya mengangguk pelan tanpa menoleh, tatapannya tetap terpaku pada dinding kosong.
Tania memberanikan diri maju beberapa langkah, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Bu Niken… Aku…. Aku mohon…,” suaranya lirih. “Aku tahu aku banyak salah. Aku tahu aku merebut Mas Damar dari Ibu. Tapi…. Aku tidak mau semuanya jadi lebih buruk. Aku ingin kita akur…. Aku ingin Ibu menerimaku sebagai madu.”
Niken tertawa kecil, getir. “Menerima? Setelah kau hancurkan rumah tangga kami, sekarang kau minta aku menerimamu dengan lapang dada?”
Tania menggigit bibir, air mata mulai mengalir. “Aku.... Aku tidak punya niat jahat, Bu. Aku cuma ingin anak ini lahir dengan status jelas. Aku tidak akan ganggu Ibu…”
Damar buru-buru menimpali, mencoba menengahi. Ia duduk di samping Niken, berusaha menyentuh tangannya, tapi Niken langsung menarik diri. Damar tertegun, menatap wajah istrinya dengan penuh sesal.
“Ken, dengar aku…,” Damar berkata pelan, penuh tekanan. “Aku menikahi Tania karena paksaan darimu, bukan karena aku mau. Aku…. Aku cuma mencintaimu. Tidak ada wanita lain di hatiku selain kamu. Percayalah, Ken, perasaanku tidak pernah berubah.”
Niken mendengus pelan, memandang suaminya dengan tatapan kosong. “Cinta?” katanya lirih, nyaris seperti mengejek. “Kalau itu yang kau sebut cinta, Mas Damar, kau punya definisi yang aneh. Mencintaiku tapi tidur dengan perempuan lain? Hebat sekali.”
Damar menunduk, wajahnya penuh rasa bersalah. “Aku salah…. Aku sangat menyesal. Tapi aku mohon, Ken, jangan tutup pintu untukku. Aku janji, aku akan tetap utamakan kamu. Aku akan habiskan lebih banyak waktu bersamamu. Aku akan buat semua ini lebih mudah untuk kita.”
Tania hanya menunduk, wajahnya penuh kesedihan, seolah tahu bahwa dirinya adalah duri dalam hubungan mereka. Tangannya meremas ujung kerudungnya, tubuhnya sedikit bergetar.
Niken berdiri perlahan, matanya tajam menatap keduanya. “Sudah cukup,” katanya pelan tapi penuh ketegasan. “Aku tidak mau dengar janji-janji manis lagi, Mas. Semua ucapanmu tidak ada artinya buatku sekarang.”
Damar mengangkat wajahnya, matanya memohon. “Ken… Jangan begini…”
Niken mengangkat tangan, memotong. “Kalian berdua dengar baik-baik. Aku tidak mau tinggal seatap dengan istri muda. Rumah ini cukup untuk satu istri, dan itu aku. Kau dan Tania yang harus keluar. Kalian cari tempat tinggal baru. Aku tidak mau lihat kalian ada di sini lagi mulai besok.”
Tania terkejut, matanya membesar. “Bu…. tolong…. kami—”
“Tania.” Suara Niken tegas. “Cukup. Kau sudah dapat apa yang kau mau. Kau sudah jadi istri sah, kan? Sekarang urus rumah tanggamu sendiri. Jangan ganggu aku lagi.”
Damar memejamkan mata, menghela napas berat. Ia tahu tak ada gunanya memohon lagi. “Baik, Ken. Aku…. Aku akan cari tempat tinggal lain. Tapi aku janji, aku akan tetap ada buat kamu. Aku tidak akan biarkan kamu sendirian.”
Niken menatap tajam, sinis. “Aku tidak butuh janji-janji lagi, Mas. Sebaiknya, mulai kemasi barangmu sekarang!"
Keheningan menyelimuti kamar itu. Damar menggandeng Tania yang terisak dan mengangguk pelan, lalu berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Pintu kamar menutup perlahan, menyisakan Niken yang berdiri terpaku, dadanya sesak penuh amarah dan luka yang menganga lebar.
Kamar tamu. Tania dan Damar ribut besar. Niken tentu saja bisa mendengar semuanya dengan jelas karena kamar mereka yang menempel dan bersebelahan.
"Kenapa kita harus keluar dari rumah ini Mas? Ini kan rumah kamu," ucap Tania.
"Ini bukan rumahku, ini rumah peninggalan orangtua Niken," sahut Damar.
"Apa?" Tania mendelik kaget. "Lalu kita mau tinggal dimana?" lanjut Tania.
"Kita akan cari rumah kontrakan besok."
"Rumah kontrakan? Yang benar saja? Aku tidak mau membawa anak kita hidup susah. Pokoknya kita harus cari rumah kontrakan yang sama besarnya dan sama bagusnya dengan rumah ini!"
Mendengar perdebatan keduanya dari balik dinding, Niken tersenyum miring. Ternyata benar dugaannya, Tania bukanlah gadis yang polos. Dia ular kecil yang penuh bisa dan bermuka dua.
"Kita lihat saja Tania, sejauh mana kamu bisa bertahan Mas Damar." ujar Niken lirih.
Bersambung ....
☀️☀️☀️
Sudah sebulan berlalu sejak Damar menikahi Tania. Sebulan penuh tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa jejak kedatangan di rumah yang dulu mereka bangun bersama dengan susah payah. Niken duduk di ruang tamu, memandangi cangkir kopinya yang sudah dingin sejak sejam lalu. Hatinya terasa hampa, namun entah kenapa dia tidak terlalu terkejut dengan perlakuan Damar.
“Dia pasti sibuk menikmati status pengantin barunya,” gumam Niken lirih, mencoba membujuk hatinya sendiri. Ia tahu, Tania sedang hamil muda. Wajar jika Damar lebih memprioritaskan wanita itu. Tapi tetap saja, perih rasanya diperlakukan seolah-olah dirinya tak pernah ada.
Kenangan lima tahun pernikahan mereka berkelebat di kepala. Dulu, Damar adalah sosok yang lembut, perhatian, dan penuh janji manis. “Aku akan selalu bersamamu sampai tua, Ken. Kita berdua saja, kamu cukup bagiku.” Kata-kata itu dulu terdengar tulus. Tapi kenyataannya? Lima tahun berlalu, dan Damar justru menikam dari belakang.
Niken masih ingat hari ketika semuanya runtuh. Dia menemukan pesan-pesan mesra di ponsel Damar. Awalnya dia menyangkal, mengatakan itu hanya rekan kerja yang terlalu akrab. Tapi lambat laun kebenaran terkuak—Damar berselingkuh dengan Tania, wanita yang kini menjadi istri keduanya.
Lucunya, segala yang Damar punya sekarang adalah berkat Niken. Pabrik minuman ringan yang mereka miliki adalah hasil jerih payah Niken sejak awal. Ia membangun bisnis itu dari nol, berjuang sendirian di saat Damar bahkan belum punya pekerjaan tetap. Uang yang mengalir deras sekarang, rumah megah yang mereka tempati, semua itu berasal dari usaha keras Niken. Namun, balasannya? Pengkhianatan.
Niken memejamkan mata, menahan amarah yang kembali mendesak. Dia sudah terlalu lelah untuk terus berharap Damar akan adil. Bahkan sebelum Tania hadir, Damar sudah menunjukkan ketidakadilan itu.
Telepon di meja bergetar, memecah lamunannya. Bukan Damar. Hanya pesan dari adiknya, menanyakan kabar. Dengan cepat Niken mengetik balasan singkat lalu meletakkan ponsel itu lagi.
Diam-diam, ia sudah memikirkan keputusan besar. Ia tahu Damar tak akan pernah bisa adil. Hati kecilnya sudah sejak lama menyadari hal itu, hanya saja ia terlalu keras kepala untuk mengakuinya. Hari ini, dia ingin menyudahi semuanya.
Tangannya meraih ponsel. Ia menggulirkan daftar kontak dan berhenti di nama ‘Suami’. Jantungnya berdebar pelan saat menekan tombol hijau. Satu nada sambung. Dua. Tiga. Hampir saja dia memutuskan panggilan ketika suara berat yang begitu dikenalnya terdengar di seberang.
“Halo?”
Niken menarik napas dalam. “Mas, kita perlu bicara.”
Hening beberapa detik. “Ken? Ada apa? Aku sedang sibuk.”
Tentu saja. Sibuk dengan Tania, batin Niken getir. “Aku cuma butuh kau datang ke rumah. Sekarang!”
Damar mendesah. “Ken, aku benar-benar tidak bisa sekarang. Tania sedang tidak enak badan.”
Niken menggertakkan gigi. “Sudah seminggu kau tidak pulang. Sekarang aku cuma minta kau datang sebentar. Ada yang penting.” Nada suaranya tak bisa disembunyikan lagi—dingin dan tegas.
Damar diam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Baiklah. Sore nanti aku ke sana.”
Tanpa membalas, Niken menutup telepon. Matanya kosong memandangi layar yang kembali gelap.
Sore hari, tepat pukul lima, suara mobil Damar terdengar memasuki halaman rumah. Niken berdiri di dekat jendela, memperhatikan bagaimana Damar turun dari mobil dengan wajah kelelahan, atau mungkin hanya berpura-pura lelah.
Tak lama, Damar melangkah masuk. Aroma parfum yang dulu membuat Niken jatuh cinta kini justru menyesakkan.
“Aku sudah di sini,” katanya tanpa basa-basi, meletakkan kunci mobil di atas meja.
Niken menatapnya lurus. “Duduk. Aku tidak mau buang-buang waktu.”
Damar menaikkan alis, lalu duduk di sofa seberang Niken. “Apa yang sebenarnya mau kau mau bicarakan denganku?”
Niken menarik napas panjang. “Aku mau kita cerai.”
Seperti petir di siang bolong, wajah Damar seketika berubah. “Apa? Ken, kamu serius?”
Niken mengangguk. “Aku sudah pikirkan baik-baik. Aku tidak mau terus terjebak di pernikahan yang cuma membuat aku terluka. Aku sadar kau tidak akan pernah bisa adil. Lebih baik kita akhiri saja.”
Damar terdiam. Tatapannya menusuk, seolah berusaha membaca pikiran Niken. “Kamu yakin? Setelah semua yang kita bangun bersama lima tahun ini?”
Senyum pahit tersungging di bibir Niken. “Justru karena semua yang kita bangun, aku sadar aku pantas dapat yang lebih baik. Selama ini aku yang kerja keras, aku yang berjuang. Tapi kau? Kau malah menghancurkan semuanya Mas.”
Damar menyandarkan punggungnya, mengusap wajah. “Ken, dengar dulu. Aku memang salah, tapi perceraian bukan solusi. Kita masih bisa perbaiki—”
“Perbaiki?” Niken memotong cepat. “Kau sudah berselingkuh dengan wanita lain, Mas. Ada apa lagi yang bisa diperbaiki?”
Keduanya terdiam cukup lama. Damar akhirnya berkata pelan, “Kau benar-benar tidak mau pikirkan lagi?”
Niken berdiri, memunggungi Damar. Suaranya bergetar, tapi ia tetap teguh. “Aku sudah memutuskan. Aku akan minta pengacara untuk urus semuanya.”
Damar bangkit berdiri. “Baiklah kalau itu keputusanmu.” Suaranya terdengar dingin. “Tapi ingat, Nik, apa pun yang terjadi nanti, kau juga yang memilih jalan ini. Jangan pernah menyesalinya!”
Tanpa berkata lagi, Damar melangkah keluar, meninggalkan Niken sendirian di ruang tamu yang tiba-tiba terasa jauh lebih sepi.
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga. Niken menggenggam dadanya erat-erat, mencoba menenangkan degup jantung yang berantakan.
Dia tahu keputusannya akan menyakitkan. Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Niken merasa sedikit lega—seolah beban yang mengimpit dadanya mulai terlepas satu per satu.
Ini bukan akhir yang diharapkannya. Tapi setidaknya, ini adalah awal untuk Niken hidup dengan lebih baik.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!