NovelToon NovelToon

Jangan Main HP!!!

Bab 1: Kota Ravenswood

Hari itu akhir musim semi, semburat jingga di ufuk barat nampak sangat indah, begitupun dengan kota Ravenswood yang sudah dipenuhi gemerlap lampu. Seorang gadis berambut ikal sebahu terburu-buru pulang ke rumahnya yang terletak di ujung kota.

Untuk bisa sampai di rumah dia harus melewati sebuah jembatan dimana di bawahnya sungai mengalir deras. Tangannya menenteng kresek hitam berisi belanjaan pesanan ibunya, dia sebenarnya baru pulang kerja dan singgah sebentar di toserba di persimpangan dekat lampu merah.

"Varania! Hei, tunggu sebentar!"

Itu suara paman Boyd, tetangganya yang amat ramah. Gadis itu berhenti dan berbalik ke belakang,

"Hai, paman." Sapanya ramah, dia berjalan beriringan dengan Boyd sembari mengobrol santai.

"Hari ini pulang telat, ran?" Tanya Boyd mengecek jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Yeah..." Varania menghela nafas lelah, dia tersenyum lembut dan berkata, "Sulit untuk pulang tepat waktu kalau bos datang ke kafe."

" Aku bisa bantu kalau kamu mau pindah kerja."

"Terimakasih, paman. Akan aku pikirkan lagi." Kata Varania. Ia tentu sudah lama mendengar bahwa Boyd orang kaya, katanya sih miliarder. Varania hanya tidak mengerti kenapa orang kaya seperti Boyd tinggal di kota kecil Ravenswood.

Ah, barangkali dia ingin suasana yang tenang. Kata ibu suatu hari ketika Varania bertanya tentang Boyd. Aneh sekali, jika ingin tenang Boyd seharusnya tidak akan datang kesini, kota Ravenswood jauh dari kata tenang, kecuali malam hari.

Di Ravenswood, ada satu larangan yang menurut Varania cukup aneh dimana para warga dilarang main HP malam hari, bahkan hanya sekedar membuka untuk mengecek pesan tidak boleh.

Semua HP yang ada di Ravenswood harus di nonaktifkan saat malam tiba.

Selain tidak mengerti, Varania juga tidak punya waktu untuk membuang waktu dengan bermain HP. Ia cukup sibuk saat siang dan lebih sibuk lagi saat malam. Varania harus menolong ibunya membuat steak meals pesanan orang-orang dan terkadang mengantarkan pesanan yang delivery.

Varania baru bisa istirahat saat jam menunjukkan angka pukul dua belas, dia langsung tidur dan besok pagi harus bangun untuk kembali bekerja.

"Di kantorku posisi admin sedang kosong, barangkali kamu tertarik?" Suara Boyd kembali terdengar dan rumah mereka juga sudah kelihatan.

"Gajinya lumayan dan tidak harus pulang hampir malam begini." Boyd melanjutkan, dia tergesa-gesa mengeluarkan selembar kertas lalu menyodorkan pada Varania.

Varania dan mengambilnya. Ia hanya membaca sekilas sebelum memasukkan ke dalam totebag. Berisi formulir pendaftaran dan sebuah alamat. Kantornya terletak di dekat perbatasan Ravenswood dan kota lain.

"Selamat malam, paman." Kata Varania ketika sampai di dekat rumah,

"Malam, ran." Boyd melambaikan tangan, menggeser gerbang rumahnya dan menghilang di balik pintu.

Varania dia juga segera masuk, melewati ruang keluarga yang kosong dan terus berjalan ke kamarnya. Ia meletakkan tas diatas tempat tidur, mengganti bajunya dengan pakaian santai kemudian kembali ke luar dan pergi ke dapur.

Varania mengurungkan niatnya untuk keluar, ia mengerutkan dahi, berpikir; kenapa jendela belum di tutup? Ia melangkah lebar kesana,

"Apa ini?" Tanyanya dalam hati memperhatikan dengan seksama bekas telapak tangan di kaca jendela. Ia melihat warna merah dan lumpur yang mengering bersama bekas telapak tangan itu.

Varania membawa telapak tangan kanannya ke kaca, mencocokkan dengan jejak tersebut. Tidak cocok, jejak itu lebih besar dari telapak tangannya.

"Ran, cepat kesini!" Suara ibu yang memanggil dari luar membuat gadis itu bergegas keluar setelah mengunci jendela.

"Ada apa, bu?" Tanya Varania menghampiri sang ibu.

Wanita paruh baya memakai celemek hijau kusam itu menoleh, ada saos tomat seukuran jari di bawah bibirnya.

"Kemari, ran, tolong antarkan ke rumah sheriff." Ibu memberikan satu dus ukuran sedang ke tangan Varania, juga menyelipkan kunci motor.

"Ini saja?" Tanya Varania.

"Iya, satu jam lagi kamu juga harus mengantarkan ke perbatasan, ada tentara penjaga disana." Kata Ibu lalu kembali ke dapur.

Ravenswood memiliki tentara penjaga?

Varania mengambil helm dan bergegas pergi mengantarkan pesanan.

Sheriff Austin, polisi yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun di kota Ravenswood. Pria paruh baya itu adalah teman ibunya, tapi tentu Varania tidak akan percaya begitu saja.

Tidak ada teman yang seromantis ibunya dan Sheriff Austin. Varania bukan lagi anak kecil yang tidak mengerti apa-apa, ia tahu ibunya sedang menjalin hubungan dengan Sheriff Austin.

Saat matahari sepenuhnya tenggelam, Varania tiba di rumah minimalis Sheriff. Ia memarkir motornya, menyimpan kuncinya dalam saku celana dan mengambil dus lalu membawanya ke rumah itu.

Ting... Tong...

Varania menekan bel dua kali, sambil menunggu gadis itu mengamati rumah putih dua tingkat yang ada di seberang jalan. Ia selalu penasaran dengan rumah itu, kata ibunya rumah itu sudah kosong sejak lama.

Tiba-tiba gorden jendela lantai dua bergerak, sepasang tangan putih pucat muncul disana dan sepasang mata hitam pekat menatap Varania tanpa berkedip.

"Eh, ran, masuk dulu." Celine membuka gerbang mempersilahkan Varania masuk dengan ramah. Gadis cantik seumuran Varania itu adalah anak kedua Sheriff Austin, dia sedang kuliah di kota lain dan saat ini pulang karena ada libur panjang.

" Lain kali aja. Ini pesanannya, aku harus pergi ke tempat lain." Kata Varania mengalihkan pandangan dari rumah putih itu, jantungnya masih berpacu cepat.

"Apa aku boleh ikut? Aku bosan di rumah, boleh kan? Ayolah, aku cuma kenal kamu disini." Kata Celine terdengar memohon.

"boleh," Varania tidak bisa menolak. Lagipula lebih baik ada teman saat dia pergi mengantarkan pesanan ke perbatasan.

"Terimakasih, ran. Ini uangnya," Celine menyerahkan uang pesanannya sambil tersenyum senang, "aku simpan dulu ke dalam, tunggu sebentar."

Varania mengangguk, ia melirik ke lantai dua rumah putih dengan takut-takut. Tidak ada apa-apa. Tirai masih tertutup.

"Ayo," Celine kembali muncul memakai jaket dan celana panjang.

Varania mengangguk, ia naik ke atas motornya, ia juga melirik ke lantai dua rumah putih itu. Kosong. Ah, mungkin memang salah lihat.

Bab 2 : kata ibu jangan buka HP

Varania mengendarai motornya meninggalkan rumah Celine. Sambil mengamati situasi lalu lintas yang tidak terlalu padat, dia mengobrol bersama Celine.

"Kamu tahu nggak siapa pemilik rumah bercat putih di seberang rumahmu?" Tanya Varania mengeraskan suara supaya Celine yang duduk di belakangnya bisa mendengar dengan jelas.

"Nggak tahu. Kata papaku rumah itu memang sudah lama kosong, nggak ada yang tinggal disana." Celine menjawab dengan suara yang tidak kalah keras.

Varania memikirkan kembali orang yang dia lihat di lantai dua rumah itu, kalau rumah itu kosong siapa yang tadi Varania lihat? Varania menggeleng, tidak mau terlalu memikirkannya. Palingan hanya salah lihat karena sudah malam dan Varania juga sudah lumayan lelah.

Varania mempercepat laju motor. Kota Ravenswood hanyalah kota kecil, hanya membutuhkan waktu dua jam untuk mengelilingi kota itu.

Sementara dari rumah Varania ke pos perbatasan sekitar dua puluh lima menit jika menggunakan sepeda motor.

Ting...

Varania menekan cepat rem dan klakson motor saat di depan sana seorang nenek menyebrang jalan tanpa memperhatikan sekitarnya.

"Astaga! Hampir aja nabrak," ucap Celine mengusap dadanya lalu turun dari motor. Varania menghentikan motornya di pinggir jalan. Keduanya dengan cepat menghampiri si nenek.

"Nenek mau kemana? Kita bantu nyebrang deh," Celine menggamit lengan kurus si nenek, Varania mengangkat tangannya sebagai tanda agar para pengendara yang lewat untuk memperlambat laju kendaraan mereka.

" Dia datang..." Nenek bergumam dengan suara lirih. Celine dan Varania saling pandang,

Siapa yang datang?

Keduanya sama-sama menggeleng karena tidak mengerti.

"Rumah nenek dimana?" Tanya Varania sembari memperhatikan sekelilingnya, tidak ada satupun rumah disini. "kalau masih jauh, aku anterin pakai motor aja." Sarannya.

"Dia datang," Si nenek tiba-tiba berhenti, lalu menatap tajam dua gadis itu. Varania tersurut mundur karena kaget. Tatapan nenek itu sangat tajam dengan matanya yang masih sangat jernih kendati usianya sudah lanjut.

Si nenek melepaskan tangannya, lalu setelah menatap tajam untuk terakhir kalinya pada Celine dan Varania, nenek itu melangkah pergi dan dalam sekejap sudah berada beberapa langkah di depan.

"Nek!" Panggil Celine.

Tidak ada sahutan, nenek itu terus melangkah tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.

"Udahlah, palingan tuh nenek mau jalan-jalan malam." Celetuk Celine tidak mau ambil pusing.

Varania mengangguk setuju, mereka kembali naik ke atas lalu melanjutkan perjalanan ke perbatasan yang sempat tertunda.

---

Varania baru pulang mengantarkan pesanan di perbatasan, tentara penjaga disana sangat ramah dan baik hati. Mereka bahkan memberi Varania tips yang lumayan banyak.

"Aku harus segera mencari informasi tentang beberapa kampus, mungkin ada yang menarik perhatianku." Gumam Varania mengambil ponselnya dari atas meja belajar kemudian membawanya ke tempat tidur.

Varania sudah lulus SMA tahun lalu, sejak lulus dia sudah bekerja untuk mengumpulkan uang agar bisa kuliah. Sekarang uangnya sudah lumayan untuk mendaftar dan membayar satu semester mungkin cukup.

Rencananya setelah diterima di salah satu kampus, Varania akan kerja part time untuk mencukupi biaya kuliahnya. Semoga saja ada kampus dengan biaya yang tidak terlalu mahal.

Sambil tidur telungkup Varania mengaktifkan ponselnya.

"Vara, apa yang kamu lakukan?!" Bentak Matilda, ibu Varania yang tiba-tiba saja sudah ada di dalam kamarnya. Matilda mengambil ponsel dari tangan anaknya, dan kembali mematikannya.

Varania mengubah posisi menjadi duduk, dia menatap Matilda sengit, "kembalikan ponselku. Ibu apa-apaan sih, aku cuma mau mencari informasi tentang kampus."

"Ibu sudah pernah bilang sama kamu, disini tidak boleh main hp malam hari. Ibu akan menyimpan ponsel ini, besok pagi kamu boleh mengambilnya." Kata Matilda tegas.

"Kenapa nggak boleh? Aku nggak aneh-aneh kok, cuma mau mencari informasi seputar kampus. Hanya itu, nggak lebih." Varania mencoba meyakinkan Matilda supaya mau mengembalikan ponselnya.

"Tidur, Vara. Ambil ponselmu besok pagi." Matilda meninggalkan kamar Varania dan menguncinya dari luar.

" Selamat malam Vara," bisik Matilda lembut dari luar pintu, setelah itu Matilda pergi ke kamarnya.

Varania menghembuskan nafas panjang, dia duduk dengan wajah ditekuk.

Dilarang menyalakan ponsel di malam hari, larangan itu sudah ada sejak dulu. Bahkan sebelum Varania tinggal di kota ini, larangan itu sudah ada.

Ravenswood dengan segala aturan anehnya yang terkadang tidak bisa Varania mengerti.

Sampai sekarang Varania masih bertanya-tanya kenapa ada larangan itu disini? Kenapa harus dilarang? Kalau menyalakan ponsel di malam hari apa yang akan terjadi?

Diluar angin berdesir kencang membuat ranting bunga di dekat jendela kamar Varania bergerak-gerak dan menimbulkan suara seperti orang memukul di jendela.

Varania mengabaikan suara berisik itu, dia sudah terbiasa dengan angin yang berhembus kencang setelah pukul dua belas malam.

Kata ibunya, angin yang bertiup kencang di malam hari pertanda semua orang harus tidur dan tidak boleh terjaga apalagi sampai menyalakan ponsel.

Varania meraih selimut abu-abu yang tersimpan dalam lemari, membawanya ke tempat tidur dan membungkus tubuhnya dengan selimut tersebut.

Semoga alam melindunginya kita.

Bisik Varania mengucapkan kalimat yang diajarkan ibunya untuk menangkal marabahaya.

Alam mengasihi manusia yang berbaik hati kepada mereka, Matilda selalu mengajarkan Varania untuk menghormati alam dan menganggapnya sebagai kebaikan yang harus dihargai.

Dalam cahaya lampu tidur remang-remang mata Varania mulai berat, angin sedikit masuk melalui ventilasi dan meniup lembut wajahnya semakin menghantarkan Varania ke alam mimpi.

Bab 3 : kematian misterius nenek tua

Jam dinding yang dipasang menempel tepat di atas pintu baru menunjukkan pukul setengah enam pagi, suara pintu yang dibuka dengan keras membuat Varania yang sedang tertidur pulas terlonjak kaget dan refleks langsung duduk.

"Duh...Bu, kenapa sih pagi-pagi udah ribut aja? Aku masih ngantuk, biasanya juga aku bangunnya jam tujuh." Keluh Varania berbaring kembali hendak melanjutkan tidur, matanya masih berat dan lagi pula jam tidurnya masih ada sekitar setengah satu setengah jam lagi.

Matilda tidak membiarkan Varania tidur, dia menarik tangan Varania lalu berseru galak, " bangun, vara! Ada yang meninggal, kita harus pergi melayat sekarang."

"Hah? Siapa? Terus kenapa pergi melayatnya pagi banget?" Tanya Varania menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal.

"Jangan banyak tanya. Cuci muka dan ganti baju, setelah itu kita berangkat." Matilda menarik Varania dari tempat tidur lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi.

"Cepat vara."

Huft!

Varania menghembuskan nafas panjang, ia menatap wajahnya di kaca kamar mandi sambil menyisir rambut dengan jemarinya.

Tidak ingin mendapatkan amukan dari ibunya, Varania menggosok gigi dan mencuci muka dengan cepat. Varania mengambil satu set pakaian hitam yang selalu tergantung di sudut kamar. Pakaian untuk pergi melayat.

Varania memakai celana dan baju hitam tersebut, kemudian juga mengikatkan ikat kepala berwarna senada dari kening hingga belakang kepala.

Sejak pindah ke Ravenswood, sudah tidak terhitung berapa kali Varania mengenakan pakaian ini. Setiap ada yang meninggal ia akan memakainya.

"Vara, ayo cepat!" Desak Matilda muncul di pintu, dia juga sudah berganti pakaian.

"Iya, Bu." Varania menghampiri sang ibu dengan wajah muram.

"Siapa yang meninggal Bu?" Tanya Varania setelah keluar rumah, mereka akan berjalan kaki ke rumah duka yang terletak di dekat jembatan.

"Kamu ini banyak nanya, ikut aja dan jangan berisik." Kata Matilda dingin.

Varania mengangguk malas, matanya menatap sekelilingnya. Banyak orang berpakaian hitam berjalan menuju arah yang sama, rumah duka dekat jembatan.

Varania melirik ibunya yang memasang wajah dingin, lalu saat dia memperhatikan wajah orang lain, mereka juga memiliki wajah dingin.

Itu pemandangan biasa. Setiap kali ada orang yang meninggal, semua orang akan berwajah dingin.

"Vara," Celine yang sudah lebih dulu tiba di rumah duka langsung menghampiri Varania saat melihat gadis itu masuk melewati pintu yang penuh sesak.

"Aku akan duduk bersama Celine, Bu." Kata Varania.

Matilda mengangguk. Varania bersama Celine berjalan ke kursi yang masih kosong di sudut rumah duka.

"Kamu tahu siapa yang meninggal?" Tanya Varania berbisik.

"Aku nggak tahu, papa tidak mengatakan apa-apa." Jawab Celine pelan.

Orang-orang mulai memenuhi rumah duka dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Saat kursi terakhir terisi, pintu hitam tertutup dan tidak membiarkan siapapun masuk.

Varania menghembuskan nafas beratnya, ia tetap tidak terbiasa dengan suasana aneh itu meski sudah berada dalam situasi yang sama berkali-kali.

Mereka terlalu berlebihan dan seharusnya membiarkan para pelayat masuk meskipun kursi telah penuh.

"Kenapa vara?" Tanya Celine melihat Varania linglung.

"Nggak. Aku sedang memikirkan siapa yang meninggal," ucap Varania sambil menatap pintu putih di depan, dibalik pintu itu adalah ruangan jenazah.

Orang yang meninggal akan dibawa kesana oleh petugas jenazah tanpa sepengetahuan siapapun. Saat jenazah sudah ada disana, kabar duka akan disampaikan kepada orang banyak.

Tidak ada yang tahu seperti apa di dalam ruang jenazah itu, tidak ada yang boleh masuk selain empat orang petugas jenazah.

Setelah jenazah dibersihkan dan diberi pakaian yang layak, kepala petugas jenazah akan membawa jenazah keluar untuk diperlihatkan kepada para pelayat.

Setengah jam sudah Varania duduk, belum ada tanda-tanda pintu terbuka.

Kenapa kali ini lebih lama dari biasanya? Tanya Varania dalam hati.

Tepat setelah itu, pintu putih terbuka, seorang pria paruh baya memakai jubah hitam melangkah keluar sambil merangkul wanita lanjut usia.

Wanita itu memakai baju panjang dengan motif bunga, rambut putihnya tergerai bebas hingga menjuntai di kedua sisi tubuhnya. Wajahnya di dandani dengan baik, tetapi tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada dirinya.

Kepala petugas jenazah bernama Birsha, dia sudah lama mengabdikan diri di rumah duka. Birsha berjalan perlahan bersama jenazah itu, membawanya ke tengah-tengah rumah duka agar semua orang bisa melihatnya.

"I-itu kan nenek tua tadi malam?" Varania masih ingat dengan wajah nenek yang tadi malam Celine bantu menyebrang.

Nenek itu juga menakuti Varania dengan tatapan tajam dan kata-kata anehnya.

Varania mengamati lebih jelas wajah itu ketika Barsha melewati kursinya.

Dia benar-benar meninggal!

"Cel-"

"Ssstt! Jangan ngomong," Celine mencubit pelan lengan Varania.

Varania mengatupkan mulutnya, matanya terus mengikuti Barsha yang membawa nenek itu mengelilingi pelayat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!