Daisy,
Aku ini gadis desa yang masih sangat polos. Ke polosanku serta keluguanku membuatku sering sekali tertipu. Mereka, orang terdekatku, dengan sengaja membawaku ke kota setelah empat puluh harinya ayah dan ibuku meninggal bersamaan akibat serangan jantung.
Aku kira saat tinggal di tempat baru, mereka memperlakukan aku layaknya anak kandung mereka, ternyata dugaanku salah.
Aku di jadikan pelayan di rumah mereka. Membersihkan seluruh bagian rumah, beserta isinya. Tak pernah ada kata libur bagi mereka. Aku di pekerjakan sesuka hati mereka. Terkadang jika aku tidak mengikuti aturan yang mereka buat, aku akan dicercanya, dimaki dan dihina. Tak luput juga aku sering kena pukulan dan tamparan di pipiku yang mulus.
Dulu, Ayah dan ibuku saja tidak pernah memperlakukan aku seperti ini. Mereka selalu memanjakan aku. Bahagia rasanya saat Ayah dan Ibu masih ada.
Bukan, bukan aku tidak mau bersyukur tinggal bersama Paman dan bibiku. Namun, sikap dan perlakuan mereka terhadapku, ibarat pembantu.
Paman dan bibiku itu, mereka orang yang berada. Rumahnya pun besar dengan halaman yang luasnya mungkin melebihi lapangan bola di desaku. Kendaraannya banyak. Ada mobil, dan motor. Tak luput juga motor harley pun mereka koleksi.
Akan tetapi, untuk menyewa pembantu saja, mereka enggan. Malah mempekerjakan aku ponakannya sebagai pembantu tak bergaji.
Sebelumnya ...
"Neng, kamu ikut paman ke kota, ya? Kalau kamu masih tinggal di sini, siapa yang akan mengurus kamu nantinya?" Pamanku yang bernama Jonathan mengajakku.
"Kalau aku ikut, lalu rumah ini siapa yang tempati, Paman?" tanyaku.
"Tenang, ada yang mengurus nanti. Paman tidak mau kalau kamu sendirian tinggal di sini. Lagipula, rumah ini terlalu besar untukmu. Coba kamu pikir, seorang gadis cantik tinggal sendirian di rumah besar. Bagaimana jika ada orang yang berniat jahat padamu? Paman tidak mau itu terjadi, Neng." Paman Ben berusaha menjelaskan padaku.
"Bener tuh, Sayang, ikut saja sama kami, ya? Setidaknya kami bisa menunaikan wasiat almarhum dan almarhumah orang tuamu. Mereka pasti bahagia kalau kamu ikut bersama kami ke kota." Bibi Mey menimpali. Meyakinkan aku agar mau ikut bersamanya.
Setelah panjang lebar mereka berusaha membujukku ikut ke kota, dan akhirnya aku menyetujui. Aku ikut bersama mereka, meninggalkan rumah peninggalan orang tuaku, dan juga meninggalkan Kota C yang sangat aku cintai.
🍁🍁🍁
"Hei, jangan banyak melamun! Lihat, cucian kotor menumpuk di wastafel! Segera cuci kalau tidak, kamu tidak akan dapat jatah makan malam ini!" hardik Bibi Mey, saat melihatku melamun di taman rumahnya.
Melamun? Apa mata Bibi Mey buta sampai ia bilang ponakannya melamun terus? Dari tadi ayam mulai berkokok sampai matahari terbenam, aku tidak ada hentinya mengerjakan tugas di rumah ini. Tugas yang seharusnya dikerjakan oleh seorang pelayan.
"Kenapa masih diam saja?! Cepat sana bersihkan! Minggir aku mau istirahat!" lagi-lagi, Bibi Mey membentakku. Kata-katanya itu sangat tajam sekali. Aku geram, tetapi aku tidak bisa melawan. Sebab tubuh Bibi Mey yang gempal membuatku urung melakukan aksi pembelaan.
Aku beringsut dari tempatku duduk, kemudian berlalu pergi meninggalkan Bibi Mey menuju dapur, di dapur itu sudah menunggu cucian piring kotor yang menumpuk.
Batinku menjerit perih, sakit. Luka yang tak nampak, sakitnya berasa meremukkan tulang belulangku. Rasanya aku ingin pergi mengikuti Ibu dan ayahku, tetapi aku tetap harus kuat. Aku harus bisa menjadi wanita yang tegar. Perjalananku masih panjang. Aku yakin, di balik kejadian ini, pasti Allah sudah menghadiahkan sesuatu untukku. Aku percaya itu.
🍁🍁🍁
"Daisy! Di mana kamu?" Suara cempreng bak kaleng rombeng tengah memanggil namaku. Pemilik suara itu bernama Razak, puteri sulung dari anak Bibi Mey dan Paman Ben. Dia bertingkah seolah-olah dia adalah ratu di rumah. Segala macam keperluan pribadinya, semuanya aku yang siapkan.
Dari mulai baju, sepatu sekolah, makan serta minum aku yang menyiapkan. Jika tidak, aku akan kena tampar bibi Mey. Kalian tahu, seperti apa tamparannya? Coba saja kalian tampar pipi kalian sendiri, dan itulah yang kalian rasakan. Sakit bukan?
"Aku sedang menyiapkan sarapan untuk Alea. Tunggulah sebentar. Aku segera kembali," kataku, menyahuti panggilannya.
"Cepatlah! Jangan sampai aku kesiangan." Razak mengancam.
Aku mengangguk. Melanjutkan kembali pekerjaanku. Membuatkan sarapan untuk Alea, membersihkan lantai rumah, dan yang terakhir melayani nona Razak yang tingkahnya bak ratu sejagad.
Aku bosan, jenuh. Bolehkah aku pergi dari dunia ini ibu? Aku sudah putus asa sekali ibu. Mereka semua seperti sedang menguji kesabaranku ibu.
Ayah, bolehkah Ayah membantuku bicara pada Tuhan? Jika iya, tolong sampaikan padanya, cabut nyawaku saja, Yah. Aku capek, aku bosan. Aku benar-benar telah menjadi gila tinggal di rumah paman Ben.
Kenapa aku tidak melarikan diri? Tentu sulit bagiku untuk melakukan itu Ayah. Paman Ben itu seorang ketua geng. Tentunya banyak sekali orang yang akan membantunya untuk mencari diriku. Lalu jika aku kabur, aku akan tinggal di mana? Sungguh ini cukup sulit bagiku.
🍁🍁🍁
"Nanti malam kami akan pergi. Jaga rumah, dan jangan melakukan apapun yang akan merugikan dirimu! Jika sampai kamu melarikan diri, paman tidak akan segan-segan menguliti dirimu! Paham?" Paman Jo berujar dengan nada mengancam.
Aku mengangguk, dan kutundukkan pandanganku. Aku takut menatap matanya. Matanya itu merah, sepertinya paman sering minum minuman beralkohol.
Setelah selesai memberikan aku ultimatum, mereka pergi bersenang-senang. Pergi dengan pongkahnya dan tawa canda mereka aku dengar begitu nyaring dan renyah. Ah, aku iri pada Razak dan Alea.
Aku memasuki rumah Paman Jo. Aku tutup pintu dan segera aku rebahkan tubuhku ke atas sofa. Malam ini aku bisa beristirahat sejenak. Sambil menikmati makanan sisa bekas paman dan bibiku makan. Itu pun agak sedikit basi. Aku terpaksa memakannya. Biarlah tak apa, asal perutku kenyang dan aku tidak kelaparan.
🍁🍁🍁
Dua bulan kemudian.
"Perusahaanku hampir bangkrut," ujar Paman Jo saat sedang makan malam. Kudengar sayup-sayup dia mengeluhkan tentang perusahaannya.
"Kok, bisa, Pah? Terus nasib kita bagaimana?" tanya Razak.
"Rumah ini beserta aset milikku, harus aku jual demi membayar gaji karyawan yang sudah tiga bulan belum Aku bayarkan," ujarnya lagi.
Kulihat Bibi Mey diam. Wajahnya terlihat kebingungan. Namun, beberapa detik kemudian kembali merekah sambil melihat ke arah di mana aku berdiri.
"Kita tinggal di kampung saja, Pah. Di rumah almarhum kakak laki-lakimu," sahutnya memberi ide gila.
"Benar juga, Pah. Rumah paman Johan itu cukup besar. Jadi kita tidak berasa kehilangan rumah," timpal Razak.
Paman Jo diam. Dia berfikir tak mungkin untuk kembali ke desa, karena rumah peninggalan ayahku, merupakan hak waris untukku. Dia tidak mau mengambil yang bukan haknya.
"Tidak! Biarkan kita tetap di sini. Nanti Papa pikirkan langkah selanjutnya. Kalian cepat selesaikan makannya. Habis itu, kalian tidur!"
"Iya, Pah, iya." sungut Razak dengan bibir yang dia monyongkan ke depan.
Aku lega, karena Paman Jo tidak jadi pergi ke rumah peninggalan ayahku. Mungkin Paman masih ada rasa takut saat tinggal di desa. Takut karena di sana masih ada musuh bebuyutannya, yang bernama Kang Harjo.
🍁🍁🍁
Pagi.
Hari ini begitu cerah, matahari bersinar terang seolah tersenyum senang padaku. Sinarnya yang terang merambat naik ke atas langit, hangat. Kurasakan hangat sinarnya.
Hari ini, aku memulai aktifitas seperti biasanya untuk membersihkan rumah Paman. Seperti biasa, menyiapkan makanan dan segala macam keperluan untuk anak-anak paman. Sekarang aku bisa ikhlas menerima perlakuan mereka, bentakan serta ancaman yang keluar dari mulut mereka.
Di kejauhan, nampak Paman Jo jalan dengan tergesa-gesa. Kemudian duduk di ruang tamu. Dia rubuhkan tubuhnya di atas sofa empuknya. Menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya. Kupikir, persoalan yang di hadapi Paman terlihat sangat berat sekali.
Bibi May melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Ia tahu, bahwa suaminya telah datang dari kantor. Bibi May duduk di samping Paman.
"Ada apa?" Bibi May bertanya, sambil membuka sepatu yang masih dikenakan paman.
"Ada yang mau membantu perusahaan ku. Tapi, dia memakai syarat," jawab paman.
"Apa itu? Jika mudah, maka turuti saja. Toh, kita, kan ditolong olehnya." bibi May memberi saran.
"Aku harus menyerahkan putriku yang cantik untuk dinikahkan dengan anak pemilik perusahaan yang akan membantuku kelak."
"Lalu, apa masalahnya? Razak, itu kan sangat cantik. Begitu juga dengan Alea. Mereka pasti akan setuju jika calon suaminya kaya raya, dan juga tampan."
"Justru itu."
"Justru itu apa?" Bibi May kebingungan.
"Calon suami yang akan dinikahkan, wujudnya sangat mengerikan! Dia cacat. Wajahnya buruk sekali," bisik Paman. Namun, aku masih bisa mendengarnya.
Bibi May terkejut. Bibirnya menganga, benar-benar terkejut dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Rasakan! batinku mengutuknya. Aku puas.
Tak lama kemudian kedua bola mata bibi May, melihat ke arahku. Lalu munculah ide gila dari dalam otaknya.
"Kalau begitu kita nikahkan saja Daisy. Lihat dia, kan, sangat cantik. Cocok sekali jika di sandingkan dengannya. Bagaimana? Kau setuju suamiku?"
Paman Jo berfikir. Akhirnya ia menyetujui usulan Bibi May. Dengan senyuman manisnya, Bibi May menatapku. Tiba-tiba saja, senyumannya berubah menjadi senyuman menyeringai.
Apalagi ini? Apa yang harus aku lakukan? Mengapa mereka tega mengorbankan diriku hanya untuk menyelamatkan perusahaannya, tanpa memikirkan nasibku kelak.
Ayah ibu, aku ingin pergi jauh. Bersama kalian di surga. []
🍁🍁🍁
Pernikahan yang di dasari bukan karena cinta. Pastinya akan menimbulkan ketidak-harmonisan dalam rumah tangga.
Kata-kata itu mewakili hatiku saat ini. Aku dipaksa menikah oleh Uncle Jo dengan seorang lelaki yang belum pernah aku temui. Lelaki asing yang sebentar lagi akan menjadi suamiku, tentunya dia juga tidak mengenal diriku sebelumnya. Kami terikat dengan pernikahan sakral. Namun, penuh dengan perjanjian hutang piutang.
"Pokoknya kamu harus menikah dengan anak sulung dari keluarga Tuan Andrean! Jika tidak, rumah peninggalan orangtuamu beserta seluruh aset kekayaan milik ayahmu, Paman jual! Tentunya kamu tidak ingin hal itu terjadi bukan?" Uncle Jo memberiku ultimatum lagi. Selalu dan selalu mengancamku ketika keinginannya tidak dikabulkan. Aku muak dengannya, yang terlalu penurut pada Bibi Mey.
"Aku tetap pada pendirianku sebelumnya. Tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya!" tolakku.
"Bukankah Paman memiliki dua anak gadis? Nikahkan saja mereka, Paman! Apalagi kedua anak gadis paman itu, keduanya sama-sama menyukai harta, tahta dan kemewahan," celetukku. Kedua mataku menoleh mengarah pada Elena dan Lusiana.
"Laki-laki ini sangat istimewa. Calon yang akan menjadi suamimu nanti, dia sangat cocok jika bersanding denganmu, Daisy. Hanya kamu satu-satunya perempuan yang pantas menjadi istrinya," ujar Uncle Jo.
Dia seperti sedang menutupi suatu kebohongan. Padahal sebenarnya aku sudah mengetahui siapa dan bagaimana rupa dari calon suamiku. Sebab, tanpa sengaja aku mendengar percakapan antara Uncle Jo, Bibi Merina, Lusiana dan Elena tentang calon suamiku. Mereka semua menjadikan aku tumbal untuk melunasi semua hutang yang mereka ciptakan sendiri.
"Istimewa?" Aku mengulang ucapan Uncle Jo. Lalu melirik ke arahnya sambil tersenyum sinis. "Istimewa karena wajahnya buruk rupa? Sehingga Paman tidak ingin mengorbankan kedua anak Paman untuk dinikahi olehnya, begitu bukan Uncle Jonatan?"
Uncle Jo yang sedang menikmati kopi panas, tiba-tiba dia terbatuk. Lalu, disemburkannya kopi yang sudah dia minum.
"Itu tidak benar, Daisy. Kamu salah dengar," ujarnya. Entah itu bohong atau tidak.
"Kalau itu tidak benar, ya, sudah ... Paman nikahkan saja dengan Alea. Beres."
Bibi Mey yang tadi terlihat diam, begitu mendengar penolakanku berkali-kali, dia langsung menyela ucapanku. Bibi Mey hampir saja menampar wajahku jika saja aku tidak sigap menghindari gerakan tangannya.
"Dasar ponakan tidak tahu diuntung! Kami sudah merawatmu dengan sangat baik di sini. Harusnya kamu berterima kasih pada kami. Bukannya malah membantah perintah kami!"
Aku yang mendengar penuturan Bibi, langsung kusambut dengan kalimat menusuk hati.
"Anda tidak sedang berakting 'kan Bibi Mey? Yang harusnya bersyukur itu Anda, dan kedua anak-anak Anda, bukan aku! Ini rumah ayahku! Harus Anda ingat, yang numpang di sini itu Anda! Jadi, kalaupun yang harus berhutang Budi itu, Anda bukan aku!"
"Pokoknya, aku bilang tidak, ya ... tidak! Jangan paksa aku untuk menikah!"
"Dan untuk kalian dua sepupuku, ingat! Kalian di sini cuma menumpang. Ini rumahku, bukan rumah kalian! Paham!"
Setelah mengatakan itu, aku bergegas pergi dari hadapan mereka. Rasa kesal bercampur emosi kini dirasakan olehku. Kesal pada kenyataan kenapa ayah dan ibu harus pergi lebih dulu meninggalkan aku. Andaikan ayah dan ibu masih hidup, aku mungkin akan merasa lebih tentram.
****
Di sebuah danau kota.
Suara riak air terdengar syahdu ketika kulemparkan batu kerikil mengarah ke dasar danau. Airnya begitu jernih sehingga dari kejauhan bisa terlihat kedalaman air di danau itu. Hanya inilah tempat yang membuat hatiku damai dan bahagia. Di tempat ini, aku bisa berteriak semauku dan menangis semauku.
"Kenapa takdir ini kejam padaku?!"
"Kenapa Tuhan tidak pernah memberikan aku kebahagiaan?!"
"Kenapa harus aku yang menderita? Bukan mereka yang telah jahat padaku!"
Aku terus berteriak kencang. Menumpahkan semua perasaan marah.
"Hidup itu pilihan. Jika Tuhan memberikan kamu cobaan, maka harus kamu lalui dengan usaha. Tuhan itu tidak akan memberikan cobaan pada hambanya secara cuma-cuma. Dia hanya ingin menguji kamu seberapa kuat kamu menghadapi cobaan dari-Nya."
Seorang laki-laki bertubuh besar muncul ketika suara teriakan terakhir yang kuucapkan. Dengan refleks aku menoleh ke arah suara itu.
"Siapa kamu? Sejak kapan kamu berada di sini?!"
Laki-laki itu tersenyum manis padaku. "Sejak kedatangan kamu ke danau ini, aku lebih dulu ada di sini. Kamunya saja yang tidak melihat kanan dan kiri," jawabnya lugas.
Sial!
Berarti dia mendengar ocehanku tadi. Kamvret memang!
"Ada masalah apa? Putus dengan kekasih?" tanyanya seakan meledek padaku.
"Kepo!"
"Tidak. Aku hanya ingi tahu saja. Siapa tahu aku bisa membantumu."
"Membantu? Cih! Bisa apa kamu?"
"Bisa semuanya. Menghajar orang, membunuh atau ... memenjarakan orang yang bersalah. Tapi, asal jangan satu hal ini saja. Aku pasti nyerah."
Aku terdiam dengan alis terangkat satu. Lelaki jangkung itu menoleh dan ia seakan mengerti dengan arti kode dari alisku ini.
"Jangan bertanya padaku soal cinta. Karena aku tidak pernah jatuh cinta."
Ucapan lelaki itu membuatku tertawa terbahak-bahak. Dari caranya berbicara hingga ekspresi wajahnya yang terlihat cuek dan tampak so cool, ternyata jomlo lovers sejati.
"Ah, percuma saya bicara panjang lebar pada orang asing macam kamu. Dasar wanita aneh!" Lelaki itu berdiri. Ia hendak pergi meninggalkan aku sendiri di danau kota.
"Hati-hati, Nona. Di sini sering ada penampakan," ujarnya. Dan itu sukses membuatku merinding setengah gila.
"Kamvret kamu! Woi ... tunggu! Tanggung jawab dulu! Woi!"
Lelaki jangkung itu tetap pergi. Cara mengambil langkah kakinya itu yang tidak bisa kuimbangi. Lelaki aneh dengan paras yang tidak terlalu tampan, tetapi guratan di rahangnya membuat sebagian wanita tertarik. Terlebih lagi dengan bentuk alisnya yang simetris melengkung seperti bulan sabit. Benar-benar ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Kali ini aku cukup terhibur. Terhibur karena sosok lelaki asing yang tidak sengaja menghiburku. Walaupun ucapannya tidak jelas. Mungkin dia sedang berusaha untuk meredam emosiku saat ini. Ya, tetapi gimana juga dia itu tetap lelaki aneh yang belum pernah aku temui.
****
Keesokan harinya.
Uncle Jo benar-benar telah ditutupi hatinya oleh uang. Dia menepati apa yang dikatakan olehnya kemarin. Aku harus mau mengikuti semua perintahnya.
Mobil jemputan dari Tuan Andrean sudah datang. Ada dua mobil berwarna putih datang beriringan yang di dalamnya terdapat beberapa bodyguard.
"Maaf Nona. Saya orang kepercayaan Tuan Andrean, ingin menjemput Anda dan membawa Anda ke tempat butik Tuan Dewa. Bisakah Anda ikut kami sekarang?" katanya sambil berusaha menarik lenganku.
Kutepis tangan kasar itu yang berusaha memegang lenganku.
"Tidak perlu seistimewa itu! Aku bisa jalan sendiri tanpa harus diseret ataupun dipaksa!" kataku. Mencoba tegas pada mereka.
"Baik. Maafkan kami Nona. Kalau begitu, mari silakan Nona masuk ke dalam mobil."
Aku mengikuti arahan darinya. Tanpa bisa menolak ajakan mereka, aku ikuti saja kemauan dari Uncle Jo, Bibi Merina dan juga para ajudan kesayangan Tuan Andrean.
Di tengah perjalanan, aku sempat memperhatikan mereka yang duduk di samping kanan dan kiri. Mereka semua bertampang sangar. Jika aku memilih kabur, sudah pasti aku kalah cepat dari mereka.
"Berapa menit lagi kita sampai?" tanyaku tiba-tiba. Mereka berempat terkejut saat aku bertanya.
"Paling dua puluh menit lagi, Nona. Ada apa? Apa Anda membutuhkan sesuatu?"
Aku menggeleng cepat. "Ah, tidak-tidak! Aku hanya bosan saja duduk di dalam mobil," dalihku.
Kalian tahu tanggapan mereka? Mereka hanya menoleh tanpa tersenyum. Itu membuat nyaliku sedikit menciut. Terutama pada laki-laki yang sedang menyetir. Dia itukan pria yang kemarin kutemui di danau kota. Pria dingin yang tidak pernah merasakan jatuh cinta. Ya, itu dia orangnya! []
"Untung saja, mempelai wanitanya sudah sempurna."
Suara pemilik butik yang kerap disapa Incesss ini berhasil memujiku. Aku juga tidak tahu tujuan dia memuji. Apa untuk mendapatkan hadiah dari Asisten Tuan Andrean, atau ... memang dia berniat memuji diriku? Ah, entahlah hanya dia yang tahu maksud perkataannya itu.
"Terima kasih Tuan ...." Aku lupa dengan nama Sang Designer hebat ini.
"Nama saya Dewa. Panggil saja Incesss. Saya sudah terbiasa dipanggil itu oleh kebanyakan orang," ujarnya mengenalkan diri.
Aku hanya tersenyum manis padanya. Sambil memperhatikan gaun yang kupakai hari ini.
"Oh, iya, kalau ada yang mau ditambahkan, bilang saja. Atau Anda bersedia menjadi model gaun pengantin saya juga boleh banget," kelakarnya. Itu sangat mengganggu Indra pendengaranku.
Namun, aku masih bersikap baik padanya. Sambil terus tersenyum padanya, kuberikan senyum manisku pada Tuan Dewa. Karena dia sudah membuatkan gaun terindah untukku.
"Siapakah nama Anda, nona? Bolehkah saya tahu nama Nona yang cantik ini? Ya, siapa tahu nanti saya butuh model, jadi saya bisa menghubungi Anda." Dewa berceloteh lagi.
"Ehem!" Suara deheman terdengar kencang. Rupanya, di butik ini aku tidak sendiri. Ada anak buah dari calon suamiku yang ikut masuk ke dalam butik. Mengontrol dan memastikan bahwa aku telah mencoba gaun pengantin yang di pesannya.
Orang itu adalah pria yang pernah aku temui di Danau Biru waktu aku sedang meluapkan emosi dan pria itu kujuluki si Kulkas.
"Ah, ternyata Anda Tuan Dave. Maafkan saya. Saya kira, saya sedang mengobrol bukan dengan calon Istri Tuan Alvin," pungkasnya, dengan nada yang lemah gemulai.
"Saya paham jika Anda seperti itu. Tapi, entahlah jika Tuan Alvin mendengar ocehan Anda tadi Tuan Dewa, Anda beserta butik ini akan lenyap." Ternyata utusan calon suamiku orangnya penuh keegoisan. Dengan seenaknya dia mengatakan seperti itu, seakan-akan dia dan tuannya itu adalah orang yang berkuasa di bumi ini.
"Mari Nona, kita pergi dari sini! Butik ini ternyata tidak cukup bagus untuk Nona!" ujarnya, menyindir.
"Maaf, Tuan Dave. Saya menyukai gaun ini. Dan saya tidak ingin pindah ke rancangan yang lain. Dan saya juga sudah memaafkan perkataan Dewa tadi." Aku berusaha menolak. Tak tega jika Tuan Dewa ditolak olehnya. Aku menghargai karya orang lain.
Orang kepercayaan dari calon suamiku menatap tajam wajahku. Keningnya berkerut sehingga alis matanya pun terangkat.
"Apa? Dewa?" tanyanya mengulang kata-kata yang kuucapkan tadi. "Anda baru saja mengenal Tuan Dewa, dan sekarang dengan sopannya memanggil perancang baju kampungan ini dengan nama?"
"Iya. Memangnya dilarang gitu?" tanyaku berbalik.
"Kalau Tuan Alvin dengar, bisa-bisa Anda kena hukuman darinya." Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menarik tanganku, tetapi aku menepisnya cepat.
"Lepaskan tangan saya, Tuan Kulkas!" kataku tajam.
"Baiklah kalau Anda masih tetap ingin di sini. Dengan terpaksa saya membatalkan acara pernikahan ini!" Dave murka karena aku tetap bertahan di butik milik Dewa.
"Anda tahu Nona? Anda~lah wanita yang sangat pemberani menentang perintah saya! Anda tahu jika saya sudah marah, saya bisa berbuat nekat pada Anda! Demi kenyamanan Anda dan juga saya, saya mohon ikuti saya kemana pun saya pergi membawa Anda! Dengan begitu, tidak akan ada yang terluka nantinya, paham!" bentak Dave. Seketika aku terkejut, saat Dave menarik tanganku lagi dengan kasar dan membawaku pergi dari butik Tuan Dewa.
Dave marah padaku. Ia dengan kasar menarik tanganku dan segera menyuruhku untuk masuk ke dalam mobil.
"Silakan Anda masuk, Nona!"
"Kau sangat kasar, Tuan! Apakah kau tidak dididik untuk menghormati wanita? Apakah perbuatan tadi itu baik menurut Anda? Ingat Tuan, wanita itu bukan barang yang dengan seenaknya dipakai lalu dibuang dan diperlakukan semena-mena. Mereka punya hati. Tidak seperti Anda yang terlihat tidak mempunyai hati!" Aku memakinya.
"Diam! Kalau masih banyak bicara! Kalau Anda masih tetap bersikukuh, saya turunkan Anda di jalan raya!" ancamnya.
"Lebih baik Tuan turunkan saya, daripada Tuan mengancam saya terus-menerus. Harus Anda ingat tuan, saya sudah tidak mempan diancam. Karena Paman dan Bibi selalu mengancam saya dengan kata-kata yang sama seperti Anda ucapkan tadi. Turunkan saya di sini!" perintahku pada Dave.
Dave menatap tajam ke arahku. Tatapan matanya seakan-akan ingin menghabisiku, tetapi dia urungkan niat itu. Tentu jika dia melakukan itu, dia akan menanggung akibat dari perbuatannya.
Dave menghentikan mobil yang dikendarainya. Kemudian membuka kunci otomatis dari tombol yang berada di kemudi stir mobil.
"Turunlah, Anda bebas sekarang! Tapi ingat, besok Anda beserta keluarga Paman Anda, akan menderita. Ingat selalu kata-kata saya, saya tidak main-main, Nona!" ancam Dave.
Tak lama kemudian mobil yang di kendarai Dave, melaju dengan cepat. Lalu menghilang tak nampak lagi di hadapanku.
Apa ini? Kenapa aku begitu berani padanya tadi? Apa yang akan terjadi pada Paman dan Bibi di rumah? Mereka pasti akan menghukum aku.
Betapa bodohnya aku ini. Tidak memikirkan akibat yang akan ditanggung oleh Uncle Jo. Meskipun ia selalu bertindak kasar padaku, tetapi dia adalah keluargaku satu-satunya. Yang rela memberikan perlindungan padaku.
Ah ... entahlah, apa pun yang terjadi, aku akan siap menerima perlakuan dan hukuman dari Paman dan Bibi di rumah.
***
Berjalan menyusuri jalan raya, itu sudah menjadi kebiasaanku. Saat kaki ini melangkah, perlahan-lahan rasa sedih, marah, gundah dan sebagainya ... mendadak hilang. Berganti dengan keceriaan karena sambil memperhatikan kakiku yang ringan saat melangkah di bahu jalan.
Laki-laki itu. Laki-laki yang kutemui beberapa hari yang lalu, laki-laki yang kuketahui bernama Dave, dia itu ternyata memiliki sikap yang sangat buruk. Kukira ia adalah laki-laki yang baik, tetapi pada kenyataannya sangat berbalik. Dia sangat sangat sangat buruk.
"Apa yang akan terjadi selanjutnya pada Paman dan Bibi? Pasti mereka marah besar karena aku berani melawan perintah manusia kulkas itu." Aku bermonolog sendiri sambil menendang kaleng kosong yang berserakan di jalanan. Setelah itu, kupungut dan kubuang ke tempat sampah.
Dalam keadaan tak terduga, dari arah depan ... aku bertemu lagi dengan seorang pria asing yang wajahnya tertutup oleh topeng dan itu hanya sebelah saja. Kulihat mata kirinya terdapat luka dan itu membuatku terkejut. Dia ... seperti Monster yang berjalan di siang hari.
Pria asing itu tersenyum, dia melambaikan tangannya padaku. Kuurungkan langkah kaki. Perlahan, aku berjalan mundur. Namun, saat aku hendak berbalik arah, gerakan tubuhku kalah cepat dengan gerakan tangan dari pria asing itu.
Aku menjerit sekuat tenaga sambil berusaha melepaskan cengkraman tangannya yang kuat mencengkram bahuku.
Dalam ketakutan yang nyata, aku berusaha meminta padanya agar bersedia melepaskan ku. Namun, pria itu malah makin menatapku dan terus menatapku. Lalu, kulihat ia mendekati telingaku dan berbisik, "Jadilah istriku, Nona!"
Kedua mataku terbelalak. Aku terkejut bukan main. Tidak dapat berkata-kata lagi. Lelaki berwajah monster itu menginginkan aku untuk menjadi istrinya. Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi! Aku takut. Wajahnya, perangainya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri darinya. Kali ini aku bisa terbebas dari cengkeramannya.
Berlari sekuat tenaga hingga lelaki asing itu tidak terlihat lagi olehku.
***
Sesampainya di rumah.
"Ini dia anak yang tidak tahu diri itu." Bibi Marine menyeringai. Ia nampak kesal saat aku datang ke rumah. Di sana juga ada Paman, Elena dan juga Lusiana yang siap menyerangku.
Aku tertunduk.
"Dasar tak tahu di untung! Beraninya kamu berlaku kasar pada Tuan Dave. Memangnya kamu ini siapa? Bicara dengan nada seperti itu pada Tuan Dave, hah!" Bibi Marine terus saja berkata kasar padaku, dan kali ini tangan besarnya mendarat di pipiku.
"Hentikan! Jangan kau tampar dia, Mayrine! Dia tidak bersalah!" Uncle Jo membelaku.
"Apa kamu bilang, Pa? Dia tidak bersalah? Kamu tidak dengar Tuan Dave bercerita tentang kelakuan konyolnya tadi?"
"Dia hanya mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini dia simpan. Jika posisi ini ada di posisi anak kita, mungkin anak kita sudah jadi pelayan di sana."
Bibi Marine diam. Ia cukup terkejut dengan ucapan suaminya. Bagaimana jika Lusiana ataupun Elena yang menghadapi ini, mereka pasti tidak akan sekuat diriku. Melawan seseorang yang memegang penuh kekuasaan. Apalagi, calon suami yang akan ia nikahi berwajah buruk rupa. Tentu saja Lusiana dan dirinya akan malu mempunyai suami dan menantu buruk rupa.
"Ya sudah, masuk ke kamarmu sana! Istirahatlah, kau pasti lelah seharian ini melawan Tuan Dave yang galaknya enggak ketulungan itu." Bibi Marine berkata lembut. Mungkin dia mencerna ucapan Uncle Jo tadi.
Aku mengangguk. Aku tinggalkan mereka yang sedang memperhatikan setiap gerak-gerikku yang berjalan ke kamar pribadiku.
Lalu menutup pintu dengan kasar. Membuat Paman dan bibiku terkejut.
"Sudah berapa kali aku katakan, Daisy .... Jangan membanting pintu dengan kencang! umpat Bibi Marine dengan lantang. []
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!