NovelToon NovelToon

Mendadak Papa

Siapa kamu?

Suara tawa anak-anak mengisi sore itu di taman bermain kecil yang dikelilingi pepohonan rindang. Para orang tua menemani buah hati mereka, terkecuali seorang gadis kecil yang sedari tadi sibuk bermain sendiri Angin sepoi-sepoi menggoyangkan ranting, membuat suasana terasa sejuk meski di tengah padatnya perkotaan.

Di salah satu ayunan yang agak jauh dari anak-anak lain, gadis kecil berusia hampir tiga tahun, mengenakan dress selutut warna pink, yang di padu dengan leging panjang warna senada. Rambutnya di kuncir dua dengan jepit rambut cinamonroll yang tersemat diatas ikatan rambutnya. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu saat menatap sekeliling, sesekali terpaku saat melihat anak-anak lain yang ditemani orang tua mereka. Tapi hanya sesaat sebelum dia kembali sibuk dengan dunianya lagi. Kakinya yang mungil berayun perlahan. Mendorong dirinya sendiri, menggerakkan ayunan yang ia duduki.

Tak jauh dari taman itu, seorang pria tinggi, bertubuh tegap berotot, mengenakan kemeja hitam dan celana jeans. Wajahnya yang tampan dan sikapnya yang tenang sedang berbincang dengan seorang pria yang lebih tua darinya, sesekali ia mengangguk saat si pria tua di hadapannya menjelaskan kertas yang ia pegang.

Gadis kec itu menghentikan geraknya saat tanpa sengaja matanya menangkap pria berkemeja hitam itu, dia memiringkan kepalanya. Alis menukik dengan mata menyipit menajamkan pandangannya, lalu tiba-tiba wajahnya berseri. Kornea mata gadis itu melebar. Seolah menemukan harta karun, dia melompat turun dari ayunan dan berlari kecil.

"Papa!" teriaknya penuh semangat

Kakinya yang pendek berusaha mengejar langkah pria yang mulai meninggalkan tempat dia berdiri. Namun, karena terburu-buru, ia tersandung dan jatuh, tangan kecilnya berdarah. Air matanya mulai memenuhi mata, tapi tekad di hatinya lebih kuat, dia harus segera mengejar Papa-nya. Dia bangkit lagi, menepuk pelan dress mungilnya, membersihkan dari debu yang menempel, lalu berlari lebih cepat.

"Papa!" teriaknya lagi lebih keras, penuh harap.

Pria itu sempat menoleh ke belakang, mengedarkan pandangan bingung mendengar suara kecil yang memanggil.

"Ada apa Mas?" tanya si pria tua yang heran kenapa tiba-tiba calon pembeli tanahnya berhenti.

"Tidak apa-apa," jawabnya kemudian Ia mempercepat langkah, mengira mungkin suara kecil itu memanggil orang lain. Ya, pasti memanggil yang lain. Dia masih lajang, mana mungkin dipanggil Papa.

Pria tua itupun hanya mengangguk dan kembali melangkah. Namun sebelum pria benar-benar pergi, dua tangan mungil berhasil memeluk kakinya erat-erat.

"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.

Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.

Siapa gadis ini? pikirnya panik.

Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?!

Dia jongkok perlahan, mencoba melepaskan tangan si kecil yang memeluk kakinya sangat erat dengan hati-hati. Tapi gadis manis ini seolah enggan untuk melepaskan kakinya.

"Uhm... siapa namamu?" tanya pria gugup. Karena ini pertama kali dia berinteraksi dengan mahluk mungil semanis ini.

Tangan besar Hail perlahan melepaskan jemari gadis itu tanpa memaksa, dan akhirnya gadis itu menurut melepaskan pelukannya. Dengan mata bening dan kelopak mata lentik yang membingkai, dia hanya menatap pria di depannya penuh cinta, tanpa menjawab, seolah yakin sepenuh hati bahwa pria ini memang ayahnya.

"Siapa namamu? Kenapa kamu sendirian? Apa kamu tersesat? Dimana orang tua mu?" Cerca Hail, tapi gadis itu tidak merespon. Hanya terus menatapnya saja.

Hail menghela nafas, mata menelisik melihat ke arah taman bermain. Mungkin gadis ini dari sana, mungkin orang tua atau babysisternya ada di sana. Tapi tidak ada yang terlihat panik mencari gadis ini.

"Aduh," kata pertama yang keluar dari bibir mungilnya saat Hail tanpa sengaja meremas tangan gadis itu sedikit keras.

Mata Hail membeliak, melihat parut luka yang masih berdarah di telapak kecil itu.

"Kau terluka? Kenapa bisa? Apa kau terjatuh?" cerca Hail panik, meski luka itu tidak parah tapai tetap saja terasa nyeri dan pedih.

Tapi gadis itu bahkan tidak menangis sama sekali.

"Papa ... Papa kemana saja? Kenapa tidak pernah pulang ke rumah?" tanya gadis itu.

"Aku bukan Papamu ..."

Es krim

“Aku… bukan Papamu,” ujar Hail dengan hat-hati.

Baru saja kalimat itu selesai meluncur, tangis gadis kecil itu pecah. Keras. Sangat keras. Suaranya menggema, memecah sore yang damai itu, membuat semua kepala menoleh. Beberapa orang yang lewat bahkan sampai sengaja berhenti memperhatikan. Suara tangis yang begitu nyaring sampai terdengar ke area taman, para orang tua saling berbisik. Hail refleks menoleh ke kanan dan kiri, panik.

"Eh, eh, jangan nangis ssst... jangan nangis, kalau nangis terus nanti tenggorokannya sakit. Terus suaranya jadi kayak kenalpot BMW kalau kemasukan air, mbrebet-mbrebet," ucap Hail gugup, setengah berbisik dan setengah merayu, tapi gadis kecil itu malah menangis lebih kencang lagi.

Pak Wahyu, pria tua yang sedari tadi bersamanya, berkerut kening lalu berdecak sambil menggeleng pelan. Kenapa pemuda ini membuat anaknya sendiri menangis.

“Mas, itu anak sendiri kok malah dibikin nangis begitu? Duh, kasihan-"

Belum selesai Pak Wahyu bicara ponselnya berdering keras. ia pun mengambil ponselnya dari saku dan menerima panggilan yang masuk.

"Saya duluan ya Mas, istri saya ada perlu," tukasnya. Tanpa menunggu jawaban, Pak Wahyu pergi begitu saja. membuat Hail melongo.

“Loh… bukan, Pak! Ini—” Hail mengangkat tangannya, ingin memanggil pria itu lagi, tapi suara tangis si kecil menenggelamkan dirinya dalam situasi sulit.

Hail menunduk, kembali menatap anak itu yang masih menggenggam jemarinya erat-erat sambil sesenggukan. Pria dengan kemeja hitam itu mengaruk rambutnya yang tiba-tiba jadi pabrik kutu.

'Situasi macam apa ini Ya Tuhan!' keluh Hail dalam hati.

Entah darimana datangnya mahluk mungil dengan suara bombastis ini, dan tiba-tiba dan memanggilnya dengan sebutan papa. Bagaimana Hail harus menangani mahluk ini, jika saja mobil dia bisa langsung mematikan mesinnya yang meraung. Tapi, mahluk ini tidak ada tombol on-off nya kan? tidak ada kan?

Pria berusia tiga puluh satu tahun itu mengambil nafas dalam. Mencoba tenang dan memikirkan strategi yang tepat. Harus cepat dan tepat sebelum dia diamuk masa, gara-gara dituduh jadi pencul!k anak.

“Eh... sudah diem dulu ya anak manis, ayo tenang dulu. Kita duduk sana, ya?” Hail mencoba tersenyum walau dengan kaku, jujur saja Hail kebingungan dan agak takut.

Perlahan nada tangis gadis itu merendah, dia mengangguk kecil lalu mengikuti Hail. Mereka duduk di bangku tak jauh taman. Hail mengeluarkan tisu dari saku dan menyeka air mata gadis itu dengan gerakan canggung. Hingga gadis berjepit Cinnamonroll itu meringis, karena Hail terlalu memakai tenaganya saat mengusap.

"Sudah kamu jangan nangis terus, lihat matanya jadi makin sipit. Nggak bisa liat nanti," bujuk Hail, pada gadis yang masih sesegukan itu.

"Kalau sipit jelek ya Pa?" tutur gadis itu dengan wajah sedih.

"Eh .. emh, enggak kok. Mata sipit itu lucu, kayak boneka. Tapi kalau kamu nangis kayak tadi, mata kamu bisa bengkak dan membuat mata kamu jadi nggak nyaman. Kamu nanti akan kesulitan buat melihat, jadi jangan nangis lagi ya," tutur Hail menjelaskan.

Gadis mungil itu mengangguk, walau ia tidak sepenuhnya mengerti yang Papanya katakan. Lucu, Boneka dan jangan menangis. hanya beberapa kata itu yang ditangkapnya.

"Kamu tadi belum menjawab pertanyaan saya, siapa nama kamu? Kamu ke sini sama siapa?" cerca Hail. gadis itu memiringkan kepalanya menatap Hail dengan binggung.

"Papa bicala na cepat cekali," tuturnya dengan tatapan yang masih sama.

Hail terkekeh, hais bagaimana dia bisa bicara seperti bicara pada orang dewasa.Gadis itu tersenyum, melihat pria yang ia yakini sebagai papanya tertawa.

'Aku suka tawa papa,' lirih gadis itu dalam hati.

"Nama kamu siapa?" ulang Hail, kali ini hanya satu pertanyaan.

"Papa lupa nama Cala? Mama bilang Papa yang kasih Cala nama, kenapa Papa lupa?"

Telunjuk dan jempol Hail mengurut batang hidungnya. Harus bagaimana menjelaskan pada gadis mungil ini jika dia bukan bapaknya.

"Jadi nama kamu Cala?" tanya Hail setelah lebih tenang.

"Iya Papa. Cala Kenila," tuturnya dengan wajah imut.

“Oke Cala, kamu tunggu orang tua kamu di sini ya. Saya harus segera pulang?” kata Hail, mencoba memisahkan diri perlahan. Ia bangkit dan hendak melangkah menjauh. Tapi belum juga kakinya melangkah, suara gadis itu kembai terdengar berat.

“Pulang ke lumah Mama, ya?” Cala menatap dengan mata merah dan berair, bibirnya melengkung ke bawah siap jebol kapan saja.

Hail menoleh dan terdiam sejenak.

“Enggak... saya pulang ke rumah saya sendiri.”

"Hiks ...hiks. Huaaaa ....!"

Tangis gadis itu kembali pecah, lebih nyaring dari sebelumnya.

Astaga, batin Hail. Ini anak kenapa sih? Siapa mamanya? Di mana orang tuanya? Tuhan tolong lah hamba-MU ini.

"Papa nggak sayang Cala .... Papa pulang ke lumah Cala aja ....!"

"Cala mau Papa!" teriaknya lantang ditengah tangisnya.

“Baik, baik... jangan nangis. Gimana kalau ... kita beli es krim, ya? Kamu suka es krim?” bujuk Hail untuk mengalihkan perhatian anak itu.

Tangis gadis itu mereda seketika. Ia mengangguk pelan, masih terisak tapi sudah mulai tenang.

“Es klim strobeli... yang ada bintik-bintiknya," jawabnya dengan bahu yang masih naik turun sesegukan.

“Baiklah, stroberi bintik-bintik, kita cari es krim yang jerawatan,” Hail bangkit, mengangkat tubuh kecil itu dalam gendongan. Ia tidak ahli dalam urusan anak-anak, tapi gadis kecil ini membuatnya tidak tega.

Mereka berjalan menuju minimarket terdekat. Sepanjang jalan, Hail masih merasa seperti tokoh utama di film yang tidak ia audisi, penuh kejutan, dan sekarang harus membeli es krim serta plester luka untuk seorang anak yang tiba-tiba memanggilnya Papa.

Janji kelingking

Angin sore mulai menggoyang banner plastik yang menuliskan “PROMO HARI INI: BELI 2 GRATIS 1” dengan gambar berbagai pilihan produk yang sedang dipromosikan, termasuk es krim rasa stroberi jerawatan yang Cala mau. Teryata yang Cala maksud bintik adalah taburan remahan redvelved yang menjadi toping. Cala sudah hampir menghabiskan es krimnya, tinggal cone yang mulai remuk digenggamannya.

Gadis itu sangat menikmati es krim yang ia makan. Dia duduk di dengan kakinya berayun-ayun ringan seperti irama lagu riang yang hanya dia dengar sendiri. Sesekali ia menganggukkan kepalanya dan mengoyangkan tubuh, sangat menggemaskan.

Cala gadis yang manis, sopan dan mandiri. Hail bisa melihat itu dari tingkah laku Cala. Bagaimana dia dengan sopan bertanya pada pegawai minimarket apa es krim yang ada di banner promosi masih ada. Gadis itu juga membungkuk kecil, mengucapkan terima kasih pada dirinya dan kasir minimarket setelah membayar. Mamanya sudah mendidik Cala dengan sangat baik.

Hail melirik jam tangan, masih belum tahu harus berbuat apa. Hari sudah semakin larut, dia harus segera pulang ke bengkel. Tapi bagaimana dengan anak ini, kemana dia harus mengembalikannya? Apa ditinggal saja di sini? menitipkan pada kasir minimarket?

Hail menghela nafas, memijit keningnya yang tiba-tiba pening. Mata melirik pada gadis bernama Cala yang sedang menikmati es krim bintik-bintik. Cala tersenyum saat Hail kearahnya, memamerkan gigi putih yang berjajar rapih.

"Papa mau es klim na?" tanya Cala sambil menyodorkan es krim yang masih utuh.

"Nggak usah, buat kamu aja," tolak Hail sambil menggeleng pelan.

"Otey, kalau begitu buat Mama aja ya Pa, bial Mama bisa mam es klim sendili, nggak nunggu Cala mam," celoteh gadis kecil itu, Hai mengerutkan kening.

Menunggu Cala mam? Apa maksudnya? Baru saja Hail hendak bertanya.

Terdengar suara langkah terburu-buru dari arah kiri. Sontak Hail menoleh kearah sumber suara. Seorang wanita dengan riasan menor dan rambut terikat tinggi menghampiri tergopoh-gopoh. Nafasnya tersenggal, peluh menetes di pelipisnya.

“Cala! Astaga... akhirnya ketemu juga kamu!” serunya sambil menghampiri gadis kecil itu. wajahnya terlihat tidak bersahabat.

Cala hanya diam menunduk, raut wajah cerianya langsung berubah. Dia yang tadinya berceloteh lucu, seketika membeku. Jemari kecilnya mencengkeram ujung kemeja Hail lalu menarik pelan, seolah minta perlindungan tanpa suara. Hail menoleh, menatap mata sipit yang masih sembab.

"Baru aja ditinggal ke kamar mandi bentar aja udah ilang. Bikin orang repot aja!" cerocos wanita menor itu dengan berkacak pinggang.

Cala semakin menciut mendengar suara tinggi pengasuhnya. Wanita itu menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah Hail dan tersenyum, canggung. Raut wajahnya seke

“Maaf ya, Mas. Aduh... terima kasih banget udah nemenin anak ini. Saya tadi panik banget, ninggalin sebentar ke kamar mandi, eh... dia malah ilang. Tapi udah biasa sih, anak ini memang suka lari-larian sendiri. Terlalu aktif," tuturnya dengan nada lebih sopan daripada tadi.

Hail mengerutkan kening. Sebentar? Cala bahkan sudah bersama Hail lebih dari lima puluh menit. Itu yang di maksud wanita ini sebentar?

Pria matang itu mengangguk pelan. “Iya, nggak apa-apa.”

Wanita itu tersenyum lagi, lebih lebar kali ini. Tangannya bergerak centil menyisipkan anak rambut ke belakang telinga, lalu memasang senyum termanis saat ia lanjut bicara.

“Mas nya tadi pasti di kira Cala Papanya ya ....Anak ini emang gini, Mas. Nggak bisa lihat cowok ganteng dikit langsung ngaku-ngaku ‘Papa’. Hahaha. Mungkin nurun dari ibunya... janda juga sih. Sama-sama suka cowok cakep," celetuknya dengan sorot meta mengejek kearah Cala.

Diam.

Cala menunduk makin dalam. Hail mengerutkan dahi. Apa maksud wanita ini sebenarnya? Ucapannya barusan, mungkin terdengar sepele tapi rasanya… salah.Tidak seharusnya dia berkata seperti itu di depan Cala.

Hail menghela napas, menatap wanita itu tajam dan tenang.

“Maaf, Mbak,” ucapnya datar.

“Kalau bisa, lain kali lebih hati-hati bicara. Terutama di depan anak kecil. Mbaknya ini pengasuhnya kan? Tidak pantas juga bagi Mbak-nya bicara seperti itu!" tegas Hail dengan sorot mata tajam menusuk.

Cala yang tadinya menunduk, mengangkat wajahnya menatap sosok Hail dengan bangga dan bahagia. Cala mungkin tidak sepenuhnya mengerti apa yang pria itu ucapkan, tapi Cala bisa merasakan Papa membelanya.

Wanita itu mengerjap.

“Eh? Maksudnya gimana ya Mas? Saya kan cuma ngomong fakta. Nggak salah dong," kilahnya dengan centil.

“Cala mungkin belum ngerti semua, tapi dia denger. Dan saya juga. Dan apa yang Mbak katakan itu sangat tidak pantas diucapkan, terlebih bagi orang dewasa yang sudah tahu mana baik dan buruk,"

Nada suara Hail berubah dingin. Tegas.

Cala mencubit lengan Hail pelan, seolah ingin menghentikannya, tapi pria itu tak bergeming. Cala tau setelah Susan, pengasuh sementarnya itu berargumen dengan orang lain tentang dia, Cala akan menerima sikap kasar. Cala tidak mau.

Wanita itu mulai terlihat risih, matanya memutar ke sembarang arah meski berusaha tetap tersenyum.

“Oh... iya deh, maaf ya Mas. Nggak maksud gimana-gimana. Kan cuma ngomong biasa."

“Baiknya Mbak jaga anaknya baik-baik,” ujar Hail, lalu jongkok pelan, menatap Cala.

“Kamu nggak papa, Cala?”

Gadis itu mengangguk ragu. Ingin mengatakan sesuatu tapi ia tahan.

"Ayo pulang, nanti Mama kamu nyariin." Susan menarik lengan kecil Cala dengan sedikit kasar samapi gadis kecil itu turun dengan terpaksa dari kursi.

"Pelan-pelan Mbak!" tegur Hail dengan cukup keras.

Susan mendelik sinis pada Hail.

"Udah deh Mas-nya pergi aja sana, toh bukan urusan Mas-nya juga," tukas Susan dengan kasar, tida seramah diawal tadi.

Ponsel Hail menjerit, sebuah pesan penting dari montir di bengkelnya masuk. Hail harus kembali sekarang. Pria itu mengambil nafas dalam, ada rasa berat meninggalkan Cala. Tapi tidak ada alasan juga untuk dia di sini. Tangan besar Hail menepuk pelan kepala Cala.

"Om pergi dulu ya," pamit Hail.

Cala menggeleng ribut.

"Papa jangan pelgi ... Papa jangan tinggalin Cala," rengek gadis itu dengan mata berkaca-kaca.

Hati Hail tercubit tidak tega, ia lalu berjongkok mensejajarkan diri dengan malaikat mungil yang sudah merebut perhatiannya.

"Om pulang dulu, kapan-kapan Om datang lagi ke sini ketemu Cala," bujuk Hailnya.

"Janji?"

Hail mengangguk.

"Janji."

Cala menyodorkan kelingking mungilnya kearah sang Papa.

"Janji kelingking, kata Mama janji kelingking itu janji yang halus tepat."

Hai tersenyum lalu mengaitkan kelingking mereka. Seulas senyum terbit di bibir mungil Cala sambil mengoyangkan tangan mereka. Kelingking kecil Cala terasa hangat di jari Hail, seolah menempelkan harapan agar pria itu benar-benar kembali.

"Om pergi ya," ujar Hail lagi sebelum berdiri .

"Otey hati-hati Papa!"Cala melambaikan tangan, Hail pu melakukan hal yang sama sebelum pergi dan melangkah menjauh tanpa menoleh.

Mata sipit gadis itu memandangi sosok Hail yang menjauh... menatap punggung pria itu tanpa bicara sedikit pun. Dengan kasar Susan menyeret Cala berjalan pulang, Cala hanya bisa pasrah agar Susan tidak semakain kasar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!