Kevin Darmawan pria berusia 32 tahun, ia seorang pengusaha muda yang sangat sukses di ibukota. Kevin sangat berwibawa dan dingin ,namun sikapnya tersebut membuat para wanita cantik sangat terpesona dengan kegagahan dan ketampanannya. Banyak wanita yang mendekatinya namun tidak sekalipun Kevin mau menggubris mereka.
Suatu hari Kevin terpaksa kembali ke kampung halamannya karena mendapat kabar jika kakeknya sedang sakit. Dengan setengah hati, Kevin Darmawan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Desa Melati, sebuah tempat kecil yang penuh kenangan masa kecilnya. Sudah hampir sepuluh tahun ia meninggalkan desa itu, fokus mengejar karier dan membangun bisnisnya hingga menjadi salah satu pengusaha muda yang diperhitungkan di ibukota.
Mobil hitam mewahnya melaju pelan di jalanan desa yang masih berlumpur dan sempit. Pemandangan sawah, rumah-rumah kayu, dan aroma tanah basah membawa Kevin kembali pada masa-masa yang hampir ia lupakan. Meski tampak tenang, hatinya berdebar. Ia tahu, ini bukan sekadar kunjungan singkat. Ada tanggung jawab besar yang menantinya.
Setibanya di rumah tua bercat putih yang sederhana, Kevin disambut oleh bibinya, Bu Ratna, dengan mata sembab.
"Kakek sudah menunggumu, Kevin," katanya lirih.
Di kamar sederhana di ujung rumah, Kevin melihat kakeknya terbaring lemah. Sosok tua yang dulu kuat dan penuh semangat itu kini tampak rapuh. Seketika, ada perasaan bersalah menyergap hatinya. Ia telah terlalu lama meninggalkan keluarga demi ambisinya.
"Kau datang?." ucap Daniel lirih.
Kevin langsung menghampiri sang kakek,menggapai tangan renta yang sudah keriput.
"Sebaiknya kita ke dokter ." kata Kevin,dengan nada datar namun memiliki kecemasan yang luar biasa.
Sejak kecil hanya kakeknya yang Kevin miliki. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang Kevin hanya dibesarkan oleh Daniel yang kini sedang tidak baik-baik saja.
Daniel menggeleng cepat,ia tahu waktunya tidak banyak tersisa. Daniel memegang erat tangan Kevin ,menatap wajah tampannya yang kian tegas.
"Nak, mungkin umurku sudah tidak lama lagi..,Aku hanya ingin kau memenuhi sebuah janji yang telah ku buat." ucap Daniel sedikit tersengal.
Kevin mengerutkan dahinya mendengar ucapan sang kakek yang terkesan memohon kepadanya. Namun belum sempat Daniel melanjutkan dari luar seorang gadis masuk bersama Ratna menghampiri mereka. Mata Daniel langsung beralih menatap mereka.
"Kemari lah Alya,," panggil Daniel.
Alya melangkah ragu,sementara Kevin menatap datar gadis polos yang kini duduk di dekatnya. Alya duduk di sisi ranjang, tepat di seberang Kevin. Gadis itu menunduk sopan, berusaha menyembunyikan kegugupan yang jelas tergambar di wajahnya.
Sesekali ia melirik Kevin — sosok asing yang selama ini hanya ia dengar dari cerita Bu Ratna dan kakek Daniel.Daniel menggenggam tangan Alya dengan lemah. Suaranya bergetar saat ia berbicara,
"Nak, ini Alya... gadis yang selama ini membantu menjaga kakek. Dia sudah seperti keluarga sendiri."
Kevin hanya mengangguk kecil tanpa ekspresi. Matanya tajam menilai gadis itu — sederhana, jauh dari tipe wanita glamor yang biasa ia lihat di sekelilingnya. Alya mengenakan dress polos berwarna pastel, rambutnya dikepang sederhana, wajahnya bersih tanpa riasan berlebihan. Ada ketulusan di matanya, namun Kevin terlalu terbiasa membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya untuk langsung mempercayai orang lain.
"Aku ingin kau berjanji, Kevin... jaga Alya." ucap Daniel kembali berbicara.
Ucapan itu membuat Kevin terkejut. Alisnya bertaut dalam, tak percaya dengan permintaan kakeknya.
"Kakek... ini berlebihan. Aku—" Kevin berhenti sejenak, menahan emosinya.
"Aku bahkan tidak mengenalnya,"lanjutnya pelan namun tegas.
Alya menunduk semakin dalam, merasa canggung berada di tengah percakapan yang berat itu. Daniel tersenyum lemah.
"Aku tahu ini berat... Tapi dia tak punya siapa-siapa lagi, Kevin. Kau harus melunasi janjiku pada kedua orang tuanya. Aku ingin ada seseorang yang menjaga dan melindunginya. Bukan karena terpaksa, tapi karena kau tahu apa artinya kehilangan."
Kevin menghela napas panjang. Ia merasa terjebak antara rasa hormat pada kakeknya dan ketidaknyamanan terhadap permintaan yang mendadak ini. Ia menatap Alya yang masih diam, seperti menunggu penolakan darinya.
"Baik," kata Kevin akhirnya, suaranya berat.
"Aku akan menjaga gadis ini... seperti yang kakek minta."lanjutnya dengan nada terpaksa.
Mata Daniel berkaca-kaca mendengar janji itu. Ia menepuk pelan tangan Kevin sebelum akhirnya tertidur kembali, kelelahan. Ruangan itu menjadi sunyi, hanya terdengar napas berat Daniel dan desiran angin dari jendela yang terbuka.
Alya perlahan berdiri, membungkukkan badan kecilnya kepada Kevin.
"Terima kasih, Tuan," ucapnya lirih sebelum beranjak pergi.
Kevin hanya diam, memandang punggung Alya yang menjauh. Di sudut hatinya, ia tahu... kehidupannya tidak akan pernah sama lagi setelah hari ini.
"Kakek,kalau boleh aku tahu dimana keluarganya?." tanya Kevin penasaran.
Namun belum sempat Daniel bercerita tiba-tiba saja nafasnya tersengal dan beberapa detik kemudian Daniel menghembuskan nafas terakhirnya. Tubuh Kevin menegang. Ia segera mengguncang pelan bahu kakeknya.
"Kakek... Kakek!" panggilnya panik.
Namun tubuh Daniel tetap diam, wajahnya yang tadi dipenuhi senyum damai kini tampak tenang — selamanya. Bu Ratna bergegas masuk ke kamar setelah mendengar teriakan Kevin. Ia menutup mulutnya, menahan isak, lalu mendekat.
"Kevin... kakekmu sudah pergi," ucapnya dengan suara gemetar.
Kevin mematung. Tangannya mengepal kuat di samping tubuhnya. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak, tetapi sebagai pria dewasa yang sudah terbiasa menyimpan emosinya, Kevin hanya diam. Menahan segalanya di dalam dada yang kini terasa sesak.
Beberapa saat kemudian, dari pintu kamar, Alya berdiri terpaku. Matanya membesar, wajahnya pucat pasi melihat tubuh Daniel yang tak lagi bergerak. Perlahan, air mata jatuh membasahi pipinya. Ia berbalik, berlari keluar rumah, menutupi mulutnya agar tak terdengar menangis.
Kevin memejamkan matanya sejenak, mencoba menguasai diri. Ia membungkuk, mencium punggung tangan Daniel dengan penuh penghormatan.
"Selamat jalan, Kek," bisiknya serak.
Suasana rumah tua itu berubah menjadi duka. Warga Desa Melati berdatangan untuk melayat, membawa karangan bunga dan makanan seadanya. Kevin, dengan setelan serba hitamnya, berdiri kaku di sudut ruangan, menerima ucapan belasungkawa satu per satu. Namun pikirannya jauh melayang — pada janji yang baru saja ia buat, dan pada gadis asing bernama Alya.
Menjelang malam, setelah semua tamu pulang, Kevin menemukan Alya duduk sendirian di bale-bale kayu di belakang rumah. Gadis itu memeluk lututnya, wajahnya sembab. Suasana sunyi hanya diisi oleh suara jangkrik dan tiupan angin malam. Kevin mendekat, berdiri beberapa langkah di belakang Alya.
"Kau tidak punya keluarga di sini?" tanyanya dingin, tanpa basa-basi.
Alya mendongak perlahan, menatap Kevin dengan mata merah.
"Ayah dan ibu saya sudah lama meninggal, Tuan. Saya dibesarkan oleh kakek saya... yang bersahabat dengan Kakek Daniel," jawab Alya pelan.
Kevin mengangguk pelan, menahan helaan napas.
Kini semuanya jelas. Ia mengerti mengapa Daniel begitu memohon padanya.
"Mulai besok, kau ikut denganku," ujar Kevin tiba-tiba.
"I-Ikut, Tuan?"sahut Alya menatapnya bingung
Kevin mengangguk tegas.
"Kau akan tinggal di rumah ku. Aku akan memenuhi janjiku pada Kakek. Tapi ada syarat."
Alya menggigit bibirnya, menunggu dengan gugup.
"Jangan pernah berpikir hubungan kita akan lebih dari sekadar kewajiban," tegas Kevin, sorot matanya tajam.
"Aku hanya melindungi mu karena aku sudah berjanji. Tidak lebih." tambahnya.
Alya menunduk, menahan luka di hatinya, lalu mengangguk patuh.
"Baik, Tuan."
Dalam hati, Kevin merasa lega karena sudah mengatur segalanya dengan jelas. Tapi tanpa ia sadari, malam itu — di bawah langit desa yang penuh bintang — takdir perlahan mulai mengubah garis hidup mereka berdua.
Pagi itu,Kevin bersiap untuk kembali ke kota. Sementara Alya masih termenung di kamarnya. Tubuhnya terasa begitu berat. Sejak malam tadi Alya tidak bisa tidur setelah memikirkan dirinya harus ikut bersama pria yang baru saja ia temui.
"Kakek, apakah aku benar-benar harus ikut bersamanya?." tanyanya pada sebuah foto Daniel yang berada ditangannya.
Dari pintu kamarnya Ratna menatap kesedihan Alya itu.Lalu tak berapa lama Ratna menghampirinya.
"Kau sudah siap,Nak." ucap Ratna.
Alya menoleh langsung padanya lalu menyeka air matanya yang menetes di pipi mulusnya.
"Bibi,bisakah aku tinggal di sini saja? Aku tak ingin ikut ke kota." ucap Alya.
Ratna tersenyum tipis,lalu meraih tangan mungilnya.Ia pun meyakinkan Alya bahwa semua akan baik-baik saja. Ratna juga menambahkan jika sebenarnya Kevin sosok yang baik hati walau kelihatan kaku dan dingin. Namun walaupun begitu Alya masih ragu dengan keputusannya.
"Ayo Nak,Kevin sudah menunggu mu." ujar Ratna.
Dengan langkah berat, Alya bangkit dari tempat tidurnya. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, di mana Kevin sudah berdiri sambil memeriksa jam tangannya, wajahnya tampak sedikit tidak sabar. Ia mengenakan kemeja putih rapi dan celana panjang hitam, penampilannya tetap berwibawa meski berada di desa.
Saat melihat Alya muncul, Kevin hanya melirik sekilas, lalu berbalik menuju pintu.
"Ayo," ucapnya singkat tanpa senyuman.
Alya menunduk, mengikuti di belakangnya seperti anak ayam kecil. Di depan rumah, mobil hitam mewah Kevin sudah siap. Sopir pribadi Kevin membuka pintu belakang, menunggu mereka masuk.
Sebelum masuk ke mobil, Alya menoleh sekali lagi ke arah rumah sederhana itu,tempat semua kenangannya bersama Kakek Daniel. Matanya memanas, tapi ia menahan air mata itu sekuat tenaga.
"Selamat jalan, Alya," bisik Ratna sambil melambai pelan, mencoba tersenyum walau hatinya berat.
Alya membalas dengan anggukan kecil, lalu masuk ke dalam mobil. Begitu pintu tertutup, mobil perlahan melaju meninggalkan Desa Melati.
Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa sangat canggung. Kevin hanya memandang lurus ke depan, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Alya duduk kaku di kursi belakang, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil yang dibawanya.
Sesekali Alya melirik ke arah Kevin lewat kaca spion dalam, berusaha membaca pikirannya. Tapi ekspresi pria itu begitu dingin dan tak tersentuh, membuat Alya makin merasa asing.
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya memasuki gerbang besar menuju rumah keluarga Darmawan di pinggiran kota. Sebuah bangunan mewah bergaya klasik, dengan taman luas dan air mancur di tengah halaman, berdiri megah di hadapan Alya.Alya menelan ludah gugup.
"Ini... rumahnya?" gumamnya dalam hati.
Kevin turun lebih dulu, lalu berjalan menuju pintu masuk tanpa menoleh. Sopir membantu Alya membawa koper kecilnya. Dengan langkah ragu, Alya mengikuti di belakang.
Begitu masuk, Alya langsung merasa kecil di tengah kemewahan itu. Lantai marmer mengkilap, lampu gantung kristal, dan aroma wangi bunga segar memenuhi seluruh rumah.
Seorang wanita paruh baya berpenampilan elegan, Bu Linda, pengurus rumah tangga ,ia menyambut mereka.
"Selamat datang, Tuan Muda Kevin. Dan ini...?" tanyanya sambil melirik Alya dengan sedikit heran.
"Ini Alya. Mulai sekarang dia akan tinggal di sini, Tolong siapkan kamar untuknya." jawab Kevin dingin.
Bu Linda mengangguk sopan, meski tatapannya kepada Alya menyiratkan tanda tanya. Setelah memberikan beberapa instruksi singkat, Kevin berbalik ke arah Alya.
"Kau bebas beraktivitas di rumah ini, tapi ada beberapa aturan," katanya tegas.
"Pertama, jangan ganggu aku kecuali penting. Kedua, jangan keluar rumah tanpa izin. Ketiga, jaga sikapmu di depan tamu atau staf." lanjutnya.
Alya mengangguk kecil, hatinya mengecil.
"Baik, Tuan," jawabnya hampir berbisik.
Tanpa menunggu balasan, Kevin berbalik dan menaiki tangga menuju kamarnya, meninggalkan Alya berdiri sendirian di ruang tamu besar itu.
Alya menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, bagaimana ia bisa bertahan di dunia yang terasa begitu asing ini. Bu Linda membawanya masuk ke sebuah kamar yang berada tepat dibawah kamar Kevin yang berada di atas.
"Mulai hari ini,kau tidur di kamar ini." ucap Linda.
Alya melangkah masuk ke dalam kamar itu dengan hati-hati. Kamarnya cukup luas, dengan dinding berwarna krem lembut, ranjang besar bertirai putih, meja rias sederhana, dan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Semuanya tampak mewah bagi Alya yang terbiasa hidup sederhana di desa.
"Kalau butuh sesuatu, kau bisa bicara pada Nani, salah satu staf di dapur," ujar Bu Linda singkat, lalu berbalik pergi tanpa banyak basa-basi, meninggalkan Alya sendiri.
Alya berdiri di tengah kamar, memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Ia merasa seperti burung kecil yang tiba-tiba dilemparkan ke dalam sangkar emas indah, tapi dingin dan sunyi.
Ia menaruh tas kecilnya di atas ranjang, lalu duduk di tepi ranjang itu, membiarkan kelelahan menyergap tubuhnya. Namun saat hendak memejamkan mata, terdengar ketukan pelan di pintu.
Tok...tok...
Alya segera bangkit dan membukanya. Di depan pintu berdiri seorang gadis muda berusia sekitar dua puluhan, mengenakan seragam staf rumah tangga.
"Kau Alya, ya?" tanyanya sambil menatap Alya dari ujung kepala sampai kaki, ada nada meremehkan di suaranya.
"I-iya," jawab Alya gugup.
"Aku Nani. Aku yang bertanggung jawab di dapur. Kalau kau butuh makan, bilang saja. Tapi jangan macam-macam di sini. Rumah ini punya aturan ketat. Kami semua sudah bekerja lama, jadi jangan membuat masalah, ya," ucap Nani ketus.
"Aku mengerti," Alya hanya mengangguk dengan menjawab lirih.
Nani mendengus kecil lalu pergi begitu saja, meninggalkan Alya yang kembali merasa makin kecil.
Malam itu, Alya duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Hatinya merindukan rumahnya di desa, kakek Daniel, dan suasana hangat sederhana yang kini terasa begitu jauh. Di rumah ini, semuanya terasa dingin... dan penuh jarak.
Sementara itu, di lantai atas, Kevin berdiri di depan jendela kamarnya, memandang langit malam kota yang penuh bintang. Pikirannya melayang entah ke mana.
Ia mengingat janjinya kepada kakek Daniel, janji yang membuatnya kini harus berbagi hidupnya dengan seorang gadis asing. Kevin menghela napas berat. Ia tidak membenci Alya, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya membuka diri lagi kepada orang lain.
"Semua ini... hanya sementara," gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Malam itu kedua insan itu dengan melamun dengan pikiran mereka masing-masing. Alya hanya bisa menerima semua takdir yang digariskan tuhan padanya.Berbeda dengan Kevin,ia harus berkutat dengan waktu. Sampai kapan ia harus hidup berdampingan dengan gadis yang sama sekali tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.
Keesokan paginya, Kevin sudah berpakaian rapi dengan setelan jas abu-abu yang membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Ia terlihat sangat berwibawa, bahkan sejak turun dari tangga besar menuju ruang makan. Aroma kopi hitam memenuhi udara, sementara meja sarapan telah tertata rapi dengan berbagai hidangan.
Alya, yang baru saja belajar tentang rutinitas rumah besar itu, mencoba memberanikan diri untuk menyiapkan secangkir kopi untuk Kevin, seperti yang dilakukan staf lainnya. Ia ingin menunjukkan itikad baiknya, walau hatinya gugup setengah mati.
Dengan tangan gemetar, Alya menuangkan kopi ke dalam cangkir putih polos, lalu membawanya mendekati tempat Kevin duduk. Kevin yang sedang membaca dokumen sekilas melirik, namun tetap diam. Alya meletakkan cangkir itu di depannya, lalu membungkuk kecil.
"Saya... saya buatkan kopi, Tuan," ucap Alya pelan.
Kevin mengangkat alis sedikit, lalu tanpa berkata apa-apa, ia mengambil cangkir itu dan menyesapnya. Hanya saja detik berikutnya, wajah Kevin berubah masam.
"Kau... menaruh gula?" tanyanya datar, menatap Alya dengan tatapan tajam.
Alya membeku.
"S-sedikit... saya kira Tuan akan lebih suka ada manisnya sedikit," jawab Alya gugup.
Kevin meletakkan cangkir itu kembali dengan suara cukup keras hingga membuat Alya tersentak kecil.
"Aku tidak pernah minum kopi pakai gula," ucap Kevin dingin.
Suasana meja makan langsung menjadi tegang. Para staf yang melihat kejadian itu hanya menunduk dalam-dalam, pura-pura sibuk. Alya menunduk malu, menahan air mata yang mulai menggenang.
"Saya minta maaf, Tuan... saya tidak tahu," bisiknya.
Kevin menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. Ia sadar bahwa Alya bukan pelayan, dan dia hanya mencoba membantu. Tapi tetap saja, Kevin terbiasa dengan keteraturan dan kesempurnaan di sekelilingnya.
"Mulai sekarang, jangan ikut campur. Lakukan saja urusanmu," kata Kevin singkat lalu bangkit dari kursinya, mengambil jasnya dan berjalan keluar.
Alya hanya berdiri terpaku, menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis di depan semua orang.
"Jangan terlalu diambil hati, Alya," bisik Bu Linda pelan sambil menghampirinya.
"Tuan Muda Kevin memang keras, tapi dia bukan orang jahat. Dia hanya belum terbiasa."tambahnya.
Alya mengangguk kecil, lalu buru-buru kembali ke kamarnya, berusaha menyembunyikan rasa sedih yang membuncah di dadanya.
Di luar rumah, Kevin masuk ke mobilnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Namun saat mobil melaju, pikirannya melayang kembali ke gadis mungil yang tadi pagi dengan polosnya membuatkan kopi untuknya.
"Sial,"
Gumamnya kesal pada diri sendiri. Entah kenapa, bayangan wajah sedih Alya itu tetap saja menghantuinya.
Pov : Alya Rosella
Alya Rosella gadis berusia 19 tahun. Sama halnya dengan Kevin Alya hanya dibesarkan oleh kakeknya,Rudd. Ibunya meninggal saat setelah Alya dilahirkan. Sementara ayahnya meninggal karena serangan jantung seketika istrinya dinyatakan meninggal.
Sejak kecil ia tidak pernah bertemu ayah dan ibunya. Namun kakeknya selalu menjaganya dengan kasih sayang yang berlimpah. Alya tidak pernah kekurangan apapun ,kakeknya selalu memberikan semua yang diinginkannya.
Namun Alya harus kembali menderita ketika sang kakek kembali meninggalkannya seorang diri. Beruntung sebelum kakeknya meninggal ia sempat menitipkan Alya pada Daniel,kakek Kevin.
***
Hari itu berjalan lambat bagi Alya. Setelah kejadian pagi tadi, ia memilih mengurung diri di kamarnya. Ia merasa seperti orang asing di dunia yang begitu berbeda dengan kehidupannya di Desa Melati. Tapi di sisi lain, ia juga teringat janji kepada almarhum Kakek Daniel: untuk bertahan, apapun yang terjadi.
Sore harinya, saat matahari mulai condong ke barat, Alya memberanikan diri keluar dari kamar. Ia berjalan pelan menyusuri koridor rumah besar itu, mencoba mengenal tempat barunya. Ia melewati ruang baca yang dipenuhi rak buku, ruang musik dengan piano hitam mengilap, hingga taman belakang yang asri dengan kolam ikan kecil.
Saat sampai di taman belakang, Alya melihat sosok Kevin sedang duduk di bangku taman, masih mengenakan kemeja kerjanya namun tanpa jas. Di tangannya ada laptop yang diletakkan di samping, sementara ia tampak serius menatap layar ponselnya.
Alya ragu. Ia berniat berbalik, namun langkah kakinya menginjak ranting kering, menimbulkan bunyi kecil.
Kevin langsung menoleh cepat. Tatapannya tajam, membuat Alya refleks menunduk dalam.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Kevin, suaranya terdengar datar namun tidak sekeras tadi pagi.
"A-aku... hanya ingin melihat taman, Tuan. Maaf kalau mengganggu," jawab Alya gugup, mengatupkan tangan di depan perutnya.
Kevin mengamati gadis itu beberapa detik. Alya mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda yang membuatnya tampak semakin polos dan rapuh. Wajahnya bersih, tanpa polesan make-up.
"Taman ini untuk siapa saja," ucap Kevin akhirnya, suaranya sedikit lebih lunak.
"Kau boleh di sini." tegasnya.
Alya mendongak sedikit, matanya berbinar lega.
"Terima kasih, Tuan," katanya lirih.
Kevin kembali fokus pada ponselnya, sementara Alya mengambil tempat duduk di bangku taman lain yang tidak terlalu dekat darinya. Ia memandangi kolam ikan kecil itu, matanya mengikuti gerakan ikan-ikan berwarna cerah yang berenang dengan lincah.
Beberapa menit berlalu dalam diam, namun anehnya diam itu tidak terasa sesak. Hanya terdengar suara gemericik air kolam dan kicauan burung sore. Untuk pertama kalinya sejak tiba di rumah itu, Alya merasa sedikit tenang.
"Kalau kau bosan, di ruang baca ada banyak buku," tiba-tiba Kevin berkata tanpa menoleh.
Alya yang tidak menduga pria itu akan berbicara lagi, langsung menoleh dengan tatapan sedikit terkejut.
"Buku?" tanyanya polos.
Kevin mengangguk singkat.
"Kau suka membaca?"
"Aku suka... dulu, kakek Daniel sering membacakan buku cerita untukku sebelum tidur."sahut Alya sambil tersenyum tipis.
Seketika, wajah Kevin berubah tegas saat mendengar kata 'kakek'. Ia kembali mengingat janji yang harus ia tepati. Sorot matanya kembali tajam. Hal itu membuat Alya kembali tidak nyaman.
Alya langsung menundukkan pandangannya.Tak berapa lama Kevin langsung menutup laptopnya dan berdiri meninggalkan Alya yang masih tampak ketakutan. Namun sebelum benar-benar pergi Kevin berhenti sejenak dan berbicara tanpa membalikkan tubuhnya.
" Jika kau butuh sesuatu,kau bisa meminta pada Bu Linda." ketusnya tanpa menoleh.
"Baik,Tuan."
Alya hanya menjawab ragu ,lalu menatap punggung Kevin yang kian menghilang. Setelahnya Alya kembali menatap kolam itu sambil melemparkan kerikil kecil yang didapatnya.Setelah puas bermain-main, Alya kembali masuk ke rumah.
Malam itu, setelah makan malam yang sunyi, Alya kembali ke kamar lebih cepat. Ia merasa lelah, bukan karena pekerjaan, melainkan karena tekanan batin yang menguras tenaganya.Namun sebelum tidur, Alya teringat sesuatu yaitu ruang baca.
Dengan mengumpulkan keberanian, ia keluar dari kamar, berjalan pelan melewati lorong gelap yang hanya diterangi lampu dinding berwarna kekuningan. Sesampainya di ruang baca, Alya membuka pintunya perlahan.
Ruangan itu sangat besar dan nyaman, dipenuhi aroma buku tua yang khas. Di salah satu sudut, ada sofa empuk dengan selimut kecil terlipat rapi.
Alya memilih sebuah buku bercover biru tua, duduk di sofa itu, lalu mulai membaca.
Kata demi kata membuat pikirannya sedikit melayang dari rasa sedih yang membebaninya.
Tak lama kemudian, tanpa ia sadari, matanya mulai berat. Buku itu perlahan terjatuh dari tangannya, dan Alya tertidur di sana. sendirian, di tengah ruangan yang hening.
Di sisi lain, Kevin baru saja pulang dari pertemuan bisnis. Ia melempar jasnya sembarangan ke sofa ruang tamu, membuka dua kancing kemejanya, lalu melangkah menuju kamarnya. Namun, saat melewati ruang baca, ia mendengar sesuatu.
Pelan, ia mendorong pintu yang sedikit terbuka.
Pemandangan itu membuat langkahnya terhenti.Alya,tertidur dengan kepala bersandar ke sandaran sofa, napasnya teratur, ekspresi wajahnya begitu damai. Buku yang sempat dibacanya tergeletak di lantai.
Kevin berdiri beberapa saat, hanya memandanginya.Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa aneh. Perasaan asing yang selama ini mulai masuk ke dalam hatinya.
Dengan langkah hati-hati, Kevin mendekat. Ia memungut buku itu, menaruhnya di atas meja. Kevin mencoba membangunkan Alya.Namun seketika ia mengurungkan niatnya.
Kevin langsung meninggalkan Alya tertidur disana.Ia segera kembali ke kamarnya. Malam itu, Kevin tidak benar-benar bisa tidur. Ia mengingat wajah polos Alya yang begitu polos. Perasaan tak bisa digambarkan namun wajah Alya mampu meringankan rasa lelahnya setelah seharian bekerja.
"Apa yang aku pikirkan?." gumamnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!