NovelToon NovelToon

Penyesalan Sang Pembunuh Bayaran

Velly

Malam itu saat seluruh kegiatan orang-orang tengah mati suri. Sekelompok orang yang memakai penutup wajah keluar dari bayang-bayang. Mereka bergerak tanpa bersuara. Bahkan hembusan nafas pun tak terdengar.

Melesat dengan mudahnya memasuki gedung apartemen dengan keamanan ketat. Cctv sudah diatasi, pengawal yang berjaga tidak penting bagi mereka. Semua gerakan mereka sudah terlatih.

Orang didepan memberi aba-aba. Salah satunya mengangguk dan membuka kunci salah satu kamar. Semua dilakukan tanpa suara, dan tanpa gerakan yang tidak perlu. Mereka semua masuk, mengendap-endap, dan mengambil sebuah amplop coklat diatas meja besar. Semua orang mengangguk saat mengetahui itu adalah amplop yang mereka butuhkan, lalu bersiap pergi.

Tapi tiba-tiba lampu menyala. Seorang kakek tua dengan ekspresi baru bangun tidur terkejut melihat adanya orang asing di rumahnya.

"Ka-kalian siapa?" Tanyanya kaget sekaligus takut.

Salah satu dari orang yang masuk itu langsung mengambil pisau yang ia bawa. Berlari menuju kakek itu dengan cepat.

"Jangan!"

Jleb!

Adegan itu terlalu cepat untuk diatasi. Rekan mereka yang menghujamkan pisau jauh lebih cepat dari apa yang mereka kira.

Kakek itu jatuh bersimbah darah. Nafasnya habis dan matanya perlahan terpejam.

"Apa yang kau lakukan hah?!" Rekannya marah. Mendorong temannya yang baru saja membunuh kakek tua itu.

"Aku baru saja menghilangkan saksi yang merepotkan. Seharusnya kau berterimakasih."

"Apa?!"

Merasa akan ada pertengkaran yang tidak perlu, tamannya yang lain melerai. "Sudahlah! Kita bahas nanti saja. Yang terpenting keluar dari sini."

"Cih!" Temannya yang hendak protes lebih banyak hanya bisa mendesis. Lalu memimpin jalan untuk kabur.

Setelah sampai di sebuah gedung perkantoran. Orang-orang itu masuk lift untuk menuju ke lantai dasar. Sesampainya disana, mereka menuju lift lain yang dipasangi tulisan LIFT RUSAK lalu masuk. Sebenarnya tulisan itu hanya pengecohan agar tak ada yang menggunakan lift 'rahasia' itu. Sampailah mereka di suatu tempat. Sebuah lantai yang minim penerangan.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan kacamata kotak menunggu kedatangan mereka.

"Kak Al, kami kembali."

Pandangan Aldino si penunggu tempat remang-remang itu langsung tertuju pada satu orang diantara mereka yang memiliki bercak darah ditubuhnya.

"Sudah kubilang untuk tidak membunuh orang kan?"

Sekelompok orang itu akhirnya membuka penutup wajah mereka. Ternyata orang-orang itu hanyalah segerombolan anak-anak yang berwajah polos. Dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan.

"Aku sudah coba mencegahnya. Tapi Velly malah.." Brian, anak laki-laki pemimpin grup itu menoleh kearah anak perempuan yang tadi berdebat dengannya karena membunuh kakek-kakek.

"Kalau aku tidak membunuhnya, apakah kita masih bisa kembali kesini? Dasar bodoh."

"Bodoh kau bilang?! Kalau kau meninggalkan sedikit saja jejak, polisi bisa langsung menemukan kita. Sekarang siapa yang bodoh?!"

Melihat kedua temannya bertengkar, anak lain yang memakai kacamata bulat langsung melerai lagi. "Su-sudahlah kalian. Yang terpenting kita berhasil menjalankan misi."

"Tidak Leon! Itu adalah kesalahan fatal!" Brian masih tidak terima.

"Jadi ide cemerlang apa yang akan kau lakukan jika aku tidak membunuhnya tadi?" Velly menunjukkan sorot mata tajamnya pada Brian, menunggu jawaban maha benar menurut dia.

"Kau-"

"DIAM KALIAN!!!"

Semua terkejut mendengar bentakan Aldino. Mereka langsung menunduk dengan patuh.

Aldino mencoba mengatur emosinya lalu bicara. "Brian benar. Velly, cobalah introspeksi diri."

Brian menarik sudut bibirnya, tersenyum dengan bangga. Ia adalah orang yang benar. Posisinya sebagai ketua tim kecil ini sudah terbukti. Velly seharusnya lebih menghormati dirinya. Gadis itu selalu bertindak seenaknya sendiri, dan membuat Brian marah.

"Introspeksi diri? Lucu sekali." Velly berjalan mendekati Aldino, membuat seluruh mata tertuju padanya. "Katakan kak Al. Apa aku salah? Bagian mana yang harus kuintrospeksi?"

"Kenapa bertanya? Velly, kamu sudah sering membunuh orang di misi. Kalian hanya tim kecil yang bertugas mencuri berkas yang diinginkan klien. Tapi kamu selalu membunuh orang disetiap misimu."

Velly tertawa kecil. Membuat orang-orang heran. "Kak Al, aku tau organisasi apa yang menaungiku sekarang. Organisasi pembunuh bayaran! Dan aku tau kalau anak kecil sepertiku menjalani tugas murahan hanya untuk melatih diri sebelum benar-benar menjadi pembunuh bayaran. Lalu dimana letak kesalahanku? Aku hanya sedang belajar membunuh sebelum menjadi pembunuh bayaran yang sesungguhnya. Jadi berterimakasihlah karena kau sudah mendapat orang terlatih."

Setelah bicara begitu Velly pergi dari sana. Semua orang hanya menatapnya ngeri. Bagaimana bisa seorang anak perempuan sepertinya bicara begitu.

"Kembali kesini, Vellyne Graceva!"

Aldino membenahi kacamatanya sambil menatap punggung Velly yang semakin jauh tanpa mempedulikan panggilannya. Anak perempuan itu baru saja berusia 12 tahun, tapi pemikirannya sudah sangat jauh. Dia adalah salah satu anak panti asuhan yang berada dibawah pengawasan organisasi pembunuh bayaran.

Sebenarnya ide organisasi pembunuh bayaran ini mengayomi panti asuhan cukup cemerlang. Demi mendapatkan bibit pembunuh bayaran unggulan yang dapat dilatih sedari kecil. Seolah memiliki ternak yang bisa dipanen ketika sudah besar. Tapi, salah satu dampaknya adalah terciptanya anak mesin pembunuh seperti Velly. Bahkan tanpa diperintah pun dia akan membunuh orang. Ini cukup mengerikan.

"Dasar seenaknya sendiri!"

Aldino melirik Brian yang baru saja mencibir Velly. Jelas sekali kalau anak perempuan itu tidak bisa bekerjasama dengan tim, dan tidak memiliki teman.

Anak seperti Velly tidak cocok dengan sistem seperti ini. Aku akan memberitahu atasan dan bertanya pendapat mereka.

"Anu... Kak Al, ini berkasnya." Leon menyerahkan amplop coklat yang menjadi tugas mereka malam ini.

"Hampir saja lupa." Aldino menerimanya. "Kalian bisa kembali ke panti, dan beristirahat. Jangan lupa besok kalian harus sekolah."

"Baik kak." Jawab Brian dan Leon bersamaan.

Semua Membosankan

Velly terbangun karena bunyi jam dinding yang bertugas membangunkan para anak-anak panti. Kehidupan bak barak militer ini menjadi keseharian anak-anak disana.

Velly turun dari ranjang tingkatnya. Sesuai perkiraan, anak gadis yang menempati kasur dibawahnya masih belum bangun. Tapi Velly tidak peduli selama itu tidak mengganggu hidupnya. Pasti sebentar lagi orang itu akan dimarahi oleh ibu asuh.

Setelah mengantri panjang untuk ke toilet, Velly sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Hari ini adalah hari pertamanya menjadi siswa SMP. Tapi hal itu tidak membuatnya tertarik ataupun gugup. Hidupnya terasa hambar setiap harinya.

"Velly, kenapa kamu tidak makan." Tanya salah satu ibu asuh yang melihat piring anak itu tak tersentuh.

"Aku tidak suka brokoli." Velly melirik brokoli rebus disamping roti lapis sarapan paginya.

"Baiklah. Cukup makan rotinya saja. Kamu harus sarapan. Ini akan menjadi hari yang menyenangkan di awal tahun ajaran baru. Jadi kamu harus mengisi energi."

Velly membuang muka. "Udara dari brokoli itu sudah mencemari roti lapisnya."

"Haha itu tidak mungkin. Atau begini saja, aku akan mengambilkan roti lapis lagi-"

"Diamlah. Atau aku akan membunuhmu."

Ibu asuh itu langsung tersentak kaget. Matanya bertemu dengan tatapan tajam Velly. Rasanya seluruh tubuhnya mati rasa dan mulutnya membisu.

"Seharusnya kau berterimakasih karena aku baru saja meringankan bebanmu membuat roti lapis. Berikan saja sampah itu pada anak lain, dan satu lagi, jangan sok perhatian. Menjijikkan." Velly meraih tas sekolahnya dan pergi begitu saja.

Sungguh awal dari hari yang hambar dan memuakkan terbaik.

Velly akhirnya sampai di sekolah barunya. Sekolah yang tidak terlalu besar dan terlihat biasa saja. Saat memasuki gerbang sekolah, Velly melihat beberapa murid yang sedang dipalak. Tapi itu bukan urusannya. Hal kecil seperti bertarung menjadi pahlawan pembela kebenaran bukan levelnya. Hanya permainan anak konyol.

Ternyata sekolah ini lebih menjijikkan dari apa yang kubayangkan.

Hari yang melelahkan terjadi lebih lama dari perkiraan Velly. Dimulai dari upacara penuh ucapan bertele-tele, sampai perkenalan di kelas seperti absensi tersangka hasil tangkapan polisi.

Apa aku bisa meminta kak Al untuk tidak usah sekolah saja? Ini terlalu melelahkan.

Velly berjalan lesu saat pulang. Dan saat melewati gerbang sekolah, ia kembali melihat siswa yang sedang dipalak. Sepertinya pelaku adalah kakak kelas yang menargetkan para murid baru. Kali ini korban mereka berbeda dari tadi pagi. Seorang siswi yang seperti tidak asing di mata Velly.

"Cepat berikan uangmu!"

"Ta-tapi aku tidak membawa banyak uang. Aku anak panti asuhan."

"Siapa yang peduli? Cepat berikan! Atau kita akan memukulmu!"

Velly akhirnya mengenali siswi malang itu saat berjalan melewatinya.

Ah benar juga, itu kan anak perempuan yang tidur di kasur bawahku.

Sepertinya gadis malang yang sedang dipalak itu sadar dengan keberadaan Velly.

"Velly tolong aku! Velly!"

"Heh? Punya teman rupanya."

"Velly!!!"

Tentu saja Velly tidak bergeming. Alih-alih menoleh, ia terus berjalan seolah tak kenal. Memangnya keuntungan apa yang bisa ia dapat kalau membantu dia? Jawabannya tidak ada. Jadi ia tidak ingin membuang tenaga untuk hal tidak penting.

"Kau pura-pura ya? Dia bukan temanmu! Sudahlah! Pukuli saja!"

Itu suara terakhir yang didengar Velly sebelum menjadi samar karena ia sudah jalan jauh.

Salah sendiri lemah. Orang lemah tidak diterima di dunia ini.

...****************...

"Apa? Velly bicara begitu?"

"Benar. Anak itu semakin lama semakin menakutkan."

Aldino hanya bisa menghela nafas saat bertanya keadaan panti pada ibu asuh. Tidak disangka anak yang dulunya hanya pendiam, sekarang menjadi bermulut tajam dan suka mengancam. Padahal ia tidak pernah mengajarkan itu.

"Aku akan bicara pada Velly setelah dia pulang sekolah." Aldino memijat keningnya.

"Sebenarnya aku masih tidak setuju kalau anak-anak mulai diberi pelatihan saat berumur 10 tahun. Mereka masih terlalu kecil. Lihatlah Velly jadi seperti itu. Seharusnya dia bisa menikmati masa sekolahnya lebih dahulu."

Aldino paham kekhawatiran para ibu asuh. Mereka yang sudah menganggap anak-anak itu sebagai anaknya sendiri pasti merasa sedih kalau masa bahagia anaknya direnggut. Tapi Aldino tidak bisa berbuat banyak karena semuanya perintah atasan.

Melihat Aldino hanya diam, ibu asuh langsung paham maksudnya. Ia menepuk bahu laki-laki itu sambil tersenyum. "Kamu juga terlalu serius sekarang. Usiamu sudah 25 tahun tapi belum punya pacar. Sebagai orang yang pernah mengasuhmu juga, aku ingin lihat suatu saat nanti kamu mengenalkan pacarmu."

Aldino menggeleng pelan. "Banyak yang harus kuurus sekarang. Hal seperti pacar itu tidak penting."

"Lagi-lagi jawaban ini. Kapan kamu memiliki kehidupan seperti orang biasa?"

"Tidak akan pernah." Aldino tersenyum meratapi takdirnya yang sudah tertulis rapi. Ia tidak bisa mencoretnya sesuai keinginannya sendiri.

"Kami pulang."

Aldino melambaikan tangan pada Brian dan Leon yang baru saja pulang sekolah.

"Kak Al!"

Kedua anak laki-laki itu langsung menghampiri Aldino dengan senyum mengembang.

"Tumben kesini. Ayo main!" Ajak Brian, dan Leon mengangguk dengan semangat disampingnya.

"Kalian ingin main apa?"

"Game!!!" Seru keduanya.

"Baiklah sebentar saja ya." Aldino tersenyum saat melihat reaksi kedua bocah itu yang senangnya bukan main.

Untunglah Brian dan Leon masih menjadi anak normal. Tidak seperti...

Velly muncul tanpa suara dan mengangetkan semua orang disana. Tatapan matanya dingin, dan wajahnya tanpa ekspresi seperti biasa.

"Heh! Kalau masuk itu beri salam dulu!" Tegur Brian. Tapi Velly tidak menggubrisnya sama sekali, dan memilih masuk kamarnya dalam diam.

"Kaget sekali." Ibu asuh langsung mengusap dadanya yang antara kaget atau takut.

"Dasar mayat hidup." Brian kembali mengumpat sambil melihat kamar Velly.

Aldino menaikkan kacamatanya yang melorot.

Velly ternyata sudah separah ini kalau di panti. Kukira masih bisa diatur ibu asuh.

Drrtt!

Ponsel Aldino mendapat pesan. Saat melihat pengirimnya dari ketua, keringat dingin langsung keluar dari pelipisnya. Dan benar saja, setelah dibaca, itu adalah perintah yang tidak seperti biasanya.

Aldino tiba-tiba beranjak dan  berjalan pergi

Begitu ya.

"Kak Al mau kemana? Katanya mau main game."

Aldino menoleh sambil tersenyum. "Maaf ya mungkin lain kali. Ada yang harus kukerjakan."

Setelah kembali berjalan, sorot mata Aldino berubah serius. Perintah kali ini sangat berbeda. Dan ia sebisa mungkin akan menentangnya. Ini tidak seperti dirinya yang biasanya patuh. Itu karena misi kali ini hanya ditujukan pada Velly. Misi untuk membunuh orang.

Apa yang Salah?

Seorang laki-laki dengan mantel panjangnya berdiri di depan Aldino. Pertemuan dadakan yang diminta Aldino membuatnya tidak bisa bersiap terlebih dahulu. Laki-laki itu setiap hari hanya bisa memperdulikan penampilannya.

"Kenapa tiba-tiba kau ingin bertemu? Lihatlah aku! Aku tidak tampan! Seharusnya kau membuat jadwal pertemuan lain kali, agar aku bisa bersiap."

"Itu terdengar menjijikkan." Aldino mengusap tengkuknya.

"Maksudku, lebih baik terlihat seperti dua laki-laki tampan sedang mengobrol kan? Siapa tau ada perempuan seksi yang menghampiri kita hahaha."

"Dasar ucapan orang berusia 30 tahun."

"Jangan sebutkan umurku Aldino! Malu sekali aaaa!"

"Baiklah Zergan, ada yang ingin kubahas denganmu. Ini penting." Aldino menunjukkan ekspresi seriusnya, tapi orang bernama Zergan itu hanya tersenyum remeh.

"Bahas apa lagi? Aku sudah memberimu perintah."

"Aku tidak setuju! Velly masih terlalu kecil. Bukankah aku sudah melaporkan perkembangannya padamu? Dia berubah menjadi anak yang berdarah dingin. Aku ingin meminta pada atasan untuk memberikannya istirahat sejenak. Dia masih kecil, perlu kehidupan yang normal!"

"Apa kau bercanda?! Saat aku memberitahu atasan tentang laporanmu, mereka senangnya bukan main!"

"A-apa?"

"Inilah yang mereka tunggu-tunggu. Akhirnya ada anak yang sudah memiliki niat dan bakat membunuh yang bagus. Ini adalah pertanda baik!"

Mereka gila. Aldino meremas tangannya dengan jengkel. Rasa marahnya hanya bisa ia pendam sendiri. Ia tidak memiliki kekuatan untuk menentang lebih jauh. Ia paham sifatnya ini terlalu pengecut.

Kenapa harus ada anak seperti Velly di dunia ini? Kenapa harus ada yang memanfaatkannya?

"Aldino."

Aldino menatap seringai mengerikan dari laki-laki di depannya. Zergan, yang dulu dikenal sebagai orang yang mengajarkan kesadisan pada anak-anak yang sudah menjadi pembunuh bayaran itu sepertinya memiliki pemikiran yang sama dengan para atasan organisasi.

"Ke-kenapa?" Aldino selalu takut ketika melihat sisi Zergan yang seperti itu.

"Jangan coba-coba menghalangi perintah. Sifat pedulimu tidak dibutuhkan sekarang. Bawa Velly ke markas utama malam ini."

Aldino mengangguk. Padahal ia mulai berpikir untuk membawa kabur Velly untuk menyelamatkan masa depan bocah perempuan itu. Tapi sepertinya Zergan melihat gelagat anehnya. Jika nekat dilakukan, akan terlalu beresiko. Jadi lagi-lagi ia hanya bisa patuh.

"Tidak usah khawatir." Zergan kembali bertingkah bodoh dan menepuk-nepuk bahu Aldino. "Anak kesayanganmu itu hanya ditugaskan untuk membunuh bos perusahaan biasa saja."

"Bos?"

"Untuk lebih jelasnya, datang bersama Velly malam ini ya." Zergan mengedipkan sebelah matanya sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri.

...****************...

Hari sudah gelap. Begitupun juga bagian dalam panti asuhan. Jika sudah memasuki waktu tidur, semua lampu akan dimatikan. Velly ingin naik ke ranjangnya untuk tidur, tapi ditangga untuk menuju kasur atasnya terdapat cairan aneh.

Velly langsung melihat gadis penghuni kasur dibawahnya yang pura-pura tidur dengan akting yang buruk.

"Aku tau kau masih bangun. Cepat bersihkan itu atau kau akan menerima akibatnya." Ucap Velly dingin. Tapi gadis yang ia ajak bicara malah memunggunginya seolah tak peduli.

"Baiklah, kau yang memintanya." Velly melirik meja kecil disampingnya. Disana ada cemilan buah kupas dengan sebuah garpu.

Velly dengan cepat mengambil garpu itu, mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil menatap leher gadis itu sebagai incarannya.

Matilah!

"VELLY!!!"

Seluruh anak yang seharusnya sudah tertidur langsung terbangun saat mendengar teriakkan di ambang pintu kamar mereka. Velly yang posisinya membelakangi pintu akhirnya menoleh. Matanya langsung bertemu dengan tatapan Aldino. Disamping laki-laki itu terdapat ibu asuh yang menatapnya ngeri.

"Aaa!!!" Saat gadis yang akan dibunuh Velly itu ikut menoleh, ia baru sadar kalau baru saja berada diambang kematian. Tinggal sedikit lagi garpu itu mencapai lehernya. Akhirnya ia histeris sendiri.

"Apa yang kau lakukan hah?!" Aldino langsung merampas garpu dari tangan Velly.

Semua anak disana jadi ikut melihat tontonan malam itu.

"Ini bukan salahku." Velly berkata dengan santai sambil mengangkat kedua bahunya.

"Bagaimana mungkin bukan salahmu? Kau jelas-jelas ingin membunuh temanmu!"

"Itu salahnya sendiri karena mencoba mencelakaiku dengan memberikan minyak di tangga kasur." Velly menunjuk tempat yang ia maksud, dan disana masih ada minyak seperti seperti sebelumnya. "Jadi sebelum aku dicelakai, aku akan membunuhnya."

"Aku melakukannya karena kau tidak menolongku!!!" Sanggah gadis sebelumnya.

Aldino mengerutkan kening. "Menolong?"

"Tadi saat disekolah aku dipukuli oleh kakak kelas yang memalakku. Velly melihatku tapi tidak berniat menolongku sama sekali meskipun aku sudah memohon sambil memanggilnya."

Velly melipat tangannya sambil berdesis. "Salahmu sendiri lemah. Kau tidak pantas hidup."

Plak!!!

Kedua mata Velly membulat saat bekas kemerahan yang terasa panas tercetak diwajahnya. Aldino baru saja menamparnya dengan kuat.

"Siapa yang mengajarimu bicara seperti itu pada temanmu?" Aldino menunduk. Ekspresinya tidak bisa terlihat karena terhalang bayangan malam.

"Dia bukan temanku-"

"DIAM!!!" Aldino berteriak keras membuat semua orang ikut ketakutan.

Tiba-tiba tangan Aldino meraih kedua bahu Velly. Laki-laki itu masih menunduk, tapi perlahan isakan tangis terdengar darinya. Tetesan air mata mulai terlihat di lantai.

"Kumohon... Jadilah anak normal saja seperti yang lain. Kumohon."

Malam itu, isakan tangis Aldino semakin menjadi. Semua orang melihat. Termasuk Brian dan Leon yang mengintip dari balik pintu karena mereka beda kamar. Malam menyedihkan ini akan terus membekas diingatan mereka.

Velly tidak paham. Kenapa Aldino menangis? Apanya yang menyedihkan? Apa salahnya? Dan apa maksud perkataan laki-laki itu?

Apakah suatu saat ia akan paham?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!