NovelToon NovelToon

Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Part 01(Awal Sebuah Pelarian)

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇

"Jadi, apa jadwal hari ini?" tanya seorang wanita cantik yang tengah duduk di kursi kebesarannya.

Tidak jauh darinya, seorang pria berdiri sambil sibuk mengotak-atik sebuah tablet. Setelah beberapa saat, pria itu akhirnya membuka suara.

"Ini adalah daftar agenda untuk hari ini, Nona," ujar pria tersebut dengan nada profesional.

Wanita yang memiliki nama lengkap Claretta Fredelina Beryl, atau kerap disapa Letta itu terlihat menghela napas panjang setelah mendengar serangkaian kegiatan yang telah disusun untuknya. Seolah-olah harinya sudah terasa melelahkan bahkan sebelum dimulai.

Letta ada anak dari pasangan Sebastian Beryl dan Eliana Beryl. Putri tunggal keluarga Beryl itu bekerja di perusahaan keluarganya yaitu Beryl Escapes. Di perusahaan Letta menjabat sebagai CEO, itu sebabnya dia memiliki jadwal yang cukup padat.

"Ah, hampir saja saya lupa," tambah pria itu lagi, kali ini dengan nada lebih berhati-hati. "Tuan meminta Nona untuk melakukan pengecekan langsung di lokasi pembangunan hotel baru di daerah A."

Letta, seketika mengernyit. Dia menatap pria itu, Etan, asistennya, dengan ekspresi tidak percaya.

Bagaimana bisa Papinya mengirimnya ke lokasi pembangunan yang penuh debu dan panas terik? Apakah Papinya itu tidak tahu bahwa tempat seperti itu bukanlah lingkungan yang cocok untuk putrinya yang cantik ini? Letta menghela napas sekali lagi, kali ini dengan perasaan kesal. Tampaknya, dia harus segera memprotes keputusan Papinya.

Tanpa memberikan tanggapan, Letta langsung meraih ponselnya, berniat menelepon sang Papi. Namun, sebelum dia sempat bertindak, ponselnya sudah berdering lebih dulu.

Nama "Kanjeng Ratu" terpampang di layar. Mau tidak mau, Letta pun menghela napas dan mengangkat panggilan dari Maminya.

"Halo, Mi," sapa Letta setelah panggilan tersambung.

Awalnya, ekspresi Letta biasa saja, tetapi setelah mendengar maksud dan tujuan sang Mami, raut wajahnya langsung berubah. Wajahnya menegang, memperlihatkan ekspresi tidak suka.

"Mi, udah Letta bilang, Letta gak mau dijodohin! Biarin Letta sendiri yang cari pasangan, karena kedepannya Letta yang harus menjalaninya. Jadi, berhenti jodohin Letta dan tolong stop nyuruh Etan atur jadwal kencan buta buat Letta!" omel Letta dengan kesal. Dia benar-benar sudah jengah dengan topik pernikahan yang terus-menerus dibahas.

"Tapi sampai kapan kamu mau begini? Sekarang kamu sudah 28 tahun, dan tahun depan sudah 29!" balas Nyonya Eliana Beryl, Maminya Letta, dengan nada tegas.

Yah, bisa dibilang Letta adalah perawan tua—setidaknya menurut standar keluarganya. Meski baru 28 tahun, orang-orang di sekitarnya menganggap usia itu sudah terlalu tua bagi seorang wanita yang belum menikah.

Letta menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Mi, kita bahas ini nanti saja kalau Letta sudah pulang. Hari ini, suami Mami itu menyuruh Letta untuk ke daerah A," ucapnya, sengaja mengalihkan pembicaraan.

Dan benar saja, triknya berhasil. Dari seberang telepon, Letta bisa mendengar ibunya mulai mengomeli sang Papi tanpa henti. Senyum kecil terukir di wajah Letta.

"Mi, daripada ngomel ke Letta, mending Mami langsung protes ke orang yang bersangkutan," katanya santai.

Tidak lama kemudian, Nyonya Ana langsung menutup panggilan. Letta terkekeh pelan, membayangkan bagaimana ekspresi Papinya yang pasti sedang kena omelan habis-habisan dari Maminya.

"Tolong siapkan tiket penerbangan ke daerah A," ujar Letta pada asistennya yang sejak tadi masih setia berdiri di sampingnya.

Etan, sang asisten, menatap Letta dengan bingung. Bukankah tadi Nona Mudanya ini menolak mentah-mentah perintah dari Tuan Besar? Lalu kenapa sekarang justru terlihat paling bersemangat?

"Dan satu lagi," lanjut Letta. "Sampaikan pada Tuan Sebastian Beryl bahwa aku akan mengawasi proyek ini hingga proses pembangunan selesai."

Mata Etan langsung membelalak. Astaga, apakah Nona-nya sedang bercanda?! Sampai selesai? Proyek itu baru mencapai 70%, dan butuh setidaknya tiga bulan lagi untuk benar-benar rampung.

Tapi apa boleh buat? Di sini, dia hanyalah seorang bawahan. Mau tak mau, dia harus menjalankan perintah atasannya.

Tanpa membuang waktu, Etan segera beranjak dari ruangan Letta. Sekarang dia punya dua tugas penting yang harus segera diselesaikan.

Sepeninggalan Etan, Letta menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Dia yakin, sebentar lagi sang Papi pasti akan meneleponnya begitu mendengar laporan dari Etan.

Sebenarnya, Letta tidak melakukan ini tanpa alasan. Dia hanya ingin menghindari sang Mami untuk sementara waktu. Jika orang-orang berpikir bahwa dia tidak tertekan dengan pertanyaan seputar pernikahan, mereka salah besar.

Jauh di dalam hatinya, Letta juga ingin menikah seperti teman-temannya. Bahkan, beberapa dari mereka sudah memiliki dua anak.

Tanpa sadar, Letta mulai membayangkan bagaimana rasanya jika dia menikah dan memiliki keluarga kecil sendiri. Sebuah senyum kecil terukir di wajahnya saat dia membayangkan kebahagiaan itu.

Namun, lamunan itu buyar ketika ponselnya berdering kembali. Kali ini, sang "Paduka Raja" yang meneleponnya.

"Selamat siang, Tuan Sebastian," sapa Letta dengan suara dibuat-buat.

Sebastian Beryl, pemimpin Beryl Escapes sekaligus ayah Letta dan suami dari Nyonya Ana, langsung mendengus di seberang sana.

"Apa-apaan ini, Princess? Kamu mau bikin Papi mati digantung Mami?" omelnya.

Letta terkekeh pelan. "Memangnya Mami tega membunuh suaminya yang tampan?" tanyanya santai.

Sebastian mendengus pelan, sementara Letta langsung tertawa lepas. Dia tahu betul bahwa semarah apa pun Maminya, Papinya tidak akan mengalami akhir tragis.

Bagaimanapun juga, Maminya itu bucin tingkat dewa pada Papi. Yah, walaupun setelah ini, pasti akan ada sesi sindiran panjang yang harus diterima Papinya. Dan Letta, tentu saja, sangat menikmati melihat ekspresi tertekan Papinya.

"Tapi Papi tidak setuju dengan permintaan kamu," ujar Tuan Sebastian dengan nada serius.

"Kenapa?" tanya Letta polos.

"Kenapa? Kamu masih bertanya? Kamu tahu kan, pembangunan hotel itu baru mencapai 70%, yang berarti masih butuh tiga bulan lagi sampai benar-benar selesai," jelas Tuan Sebastian.

Letta mengangguk pelan, meskipun dia tahu Papinya itu tidak bisa melihatnya. "Yah, Letta tahu," sahutnya santai.

"Dan kamu masih mau menetap di sana sampai semuanya selesai?" tanya Tuan Sebastian lagi, suaranya terdengar semakin tidak percaya.

"Memangnya ada yang salah? Letta cuma mau mengawasi sampai pembangunan hotel benar-benar selesai," jawab Letta.

Dia bisa mendengar helaan napas berat dari seberang telepon. Papinya pasti sedang berusaha keras memahami jalan pikirannya.

"Memang tidak ada yang salah, tapi tiga bulan? Bahkan selama ini kamu paling lama meninggalkan Papi dan Mami hanya seminggu, tidak pernah lebih dari itu."

Sebastian menghela napas, mencoba memahami keputusan putrinya. Letta memang sangat dimanja di keluarganya, mengingat dia adalah putri semata wayang.

Namun, meskipun tumbuh dalam kenyamanan, Letta tetap bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Itu semua berkat didikan Nyonya Ana, yang ingin putrinya menjadi wanita sempurna dan menjadi idaman banyak orang.

Sayangnya, harapan itu tidak sepenuhnya terwujud. Hanya karena Letta belum menikah, banyak orang menilainya dengan pandangan negatif.

"Dan justru karena itu Papi harus setuju," ucap Letta, tetap pada pendiriannya.

Sebastian mengerutkan kening. "Lalu bagaimana dengan Mami? Alasan apa yang harus Papi berikan? Apa keputusan ini ada sangkut pautnya dengan Mami?" tanyanya, baru menyadari ada maksud terselubung di balik permintaan putrinya.

"Enggak, ini gak ada hubungannya sama Mami. Letta cuma ingin suasana baru," jelas Letta, berusaha menutupi alasannya yang sebenarnya.

Terdengar helaan napas panjang dari Tuan Sebastian. Ada jeda sejenak sebelum akhirnya dia angkat bicara.

"Baiklah, Papi setuju," ucapnya akhirnya.

Setelah panggilan ditutup, Letta menghela napas lega. Setidaknya, dia berhasil mendapatkan persetujuan dari sang Papi.

Tanpa membuang waktu, dia pun beranjak dari ruangannya. Jika Etan yang mengurus keberangkatan dan tempat tinggalnya selama di sana, maka dia juga perlu mempersiapkan kebutuhannya sendiri.

Dengan langkah mantap, Letta mulai menyusun daftar barang-barang yang akan dibawanya. Perjalanan tiga bulan ke daerah pembangunan tentu bukan hal yang mudah, tapi dia sudah siap menghadapi tantangan ini atau setidaknya, begitulah yang dia yakini.

TBC...

Part 02 (Maaf dan Pelukan)

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇

Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Letta akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia benar-benar butuh istirahat untuk mempersiapkan keberangkatannya esok malam.

Dengan langkah letih, Letta memasuki mansion keluarga Beryl. Begitu melewati pintu utama, ia langsung disambut oleh sang Mami, Nyonya Ana.

"Mami nggak setuju, ya," ucap Nyonya Ana tiba-tiba, melayangkan protes bahkan sebelum Letta sempat meletakkan tasnya.

Letta hanya menghela napas panjang sebelum menjawab, "Suami Mami yang minta, jadi Mami nggak bisa larang Letta," sahutnya santai, sukses membuat Nyonya Ana berdecak kesal.

"Mana Papi kamu?" tanya Nyonya Ana, matanya berkilat. Sudah terbayang dalam pikirannya aksi demo yang akan ia lakukan pada sang suami.

Letta tersenyum nakal. "Itu kan suami Mami, kenapa nanyanya ke Letta?"

"Ck! Awas aja kalau pulang nanti," geram Nyonya Ana, mengepalkan tangan seolah bersiap untuk bertempur.

Tak ingin memperpanjang adu mulut, Letta buru-buru menghindar. "Letta ke kamar dulu ya, Mi. Capek banget," katanya cepat sebelum bergegas menuju tangga, meninggalkan Nyonya Ana yang masih mendengus kesal di ruang tamu.

Begitu memasuki kamarnya, Letta langsung merebahkan diri di atas ranjang. Tubuhnya terasa sangat lelah, hingga tanpa sempat membersihkan diri, ia sudah tertidur pulas.

Sementara itu, suasana berbeda terjadi di kamar utama keluarga Beryl, tempat Mami dan Papi Letta berada.

"Pokoknya Mami nggak setuju! Kalau Papi nggak batalkan rencana Letta, jangan harap Papi dapat jatah," seru Nyonya Ana, mulai mengeluarkan jurus andalannya.

Tuan Sebastian yang sudah terbiasa dengan ancaman seperti itu hanya menghela napas panjang. Dengan santai ia berceletuk, "Ya sudah, Papi tinggal jajan di luar."

Seketika itu juga, mata Nyonya Ana membelalak marah. "Berani-beraninya Papi jajan di luar! Mami sunat Papi dua kali!" ancamnya dengan penuh emosi.

Tuan Sebastian langsung meringis, merasa ngilu hanya membayangkannya.

"Huft... Mami, harusnya kasihan sama anak Mami," ucap Tuan Sebastian, nada suaranya kini lebih serius.

Nyonya Ana mengerutkan kening, merasa bingung. "Emangnya Letta kenapa?" tanyanya penasaran.

Tuan Sebastian menatap istrinya dengan sabar. "Mami sadar nggak, Letta itu tertekan? Papi rasa nggak ada salahnya dia menetap sementara di daerah A."

Nyonya Ana masih belum sepenuhnya menangkap maksud suaminya. Tuan Sebastian pun melanjutkan dengan suara lebih lembut.

"Huft, Mami pernah nggak tanya Letta, apa dia baik-baik saja setiap kali dapat pertanyaan tentang pernikahan? Apa Mami pikir itu nggak jadi beban pikiran buat putri kita?"

Mendengar itu, Nyonya Ana terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merenungkan kata-kata suaminya. Perlahan, ia sadar—mungkin saja sikapnya selama ini, begitu juga dengan tekanan dari keluarga besar, telah menyakiti perasaan Letta. Ia terlalu sibuk memperhatikan omongan orang hingga melupakan perasaan putrinya sendiri.

Tuan Sebastian, menyadari perubahan di wajah istrinya, mendekat dan merangkulnya dengan hangat.

"Biarkan Letta pergi, Mi. Nggak ada salahnya. Anggap saja dia pergi untuk jalan-jalan, bukan untuk pekerjaan," bisiknya lembut.

"Tapi Pi, Letta itu anak kita satu-satunya... Mami nggak mau dia jauh dari kita," ucap Nyonya Ana lirih, mengungkapkan kegelisahannya.

Tuan Sebastian tersenyum menenangkan. "Papi tahu. Karena itu, semuanya sudah Papi persiapkan. Mami tenang aja, Papi sudah tugaskan Etan untuk mendampingi Letta."

Mendengar itu, perlahan hati Nyonya Ana luluh. Ia akhirnya mengizinkan Letta untuk pergi ke daerah A, meski berat rasanya melepas sang putri.

Malam itu, setelah makan malam bersama, Nyonya Ana memutuskan untuk menghampiri Letta di kamarnya.

Tok... Tok... Tok...

"Sayang, Mami masuk ya," ucap Nyonya Ana sambil mengetuk pintu.

"Masuk aja, Mi," sahut Letta dari dalam.

Begitu membuka pintu, Nyonya Ana langsung melihat Letta sibuk menyusun barang-barangnya ke dalam koper. Gadis itu mondar-mandir, memilah apa saja yang harus dibawa.

"Ada yang bisa Mami bantu?" tawar Nyonya Ana, memperhatikan Letta yang tampak serius.

"Ah, nggak usah, Mi. Ini udah hampir selesai kok," tolak Letta sambil tersenyum.

Nyonya Ana akhirnya hanya duduk di tepi ranjang, memperhatikan putrinya dalam diam. Sesekali matanya berkaca-kaca, tapi ia menahannya. Setelah beberapa saat, suara lirih keluar dari bibirnya.

"Mami minta maaf..."

Letta menghentikan kegiatannya, menoleh dengan bingung. Ia melangkah mendekati ibunya. "Mami kenapa? Kok malah minta maaf? Harusnya Letta yang minta maaf."

Dengan pelan, Letta mengambil tangan Nyonya Ana, lalu mengecupnya penuh hormat. "Maaf ya, Mi. Letta sering bikin Mami kesel... sering bohongin Mami tiap Mami atur jadwal kencan buta. Maaf juga karena Letta Mami dan Papi jadi bahan omongan keluarga."

Ucapan Letta membuat hati Nyonya Ana remuk. Tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir, isakan kecil terdengar dari tenggorokannya. Ternyata, semua yang dikatakan Tuan Sebastian memang benar—anaknya tertekan, jauh lebih dari yang ia bayangkan.

"Mami yang salah..." isak Nyonya Ana. "Harusnya Mami bela kamu, bukannya malah ikut menekan kamu."

Letta hanya tersenyum kecil, lalu memeluk ibunya erat-erat, seolah ingin menghapus semua luka yang pernah tercipta di antara mereka.

"Udah, ah. Kok jadi mewek gini," celetuk Letta sambil mengurai pelukan mereka dan menghapus air mata di wajah Nyonya Ana.

Ia tersenyum, mencoba mencairkan suasana. "Sekarang ada tugas yang lebih penting. Letta nggak mau gara-gara adegan drama ini malah ada barang yang ketinggalan," lanjutnya, membuat Nyonya Ana mendengus geli.

"Kalo ketinggalan ya tinggal pulang," sahut Nyonya Ana santai.

"Mami kira Letta ini nggak ada kerjaan apa," gerutu Letta pura-pura kesal.

Akhirnya, Letta kembali sibuk berkemas, kali ini dibantu sang Mami yang tak lagi bisa menyembunyikan senyum kecil di wajahnya.

Tak lama, pintu kamar terbuka.

"Papi cariin, ternyata di sini," ujar Tuan Sebastian, muncul di ambang pintu.

Ibu dan anak itu sontak menoleh bersamaan, menatap Tuan Sebastian dengan ekspresi penuh tanya.

"Baru juga ditinggal sebentar, udah nyariin," goda Letta sambil mengedip nakal ke arah kedua orang tuanya.

Mendengar itu, Nyonya Ana tak mau kalah ikut menggoda. "Ah, Papi, masa gitu aja udah kangen sama Mami," celetuknya genit.

Tuan Sebastian hanya menghela napas panjang, seolah pasrah menjadi sasaran keisengan keduanya. Namun sebelum ia sempat membalas, Letta sudah lebih dulu membuka suara, kali ini dengan ekspresi jahil.

"Papi tenang aja, Letta cuma pinjem Mami sebentar kok. Habis ini Papi boleh deh eksekusi... buatin Letta adik!" ucap Letta seenaknya.

Mendengar ucapan Letta, Nyonya Ana dan Tuan Sebastian langsung saling berpandangan, terkejut sekaligus tak tahu harus merespons apa. Beberapa detik kemudian, Tuan Sebastian akhirnya angkat bicara.

"Udah selesai belum?" tanyanya santai.

Letta mengernyit, bingung. "Selesai apaan?"

"Kalau udah selesai, giliran Papi yang minjem Mami," jawab Tuan Sebastian kalem.

"Emang mau ngapain?" tanya Letta polos.

Dengan wajah tanpa dosa, Tuan Sebastian menambahkan, "Bukannya kamu minta adik? Laki-laki kan?"

Seketika itu juga, kamar dipenuhi teriakan Letta dan Nyonya Ana.

"PAPI!!!" seru keduanya serempak, membuat Tuan Sebastian hanya tertawa puas.

TBC...

Part 03 (Melangkah ke Awal Baru)

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇

Sesuai rencana, setelah menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini, malam harinya Letta bersiap berangkat ke daerah A.

Kini, Letta sudah berada di bandara, ditemani oleh Mami dan Papinya. Waktu keberangkatan tinggal menghitung menit, dan seperti kebanyakan momen perpisahan, drama kecil pun tak terelakkan.

Saat ini, Nyonya Ana, dengan mata berkaca-kaca, memeluk Letta erat-erat. "Batalin aja ya, Sayang. Kita shopping bareng, spa, atau ikut arisan ibu-ibu sama Mami," rayunya dengan nada manja, seolah lupa bahwa keberangkatan Letta tinggal hitungan menit lagi.

Letta tersenyum kecil, berusaha menenangkan ibunya. "Udah, Mi. Letta ke sana juga buat perusahaan kita, kok. Bukan buat perang," ujarnya lembut.

Kemudian, dengan nada bercanda, Letta menambahkan, "Lagian, siapa tahu jodoh Letta ada di sana."

Kalimat itu sukses menghentikan tangis Nyonya Ana seketika. Ia melepaskan pelukannya, menatap Letta dengan mata berbinar-binar.

"Kalau gitu, kamu berangkat sekarang! Cepet, sana! Jemput mantu buat Mami!" serunya semangat. "Tapi ingat, kalau pulang nanti kamu nggak bawa mantu, kamu harus mau Mami kenalin sama anak temennya Mami!" tambahnya, tak kalah cepat berubah sikap.

Letta hanya bisa mengelus dada dalam hati. Baru juga semalam dibahas, eh udah nuntut mantu lagi... Ini semua gara-gara mulut sendiri sih, bisa-bisanya nyeletuk soal jodoh, gerutunya sambil tertawa kecil.

Tuan Sebastian yang sejak tadi menyaksikan drama kecil antara istri dan anaknya hanya bisa menghela napas panjang. Meski begitu, ia tentu tak mau ketinggalan untuk berpesan.

"Kalau ada apa-apa, atau kamu butuh sesuatu, langsung bilang sama Papi, ya," ucapnya, menatap Letta dengan penuh perhatian.

Letta tersenyum menenangkan. "Iya, Papi, Mami, tenang aja. Letta bakal baik-baik aja di sana. Letta juga janji akan terus mengabari Papi dan Mami," sahutnya dengan yakin.

Tuan Sebastian mengangguk, sementara Nyonya Ana masih sesekali mengusap matanya, berusaha menahan gejolak di hatinya.

"Kalau begitu, Letta pamit ya, Pi, Mi," ucap Letta lembut.

Dengan langkah pasti dan hati yang sudah mantap, Letta pun melangkah menuju pintu keberangkatan. Di belakangnya, Mami dan Papi berdiri berdampingan, melepas kepergiannya dengan penuh harap, doa, dan cinta yang tak pernah putus.

Letta melangkah memasuki kabin pesawat seorang diri. Etan, yang biasanya mendampinginya, sudah lebih dulu berangkat ke daerah A, menjalankan tugas yang telah diatur oleh Papi Letta dan juga dirinya sendiri.

Sepanjang perjalanan, Letta memanfaatkan waktunya untuk beristirahat. Ia membiarkan dirinya terlelap, membiarkan kelelahan yang menumpuk perlahan luruh di antara suara mesin pesawat. Tak terasa, waktu berlalu cepat, dan pesawat pun akhirnya mendarat dengan mulus di bandara daerah A.

Begitu keluar dari area kedatangan, sosok yang sudah dikenalnya segera menyambut. Etan berdiri tegak di antara kerumunan, menunggunya dengan ekspresi tenang.

"Malam, Nona," sapa Etan sopan begitu Letta mendekat.

Letta tersenyum kecil membalas sapaannya.

"Kita langsung pulang atau Nona ingin mampir ke suatu tempat terlebih dahulu?" tanya Etan, menjaga nada suaranya tetap ramah.

Letta menggeleng pelan. "Kita pulang saja. Aku sungguh lelah," jawabnya jujur.

Etan mengangguk mengerti, lalu mengambil alih koper Letta tanpa banyak bicara.

Malam itu, Letta hanya ingin segera beristirahat. Besok, hari baru menantinya—hari pertamanya memulai pekerjaan di tempat baru. Dalam hati, Letta berharap semoga semuanya berjalan lancar, dan semoga juga, tidak ada drama jet lag yang menghantui.

Akhirnya, Letta dan Etan melangkah meninggalkan area bandara. Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang menemani di dalam mobil, hingga Letta tiba-tiba memecah sunyi.

"Ada laporan terbaru soal proyek di sini?" tanyanya sambil menoleh ke arah Etan.

Etan, yang tetap fokus mengemudi, menjawab dengan tenang, "Ada sedikit kendala, Nona. Baru beberapa hari ini, beberapa pekerja mengajukan pengunduran diri. Tapi Nona tenang saja, saya sudah menginstruksikan untuk segera mencari pengganti mereka."

Letta hanya mengangguk pelan, tak ingin terlalu memikirkan hal itu saat ini. Ia butuh energi penuh untuk menghadapi hari-hari ke depan.

Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai Etan berhenti di area basement sebuah apartemen — tempat tinggal Letta yang baru selama berada di daerah A.

"Mari, Nona," ujar Etan sopan, membuka pintu dan mengantarkan Letta menuju unit apartemennya.

Begitu memasuki apartemen, Letta tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Interior apartemen itu dirancang dengan sangat elegan dan nyaman, sesuai dengan seleranya.

"Ini kartu aksesnya, Nona," ucap Etan, menyerahkan sebuah kartu kecil. "Untuk sandi pintu, sudah saya atur sesuai permintaan Nona."

Letta menerima kartu itu sambil mengangguk puas. Setelah memastikan semua kebutuhan awal Letta sudah terpenuhi, Etan pun berpamitan, meninggalkan Letta sendiri di apartemen barunya — memulai lembaran baru di tempat yang masih asing namun penuh harapan ini.

Letta langsung berjalan memasuki kamar tidurnya. Mungkin besok ia akan berkeliling dan mengenal setiap sudut apartemen barunya, namun untuk sekarang, satu-satunya yang ia butuhkan hanyalah istirahat. Meski begitu, sebelum tidur, Letta tahu ada satu hal yang harus dilakukan — membersihkan diri.

Dengan langkah malas, ia membongkar isi kopernya, mengambil piyama, lalu membawa perlengkapannya ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan tubuh segar dan nyaman.

Seperti kebiasaan wanita pada umumnya, Letta melanjutkan rutinitas malamnya: skincare-an. Sambil mengoleskan produk satu per satu ke wajahnya, ia mengambil ponsel dan melakukan panggilan ke Papinya. Bagaimanapun, ia harus mengabari kedua orangtuanya bahwa ia sudah sampai dengan selamat.

"Halo..." terdengar suara berat nan akrab dari seberang sana.

"Halo, Papi. Letta ganggu, nggak?" tanya Letta dengan nada manja.

"Tidak sama sekali, princess. Gimana? Kamu sudah sampai? Sudah di apartemen? Semua baik-baik aja?" Tuan Sebastian langsung bertubi-tubi bertanya.

Letta terkikik kecil. "Satu-satu, Pi. Letta sudah sampai dengan selamat, dan semuanya baik-baik saja. Nggak ada yang kurang," jawabnya menenangkan.

"Syukurlah kalau begitu," sahut Tuan Sebastian, terdengar lega.

Setelah menyampaikan kabar dan berbasa-basi sebentar, Letta mengakhiri teleponnya, tepat saat rangkaian skincare malamnya selesai.

Dengan perasaan lega dan tenang, Letta melangkah menuju ranjang. Ia membaringkan diri di atas kasur empuk dan menarik selimut hingga ke dagu. Entah kenapa, ada rasa antusias yang membuncah di hatinya. Ia menantikan hari esok — awal dari perjalanan barunya di tempat ini.

TBC...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!