NovelToon NovelToon

Neophyte

NEOPHYTE

Neophyte yang berarti, orang baru.

Istilah yang tepat untuk kisah sepasang saudara kembar satu ini.

Kini di sebuah ruangan Apartemen lantai 15 kamar nomor 28, terdapat sepasang saudara kembar yang baru saja duduk di sofa, mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah karena sehabis pulang bekerja.

“Capek.” Keluhan itu terlontar dari mulut pemuda yang kini menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dengan kaki yang dia luruskan di atas meja.

Gadis yang duduk di sebelahnya tampak mengangguk menyetujui.

Hening.

Satu kata yang mewakili suasana di ruangan tersebut, hingga tiba-tiba saja si pemuda menatap gadis cantik yang tak lain adalah adik, sekaligus kembarannya sendiri dengan tatapan memelas. Bibirnya bergerak dan tak lama nada suara seperti rengekan terdengar di telinga siapa saja yang mendengarnya.

“I want to hug you.”

Kala mendengar rengekan tersebut, gadis itu langsung membuat ekspresi mengejek, tapi tak urung juga segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar menghadap kembarannya.

“Sini.”

Dengan antusias, pemuda itu masuk ke dalam pelukan sang kembaran yang membuat kembarannya itu jadi terjungkal ke belakang. Posisinya kini jadi pemuda itu menindih setengah badan si gadis dan tak lupa pula membenamkan wajahnya di ceruk leher gadis tersebut.

“Sayang Peyja.”

Pemuda yang barusan mengeluarkan suara itu Reynando Feyzo. Pemuda yang tidak suka dibentak. Semua memanggil dirinya dengan sebutan Nando, tapi tidak dengan kembarannya yang memanggil dirinya dengan sebutan Paijo.

Dia, Nando. Pemuda tampan yang memiliki sifat seperti Bunglon. Bagaimana tidak? Kalau sedang bersama dengan orang lain saja, dia akan menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi, cuek, angkuh, dingin, dan tak tersentuh.

Sedangkan kalau sudah berduaan dengan sang kembaran, dia akan berubah menjadi manusia termanja, childish, cengeng, selalu bertingkah konyol, penuh canda tawa, dan selalu memasang wajah polos tanpa dosanya.

Kembarannya tanpa sadar terkekeh geli kala mendengarnya, lalu tangan si gadis bergerak mengelus rambut belakang Nando.

“Sayang Paijo juga.”

Nah, kalau ini yang tak lain adalah Reynanda Feyza. Semua memanggil dirinya Nanda, tapi tidak dengan kembarannya yang memanggil dirinya dengan sebutan Peyja.

Dia, Nanda. Gadis cantik yang memiliki wajah dan sifat yang nyaris sama persis dengan kembarannya. Tapi ada juga yang membedakan mereka. Bedanya Nanda akan sedikit lebih ramah kepada orang lain dan akan sedikit lebih dewasa daripada kembarannya.

Setelah hening beberapa saat, Nando tiba-tiba mengangkat kepalanya dari ceruk leher Nanda, lalu menatap kembarannya itu dengan sorot mata sayu menahan kantuk.

“Jangan pernah tinggalin aku, ya, Peyja.”

Nanda jadi mengerutkan dahi heran, “Dih, kenapa lo tiba-tiba ngomong begitu? Aneh betol.”

Nando tak menghiraukan, ia kini malah memajukan bibir bawahnya lucu yang membuat Nanda jadi gemas melihatnya. “Jawab aja kenapa, sih.”

“Iya-iya, nggak akanlah ninggalin bayi gue ini.”

Lantas Nando yang mendengarnya segera menyodorkan jari kelingking kanannya pada Nanda dengan mata berbinar, lalu berkata, “Promise?”

Nanda jadi mengacak-acak puncak kepala kembarannya, lalu tak lama dia menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Nando.

“I'm promise.”

Nando seketika tersenyum manis yang memperlihatkan lesung dikedua pipinya, kemudian dia mengecup rahang Nanda sekilas.

“I love you,” gumam Nando masih tetap mempertahankan senyuman.

Seketika itu pula Nanda jadi melototkan mata dengan bibir yang sedikit terbuka kala mendengarnya dan tanpa sadar dia menabok punggung Nando.

“Sebatas saudara, nggak usah ngadi-ngadi.”

Seakan tuli, Nando masih saja terus tersenyum manis menatap Nanda dengan wajah polos tanpa dosanya. “I love you, muah.”

“Dih, gila nih orang.”

Nando tak menjawab, dia dengan rasa tidak bersalah membenamkan wajahnya di dada Nanda. Kemudian berujar pelan yang masih dapat didengar oleh kembarannya, “I love you so much.”

Nanda kembali menabok punggung pemuda itu geram. “Inget, heh, sodaraan.”

“Ya nggakpapa.”

“Dih, are you crazy?”

Nando mengangguk sekali. “I'm crazy, because of you.”

“Bodo amat. Lepas, gue mau mandi aja. Nanti jadi ikutan crazy karena lama-lama berduaan sama lo.”

“Nggak mau,” sahut Nando cepat menolak. “Empuk banget dada kamu,” sambungnya yang membuat Nanda refleks menabok punggung belakangnya, lagi.

“Lambe-mu. Kalo ngomong tuh, ya, difilter dulu gitu, lho.”

Nando memasang wajah tak peduli. “Ya kan emang empuk, lho. Aku suka,” balasnya.

“Wah, kurang ajar mulut lo.”

“Iya, i love you too.”

Nanda kembali memasang wajah cengo, tapi tak lama dia menghela nafas panjang. Dia lantas tersenyum lebar yang terlihat sekali sangat dipaksakan.

“Paijo,” ujarnya memanggil Nando.

“Iya?” sahut Nando yang masih tetap berada di posisinya.

“Capek, ya? Sama kok, gue juga. Gue tau, lo pasti capek banget, kan? Bersih-bersih aja, yok. Biar otak lo juga jadi ikutan bersih,” cibir Nanda panjang lebar.

“Mager, udah nyaman.”

Mencoba untuk banyak bersabar, Nanda kembali menghela nafasnya. “Ayolah, gue udah lengket banget ini,” ajak Nanda terus membujuk.

“Nggak mau,” balas Nando.

Nanda berdecak kesal. “Gue mau mandi, udah sore.”

“Ya emang sore, siapa bilang ini pagi?” balas Nando, tampaknya tak mau kalah.

“Tai lo. Bangun, buruan.”

“Nggak mau, sayang.” Pemuda itu semakin memeluk kembarannya erat.

Nanda memejamkan matanya sejenak, mencoba untuk menahan emosinya yang naik mengingat dia saat ini sedang dalam masa menstruasi.

“Reynando, kalo lo nggak nurut begini, jangan kaget kalo gue tiba-tiba ninggalin lo. Biar nanti lo idup sendiri, apa-apa sendiri, gue mau idup sendirian aja, tanpa lo,” omel Nanda geram karena sudah terlanjur kesal.

Nando yang mendengar spontan menatap Nanda dengan mata yang tiba-tiba sudah berkaca-kaca dengan bibir yang tanpa sadar ia manyunkan, lalu dia mengangguk sembari berkata, “Oke, fine.”

Kemudian Nando dengan cepat bangkit berdiri dan segera masuk ke dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Nanda, tanpa menoleh ke arah kembarannya lagi.

“Lah,” gumam Nanda cengo melihatnya, tapi tak lama dia tertawa.

“Hilih, ngambek. Terus aja terus. Apaan coba? Nanti nanges,” sambung gadis itu, sudah tidak aneh lagi kala melihat tingkah random kembarannya.

“Buset, nangis beneran.” Nanda tambah tertawa saat telinganya mendengar suara isak tangis yang berasal dari dalam kamar Nando yang pintunya memang tidak tertutup, jadinya bisa terdengar jelas di telinganya.

Bahkan, dia selalu bertanya-tanya. Ini sebenarnya Nando yang kakak, atau malah dirinya? Ya, walaupun mereka tidak tau siapa yang keluar duluan.

Mereka saja hanya menebak-nebak kalau Nando 'lah yang tertua, karena biasanya kebanyakan kakak itu adalah laki-laki dan adik adalah perempuan, bukan?

Dering handphone Nanda yang tergeletak begitu saja di atas meja tiba-tiba berbunyi dan membuat gadis itu jadi mengalihkan pandangannya.

Dia mengambil, lalu melihat siapa yang menelepon, dan tertera nama 'Ibu Meta' di layar handphone tersebut.

“Assalamu'alaikum, Ibu,” salam Nanda saat sudah mengangkat dan menempelkan handphone di telinganya.

“Wa'alaikumussalam,” balas Meta di seberang sana yang tak lain adalah ibu pengurus Panti Asuhan yang dulu pernah saudara kembar itu tempati.

Nanda tampak tersenyum mendengarnya. “Apa kabar, nih? Ada apa nelepon Nanda?”

“Kabar Ibu baik. Kamu sama Nando gimana kabarnya? Ibu udah kangen banget sama kalian berdua.”

“Kabar Nanda sama Nando alhamdulillah baik-baik aja. Tadi rencananya emang sehabis maghrib mau ke Panti, kita berdua juga udah kangen banget sama Ibu.”

“Beneran kalian mau ke Panti?”

Nanda jadi tertawa kecil mendengar pertanyaan memastikan dari Meta yang tampak antusias itu.

“Iya, kita berdua sehabis maghrib emang mau ke Panti,” balas gadis itu seadanya.

“Oalah, Ibu tunggu, ya. Ibu nelpon emang mau nyuruh kalian ke sini, Nan, ya udah kalo gitu Ibu tutup telponnya.” Terdengar kekehan dari seberang sana. “Ibu mau lanjut masak makan malem buat nanti, sekalian kalian berdua nanti makan malam di sini aja, ya.”

Nanda mengangguk, walaupun tak terlihat oleh Meta. “Iya, Bu. Nanda juga mau mandi, bentar lagi mau adzan maghrib.”

“Oke, ya udah. Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumussalam.”

Tut.

Panggilan sudah tidak terhubung lagi, lantas Nanda kembali meletakkan handphone-nya di atas meja.

Gadis itu kemudian melangkahkan kakinya mendekat ke depan pintu kamar Nando yang terbuka.

Dia melihat Nando yang sekarang sudah tengkurap di atas kasur. Isak tangis pun sudah tak terdengar lagi di telinganya, berganti menjadi suara dengkuran halus yang dia dengar dan menandakan bahwa pemuda itu kini sudah tertidur.

“Mandi dulu aja ah, baru bujuk tuh bocah,” gumam Nanda.

Tangan gadis itu bergerak menarik handle pintu dan segera menutup pintu kamar Nando. Kemudian Nanda masuk ke dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar kembarannya. Dia bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah lengket karena keringat.

Dua puluh menit berlalu, kini Nanda sudah keluar dari kamar mandi dengan bathrobe putih yang terpasang pas di tubuhnya.

Nanda menatap isi lemari putihnya yang sebelumnya sudah dia buka.

“Pake baju apa enaknya? Baju banyak, tapi yang nyaman dipake itu-itu aja perasaan.”

Gadis itu mengetuk jari telunjuknya di dagu seolah tengah berfikir, lalu tak lama dia mengangguk-anggukan kepalanya.

“Berhubung cuacanya mendung kayak mau hujan. Pake hoodie aja kali, ya?”

Lalu dia mengambil hoodie berwarna putih polos dan tak lupa juga mengambil celana baggy jeans berwarna biru langit.

“Eh, tapi jangan hujan, plis. Kan nggak elit banget kalo udah siap-siap, malah nggak jadi pergi,” sambung Nanda menggerutu.

“Gue ngomong sendiri berasa orang gila, anjrit.” Gadis itu tampak berdecak kesal karena sedari tadi dia terus berbicara sendiri.

Setelah memakai pakaiannya, Nanda lantas duduk di depan cermin rias, lalu tangannya bergerak mengambil hair dryer guna mengeringkan rambutnya.

“Yes, udah kering, tinggal disisir. Habis itu pake bedak, terus lip tint, and finish.”

Saat dia sudah siap semua, gadis tersebut berdiri, lalu menatap penampilannya dari cermin, dan sedikit merapikan rambut panjangnya yang sengaja dia biarkan terurai.

“I am ready, let's go to the next room.”

***

— t b c —

THE WILSON FAMILY

Semilir angin berhembus menerpa wajah keempat wanita berbeda usia yang saat ini sedang menikmati sore hari mereka di taman belakang Mansion mewah keluarga Wilson.

Hening tercipta sejak beberapa menit yang lalu, tidak ada yang membuka suara. Keempat wanita tersebut hanya diam dengan pikiran masing-masing. Pikiran yang melayang pada kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang di mana menyebabkan hilangnya cucu, anak, dan adik di keluarga mereka terjadi.

Sampai tiba-tiba menantu pertama di keluarga Wilson dengan pandangan kosongnya menatap lurus ke depan membuka suara yang membuat mereka semua jadi memusatkan pandangan ke arahnya.

“Bagaimana keadaan mereka sekarang?” Itu pertanyaan Arizka Febiana Wilson yang sering sekali dia lontarkan entah pada siapa saja yang mendengarnya.

Arizka menghela nafas sejenak, sebelum kembali melanjutkan pertanyaannya dengan nada putus asa, “Sudah hampir tiga belas tahun lamanya setelah kejadian itu, apa masih ada harapan untukku bisa bertemu dengan anak kembarku kembali?”

Indah Rasvati Wilson, wanita yang usianya tiga tahun lebih muda dari Arizka, kini menatap kakak iparnya itu dengan sorot mata sendu.

“Bersabarlah sebentar lagi, Kak. Kita harus lebih banyak bersabar dan terus berdo'a. Tunggu saja kabar baik dari kak Aditya dan yang lain nanti.”

Tangan Indah bergerak merangkul dan mengelus bahu Arizka yang duduk di sebelahnya.

“Walaupun aku tau itu tidak pasti,” sambung wanita itu yang tentu saja di dalam hati. Ia mana tega mengatakannya secara langsung. Bisa-bisa akan semakin membuat kakak iparnya itu terus larut dalam kesedihan.

“Semuanya sedang berusaha untuk hasil yang terbaik, Menantuku. Entah kenapa aku begitu yakin mereka berdua pasti akan segera ditemukan dan berkumpul lagi bersama kita.” Itu kata penyemangat, sekaligus penenang yang terlontar dari mulut Alifah Isyarefanni Wilson. Wanita paruh bayah yang menjabat sebagai nyonya besar di keluarga Wilson.

Sedangkan wanita satunya lagi yang merupakan anak bungsu dari Alifah, menatap mereka bertiga secara bergantian, kemudian kembali menatap ke depan dengan pandangan yang menyiratkan sebuah kebencian.

“Damn bitch. Untung saja kau sudah mati. Kalo saja kau tidak mati karena tertabrak mobil. Sudahku pastikan, akulah yang akan membunuhmu dengan tanganku sendiri,” batin wanita itu mengumpat. Dia yang tak lain adalah Reyalista Fairah Wilson. Kini sudah berganti Marga menjadi Reyalista Fairah Anderson karena mengikuti Marga sang suami.

***

Sedangkan di Fey's Cafe, tempat yang sering dikunjungi oleh anak remaja untuk menghabiskan waktu mereka di sana, terdapat empat pemuda tampan yang satunya kelas sepuluh, dua diantaranya masih kelas sebelas SMA dan satu lagi sudah kelas dua belas SMA.

Salah satu dari keempat pemuda itu melihat jam tangan yang ada di tangan kirinya yang kini sudah menunjukkan pukul 17:35 waktu Indonesia bagian Barat.

“Pulang. Udah sore, nanti semuanya pada nyariin,” ajaknya menatap ketiga pemuda satu persatu. Dia yang tak lain adalah Alghafar Putra Anderson.

“Ayo,” sahut Aldan, atau lebih tepatnya Reynaldan Fauzino Wilson, segera berdiri dari duduknya seraya memasukkan handphone miliknya ke dalam saku celana.

“Bayar, Dan.” Kini pemuda yang bernama Chandra Devanka Wilson, menyodorkan uang selembar warna merah pada Aldan, bermaksud untuk menyuruh Aldan membayarnya ke meja kasir.

Kemudian Chandra dengan tiba-tiba langsung menarik tangan adik kandungnya yang tak lain adalah Bobby Zevanka Wilson, pemuda yang saat ini masih asik bermain game online. “Pulang, Dek. Lo mah maen game mulu, gue aduin ke papa tau rasa lo.”

Bobby jadi memanyunkan bibirnya lucu dengan keadaan tangannya yang ditarik Chandra, lalu membalas, “aduan lo, nggak fren kita.”

“Bacot,” umpat Chandra asal.

***

Sedangkan di sebuah ruangan kantor perusahaan ternama, terdapat satu pria dewasa, tiga pemuda dan satu gadis berusia kepala dua.

“Gimana, Yah? Ada kabar baik hari ini?” tanya gadis bernama Reynata Faradisa Wilson itu.

Reyditya Fahrian Wilson, pria yang dipanggil ayah tersebut hanya mampu menghela nafasnya, lalu tak lama menggelengkan kepala.

Nata tanpa sadar memajukan bibir bawahnya. “Aku pulang duluan, ya, udah sore,” pamit Nata, kemudian berdiri dari duduknya.

“Bareng aja, Kak. Ayah juga mau pulang,” balas Aditya, lalu matanya menatap ketiga pemuda yang masih ada di ruangannya secara bergantian.

“Kalian nggak mau pulang?”

Reynaldo Fauzan Wilson, pemuda itu langsung berdiri dan merangkul bahu Nata yang tak lain adalah adik kandungnya seraya berkata, “ayo pulang.”

“Mereka kapan ketemunya, Yah? Lama banget, udah mau tiga belas tahun. Pasti sekarang mereka udah gede, cantik sama ganteng pula. Produk Wilson sama Anderson 'kan nggak pernah gagal,” ujar Alghifaro Pratama Anderson. Pemuda yang mendapat julukan si cerewet di keluarganya, kini sudah bergelanyut manja di lengan kiri Aditya.

Marselio Revanka Anderson yang melihat Aditya akan membuka mulut guna membalas ucapan Tama itu pun langsung mencegahnya. “Nggak usah dibales, Yah. Kalo Ayah bales, pasti dianya nanti tambah ngoceh-ngoceh nggak jelas.”

Tama jadi memandang Marsel sinis, lalu mengumpat tanpa sadar, “Bacot lo, anying.”

“Tuh, Yah, dia ngomong kasar,” adu Marsel memanas-manasi.

Aditya pun langsung mencubit tangan Tama yang masih bergelanyut di lengannya dan seketika membuat pemuda itu jadi meringis menahan perih.

“Ih, sakit. Ayah mah, kemusuhan kita.” Kemudian Tama berjalan mendahului mereka semua dengan kaki yang dihentak-hentakkan ke lantai.

“Dih, tuh bocah, kagak inget umur,” cibir Marsel tak habis pikir.

***

— t b c —

TELON OIL & BABY POWDER

Nanda kini sudah berada di dalam kamar Nando. Dia tadi sudah membangunkan dan membujuk kembarannya itu agar segera mandi karena hari sudah mulai gelap.

Pintu kamar mandi terbuka, Nando keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya dan memperlihatkan bagian tubuh atasnya yang terekspos.

Nanda yang melihat itu hanya menampilkan wajah biasa, lalu dia berdiri dan berjalan mendekat ke meja rias milik Nando. Setelahnya dia mengambil bedak bayi dan minyak telon yang ada di atas meja tersebut.

“Bantuin cari baju, bingung aku mau pakai yang mana.” Nando berbicara memecah keheningan. Pemuda itu tampak berkacak pinggang menatap lemari hitamnya yang terbuka dan memperlihatkan macam-macam jenis pakaian yang berbeda-beda.

Nanda menatap Nando, lalu memutar kedua bola matanya malas seraya bertanya, “Ya lo maunya pake baju apa?”

Nando menoleh ke arah Nanda yang sekarang sudah duduk kembali di atas kasur sekilas. “Nggak tau,” jawabnya.

“Dih, nih orang. Ya udah kalo gitu nggak usah pake baju sekalian,” cibir Nanda.

“Malulah, ya kali nggak pake baju. Nanti kalo akunya disangka orang gila gimana?” balas Nando tak mau kalah.

“Bukan lo-nya yang disangka orang gila, tapi tuh orang yang ngeliat lo kagak pake baju yang nantinya kayak orang gila,” batin Nanda kesal.

Lalu gadis itu berdiri mendekati kembarannya. “Sini, gue aja yang pilihin. Pake bedak sama minyak telon lo sana,” suruhnya sambil mendorong pelan punggung Nando agar sedikit menjauh dari lemari.

“Akukan nggak bisa pakainya,” ungkap Nando mencebikkan bibir.

“Iya, lo mah nggak guna. Semua aja nggak bisa, manja.” Nanda mencibir tanpa melihat Nando yang kini matanya jadi berkaca-kaca.

“Jahat,” ujar Nando lirih dengan bibir yang bergetar menahan tangis.

“Emang,” balas Nanda acuh. Dia tak menghiraukan pemuda itu, tangannya bergerak mengambil celana jeans denim dan hoodie putih.

“Couple-an, ah. Biar dikira orang pacaran. Kagak ada pacar, kembaran pun jadi,” lanjut Nanda tertawa dalam hati.

Setelahnya Nanda menyodorkan baju dan celana itu pada Nando. “Nih, pake,” suruhnya.

Nando menerimanya dengan mata yang masih saja berkaca-kaca, lalu dia menyodorkan botol minyak telon pada kembarannya.

“Pakein,” bujuknya dengan raut wajah yang dibuat seimut mungkin, membuat Nanda mendengus kesal, tapi tak urung juga gadis itu mengambilnya.

“Kapan bisanya sih, Jo? Lo mah dari dulu kagak bisa-bisa perasaan, tinggal dipakein ke perut doang. Heran gue, modusnya sabi bener,” omel gadis itu dengan tangan yang mulai bergerak memakaikan minyak telon ke perut Nando yang kini tengah duduk di pinggiran kasur.

Jangan heran. Memakai minyak telon, setelahnya memakai bedak bayi ke perut dan punggung belakang merupakan salah satu kebiasaan mereka berdua dari kecil yang tak akan pernah bisa mereka lupakan sampai sekarang.

“Nanti nggak rata. Kan itu harus dipakein ke punggung juga, jadinya susah. Satu-satunya cara, ya harus kamu yang pakein.”

“Alah, alesan. Udah nih, ambilin bedaknya.”

Nando lantas memberikan bedak bayi yang tergeletak di atas kasur pada Nanda. Setelahnya Nanda kembali memakaikan bedak bayi itu secara merata ke perut dan punggung Nando.

Tiba-tiba saja ide jahil melintas di pikirannya. Saat tangan Nanda ada di perut Nando, gadis itu mengelus perut rata itu sejenak, lalu tak lama mencubitnya keras membuat Nando yang tadinya hanya diam saja memandang wajah Nanda, kini jadi memekik kaget.

“AH, SAKIT!” teriak Nando tanpa sadar langsung menepis kasar tangan Nanda.

“Lagian sih, ngelihatin guenya gitu amat.”

***

Tak terasa jam cepat berlalu, adzan maghrib sudah selesai berkumandang sedari tadi. Sepasang saudara kembar tersebut sekarang sudah dalam perjalanan menuju Panti Asuhan.

Saat di perempatan lampu merah, Nando memberhentikan motor sejenak karena harus menunggu beberapa detik agar lampu itu kembali berganti jadi warna hijau.

Selang beberapa puluh menit mereka sudah sampai di depan pagar bambu rumah sederhana berlantai dua dengan tulisan 'PANTI ASUHAN METARANI' yang terpampang jelas di depan rumah tersebut.

“Huh, sampe juga akhirnya,” gumam Nanda saat dia sudah turun dari motor dan melepas helmnya.

“Bukain pagernya, Pey,” titah Nando.

“Iya, bentar,” sahut Nanda mendekati pager bambu itu, lalu membukanya.

Saat sudah terbuka, Nando segera mendorong motor KLX merahnya tanpa menghidupkannya kembali karena takut mengganggu ketenangan tetangga sekitar.

“Nggak ada yang berubah,” ujar Nanda memperhatikan sekitar dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

“Pey, ayo,” ajak Nando dan Nanda hanya mengangguk singkat, lalu menyusulnya.

Saat Nanda sudah berdiri di sebelahnya, Nando mengetuk pintu coklat tua di depan matanya itu sebanyak tiga kali sembari memberi salam, “Assalamu'alaikum.”

Tak membutuhkan waktu lama, pintu sudah terbuka dan memperlihatkan sosok wanita berkerudung yang kira-kira berusia kepala empat yang tak lain adalah ibu Meta.

“Wa'alaikumussalam,” gumam wanita itu menyambut kedatangan kedua anaknya. “Ya ampun anak-anak Ibu udah pada besar.” Meta berujar dengan antusias dan tak lupa mulutnya yang sedikit terbuka karena merasa tak percaya.

Nanda jadi tertawa. “Ih, Ibu, kan nambah terus umurnya.”

Meta ikutan tertawa. “Sini-sini, peluk,” katanya dan Nanda langsung berhambur memeluk wanita itu.

“Kangen banget.”

“Ibu juga kangen. Lama nggak ketemu, kamu makin cantik aja,” puji Meta saat sudah melepaskan pelukannya.

“Ibu bisa aja, seminggu doang nggak ketemu, lho,” cicit Nanda cengengesan.

Meta tak menjawab, dia hanya tersenyum geli. Kemudian matanya beralih menatap Nando yang sedari tadi hanya diam menyimak dengan wajah datarnya.

“Kamu mau dipeluk juga nggak?”

“Mau,” balas Nando singkat dan Meta segera memeluknya erat.

“Dari dulu nggak berubah, tetep aja mukanya nggak ada ekspresi. Senyum, lho, Nando.”

“Hilih, di depan Ibu doang itu. Tadi mah habis nangis cuma karena masalah kecil,” cibir Nanda.

Meta lagi-lagi tertawa. “Kan emang cuma kamu doang yang bisa ngubah ekspresi dia,” ujarnya dan Nanda refleks mengangguk menyetujui.

“Ya udah, ayo masuk.” Meta langsung mengapit salah satu lengan Nando dan Nanda, membawa kedua anak asuhnya itu untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah sederhananya.

“Udah sholat maghrib belum?” tanya Meta.

“Nanda lagi dapet.”

Meta mengangguk paham. “Nando udah sholat?” tanyanya menatap Nando.

“Udah,” sahut Nando seadanya.

“Yang lain pada ke mana semua, Bu?” tanya Nanda saat melihat sekitar yang tampak sepi.

“Mereka lagi makan di ruang tengah, Nan.”

“Oh iya, inikan jam makan malem,” gumam Nanda pelan.

“Ayo ke sana, kita makan dulu. Ibu udah masak makanan kesukaan kalian,” ajak Meta.

“Ada semur ayam?” tanya Nanda antusias dengan mata berbinar menatap Meta, membuat Nando yang juga melihat ekspresi itu jadi gemas dibuatnya.

“Ada,” balas Meta sedikit tertawa mendengar nada antusias itu.

“Beneran?” tanya Nanda, lagi.

“Beneran dong. Ibu ada rezeki lebih hari ini, mangkanya bisa beli ayam.”

“Woah, Nanda duluan.” Gadis itu segera berlari kecil mendahului kembarannya dan juga Meta untuk sampai duluan di ruang tengah.

Tak berlangsung lama, Nanda sudah tiba di ruang tengah dan melihat kurang lebih ada lima belas anak kecil dan juga ada yang sudah memasuki usia remaja di sana.

“Malam, semuanya,” sapa gadis itu.

“Malam juga, Kakak.”

“Huaaa, Kak Nan! Cia kangen.” Salah satu dari mereka, anak perempuan berusia 5 tahun langsung berlari kecil menghampiri Nanda dan memeluk kakinya.

Nanda pun berjongkok mensejajarkan tingginya dengan anak perempuan itu, lalu memeluknya sekilas.

“Ih, Kakak juga kangen sama Cia. Cia sekarang udah gede banget, ya. Gembul, gemesin deh.”

“Iya dong, masa Cia halus kecil telus, cih.”

Nanda tertawa mendengarnya. “Udah gede, tapi sampe sekarang belum bisa ngomong huruf R tuh,” ejeknya yang terkesan bercanda.

Cia jadi mengerucutkan bibirnya. “Susah tau, Cia ndak bisa.”

“Udah-udah, ayo makan, Nan. Tuh, lihat Nando udah duluan,” ajak Meta yang membuat Nanda jadi mengalihkan pandangannya.

Nanda mendengus saat melihat kembarannya itu sudah duduk bersila dan makan duluan tanpa menunggunya lagi. Kemudian dia kembali menatap Cia yang masih berdiri di depannya. “Sana, Cia makan lagi, ya.”

“Oke, Kak Nan.”

Setelah melihat Cia kembali ke tempat duduknya, Nanda langsung mengambil tempat duduk di sebelah Nando. “Makan nggak nungguin gue, tega bener.”

“Berisik,” sahut sang kembaran dengan nada ketus.

“Idih, sok ga—” Nanda sontak langsung berhenti berbicara saat Nando dengan tiba-tiba memasukkan sendok yang sudah ada nasinya ke dalam mulutnya.

“Paijo, ih, lo mah.” Nanda merengek dengan suara yang sedikit tak jelas karena masih mengunyah, ia jadi refleks menabok lengan Nando.

“Udah, makan,” tegas Nando tanpa bantahan.

Sedangkan Meta hanya bisa tersenyum melihat interaksi mereka berdua yang tidak pernah berubah sedari dulu itu.

***

— t b c —

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!