Mentari
Aroma harum kue-kue tradisional memenuhi udara di sekitar rumahku. Wangi pandan dari kue lapis, harum santan bercampur manis dari kue dodol yang diaduk secara bergantian oleh para tetangga dan aroma gurih serundeng untuk membuat kue nagasari berpadu, menciptakan simfoni aroma yang menggugah selera. Asap tipis mengepul dari wajan-wajan besar, menambahkan kesan tradisional yang kental.
Dua hari lagi aku akan mengganti statusku, dari anak gadis menjadi istri dan juga ibu lurah yang terhormat. Senyum di wajahku mengembang setiap kali aku membayangkan diriku akan mendampingi Mas Bayu, calon suamiku. Mas Bayu memang keren, masih muda namun sudah menjabat sebagai lurah. Aku pasti akan semakin keren saat mendampinginya nanti sebagai ibu lurah. Ah, tak sabar rasanya.
"Ibu Lurah, silahkan duduk!"
"Iya, terima kasih."
"Ibu Lurah, menurut Ibu peserta mana yang akan menang?"
"Tentu peserta kedua yang bagus dalam penyajiannya."
Ah... aku makin tak sabar!
"Melamun terus kamu, Tari!" Suara Ibu mengejutkanku yang sedang asyik membayangkan indahnya menjadi Ibu Lurah sambil senyam-senyum sendiri.
"Ah, Ibu. Bikin aku kaget saja!" jawabku sambil tersipu malu.
"Jangan kebanyakan melamun, lusa kamu sudah jadi pengantin. Lebih baik banyak baca doa dan luluran, biar wangi," nasehat Ibu.
"Iya, Bu. Aku sudah luluran dan maskeran. Ibu lihat saja, sudah wangi dan kencang kulitku," jawabku.
Ibu melihat ke dalam kamarku yang sudah kurapikan. Besok, kamarku akan dihias dan dijadikan kamar pengantin.
"Cari apa, Bu?" tanyaku.
"Ibu cari adikmu, Purnama. Kemana sih anak itu?" tanya Ibu.
"Masih di toko mungkin, Bu." Purnama memang bertugas menjaga toko milik Bapak jika sedang libur kuliah. Kami bergantian menjaga jika sedang senggang. Toko milik Bapak lumayan besar dan ada di beberapa tempat, harus ada yang mengawasi tentunya.
"Oalah... anak itu belum makan sejak pagi. Ibu takut Purnama sakit maag." Ibu nampak khawatir.
"Ibu tak usah khawatir, biar aku saja yang antar makanan untuk Purnama," kataku menawarkan diri.
"Jangan! Kamu sedang dipingit, pamali," tolak Ibu.
"Aku cuma mau antar makanan, Bu, bukan mau ketemu sama Mas Bayu. Toh aku cuma pergi sebentar. Sudah, aku antar saja ya. Kasihan Purnama, nanti dia lapar," kataku bersikeras.
"Baiklah kalau kamu maksa. Ingat, jangan keluyuran apalagi sampai janjian ketemu sama Nak Bayu, pamali! Harus langsung pulang setelah mengantar makanan!" pesan Ibu.
"Iya, ibuku yang cantik."
.
.
.
Toko sembako dan peralatan rumah milik Bapak terletak di jalan raya. Lokasinya yang strategis, harga yang terjangkau dan barang yang dijual bervariatif membuat toko kami selalu ramai pembeli. Bapak punya beberapa toko di kecamatan yang berbeda. Penghasilan dari toko inilah yang membiayaiku dan adikku Purnama sampai bisa duduk di bangku kuliah.
Dengan kecepatan sedang, kukemudikan sepeda motor matic milikku, hadiah dari Bapak saat aku lulus kuliah dengan predikat cumlaude. Bapak bilang, aku anaknya yang sangat membanggakan, meskipun pada akhirnya aku hanya jadi karyawan toko dan tidak menggunakan ijazah cumlaude-ku, Bapak tetap bangga padaku.
Dari kejauhan kulihat toko milik Bapak. Keningku berkerut dalam melihat toko Bapak sudah tutup. Kuparkirkan sepeda motorku di depan ruko. Ternyata bukan hanya sepeda motorku saja yang ada di depan ruko, sepeda listrik Purnama dan sebuah mobil sedan juga masih terparkir di sana. Rupanya anak itu belum pulang, mungkin masih beres-beres.
Sambil menenteng rantang berisi makanan, aku melangkah masuk ke dalam toko. Pintu depan toko terbuka sedikit. Baru saja aku mau masuk ke dalam, aku mendengar suara Purnama. Ia terdengar sedang menangis sambil marah pada seseorang.
"Kenapa kamu harus melanjutkan pernikahanmu dengannya, Mas? Apa kurangnya aku? Kamu bilang, kamu mencintaiku, kenapa malah dia yang kamu nikahi?" kata Purnama dengan penuh emosi.
Nikahi? Purnama mau ditinggal menikah? Dengan siapa?
"Kamu tidak kurang apapun, Purnama," jawab seorang laki-laki. Rasanya, aku mengenal suara tersebut.
Sambil menangis, Purnama berkata dengan nada emosi. "Kalau aku tidak kurang apapun, kenapa kamu lebih menikahi Kak Tari dibanding aku? Kenapa aku hanya kamu jadikan selingkuhan saja? Apa aku hanya sebatas teman tidurmu semata? Kenapa malah Kak Tari yang kamu nikahi, seharusnya aku yang kamu nikahi Mas Bayu, bukan Kak Tari. Aku sudah memberikan semuanya sama kamu tapi kenapa kamu tetap memilih Kak Tari?"
Ap-apa? Mas Bayu?
Jantungku langsung berdegup kencang. Jangan katakan kalau semua ini benar. Tidak mungkin. Pasti aku salah dengar. Dengan langkah kaki yang gemetar, aku memberanikan diri terus masuk ke dalam toko.
Brakk!
Entah apa yang kutabrak, barang itu jatuh berhamburan di lantai. Aku tak peduli.
Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Di depanku, nampak Purnama sedang menangis dan bertengkar dengan Mas Bayu. Mas Bayu-ku, lelaki yang akan menikahiku dua hari lagi.
Keduanya kompak menoleh ke arahku. Mereka nampak terkejut melihat kedatanganku. "Mentari?"
Lidahku terasa kelu. Rasanya aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku dengan air mata yang tanpa aku perintah sudah menetes membasahi wajahku.
"Mentari. Aku bisa jelaskan semuanya!" Mas Bayu berjalan mendekat ke arahku namun tanpa kuperintah kakiku malah mundur selangkah.
"Ap-apa yang terjadi? Jangan katakan kalau apa yang aku dengar tadi itu benar?" kataku dengan suara bergetar. Aku menatap Mas Bayu dan meminta jawaban darinya.
"Mentari Sayang, aku bisa jelaskan sama kamu." Mas Bayu berusaha menenangkanku. "Aku dan Purnama hanya sedang mengobrol tak jelas. Semuanya tidak benar-"
"BOHONG!" Purnama tiba-tiba berteriak kencang. "Mas Bayu sudah meniduriku, Mbak. Dia kekasihku. Aku dan Mas Bayu saling mencintai."
Rasanya aku seperti tertimpa batu sebesar ribuan ton yang langsung menguburku ke dalam tanah. Semua ini hanya mimpi bukan? Mereka pasti mengerjaiku. Semua ini pasti tak nyata.
Aku menatap Purnama dan melihatnya sedang menatapku dengan penuh kemarahan. "Tak mungkin," ucapku pelan. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tak percaya kalau semua ini benar-benar terjadi. Air mata sudah membanjiri wajahku tanpa kuperintah.
Mas Bayu kembali mendekat namun aku kembali mundur dan menjauhinya. "Apa benar kamu melakukan semua ini, Mas?" tanyaku dengan suara bergetar menahan emosi dan kekecewaan.
"Mentari, aku bisa jelaskan-"
"Mengapa kamu begini, Mas? Dua hari lagi... dua hari lagi kita akan menikah tapi kamu-"
Belum selesai aku berbicara, Purnama tiba-tiba berjalan maju dan menarik tangan Mas Bayu. "Kalian tak bisa menikah. Tidak boleh. Mas Bayu milikku, Mbak. Aku tak akan membiarkan dia menikahimu setelah apa yang kuberikan padanya!" kata Purnama dengan tegas dan tatapan marah.
"Dik, Mas Bayu itu calon suamiku!" kataku dengan suara tercekat.
"Aku tak peduli. Kami sudah tidur bareng. Mas Bayu adalah lelaki yang sudah merenggut kesucianku. Aku tak akan biarkan kalian menikah sampai kapanpun. Aku takkan biarkan semua hal baik dan keberuntungan menjadi milikmu, Mbak. Kamu sudah merebut semua yang aku inginkan, kebanggan Bapak, prestasi, perhatian Ibu namun tidak dengan Mas Bayu. Aku tak akan membiarkan Mas Bayu menikahimu!" kata Purnama dengan sorot mata penuh kebencian.
Rasanya kakiku sudah tidak menapak lagi di bumi ini. Pernikahanku tinggal dua hari lagi dan hari ini aku tahu kalau calon suamiku sudah meniduri adikku sendiri. Ya Tuhan... semua ini hanya mimpi bukan?
****
Mentari
"Tega kamu, Mas!"
Dengan berlinang air mata, aku meninggalkan toko. Rantang berisi makanan yang kubawakan untuk Purnama kulempar ke arah Mas Bayu dan kutinggalkan begitu saja. Hatiku bahkan lebih berantakan dari makanan yang tumpah tersebut.
Aku pulang ke rumah dan menceritakan semua pada Ibu dan Bapak. Betapa marahnya Bapak pada Purnama. Bapak langsung memarahi Purnama begitu anak itu pulang. "Benar-benar anak tak tahu diri kamu, Purnama! Tega sekali kamu merebut calon suami kakakmu sendiri. Apa ini yang selama ini Bapak ajarkan padamu?"
"Tega? Pak, aku lebih mencintai Mas Bayu dibanding Mbak Tari. Kami berdua saling mencintai. Kenapa aku yang harus mengalah dan menyerahkan lelaki yang kucintai pada Mbak Tari? Kenapa Mbak Tari harus memiliki semua yang aku inginkan di dunia ini? Tidak akan... aku tidak akan melepas Mas Bayu!" Untuk pertama kalinya aku melihat Purnama berani melawan Bapak.
"Dasar anak tak tahu diuntung!" Bapak yang sudah terlalu emosi mengangkat tangannya lalu melayangkannya ke wajah Purnama.
Plak!
"Bapak, jangan!" Ibu menahan Bapak yang ingin menampar Purnama untuk kedua kalinya. "Jangan, Pak. Cukup! Purnama anak kita juga!"
"Tak usah kau bela dia, Bu! Anak ini adalah adik yang jahat. Adik yang selalu iri pada apa yang Kakaknya miliki. Gara-gara dia, kita akan menanggung malu, Bu. Dia sudah menorehkan aib pada keluarga kita. Perempuan baik-baik mana yang mau menyerahkan kesuciannya pada calon kakak iparnya sendiri?" Dada Bapak terlihat naik turun karena emosi yang bergejolak dalam dirinya.
Bukannya takut melihat Bapak marah, Purnama malah semakin menyulut emosi Bapak. Sambil memegangi pipinya yang memerah sehabis ditampar Bapak, Purnama kembali membalas ucapan Bapak. "Iya, aku memang anak yang tak tahu diri. Selama ini, aku tak pernah menjadi anak yang baik di mata Bapak dan Ibu. Semuanya tentang Mbak Tari. Aku tak pernah berarti di mata kalian. Aku selalu nomor dua. Aku selalu kalah dibanding Mbak Tari. Cukup sudah, kali ini aku tak akan mau kalah lagi. Aku mencintai Mas Bayu. Aku tak akan melepas Mas Bayu dan membiarkannya menikahi Mbak Tari. Tak akan kubiarkan pernikahan mereka terjadi!"
Bapak kembali mengangkat tangannya hendak menampar Purnama namun Ibu segera memeluk Bapak dan menyuruh Purnama pergi. "Masuk kamar, Purnama! Masuk sekarang!"
Purnama menatapku dengan penuh kebencian sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Ibu dan Bapak yang bertengkar hebat.
Ya Allah... dua hari lagi...
Kenapa semua ini terjadi di keluargaku? Kenapa keluarga kami yang selama ini baik-baik saja jadi begini?
.
.
.
H-1
Semua terjadi begitu cepat dan tak terduga. Suasana ramai penuh tawa canda tetangga dan saudara kini berubah menjadi sunyi. Rumahku pun terasa dingin meski acara masak memasak masih berlangsung.
"Mentari, ayo keluar! Bapak memanggilmu!" kata Ibu. Kutatap mata Ibu yang masih bengkak. Kulihat Ibu memaksakan seulas senyum di wajahnya, aku tahu hati Ibu pasti sedih.
Aku mengangguk lalu berjalan mengikuti Ibu. Kulewati kamar Purnama yang nampak tertutup rapat. Sejak pertengkaran semalam, Purnama terus mengurung diri di kamar. Ibu berkali-kali membujuknya untuk makan namun anak itu tetap tak mau keluar kamar.
Ibu mengajakku ke gubuk kecil di halaman rumah tempat Bapak biasa menghabiskan waktu menikmati kopi hangat. Kulihat Bapak sedang mengobrol akrab dengan sepasang suami istri.
"Nah, itu Mentari datang!" Bapak tersenyum lebar. Senyum yang dipaksakan menutupi hatinya yang penuh sesak. "Mentari, kamu masih ingat dengan Om Kusno dan Tante Nur tidak?"
Om Kusno adalah adik dari Pak Budi -orang tua Mas Bayu- yang juga sahabat dekat Bapak sejak masih sekolah.
Aku memaksakan senyum di wajahku. "Masih, Pak," jawabku seraya mengulurkan tangan untuk salim pada Om Kusno dan Tante Nur.
"Cantik ya, Mentari," puji Tante Nur.
"Terima kasih, Tante," jawabku.
"Ya cantik dong. Anak siapa dulu?" Bapak tertawa penuh bangga. Senyum yang dipaksakan untuk menutupi kesedihan yang ia rasakan.
"Iya deh, Mentari anakmu yang paling kau banggakan, bukan?" Om Kusno ikut tertawa bersama Bapak. "Tak terasa ya, Mentari besok akan menikah dengan Bayu. Kayaknya baru kemarin Mentari dan Senja lari-larian di sawah eh sudah mau menikah saja."
Bapak memaksakan senyum di wajahnya. Baik Bapak maupun aku tak tahu bagaimana dengan hari esok. Apakah pernikahanku dan Mas Bayu akan tetap terlaksana setelah semua kejadian kemarin?
"Bagaimana dengan Senja? Dia tidak ikut?" Bapak memilih mengalihkan percakapan.
"Ikut. Besok Senja datang bersama kami para rombongan besan...."
Benarkah? Benarkah besok akan ada rombongan besan yang datang? Benarkah pernikahanku dan Mas Bayu akan tetap terjadi? Ya Allah, mohon berikanku petunjuk. Aku pasrahkan semua pada-Mu. Berikan yang terbaik untukku dan keluargaku....
.
.
.
Hari Pernikahan
Kulirik jam di dinding kamarku. Sudah jam 9 pagi, tak ada tanda-tanda rombongan besan datang. Suara kasak-kusuk tetangga membuat aura tegang terasa di rumahku.
Kutatap wajahku di cermin, nampak cantik sehabis dirias. Seharusnya hari ini aku menjadi pengantin yang paling berbahagia namun kenapa Mas Bayu belum datang?
Mas Bayu tak membalas satu pun pesan yang kukirimkan untuknya. Permintaan maaf pun tidak ia ucapkan untukku. Bagaimana ini? Bagaimana pernikahan ini, apakah tetap terlaksana atau batal?
Hatiku terus berdoa mengharap yang terbaik meski aku tak yakin akan kekuatan doa yang kupanjatkan. Ibu masuk ke dalam kamar dengan wajah mendung, air mata menetes tanpa bisa Ibu tahan. "Tak ada yang datang, Tari. Tak ada yang datang," kata Ibu dengan suara tercekat.
"Kita tunggu saja ya, Bu."
5 menit
Pasti mereka telat...
15 menit lagi.
Mungkin mereka repot membawa barang bawaan yang banyak....
1 jam.
Tak ada yang datang....
Tetangga semakin kasak kusuk. Tak ada mempelai pria yang datang.
Ya Allah, tolong hamba-Mu. Tolong tutupi kedua orang tuaku dari rasa malu. Tolong ya Allah....
"Assalamualaikum!"
Mereka datang!
Aku berdiri dan melihat siapa yang datang dari celah pintu. Bukan Mas Bayu. Bukan rombongan besan, namun Om Kusno, Tante Nur dan lelaki berambut gondrong yang berdiri di belakang mereka.
Bapak berbicara serius dengan Om Kusno. Bapak tak bisa menahan tangisnya lalu Om Kusno memeluk Bapak sambil menepuk punggungnya, bak sahabat sejati yang mengobati luka sahabatnya.
"Mentari, ayo cepat keluar! Kamu jadi menikah!" Ibu tiba-tiba sudah di depanku. Wajah Ibu kembali cerah.
"Jadi... menikah? Dengan siapa?" tanyaku bingung. Mas Bayu tak datang, aku menikah dengan siapa?
"Senja. Meski dadakan, Senja setuju jadi suamimu. Ayo!"
Apa aku bisa protes? Apa aku bisa menolak sementara hanya ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kedua orang tuaku dari rasa malu.
Ya Allah, apakah ini jalan yang kau pilihkan untukku?
Siapa yang sangka semuanya terjadi begitu cepat. Pesta pernikahan yang semula kupikir akan gagal, pada akhirnya tetap terlaksana meski dengan pengantin dadakan.
Kini, di sampingku seorang laki-laki berambut gondrong yang dikuncir dengan karet gelang warna merah sedang menjabat tangan Bapak dengan wajah serius. "Saya terima nikah dan kawinnya Mentari Dewi Anjani binti Yusuf Sudirja dengan mas kawin emas sebesar 5 gram dibayar tunai."
"Sah?"
"Sah!"
Tolong siapapun sadarkan aku dari mimpi ini. Bagaimana mungkin aku menikah dengan laki-laki menyebalkan bin ajaib ini? Tidaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkk!
****
Senja
Mentari
Ini pasti mimpi. Ya, mimpi. Saat aku terbangun dan membuka mata nanti, aku yakin semua akan kembali seperti semula. Aku akan melihat pemandangan yang sama seperti dua hari lalu, saat sanak saudara dan tetanggaku sedang sibuk membuat dodol. Aku akan kembali sibuk luluran dan berkhayal tentang malam pertamaku dengan Mas Bayu, si Lurah tampan dan masih muda itu.
Sekarang, aku hanya perlu membuka mataku dan semua akan kembali seperti dua hari yang lalu. Kubuka satu persatu mataku namun ternyata semua ini bukan mimpi. Aku tetap berada di acara resepsi.
"Kenapa? Ngantuk?" tanya lelaki yang sedang bersanding denganku di pelaminan.
Aku menatapnya dengan tatapan sebal. "Tidak. Aku masih tak percaya saja kalau semua ini nyata, bukan mimpi. "
Laki-laki menyebalkan di sampingku malah tersenyum lebar. "Kenapa? Masih nggak percaya ya, bisa nikah sama laki-laki keren kayak aku?"
Aku memanyunkan bibirku dengan sebal. "Ih... pede banget. Dari dulu pede kamu nggak pernah hilang ya?"
Senyum laki-laki itu semakin melebar. "Dari dulu kamu ternyata memang mengidolakanku ya? Kok tahu sih kalau aku lelaki yang penuh percaya diri? Tenang, karena sekarang aku sudah jadi suamimu, kamu bebas memilikiku kapan saja."
Ya Tuhan... baru beberapa jam Senja menjadi suamiku, rasanya darahku sudah mau naik ke kepala. Kenapa lelaki ini tak pernah berubah? Selalu menyebalkan dan kelewat percaya diri, huh!
Senja Gemilang -anak Om Kusno dan Tante Nur- yang juga saudara sepupu Mas Bayu, sejak kecil sering diajak main ke rumahku bersama kedua orang tuanya. Bapak adalah sahabat Om Kusno sejak Om Kusno hidup susah dan melarat dulu sampai kini menjadi petani sukses. Bapak yang menolong Om Kusno, bukan kakaknya -Pak Budi- meski Pak Budi hidup berkecukupan.
Setiap kali Senja datang, aku pasti akan dilanda rasa kesal seharian. Bukan hanya jahil, Senja itu laki-laki super pede dan paling menyebalkan yang aku kenal.
Aku pikir, Senja akan menolak saat Om Kusno menawarinya untuk menikahiku. Siapa sangka, Senja malah menerima tawaran tersebut tanpa ragu, gila kan? Kalau bukan karena aku terpaksa tak mau membuat malu kedua orang tuaku, aku tak akan mau dinikahi laki-laki seperti dia.
Alasan lain aku mau Senja nikahi adalah karena aku sudah tak tahan berada di kampung ini lagi. Bapak bilang, Senja selama ini tinggal sendiri di Jakarta. Aku bisa ikut pergi ke Jakarta dan melupakan omongan orang-orang kampung tentang gagalnya pernikahanku dengan Mas Bayu.
Mau bagaimana lagi? Aku tidak berani ke Jakarta sendirian. Yang aku dengar, kehidupan di Jakarta itu keras dan banyak orang yang nekat berbuat jahat hanya demi sepiring nasi. Setidaknya, Senja akan memberikanku rumah yang nyaman untuk kutinggali sampai aku menemukan pekerjaan tetap dan bisa hidup mandiri.
"Tuh kan melamun lagi? Udah deh, nggak usah terlalu dipikirin. Aku tuh memang selalu ganteng, dilihat dari sudut manapun juga ganteng. Sekarang, kamu senyum! Tuh, tetangga kamu sedang melihat kita. Jangan seperti Siti Nurbaya yang sedang dinikahkan dengan aki-aki tua. Kamu tuh dinikahin sama cowok ganteng kayak aku, pasang senyum biar nanti foto pernikahan kita hasilnya bagus," kata Senja dengan senyum lebarnya yang sangat menyebalkan. Rasanya aku pengen cubit bibirnya lalu aku jepit dengan jedai yang biasa aku pakai. Menyebalkan!
"Pede banget sih, dari dulu nggak pernah hilang. Gantengan juga Mas Bayu-ku," gerutuku dengan suara pelan.
"Tak apa aku super pede, yang penting aku tidak pengecut seperti Mas Bayu-mu itu, menghilang di hari pernikahan tak ada kabar. Lurah tapi tidak gentle. Kabur seenak jidatnya saja, buat semua orang repot." Ternyata Senja mendengar apa yang kukatakan. "Sudahlah, kamu harus move on. Nanti di Jakarta kamu bisa memulai hidup baru kamu lagi. Kamu bisa cari kerjaan yang enak lalu traktir aku. Aku suka makanan enak dan mahal. Ya... anggap saja sebagai balas budi karena kebaikan aku yang tiada tara ini."
Sekarang tahu kan kenapa aku nggak suka sama dia? Dia itu laki-laki yang super duper paling menyebalkan di dunia ini. Aku masih ingat saat kami kecil dulu, saat aku merasa diriku paling cantik setelah dikuncir dengan jepitan baru oleh Ibu, Senja malah menarik ikat rambutku dan membuangnya ke sawah. Saat aku nangis karena marah, dia malah tertawa tanpa rasa penyesalan. Benar-benar lelaki aneh kan?
Aku pikir setelah kami dewasa dia sudah berubah tingkat keanehannya tapi ternyata malah semakin menjadi. Gila! Belum ada 3 jam kami menikah, aku sudah stress begini. Bagaimana aku akan melanjutkan hidupku nanti dengan laki-laki seperti ini?
.
.
.
Akhirnya acara resepsi pernikahanku selesai juga. Harus kuakui, Senja dan kedua orang tuanya berhasil mengurangi rasa malu yang harus ditanggung keluarga kami karena aku gagal menikah dengan Mas Bayu.
Kulupakan masalahku dengan Mas Bayu karena aku harus fokus dengan masalah yang akan kuhadapi sebentar lagi. Malam ini adalah malam pertamaku dengan Senja. Apa Senja akan menuntut haknya sebagai suamiku malam ini? Tidak, aku tidak bisa melakukan hal itu dengan laki-laki yang tidak aku cintai, apalagi laki-laki aneh seperti Senja.
Bagaimana ini? Kayaknya, aku harus atur strategi. Cepat-cepat kubersihkan tubuhku lalu aku memakai baju gamis dan jilbab panjang sebagai baju tidur. Aku taruh guling di tengah-tengah kasur agar ada jarak di antara kami, pokoknya jangan sampai kulit kami bersentuhan!
Kudengar suara pintu kamarku dibuka, pasti itu Senja yang baru selesai mandi. Aku harus pura-pura tidur. Kupejamkan mataku dan menunggu apa yang akan dia lakukan. Dengan jantungku yang berdebar kencang ini, rasanya 5 menit seperti 1 jam. Kudengar Senja mengunci pintu kamar.
Sambil mengintip, kulihat dia sedang mengganti baju. Ish... kenapa aku harus mengintip dia? Memang aku perempuan mesum apa?
"Udah... akting pura-pura tidurnya?" Senja dengan santainya berjalan menuju tempat tidur lalu merebahkan tubuhnya disampingku.
"Ah... Lelahnya jadi pengantin dadakan." Senja menghela nafas dalam. "Sudah, tak usah kebanyakan akting, Mbak. Muka kamu tuh merah kayak kepiting rebus. Kenapa? Seru ya ngintip aku ganti baju?"
Aku hembuskan nafas kencang agar Senja tahu betapa sebalnya aku dengan ucapannya. "Ish... pede banget!"
Senja tertawa kecil melihatku kesal. "Kenapa kamu taruh guling di antara kita? Kamu takut tidak bisa menahan diri ya tidur di sampingku lalu menerkamku saat aku lengah?" ledek Senja.
Aku makin kesal dibuatnya. Aku segera duduk dan menatapnya sebal. Senja tertawa terbahak-bahak karena ucapannya berhasil membuatku kesal. "Heh, siapa yang tidak tahan sama kamu? Enak saja kalau bicara!"
"Ya... kamu. Tuh, pakai dibatasi segala. Tenang aja, aku tidak akan memaksa kamu melakukan apa yang tidak kamu sukai. Kamu juga tak perlu pakai gamis seperti itu untuk tidur, memangnya tidak gerah apa? Tidurlah! Besok kita pulang ke Jakarta. Ingat ya, aku mau tidur pulas. Jangan sesekali kamu menggerayangi tubuhku yang seksi ini. Percayalah, kamu akan menyesal nanti!" Senja kembali menertawaiku sebelum tidur membelakangiku.
Ih... dasar orang aneh. Ingin aku jambak rambutnya dan aku tinju wajahnya yang menyebalkan itu.
"Kenapa? Kamu tak bisa tidur, apa kita harus melakukan hal lain?" Senja kembali berbalik badan dan tersenyum menggodaku.
Kutarik cepat selimut menutupi tubuhku. "Ih... jangan harap!"
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!