Seorang bayi tampak gelisah dalam tidurnya. Nafasnya tiba-tiba menjadi cepat, dan suhu tubuhnya juga meninggi. Di tengah malam yang sunyi, Amira terbangun oleh suara gumaman tak jelas dari putranya yang baru berusia sembilan bulan.
Dengan hati-hati ia meraba kening anaknya. Seketika matanya membelalak karena wajah mungil itu memerah, terasa panas membara.
"Ya Allah! Galen! Nak!" serunya panik.
Tanpa pikir panjang, Amira segera turun dari ranjang. Ia menggendong tubuh kecil itu dengan penuh cemas, pergi ke kamar suami, berniat membawanya ke rumah sakit secepat mungkin.
Amira memang jarang tidur dengan suaminya, sebab terkadang suaminya memang tak ingin tidur lagi bersamanya sejak ia melahirkan dan terkesan mengejek tubuhnya yang tidak lagi semenarik dulu setelah melahirkan anak pertama mereka.
"Mas! Anak kita!" teriak Amira dengan raut wajah semakin khawatir.
Kriet.
Pintu salah satu kamar terbuka, keduanya tinggal di rumah keluarga suami Amira setelah resmi menikah. Keluarga suaminya memang tidak kaya raya namun masih terbilang orang berada karena rumahnya lumayan besar dengan lima kamar tidur. Mereka tinggal bersama mertua Amira dan beberapa saudara suaminya.
"Apaan sih, malam-malam begini teriak! Sudah gak bisa merawat tubuh dan jadi jelek, sekarang kamu sudah mulai berani teriak-teriak di rumah ini!" bukannya bertanya dengan benar, Ardi malah membentak dengan tak sabar.
Amira memeluk anaknya yang lemas, raut mukanya begitu cemas. "Mas Ardi, Galen demam tinggi. Kita bawa ke dokter yuk, Mas."
Ardi melotot, nada suaranya tinggi, "Dokter? malam-malam begini? Emangnya kamu pikir duit kita numpuk? Daun saga banyak di belakang rumah. Bejek aja, airnya kasih ke dia."
"Tapi... Galen nggak mau minum apa-apa, Mas. Bahkan air putih pun ditolak," Amira membela diri. Sebenernya dia belum mencoba apa yang dikatakan Ardi, tapi melihat kondisi anaknya yang mengkhawatirkan, Amira langsung merujuk ke rumah sakit.
Seluruh keluarga Ardi keluar kamar termasuk ibunya yang langsung menginterupsi, "Iya tuh, kamu itu ngurus anak kayak nggak niat. Dikit-dikit panik, belum apa-apa udah ngajak ke RS. Zaman dulu, ibu juga ngurus anak-anak sendiri, sehat-sehat aja tuh."
Amira diam, memeluk anaknya lebih erat. Matanya menatap Ardi, berharap suaminya berubah pikiran. "Aku cuma takut Galen kenapa-kenapa."
Ardi menghela napas dengan kasar lalu membentak lagi, "Kalau kamu takut terus, ya gak bakal selesai! Anak dikit-dikit panas langsung nyerah. Coba dulu, jangan nyusahin orang!"
"Bener! jangan dikit-dikit pakai obat kimia, nggak bagus. Cobalah kamu banyak belajar cara mengobati mandiri. Kamu itu harus hemat, tahu sendiri miskin itu nggak enak. Jadinya harus pandai lah kamu mengunakan uang suami. Jangan boros-boros." Timpal Kakak ipar Amira.
Air mata Amira mulai jatuh, tapi dia hanya mengangguk kecil. Tak ada kekuatan untuk membantah lebih jauh, terlebih saudara suami juga ikutan provokasi agar Galen sebaiknya diobati di rumah. Tapi rasa khawatir yang semakin membuncah membuat Amira berusaha sendiri tanpa melibatkan suaminya. Dia diam-diam keluar, mendatangi salah satu tetangga yang dirasa baik terhadapnya selama ini untuk meminjam uang.
Beruntung sang tetangga yang tidak merasa terganggu dengan kehadiran Amira malam-malam, bersedia meminjamkan uang dua ratus ribu. Hanya itu yang bisa tetangganya kasih karena dia pun ekonominya tak seberapa. Setidaknya tetangganya tersebut lebih punya empati daripada Ardi dan keluarganya.
Sesampainya di rumah sakit, kondisi Galen semakin memburuk. Sepanjang perjalanan, tubuh kecilnya beberapa kali mengalami kejang hebat. Wajahnya pucat pasi, nyaris kebiruan. Bola matanya bergerak tak terarah, menjulang ke atas. Tanpa banyak waktu terbuang, ia segera dilarikan ke ruang Unit Gawat Darurat.
Di luar ruangan, Amira berdiri kaku. Jantungnya berpacu tak menentu dengan napasnya yang tersengal oleh kecemasan yang tak mampu lagi dibendung. Jemarinya gemetar hebat.
Beberapa waktu kemudian, pintu UGD terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah datar yang berusaha tetap tenang. Ia menyampaikan kenyataan dengan setenang mungkin.
Namun, tak ada cara menyampaikan kematian yang benar-benar lembut bagi seorang ibu. Kata-kata itu, meski dibalut ketenangan, tetap menembus seperti pecahan kaca yang menghujam ke dasar hati.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi
Seketika dunia Amira runtuh. Ia menjerit, menangis, tubuhnya limbung jatuh ke lantai.
...*****...
"Andai saja penanganan tidak terlambat, mungkin saja Galen masih di sini bersamaku."
Duka itu masih belum reda bagi Amira meskipun sudah berhari-hari terlewati. Setiap detik yang berjalan, dia pakai untuk memikirkan anaknya yang telah tiada. Penyesalan datang tanpa henti. Andai saja tak terlambat, andai saja dari sore hari saat badannya sudah hangat Amira buru-buru langsung membawanya berobat, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Pikirnya.
Tapi sebanyak apapun dia meratap, waktu tidak bisa diputar ulang. Takdir sudah mengambil jalannya. Dulu, satu-satunya alasan Amira bertahan hidup hanya karena Galen. Namun, sekarang dia tak punya alasan itu lagi. Yang paling menyesakkan baginya sekarang adalah kenyataan dia masih ada di rumah penuh orang-orang munafik.
Bagaimana tidak munafik? Ketika Amira menangis pilu di atas pusara anaknya saat pemakaman, suami dan keluarganya memperlakukan Amira dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Pelukan, kata-kata manis, semua itu hanya demi citra baik di mata orang-orang. Mereka lebih takut kehilangan nama baik ketimbang kehilangan nyawa seorang anak kecil bagian dari keluarganya.
Begitu kembali ke rumah, topeng pun dilepas. Mereka kembali menjadi diri mereka yang menyebalkan bin menyakitkan. Hati Amira semakin tercabik saat menyaksikan Ardi nyaris tak menunjukkan kesedihan sama sekali. Bahkan dengan entengnya, Ardi menasehati Amira agar tidak terlalu larut dalam tangis, sebab anak bisa dibikin lagi.
Amira mengembuskan napas berat.
Kepalanya sesak oleh pikiran yang menumpuk. Ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar berniat mencari udara dan juga pemandangan di belakang rumah. Melihat yang hijau-hijau, barangkali bisa sedikit meredakan sesak yang menggumpal di dada.
Namun baru sampai ruang tengah, suara yang tak asing menghentikan langkahnya. Suara kakak iparnya terdengar jelas dari arah ruang tamu sedang berbicara dengan Ardi.
"Ardi, kayaknya kakak butuh dana lagi. Kakak pakai duitmu lagi ya? Nanggung banget, rumah tinggal sedikit lagi selesai."
"Memangnya duit yang aku kasih minggu lalu masih kurang, Kak?"
"Kurang Di. Sekarang apa-apa serba mahal kan."
"Yaudah ini aku kasih lagi biar nggak mandek bikin rumahnya."
"Thankyou adikku."
Minggu lalu?
Amira terdiam. Ingatannya langsung melesat ke minggu lalu, dimana itu adalah sehari sebelum Galen demam tinggi dan ia kelimpungan mencari biaya berobat. Tidak ada uang untuk anak yang sakit, tapi ada untuk membangun rumah sang kakak? lucu sekali!
Seketika hatinya panas. Suara ibu mertuanya menyusul samar-samar tapi cukup untuk memicu bara api.
"Bagus. Kalian memang harus begini. Saudara itu harus saling membantu."
Bantu? Itu bukan bantuan. Itu kebiasaan kakaknya Ardi menumpang hidup, menyedot habis, tanpa pernah peduli balas budi.
Amira tak bisa lagi menahan. Sesuatu dalam dirinya pecah. Amira yang dulu, yang diam, mendadak mati bersama dengan kepergian sang anak. Yang berdiri sekarang adalah dirinya yang baru. Matanya menyapu ruangan dan berhenti pada sebuah tongkat kayu.
Tanpa banyak cincong ia menggenggam tongkat itu erat. Langkahnya berani sekali menghampiri tiga orang tersebut. Kalau benda-benda di ruangan itu bisa bicara, mereka berteriak menyemangati Amira. Hayo serampang mereka Amira! Begitu kira-kira bunyinya.
Awas kalian. Kali ini, Amira tak akan diam saja!
Tanpa Amira sadari, babak baru dalam hidupnya akan segera dimulai.
.
.
Bersambung.
BRAK!
Tongkat kayu menghantam keras meja kaca. Kacanya pecah berhamburan, serpihannya jatuh berserak ke lantai marmer hingga membudalkan tiga orang yang sedang bercengkrama: Ardi, ibu mertua, dan Shinta kakaknya Ardi.
Mereka bertiga terkaget-kaget, saling berpandangan beberapa detik sebelum suara meledak hampir bersamaan.
"Amira! apa-apa sih kamu?! " Suara Ardi menjadi yang pertama menggelegar, wajahnya merah padam. "Kamu sudah gila ya, pakai hancurin meja segala!"
Belum sempat Amira menjawab, sang ibu mertua ikut menyambar. "Dasar mantu miskin nggak tahu diri! Ini meja mahal, kamu nggak bakal mampu gantinya."
Sinta menambahkan, "Kamu kerasukan setan, ya Amira?! Astaghfirullah! Jangan-jangan beneran kesurupan nih!"
Tampang Amira yang serius dan tidak ada gentarnya sama sekali secara tidak langsung membuat ketiganya merinding. Wajahnya dingin, matanya menyala seperti api yang sudah lama terpendam. Amira tidak mengangkat suara, juga tidak menangis seperti biasanya. Hanya berdiri tegak dengan tangan masih menggenggam tongkat kayu, seakan-akan siap mengayunkannya lagi jika perlu. Menggetok kepala nereka satu per satu.
Untuk pertama kalinya, mereka melihat sosok Amira yang tidak bisa ditekan. Bukan Amira yang lembek, yang selalu mengalah, yang bisa mereka hina tanpa perlawanan. Amira yang sekarang terlihat menyeramkan.
"Kamu yang apa-apaan, Mas. Buat anak sendiri gak ada, tapi buat bangun rumah orang lain ada."
Suara itu datar, namun justru karena datar itulah, kata-katanya membekas lebih tajam dari teriakan. Sejenak ruang tamu itu kembali hening, sebelum Sinta memotong dengan nada tidak terima.
"Aku bukan orang lain, ya. Aku kakaknya!" sergah Sinta cepat, menepuk dadanya sendiri. "Kakak kandung!"
Namun Amira tetap diam. Telinganya hanya menerima suara satu orang, yaitu Ardi. Bagi Amira, Sinta bisa saja berteriak sekeras mungkin, tapi suaranya tak akan sampai ke ruang amarah yang sedang dibangun Amira di dalam dirinya sekarang.
Ardi mencelos.
"Kak Sinta itu cuma pinjam, nanti juga dibalikin."
"Pinjam? Kamu bahkan belum lunasin biaya kontrol kandungan terakhir. Aku harus pinjam dari Mbak Lestari, tetangga sebelah. Yang kemarin aku bawa Galen ke rumah sakit juga uang boleh pinjam. Udah dibayar belum? Pasti belum kan?! Tapi kamu bisa kasih puluhan juta buat bikin rumah orang lain."
Ia melangkah maju satu langkah. Tongkat kayu masih dalam genggamannya. Ardi mundur sedikit. Baru saja Ardi hendak menjawab, suara nyaring ibunya menyambar lebih dulu.
"Perempuan kayak kamu tuh harusnya tahu diri, Amira. Gak punya apa-apa, numpang hidup di rumah orang, masih juga berani ngajarin suami! Kamu bisa tidur di tempat yang layak, pakai pakaian bagus, dan makan enak harusnya bersyukur."
"Sudah cukup, Bu!" Ardi menginterupsi. Matanya beralih ke Amira. "Amira, ini cuma soal uang aku yang dipinjam, tolong jangan dibesar-besarkan."
Sakit? Iya. Memang Amira tidak punya apa-apa di dunia ini, bahkan kedua orang tua pun sudah tidak punya. Sudah terlalu sering dia mendengar kata-kata tidak adil baginya seperti yang terlontar barusan.
Kak Amira…Hidupmu terlalu berharga untuk kamu habiskan bersama orang yang salah. Kalau kamu terus bertahan, kamu sebenernya sedang menyiksa dirimu sendiri.
Dan masih banyak lagi yang terngiang dikepala, nasihat dari beberapa orang yang mengerti. Tapi kalimat dari salah satu temannya itulah yang menjadi pemicu untuk Amira mengambil keputusan besar.
Amira memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Saat ia membuka mata lagi, tak ada gentar dan keraguan. Ia sudah mantap.
"Aku memang gak punya apa-apa, tapi mulai malam ini, aku juga gak punya kalian."
Tangan kirinya mencabut cincin kawin dari jari manis, lalu dia lempar sekuat-kuatnya ke lantai.
"Kalian sudah terlalu lama memperlakukan aku bagaikan sampah. Tapi sekarang, cukup. Aku keluar dari neraka ini. Mas Ardi, aku mau cerai."
Sinta refleks berseru seolah mendengar kabar bahagia.
"Nah, itu baru pinter! Ceraiin aja, Di! Gak usah ditahan-tahan perempuan pembangkang kayak gini!"
Ibu mertua ikut bersorak, senyumnya penuh kemenangan. "Bagus! Udah dari dulu harusnya. Perempuan kayak gini cuma bikin sial!"
Namun Ardi… diam. Raut wajahnya berubah skeptis. Ia menatap Amira seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kamu yakin, Amira? Mau hidup di mana kamu? Makan dari mana? Kamu pikir dunia di luar sini bakal lebih baik buat kamu?"
Amira menatapnya balik tanpa berkedip.
"Aku gak tahu akan hidup di mana. Tapi aku lebih takut hidup di sini, bersama kamu."
Sinta memutar bola mata sambil mencibir.
"Udahlah, Di. Kasih aja tuh surat cerai. Biar dia ngerasain gimana rasanya hidup miskin lagi tanpa suami."
Ibunya menimpali dengan semangat yang sama. "Ceraikan aja! Tapi jangan kasih dia sepeser pun. Semua yang dia pake selama ini dari uang kamu. Gak ada yang dia bawa keluar!"
Ardi menghela napas, "Amira, kamu jangan main-main sama kata cerai. Memangnya kamu sanggup berpisah denganku? Apa kamu sudah tidak ada rasa cinta lagi?"
"Rasa cintaku padamu sudah mati, Mas. Barengan sama perginya anak kita. Tolong ceraikan aku."
Shinta dan ibunya semakin menjadi-jadi memanasi Ardi untuk segera menceraikan Amira. Toh Ardi sesungguhnya telah memiliki kedekatan dengan wanita lain, yang menurut mereka status sosialnya lebih tinggi. Kehilangan Amira tidak akan berpengaruh apapun di rumah itu. Ardi pun yang perasaan telah terbagi ke wanita lain mulai kepikiran melepaskan Amira, mumpung wanita itu sendiri yang meminta.
"Baik. Aku ceraikan kamu Amira. Kamu aku talak tiga. Tapi kamu keluar dari rumah ini tanpa bawa apa pun ya. Hanya baju dan sandal saja yang aku perbolehkan. Uang dan perhiasan tolong jangan dibawa."
"Gak apa-apa, Mas. Aku gak bawa harta, tapi aku bawa kewarasan. Namun rasanya Mas sudah keliru. Aku sama sekali tidak ada simpan perhiasan kecuali cincin nikah yang aku lempar tadi. Uang pun kamu tahu sendiri, aku malah banyak berhutang ke tetangga gara-gara kamu nggak kasih."
Ardi mengeryitkan dahi. Sementara sang ibu langsung gerak cepat mengalihkan hingga suasana kembali kondusif ke arah mantap perceraian tanpa ada banyak perdebatan lagi.
...****...
Lega. Itu yang Amira rasakan saat akhirnya terlepas dari rumah yang penuh dengan orang-orang tak waras. Baru kali ini ia menyadari betapa nikmatnya ketika beban di dada diangkat dan terhempas, hanya karena satu keputusan berani yang akhirnya ia ambil.
Dulu, ia terlalu takut. Hidup sendirian di luar rumah di dunia yang keras ini terasa seperti mimpi buruk. Itu sebab mengapa ia bertahan dalam pernikahan dengan Ardi, meski hatinya telah lama hancur.
Sekarang Amira lebih berani. Hidup ya dijalani. Mati, ya berarti waktunya sudah tiba. Rejeki pun dia meyakini sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Namun kondisinya sekarang bagai intro lagu Ayu Ting-Ting yang berjudul Alamat Palsu. Kemana.. kemana... kemana...?
Ia benar-benar tak tahu harus pergi ke mana. Tak ada tempat berteduh, tak ada bahu untuk bersandar. Sampai akhirnya, matanya menangkap sebuah Mushola. Tanpa pikir panjang Amira berlari ke sana dan bersimpuh dalam diam.
Dan disanalah, keesokan harinya...
.
.
Bersambung.
Semalam, setelah mengadu pada Tuhan, Amira terlelap di pojok bangunan Mushola. Udara malam menusuk tulang, tapi rasa letih mengalahkan segalanya sehingga begitu terlelap. Amira mengerjap ketika suara Adzan subuh berkumandang. Cuci muka, kemudian bersih-bersih sebisanya di area toilet maupun tempat wudhu. Dia memang tidak punya apa-apa untuk pegangan hidup, tapi dia tidak mau dikasih gratis begitu saja. Jadi Amira mengerahkan tenaga untuk sekadar balas menumpang tidur.
Waktu terus berlanjut sampai matahari menyibak tirai langit yang gelap. Sinarnya menghangatkan tubuh Amira. Perutnya mulai memprotes, kelaparan yang amat sangat menusuk ulu hati.
Amira bukan gadis bodoh yang meninggalkan rumah Ardi tanpa persiapan. Ia tahu, keluarga itu terlalu busuk untuk dituruti. Maka diam-diam, ia selipkan selembar uang dua puluh ribu di kantong, sisa simpanan yang ia rahasiakan.
Dengan tubuh lemas, Amira berjalan terseok-seok hendak menuju warteg terdekat. Di benaknya ia telah menyusun rencana kecil. Beli sepiring nasi dan tiga macam sayur dengan harga sepuluh ribu, lalu tawarkan diri untuk membantu di dapur atau mencuci piring. Urusan diterima atau tidak, itu belakangan. Yang penting mencoba dulu.
Namun ketika langkahnya baru saja menapaki tiga langkah, seorang ibu-ibu memanggil dirinya. Amira menoleh, dilihat-lihat sepertinya ibu itu yang mengurus Mushola.
"Mbaknya mau kemana? Ini saya bawa sarapan. Makan dulu, ya, sebelum lanjut jalan." Senyumnya lebar sekali. Ibu itu bak malaikat yang turun dari langit.
"Ah iya Bu...Terimakasih banyak." Amira menyambut pemberian itu dengan senyum lebar. Ia tidak berpura-pura menolak atau menjaga gengsi. Karena Amira tahu, seseorang yang hendak memberi akan senang ketika pemberiannya disambut dengan sukacita.
Amira kemudian menyantap makanan sarapan yang dibawa si ibu. Meskipun lapar dia tidak makan dengan tergesa-gesa. Sampai akhirnya makan selesai, ibu baik menghampiri Amira kembali untuk sekadar mengajaknya ngobrol.
"Mbak Amira," mereka sudah sempat berkenalan hingga menanyakan nama. "Maaf, kalau saya boleh tahu, Mbak Amira asalnya dari mana?"
"Saya dari Desa Rawa Kunyit, Bu."
"Oh, dari sana toh. Kalau boleh tahu, Mbak Amira ini mau ke mana?"
"Sebenarnya... saya juga belum tahu, Bu. Yang pasti, saya harus cari pekerjaan buat menyambung hidup. Maaf sebelumnya, Bu, apa Ibu ada info lowongan kerja? Jadi pembantu pun saya bersedia."
Sebenarnya agak canggung menanyakan hal itu pada orang yang baru ditemui. Tapi dalam keadaan sulit seperti ini, rasa malu harus disingkirkan.
Si ibu tampak mengangguk-angguk pelan. Wajahnya menunjukkan empati. Beberapa detik kemudian, si ibu tampangnya seolah teringat sesuatu. Ia pun berkata:
"Kemarin saya sempat dengar ada yang butuh ibu susu. Katanya, anaknya butuh ASI, jadi yang dicari tentu perempuan yang masih menyusui. Kalau info lowongan kerjaan lain semacam pembantu, saya tidak ada Mbak Amira."
Amira bergumam dalam hati. Kebetulan sekali, semenjak kepergian Galen, ASI-nya masih berlimpah. Amira pun langsung mengorek penuh minat tentang info tersebut.
"Pas sekali, Bu. Saya baru saja kehilangan anak yang masih saya susui. Jadi saya benar-benar ingin tahu lebih banyak tentang pekerjaan itu. Bisa Ibu beritahu saya ke mana saya harus menghadap?"
"Wah, benar-benar kebetulan ya," jawab si ibu dengan antusias. "Kalau Mbak Amira mau, saya antar saja langsung ke orang yang mengumumkan itu. Mudah-mudahan belum ada yang ambil, ya."
Amira mengangguk mantap. "Iya, Bu. Oh iya, Ibu baik sekali pada saya. Nanti kalau saya sudah punya uang--"
"Ah, itu jangan dipikir dulu," potong si ibu cepat. "Yang penting sekarang Mbak Amira ke sana dulu. Ayo, kita buru-buru biar nggak keduluan orang."
Amira tersenyum dan mengangguk lagi. Dalam hatinya, ia merasa haru. Ternyata di dunia ini masih ada orang baik. Ia pun berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
...*****...
Dari gerbangnya saja, Amira sudah dibuat menganga. Rumah yang dia datangi jauh melampaui ekspetasi, bahkan Amira belum pernah melihat rumah sebesar dan sebagus ini sebelumnya. Dalam hati, nyalinya mendadak ciut. Ia sadar, keluarga yang tinggal di tempat seperti ini pasti bukan orang sembarangan.
Lalu siapa dirinya? Seorang perempuan sederhana, bahkan bisa dibilang miskin, yang datang melamar menjadi ibu susu untuk anak dari keluarga super kaya. Kepercayaan dirinya mendadak turun, tersentuh oleh trauma lama tentang jurang antara si kaya dan si miskin, yang dulu pernah mengirisnya dalam-dalam.
"Silakan masuk, Nona," ucap seorang pria sopan yang mengantarnya ke dalam. Ibu yang tadi memberinya informasi telah menyerahkannya pada pria ini. Tugasnya selesai.
Amira masih diam, tubuhnya terpaku.
"Nona tak perlu khawatir, ini bukan penipuan atau hal mencurigakan lainnya. Jika Nona berkenan, silakan masuk. Tapi jika merasa ragu, kami takkan memaksa. Hanya saja...perlu Nona tahu, banyak yang menginginkan kesempatan ini."
Amira menggeleng pelan lalu tersenyum kaku. "Maaf, bukannya saya berfikir macam-macam, saya hanya terpana. Rumah ini... luar biasa. Saya siap masuk."
Pria itu mengangguk, lalu mempersilakannya berjalan di sampingnya. Langkah Amira sedikit ragu di awal, tapi kemudian ia mengikutinya. Mereka menapaki jalan setapak menuju pintu utama.
Begitu memasuki rumah itu, Amira nyaris kehilangan kata-kata. Nafasnya tercekat. Ruangan depan saja sudah seperti aula hotel berbintang. Langit-langitnya tinggi, lampu gantungnya berkilauan seperti berlian. Lantainya mengilap, perabotannya mewah, dan banyak lagi yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Ya ampun... ternyata sinetron-sinetron di TV itu belum ada apa-apanya dibanding kenyataan ini. Batinnya. Rumah keluarga kaya yang pernah ia tonton saja tidak semewah ini. Ini bukan sekadar rumah orang kaya, tapi ini bagi Amira sudah seperti istana.
"Silakan, Nona. Di dalam sudah menunggu Pak Genta."
Amira mengangguk sopan meski hatinya mulai berdebar. Ia melangkah masuk. Di dalam ruangan itu, Amira mendapati seorang pria berusia sekitar lima puluhan, berpenampilan rapi dengan jas abu-abu gelap, sedang berdiri menatap ke arahnya. Wibawanya langsung terasa.
"Silakan duduk," ucap pria itu, menunjuk kursi di hadapan mejanya.
"Terima kasih," balas Amira pelan, lalu duduk sambil menunduk sopan. Ia mencoba mengatur nafas. Dalam hati berguman, ini pasti ayahnya... pasti ini orang yang sedang mencari ibu susu untuk bayinya.
"Perkenalkan, saya Genta. Kepala pelayan di rumah ini. Saya ditugaskan untuk mewawancarai semua kandidat yang datang."
Amira terhenyak. Kepala pelayan? Kalau kepala pelayannya saja seperti ini lalu bagaimana majikannya?
Pak Genta lalu menatap Amira dengan tenang. Tak banyak basa-basi, hanya satu pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
"Jika Nona diterima, apakah bersedia tinggal di rumah ini?"
"Saya bersedia."
Pak Genta tersenyum tipis, puas dengan jawaban itu. "Baik. Prosesnya sederhana. Setelah ini, Nona akan kami antar menemui bayi yang sedang membutuhkan ibu susu. Kami menyebutnya Tuan Kecil."
Amira mengerutkan kening, agak kikuk mendengar panggilan itu. Tuan Kecil? Hatinya sempat berdesir geli, tapi ia sadar ini rumah orang kaya, dan mungkin memang begitu cara mereka menyebut anggota keluarga.
"Jika bayi itu tampak nyaman saat berada dalam pelukan Nona, maka tanpa perlu tahapan lain, Nona akan langsung diterima. Kami percaya naluri anak tak pernah bohong."
Amira mengangguk pelan, "Baik, Pak."
Pak Genta berdiri. "Kalau begitu, mari saya antar. Tuan Kecil sedang di ruang perawatan bersama pengasuhnya."
Dengan hati yang berdebar lagi, Amira mengikuti Pak Genta keluar dari ruangan itu. Ia belum tahu, hari berikutnya bukan hanya sekadar diterima menjadi ibu susu, tapi juga...
...*****...
"Bagaimana?"
"Tuan kecil sudah menemukan ibu susu, Tuan muda. Tadi saat tes kenyamanan, Tuan kecil begitu nyaman." Tutur Pak Genta.
"Bagus."
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!