NovelToon NovelToon

Tuhan Bawa Aku Pergi

BAB 1

...Bertaqwa lah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Ali-Imran: 102)....

Malam itu bayi kembar berjenis kelamin perempuan lahir dari rahim seorang Ibu muda. Kelahiran dua anak yang begitu di sambut dengan penuh rasa bahagia dari pasangan suami istri, Rahman dan Zulaikha.

Mereka memberikan nama pada kedua anaknya, Anisa dan Alisa.

Untuk menunjukkan rasa syukur atas kelahiran anak kembar mereka. Rahman dan Zulaikha mengadakan acara syukuran dan aqiqah untuk Anisa dan Alisa.

Dipotongkan oleh mereka dua ekor kambing sebagai bentuk syarat agar jiwa kedua anak mereka tak tergadai. Begitu bahagianya bagi Rahman dan Zulaikha.

Hingga hari terus berganti, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tak terasa kedua putri mereka telah tumbuh menjadi remaja, dengan segala kelebihan dan kekurangan keduanya. Namun kelebihan dan kekurangan kedua anak mereka nyatanya menjadi bumerang untuk Rahman.

Anisa ternyata lebih unggul di bandingkan dengan Alisa. Alisa pintar, dan selalu mendapatkan juara umum di sekolahnya. Berbeda dengan Anisa yang selalu mendapatkan nilai buruk dan membuat ulah di sekolahnya.

"Mau sampai kapan Kau seperti ini ? Kapan Kau berubah ? Tidak kah Kau bisa melihat bagaimana saudara kembar mu ? Dia selalu mendapatkan juara umum di sekolahnya, sedangkan Kau hanya selalu membuat ulah di sekolah !" kata Rahman menatap tajam pada putrinya, Alisa.

Alisa hanya diam seribu bahasa, seperti inilah yang ia hadapi setiap semester. Dirinya selalu di banding-bandingkan oleh Ayahnya sendiri.

"Apalagi ini ?!"

Alisa memberikan surat dari sekolah yang ditujukan untuk kedua orang tuanya.

Rahman mengambilnya dan membaca isi surat tersebut, surat yang menyatakan kalau Alisa di keluarkan dari pihak sekolah.

Rahman tentu saja begitu murka dan marah. Tangannya sampai tak segan-segan menampar wajah Alisa di hadapan Zulaikha dan Anisa.

PLAK

"Dasar anak berandalan ! Kau di keluarkan dari sekolah ! Mau ditaruh dimana wajah Ayah mu ini !" bentak Rahman.

Zulaikha hanya bisa diam dan menahan tangis melihat Alisa yang mendapatkan hukuman dari suaminya. Ia ingin membela dan membantu Alisa, namun itu tidaklah mungkin. Suaminya begitu keras dalam mendidik kedua putrinya.

"Mau jadi apa Kau sekarang, hah ?!"

Alisa hanya menundukkan wajahnya dan menghapus air matanya serta menahan rasa sakit di pipinya karena di tampar oleh Ayahnya.

"Dasar anak tidak tahu diri ! Seharusnya Aku tidak memiliki anak seperti mu !" kata Rahman yang membuat Zulaikha langsung berteriak.

"MAS !! ALISA JUGA PUTRI MU !"

"Ini semua juga karena Kau yang selalu memanjakannya ! Dia jadi seperti ini sekarang !" jawab Rahman.

"Ayah, juga lebih sayang pada Anisa bukan padaku !" Alisa memberanikan diri untuk bicara demikian.

"Kurang ajar Kau ! Berani sekali berbicara seperti itu !" Rahman kembali menampar wajah Alisa dan Zulaikha langsung melerai suaminya agar tidak terus menyakiti putrinya sendiri.

Sedangkan Anisa, saudari kembarnya itu hanya diam saja menyaksikan sebuah tontonan drama keluarga yang selalu dibuat oleh Alisa. Anisa tak peduli, ia kemudian memilih untuk masuk ke dalam kamarnya.

Beberapa minggu kemudian,

Rahman membawa kedua putrinya untuk belajar dan mondok di sebuah pesantren yang jauh dari pusat ibu kota. Sebenarnya Rahman hanya ingin memasukkan Alisa saja ke pesantren itu, agar Alisa bisa berubah menjadi lebih baik. Namun ternyata Anisa juga meminta untuk ikut.

Mau tidak mau Rahman pun membawa kedua putrinya untuk belajar disana. Sebuah pesantren yang kini di kelola oleh teman baik Rahman.

Mobil Rahman berhenti disebuah gapura pesantren dan ia pun turun dari mobilnya berikut juga Zulaikha serta kedua putri mereka.

"Tempat apa ini ?"

Anisa pikir pondok pesantren yang akan ia datangi adalah pesantren yang berkelas internasional. Namun Anisa salah, ternyata tempat itu begitu kampungan, dan tentu saja membuat Anisa seketika menyesal telah membuat keputusan.

Ingin sekali ia bicara pada Ayahnya jika ia tidak jadi ikut Alisa mondok di pesantren itu. Namun Anisa tak dapat melakukannya karena sifat Ayahnya begitu keras kepala, dan juga ia tak ingin membuat kecewa Ayahnya yang begitu sangat menyayanginya.

Sedangkan Alisa, ia hanya diam mengamati pemandangan pondok pesantren di sekelilingnya.

Tak lama mereka berempat telah berada di kantor pemilik pesantren tersebut. Pemiliknya adalah Ustadz Aziz yang merupakan salah satu teman baik Rahman.

"Jadi ini kedua putri mu, Rahman ?" tanya Aziz menatap kedua putri Rahman yang begitu cantik-cantik.

"Iya, Aku titipkan mereka disini padamu, Ziz. Mereka sudah duduk di bangku kelas 2 SMA." kata Rahman

"Berarti mereka disini hanya 1 tahun saja." kata Aziz

"Benar !" jawab Rahman

Aziz menganggukkan kepalanya. Perbincangan mereka cukup panjang hingga tak terasa Rahman dan Zulaikha harus pamit untuk pulang. Mereka berdua memeluk kedua putri mereka dan berharap Alisa dan Anisa betah mondok di pesantren itu dan bisa berkumpul dengan mereka dalam satu tahun lagi.

"Jaga baik-baik diri kalian." kata Rahman sebelum melepaskan kedua putri mereka.

"Iya Ayah." jawab Anisa dengan lembut.

Zulaikha menangis kala ia harus meninggalkan kedua putrinya di pondok pesantren. Terutama pada Alisa, ia begitu lama memeluk Alisa.

"Jaga diri baik-baik, ya Nak ? Ibu yakin Kau bisa berubah." lirih Zulaikha pada Alisa dan Alisa hanya menganggukkan kepalanya.

"Ibu jangan khawatir." jawab Alisa

Alisa dan Anisa melihat mobil kedua orang tuanya yang semakin jauh dari pandangan mata mereka. Pada akhirnya mereka harus berpisah, untuk sementara waktu dengan orang tua mereka.

...****************...

BAB 2

Alisa dan Anisa mendapatkan kamar yang berbeda yang akan mereka tempati untuk tidur.

Alisa melangkahkan kakinya masuk pada sebuah kamar yang dimana di dalam kamar tersebut terdapat empat buah rajang tidur berukuran single.

Sepasang Tiga orang santri yang ada di dalam kamar itu terus saja tertuju pada Alisa dan mereka kemudian mendekati Alisa lalu tersenyum padanya.

"Santri baru ya ? Kenalkan, namamu Amira !"

"Aku Sinta !"

"Aku Dewi !"

Alisa menyambut uluran tangan mereka satu persatu.

"Alisa !"

"Dari daerah mana, Lis ?" tanya Amira

"Kota X." jawab Alisa apa adanya.

"Oh dari kota ya ! Pasti enak ya tinggal di kota !" kata Amira mengajak Alisa mengobrol.

Sedangkan Sinta dan Dewi kembali ke ranjang mereka masing-masing dan melakukan kegiatan mereka menghafalkan ayat-ayat Al Alquran yang akan mereka setorkan besok pada ustadzah mereka.

"Gak juga sih !" jawab Alisa kemudian ia membuka lemari dua pintu yang ada di samping ranjangnya, berniat ingin menyusun pakaiannya di dalam lemari tersebut.

"Kenapa pindah ke pesantren ?" tanya Amira kepo

Alisa hanya diam namun Amira hanya tersenyum kearahnya.

"Santai aja kali, nakal yaa !" tebak Amira yang membuat Alisa semakin diam.

"Kami juga anak-anak nakal disini, tapi sudah tobat !" Amira terkekeh.

"Semoga Kau nyaman disini ya ! Kalau ada apa-apa bilang saja sama Kami." kata Amira lagi, Alisa menatap Amira kemudian Dewi dan juga Sinta yang tersenyum kearahnya.

"Iya !" jawab Alisa tersenyum kearah mereka bertiga, ia kemudian melanjutkan kegiatannya menyusun pakaian dan barang bawaannya ke lemari tersebut.

Setelah selesai, Alisa merebahkan dirinya diatas tempat tidur yang berukuran single tersebut sembari menatap langit-langit kamar yang kini menjadi kamarnya.

"Satu tahun..." gumam Alisa, ia harus menjalani hari-harinya menjadi seorang santri selama satu tahun disini. Padahal ia sangat ingin dekat dengan kedua orang tuanya, namun apalah daya hidupnya kini harus ia lalui disebuah pesantren ini untuk sementara waktu.

Sore harinya, Alisa dan ketiga teman sekamarnya menunggu giliran mandi di kamar mandi umum sebab kamar mandi yang ada di kamar mereka rusak dan belum di renovasi.

"Kapan kamar mandi kita di renovasi ya ? Capek tahu ngantri terus tiap pagi sore disini !" kata Sinta bersuara.

"Enggak tahu tuh ! Sampe lebaran monyet kayaknya gak bakalan di renov !" jawab Dewi

"Shutt ! Gak boleh ngomong begitu !" ucap Amira menginginkan.

Sedangkan Alisa hanya diam saja mendengar percakapan mereka bertiga. Alisa kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain, dimana ia melihat saudari kembarnya berjalan seorang diri ke arah ke kantor pesantren.

"Mau apa dia ?" gumam Alisa pelan.

Saat Alisa tengah memperhatikan Anisa yang masuk ke dalam kantor tiba-tiba tangannya di tarik oleh Amira.

"Ayo mandi ! Keburu Maghrib nanti !"

Alisa kemudian mengikuti Amira masuk ke dalam kamar mandi. Ia lalu membersihkan dirinya. Setelah mereka selesai mandi, mereka pergi ke masjid untuk melakukan sholat Maghrib dan membaca Alquran bersama ustadzah yang menjadi guru mereka.

Hari berganti hari tak terasa sudah enam bulan berlalu, Alisa tinggal di pesantren, kehidupannya kini berubah drastis Alisa bukan lagi seperti yang dulu, nakal dan urak-urakan. Ia tumbuh menjadi gadis yang tertutup dan begitu Istiqomah di jalan Allah.

Lain halnya dengan saudari kembarnya, Anisa. Anisa hanya bertahan di pesantren selama satu Minggu. Kembarannya itu membuat drama seolah-olah ia jatuh sakit dan membuat kedua orang tuanya iba dan menyuruh Anisa kembali ke kota.

Kedua orang tua Alisa sama sekali tidak pernah menghubungi Alisa. Mereka seperti hanya terpaku memiliki anak yang bernama Anisa yang selalu mereka bangga-banggakan. Apalagi saat ini Anisa memenangkan juara olimpiade matematika tingkat nasional, Alisa melihat keberhasilan saudari kembarnya itu hanya lewat berita yang ditayangkan di televisi. Ia bisa melihat kedua orang tuanya begitu bangga dan sayang pada Anisa.

"Alisa ! Sini !" bisik Amira

Alisa mendekat pada Amira yang kini mereka berdua menjadi sahabat baik.

"Rindu Ibumu gak ?" bisik Amira

"Rindu sih, tapi sepertinya Ibu tidak Rindu padaku." jawab Alisa pelan.

Amira kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam buku, mata Alisa membulat sempurna ketika melihat benda yang di tunjukkan oleh Amira padanya.

"Pakailah, hubungi Ibumu." bisik Amira

Selama ini Amira menyimpan ponselnya agar tidak ketahuan, sebab para santri di pesantren tersebut tidak diperbolehkan membawa ponsel. Jika mereka merindukan kedua orang tua mereka, mereka bisa menggunakan telepon kantor pesantren.

"Kau membawa ponsel selama ini, tapi baru bilang padaku sekarang !" kata Alisa pelan.

Amira hanya terkekeh mendengarnya, ia kemudian meninggalkan Alisa sendirian di kamar.

"Jangan lupa simpan lagi ya !" ucap Amira sebelum ia menghilang di balik pintu kamar.

Alisa menatap benda pipih tersebut, ia kemudian menekan nomor ponsel Ibunya dan tersambung.

Zulaikha mengangkat panggilan dari nomor yang tak ia kenal tersebut dimana kini ia tengah berada di mobil bersama Rahman dan juga Anisa.

"Hallo !" ucap Zulaikha pelan

Alisa senang sekali mendengar suara Ibunya, ia sangat merindukan Ibunya itu. Belum sempat Alisa bersuara, tiba-tiba Alisa mendengar suara Ayahnya dan juga Anisa.

"Ayah janji kan, mau belikan Anisa mobil baru !"

"Tentu saja ! Kau anak Ayah yang sangat membanggakan ! Ayah akan belikan Kau mobil baru besok !"

"Yey ! Terimakasih Ayah !"

"Iya Sayang, Apapun akan Ayah berikan. Asal Kau jangan seperti Alisa !"

"Iya Ayah ! Aku mana mungkin seperti Alisa !"

"Nanti mobilnya jangan dipakai dulu ya, Nisa ! Kamu kan belum punya SIM !" ucap Zulaikha menimpali.

"Iya Bu !"

Alisa langsung menutup panggilan tersebut, Alisa merasa kecewa, ia pikir kedua orang tuanya merindukannya tapi ternyata mereka hanya fokus pada Anisa.

"Padahal Aku juga anak mereka." Alisa menangis dan memeluk kedua lututnya.

...****************...

BAB 3

"Enggak pulang Lis ?" tanya Amira, ia sedang sibuk mengemas pakaiannya ke dalam tas karena saat ini mereka berada dalam masa libur semester.

Alisa menggelengkan kepalanya,

"Tidak !"

Amira kemudian mengerti keadaan Alisa. Kedua orang tua Amira pastilah tidak menghubungi Alisa apalagi menjemput Alisa pulang.

"Ikut Aku saja, ya ?" ajak Amira

"Kedua orang tua Ku pasti senang kalau Kau ikut !" kata Amira lagi

Alisa merasa tak enak hati

Amira merangkul Alisa, Alisa bukan hanya ia anggap sebagai seorang sahabat melainkan juga saudarinya saat ini.

“Tidak apa-apa Mira. Aku di sini saja. Lagi pula libur hanya 14 hari kan ? Aku baik-baik saja disini.” Jawab Alisa pelan.

“Seriusan ?” tanya Amira memastikan.

“Iya !” jawab Alisa yakin dengan pilihannya.

Pada akhirnya Amira pergi meninggalkan pondok pesantren untuk sementara waktu. Tinggal lah Alisa yang seorang diri di kamar itu ternyata hanya ia sendiri yang tidak pulang.

“Alisa tidak pulang ?” tanya Ummi Najwa yang merupakan istri dari pendiri pesantren.

Alisa membalikkan tubuhnya melihat Ummi Najwa dan menyalami Najwa dengan sopan.

“Iya Umi ! Alisa tidak pulang.” Kata Alisa pelan.

“Kamu berani tinggal di asrama sendirian ? hanya Kamu santri yang tidak pulang dan tinggal di asrama ini.” Kata Najwa memperingati Alisa.

“Tidak apa-apa Umi, Alisa berani kok !” jawab Alisa tersenyum manis.

“Kamu ini cantik sekali loh Alisa, mau Ummi jodohkan dengan anak Umi ?” ucap Najwa mengajak Alisa bercerita sembari berjalan menuju taman yang ada di pondok pesantren itu.

“Anak Umi kan masih kecil ! Umi bisa aja deh bercandanya.” Kata Alisa tertawa kecil.

“Anak Umi yang di luar negeri maksudnya, dia lagi kuliah di Maroko. Minggu depan dia pulang !” kata Najwa, kemudian ia mengambil makanan ikan dan melempari makanan ikan tersebut ke kolam ikan.

Alisa hanya tersenyum menanggapinya.

Tak lama suara adzan Ashar berkumandang, Alisa pun pamit dari hadapan Najwa karena ingin menunaikan ibadahnya ke masjid.

“Sudah Ashar, Alisa ke masjid dulu ya, Umi.” Kata Alisa dengan lembut.

Najwa tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Assalamualaikum.” Ucap Alisa lagi.

“Walaikumsalam.” Jawab Najwa, Najwa memperhatikan Alisa yang kian menjauh dari pandangan matanya.

Satu minggu kemudian,

Alisa terbangun dari tidurnya, ia membuka jendela kamarnya yang memang menghadap kearah belakang pondok pesantren. Dengan wajah khas bangun tidur, rambut yang panjang sedikit acak-acakan menambahkan kesan jika Alisa memang memiliki paras cantik alami.

Alisa membuka jendela kamar dan merenggangkan tangannya ke atas dengan mata terpejam. Tanpa Alisa sadari, sejak Alisa membuka jendela kamarnya ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikannya karena terpesona dengannya.

“Hooam…Aku kesiangan rupanya.” Kata Alisa pelan.

Ini masih dalam keadaan libur semester tidak masalah jika ia tak mengikuti kegiatan di pondok pesantren di waktu subuh.

Sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan Alisa, langsung dengan cepat bersembunyi di balik pohon besar. Sedangkan Alisa ia bergegas mengambil jilbab instan yang biasa ia pakai dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

“Gus Fahmi !”

Pria yang besembunyi di balik pohon besar itu adalah Ahmad Fahmi Al Ghazali dia adalah anak pertama Ummi Najwa. Dulu Najwa adalah seorang janda dan menikah dengan pendiri pesantren lalu di karuniai dua anak kembar yang saat ini baru berusia 10 tahun.

Semua tenaga pengajar dan pengurus pesantren tentu saja mengenal Fahmi. Fahmi dengan wajah tampan, dengan sejuta kepintarannya apalagi dengan ilmu agama yang ia punya, ia bahkan belajar sampai ke Maroko untuk menambah ilmu dan keterampilan yang ia miliki.

“Ngapain disini, Gus ?” tanya Joko, dia adalah alah satu orang kepercayaan Ayah Fahmi yang ditugaskan untuk mengurus pesantren.

“Aku sepertinya kesasar sampai sini, Lek !” jawab Fahmi apa adanya.

Ia sebenarnya sedang melakukan aktifitas lari di pagi hari. Namun tak ia sangka sampai berada di belakang asrama wanita.

“Tadi Ummi nyariin Gus Fahmi.” Kata Joko

“Oh, begitu. Ya sudah ! Terimakasih ya Lek !” jawab Fahmi menepuk punggung Joko kemudian berjalan ke arah pulang ke rumah.

Bibir Fahmi terus saja terukir senyuman manis, karena pagi ini ia mendapatkan vitamin di pagi hari. Melihat gadis cantik yang untuk pertama kalinya mampu menggetarkan hatinya.

“Assalamualaikum.”

Fahmi masuk ke dalam rumah, dimana kedua orang tuanya sudah menunggu kedatangannya sejak tadi.

“Walaikumsalam.” Jawab Aziz dan Najwa bersamaan.

“Kamu ini dari mana sih ?” kata Najwa

“Ada apa Um ?” tanya Fahmi bingung.

“Abah dan Umi mau mengajak Kamu pergi ke rumah kerabat Abah.” Kata Aziz, kemudian menyeruput kopinya.

“Oh begitu. Baiklah. Aku mandi dulu, ya !” kata Fahmi pelan. Najwa pun mengganggukan kepalanya. Kemudian ia duduk di samping suaminya.

“Nanti kalau Fahmi menolak gimana, Bah ?” tanya Najwa pelan.

Mereka berdua sebenarnya ingin pergi ke rumah teman dekat Aziz, bukan tanpa sebab. Mereka ingin menjodohkan Fahmi dengan putri tunggal teman dekat Aziz.

“Dari mata turun kehati. Walaupun tidak saling kenal insyaallah nantinya mereka bisa akrab dan menerima satu sama lain. Yakinlah Allah itu maha membolak-balikkan hati manusia, Ummi.” Kata Aziz menggenggam tangan Najwa.

“Bukan begitu, Bah ! Abah tahu sendiri kan, dia sudah dewasa sudah bisa memilih. Nanti Fahmi malah kecewa pada Kita yang di bilang mengatur-atur kehidupannya.” Lirih Najwa, sebaik-baiknya pilihan mereka untuk wanita yang akan menjadi istri Fahmi. Tentu Najwa lebih memahami perasaan putranya itu, ia yakin Fahmi juga berhak memilih menentukan dengan siapa pasangan hidupnya.

30 menit kemudian, Fahmi keluar dari kamarnya dengan tampilan yang begitu tampan, baju koko kurta yang melekat di tubuhnya.

Fahmi berjalan keluar rumah bersama kedua orang tuanya, masuk ke dalam mobil. Fahmi mengemudikan mobil tersebut berjalan menuju pintu gerbang pesantren.

Saat ia melajukan mobil, lagi-lagi Fahmi melihat gadis yang beberapa jam lalu yang ia lihat. Kini sudah berbeda penampilan begitu anggun dengan jilbab dan baju gamis yang melekat di tubuhnya, sembari membawa al qur’an, yang Fahmi yakin pasti gadis itu ingin pergi ke Masjid.

“Itu Alisa kan, Um ?” tanya Aziz

Fahmi hanya bergumam, ternyata gadis tersebut bernama Alisa dimana Fahmi baru tahu saat ini.

“Iya, Bah ! Kasihan dia ! Kedua orang tuanya tidak pernah menelfon, dan bahkan menjemputnya.” Kata Najwa apa adanya.

Aiziz hanya bisa menghela nafasnya, mengingat terakhir kali ia menghubungi Rahman memberikan kabar jika Alisa kini tumbuh menjadi gadis yang begitu soleha saat jauh berbeda dengan Alisa yang baru pertama kali Aziz lihat, ketika Rahman membawanya ke pesantrennya.

Namun apalah daya, Aziz bukannya mendapatkan jawaban bagus dari Rahman. Rahman malah mengatakan kalau Alisa bisa saja hanya berpura-pura untuk menghindari hukuman yang ia berikan.

“Abah sudah menghubungi Ayahnya, tapi sepertinya mereka hanya peduli pada anak mereka yang satunya.” Kata Aziz apa adanya.

“Anisa yang baru saja memenangkan olimpiade matematika tingkat nasional itu kan, Bah ? Dia juga kan pernah di pesantren kita walaupun hanya sumur jagung.” Kata Najwa

“Iya. Satu anak sibuk mengejar dunia. Sedangkan satu anak lagi sibuk memperbaiki diri dengan mengejar akhirat.” Kata Aziz menimpali.

Fahmi hanya mendengar saja apa yang diceritakan oleh kedua orang tuanya tentang Alisa. Kini baru Fahmi tahu jika Alisa adalah anak yang tidak beruntung dan kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!