NovelToon NovelToon

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

1. Tahun 1927

“Syaratnya tidak sulit, Ndoro Ayu. Hanya harus seperti bulus,” ucap Ki Jayengrana dengan suaranya yang berat dan pelan.

Ia duduk bersila di atas tikar pandan, di dalam sebuah gubuk tua yang reot. Nyonya Sumi berdiri di hadapannya, anggun dengan kebaya beludru hitam dan kain batik sogan yang membalut tubuh rampingnya.

Wajahnya cantik dan tenang, namun dari matanya yang tajam terselip kegelisahan. Ia perempuan bangsawan dari trah Prawiratama, terpandang dan disegani. Namun satu hal mencemari nama baik keluarganya—ia tak kunjung memiliki keturunan.

"Bulus?" tanyanya lirih, seperti memastikan ia tak salah dengar.

Dukun itu mengangguk pelan. Ia mengusap janggutnya, lalu menatap perempuan di depannya tanpa sungkan.

Matanya yang keruh tapi tajam mengikuti setiap gerakan Sumi—leher jenjangnya, pinggul yang membulat, dan jemari halus yang memegang erat tas kecil mewah.

"Benar, Ndoro. Telur bulus dikubur dalam tanah, lalu menetas sendiri, tanpa bantuan sang induk. Anak-anaknya lahir dari kubur. Jika Ndoro ingin seorang anak, maka Ndoro pun harus melahirkan di tanah."

Angin mendesir, membuat lampu minyak bergoyang. Bayangan mereka bergerak-gerak di dinding bambu, seperti dua arwah yang sedang bernegosiasi dalam senyap.

"Apa lagi syaratnya?" tanya Sumi, kali ini dengan suara yang lebih tegas, meski ada gemetar halus di ujung nadanya.

"Syarat awal, Ndoro harus menelan telur bulus mentah-mentah, selama tujuh hari berturut-turut."

Pria tua itu berhenti sejenak, mengamati reaksi Sumi yang tampak jijik.

"Selanjutnya, Ndoro harus mandi di sendang tua selama tujuh malam berturut-turut, Tanpa busana, hanya dihiasi bunga kenanga, melati, dan mawar. Air sendang akan membuka jalan antara tubuh dan tanah."

Ia berhenti lagi, tersenyum saat Sumi mengangguk.

"Itu saja, mudah, bukan?”

“Tidak ada tumbal?” tanya Sumi ragu-ragu.

“Tidak ada. Seperti yang disebutkan di awal, Ndoro tidak mau ritual yang ada tumbalnya, to?”

"Dan anakku ... akan lahir di tanah?"

"Ya," jawab sang dukun. "Di liang yang akan Ndoro gali. Seperti bulus. Bukan di tempat tidur Ndoro yang mewah."

Perempuan ningrat itu menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap sang dukun penuh keraguan, namun juga harapan.

Mungkin ini satu-satunya cara. Ia sudah lelah dengan ramuan tabib, doa para pemuka agama, dan tatapan mengejek dari istri muda suaminya yang katanya mulai menunjukkan tanda mengandung.

"Aku setuju," ucap Sumi akhirnya.

Dukun itu mengangguk. Sebelum ritual dimulai, sang dukun mengambil lipatan kain hitam yang disimpan dalam wadah tanah liat, dan menyerahkannya kepada Sumi.

Kain itu berbau aneh—seperti campuran kemenyan, tanah basah, dan anyir. Dilipat rapi, namun saat disentuh, terasa seperti berlumpur dan licin.

"Ndoro Ayu balut tubuh Panjenengan dengan kemben dan jarik ini. Biarkan tubuh menyatu langsung dengan tanah, air, dan angin."

Sumi mengernyit pelan, menatap kain di tangannya. Tapi ia tidak bertanya, satu hal yang ia inginkan adalah lebih cepat menyelesaikan ritual pertama, dan lebih cepat meninggalkan tempat itu.

Di sudut gubuk, hanya disekat dinding anyaman bambu tipis dan tirai goni, terdapat bilik kecil yang merupakan tempat tidur Ki Jayengrana.

Sumi melangkah masuk ke sana dengan jijik, dan menutup tirainya perlahan. Di dalamnya gelap, hanya diterangi cahaya lampu minyak yang menerobos lubang-lubang di dinding.

Ia mulai melepaskan kebayanya. Lalu stagen yang membelit pinggangnya, satu demi satu dilucuti. Kulitnya yang hangat menggigil saat dibelai angin tipis dari sela dinging bambu.

Sementara itu, dari luar bilik, Ki Jayengrana pura-pura sibuk menyiapkan sesaji. Tapi matanya mengintip pada lubang di dinding anyaman bambu yang telah berjamur.

Ia tahu kapan harus berpaling jika terdengar suara langkah. Tapi sekarang sunyi. Sunyi dan menggoda.

Dari sela bambu itu, ia melihat—kilasan kulit kuning langsat, bahu yang terbuka, bayangan lekuk indah yang hanya terbingkai kemben tipis dan kain lusuh pemberiannya.

Ia menarik napas dalam-dalam, pelan, seperti mencicipi aroma tubuh perempuan yang dulu hanya bisa ia dengar lewat cerita orang-orang pasar tentang kecantikan garwo padmi dari keluarga Prawiratama.

Samar-samar wangi melati itu memenuhi indera penciumannya, menggugah hasrat yang semakin sulit ditahan.

Dengan cepat, sang dukun berbalik dan berpura-pura menabur bunga di atas tikar saat Sumi selesai melilitkan kain.

Tatapannya tenang, meski jantungnya masih berdebar oleh apa yang baru saja ia lihat.

Sumi keluar dari bilik. Tubuhnya kini terbungkus kemben dan jarik hitam basah yang melekat ke tubuh, membentuk siluet yang menggoda disorot cahaya lampu minyak.

Ki Jayengrana berdiri, mengambil telur bulus dari wadah tembikar yang diselimuti kain hitam.

"Ndoro Ayu… sudah siap, to?" Suaranya terdengar serak, di jari-jarinya yang panjang dan kurus, tergenggam sebutir telur bulus sebesar kepalan anak kecil.

Sumi menelan ludah. Ia duduk di atas tikar pandan yang sudah usang, di tengah gubuk tua itu, diterangi nyala lampu minyak yang redup.

"Telur ini," ucap sang dukun sambil menimang, "adalah pintu. Pintu untuk perjanjian yang tak bisa dibatalkan."

Ia berjalan mengelilingi Sumi tiga kali, menaburkan bunga kenanga, melati, mawar, dan tanah.

"Selama tujuh malam berturut-turut, Ndoro Ayu harus menelan satu telur bulus mentah. Tidak boleh dikunyah. Tidak boleh diludah. Langsung telan. Jika gagal … kita ulang dari awal."

Sumi mengangguk pelan, meski wajahnya memucat.

"Apa tak ada cara lain?" bisiknya, hampir tak terdengar.

Tidak ada, ini agar Ndoro ketularan subur seperti bulus."

Sumi memejamkan mata, mencoba menahan geli yang menyelinap dari tengkuknya ke lambung. Bayangan telur itu pecah di dalam mulut membuat perutnya mual, tapi … harga dirinya lebih besar dari rasa jijik itu.

Ia adalah garwo padmi—istri utama keluarga Prawiratama. Di luar sana, istri muda mulai menumbuhkan harapan pada rahimnya. Ia tak bisa dikalahkan oleh perempuan dari kampung yang hanya dimenangkan oleh gairah suaminya.

"Aku sanggupi."

Sang dukun mengangguk. Ia kemudian mulai menata sesajen: kemenyan, kembang telon, kendi tanah liat berisi air sendang, dan satu helai rambut milik Sumi sendiri yang telah ia gulung dan simpulkan dalam bentuk pusaran.

"Duduklah bersila, menghadap langit-langit. Buka mulut Ndoro lebar-lebar. Biarkan telur ini menyuburkan rahim Ndoro."

Ia mengangkat telur bulus itu tinggi-tinggi, berbisik dalam bahasa Jawa kuno. Lantunan mantranya mendayu.

Lalu menatap ke bawah, memandangi leher jenjang Sumi, mulutnya yang terbuka, dan dada yang naik turun dengan berat.

Tangannya menyentuh dagu Sumi—terlalu lama untuk sekadar membetulkan posisi agar lebih mendongak, terlalu pelan untuk dianggap wajar.

Telur di tangannya menggantung di atas mulut Sumi, hanya berjarak sejengkal. Ia memejamkan mata, lalu—"Krek!"

Kulit telur pecah tepat di atas bibir Sumi. Lendir kental dan kuning telur jatuh ke mulut terbuka itu.

Sumi tersentak, hampir tersedak, tapi ia menahan diri. Rahangnya kaku saat ia menelan bulat-bulat telur bulus pertama dari tujuh yang dijanjikan.

"Bagus …," gumam sang dukun. "Satu sudah masuk. Enam lagi menuju rahim."

Ia menyeka sisa lendir di ujung bibir sang nyonya dengan ujung jarinya, lalu menjilatnya diam-diam saat Sumi masih memejamkan mata.

"Ndoro Ayu harus kuat … tubuh panjenengan terlalu indah untuk disia-siakan oleh nasib.

Sumi membuka mata, ia tak bisa berkata apa-apa. Dadanya naik turun semakin berat, rasanya telur itu masih menyangkut di tenggorokannya, membuatnya sesak napas.

Jemarinya yang lentik membekap kuat mulutnya sendiri, menahan keinginan muntah yang semakin kuat.

2. Lemah Teles (Tanah Basah)

Sensasi licin dan lengket dari cairan putih telur mentah yang kental melumuri seluruh rongga mulutnya. 

Rasa amis yang menyengat bercampur dengan bau lumpur—bau yang tak pernah ia bayangkan akan masuk ke dalam mulutnya yang terbiasa dengan hidangan bangsawan.

Perutnya bergolak hebat. Keringat dingin membanjiri seluruh tubuhnya, membuat kulit kuning langsatnya berkilau disorot cahaya lampu minyak. 

Ia merasakan dorongan kuat untuk muntah. Matanya mulai berair, wajahnya yang cantik kini pucat pasi.

"Jangan dimuntahkan, Ndoro Ayu," Ki Jayengrana berujar cepat. Suaranya menyiratkan kecemasan yang tidak dibuat-buat. . "Sangat sial jika Ndoro memuntahkannya. Bulus akan murka karena anak keturunannya akan terbuang sia-sia. Jangan pikirkan rasanya, Ndoro."

Tapi bagaimana mungkin Sumi tidak memikirkan rasanya? Telur mentah itu terasa seperti lendir yang hidup, dengan tekstur yang membuat bulu kuduk meremang—kental namun licin, dingin namun terasa aneh di tenggorokan. 

Bukan hanya amis, tapi juga pahit dengan sentuhan rasa lumpur. Seolah-olah ia sedang menelan sepotong rawa-rawa dalam bentuk paling menjijikkan.

Sumi menggeleng, mulutnya setengah terbuka, siap untuk memuntahkan segala isinya.

Wajah Ki Jayengrana mengeras. "Ndoro harus bisa! Kalau tidak, semua usaha ini sia-sia!"

Dengan panik, dukun tua itu meraih sebuah mangkuk kayu berisi air yang telah dicampur dengan ramuan-ramuan khusus. 

Ia mencelupkan jari-jarinya sambil merapalkan mantra-mantra dalam bahasa kuno dan meniupnya perlahan.

"Tahan, Ndoro. Bayangkan ini adalah jalan satu-satunya untuk menjaga kedudukan Ndoro sebagai garwo padmi. Bayangkan wajah bahagia Raden Mas Soedarsono saat Ndoro mengandung putranya. Bayangkan wajah iri para istri muda saat perut Ndoro membesar dengan pewaris sah Prawiratama.”

Kata-kata tentang istri muda seperti memantik sesuatu dalam diri Sumi. Ia membuka matanya, menatap langit-langit gubuk yang remang. 

Bayangan wajah sombong Pariyem—istri muda suaminya yang baru berusia delapan belas tahun—muncul dalam benaknya. 

Bagaimana perempuan kampung itu meliriknya dengan tatapan mengejek saat mereka berjumpa terakhir. Bagaimana bisik-bisik para pelayan yang mengatakan bahwa Pariyem mulai telat datang bulan.

Dengan tekad yang tiba-tiba muncul, Sumi menarik napas dalam-dalam dan menenangkan gejolak perutnya. 

Telur bulus yang nyaris dimuntahkannya meluncur kembali melalui tenggorokannya, terasa seperti menelan batu licin yang bergerak-gerak. Akhirnya, dengan satu tegukan terakhir, telur itu masuk ke dalam perutnya.

Tubuhnya ambruk ke belakang, terbaring di atas tikar dengan napas tersengal. Ki Jayengrana tersenyum puas. 

Ia cepat-cepat mengambil cangkir tembikar berisi air putih yang telah dicampur dengan madu hutan dan sedikit akar-akaran.

"Minumlah, Ndoro. Ini akan menghilangkan rasa tidak enak di mulut." 

Dengan patuh Sumi meneguknya. Air terasa manis dan segar, membilas sisa-sisa rasa amis dan tanah dari mulut Sumi. Tubuhnya yang lemas kembali terbaring sepenuhnya di atas tikar pandan yang kasar.

Dadanya naik turun dengan cepat, masih berusaha mengatur napasnya setelah perjuangan hebat menelan telur bulus. 

Peluh membasahi seluruh tubuhnya, membuat kemben dan jarik hitam itu menempel erat pada kulitnya yang halus.

Tiba-tiba, Sumi merasakan sensasi aneh di perutnya, tepat di bawah dadanya yang naik turun dengan berat. 

Seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak, menggeliat pelan. Awalnya terasa seperti gelitikan halus, namun semakin lama semakin terasa jelas—seolah telur itu kini hidup dan bergerak di dalam perutnya.

"Ki …," ucapnya panik dengan napas yang masih terengah, "Ada yang bergerak di perut saya!"

Ki Jayengrana mengangguk tenang, seolah hal itu sudah biasa terjadi. 

"Tenang saja, Ndoro. Ini pertanda baik. Telur bulus sedang mencari jalan ke rahim Ndoro."

Sumi menutup matanya, merasakan gerakan itu semakin sering. Sensasinya membuat seluruh tubuhnya meremang—antara ngeri dan takjub.

"Ki, kapan saya harus mandi di sendang?" tanyanya dengan suara terengah, mencoba mengalihkan perhatian dari sensasi aneh di perutnya. “Sendang yang mana?”

Wajah Ki Jayengrana berubah serius. "Soal sendang itu …," Ia terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Sendang Kedung Wulan, Ndoro. Tapi sudah lama ditutup."

"Tertutup? Apa maksudnya?"

"Sendang itu sekarang tertutup pepohonan dan belukar tinggi. Sudah hampir tiga puluh tahun tidak ada yang berani ke sana."

Sumi mencoba bangkit, bertumpu pada sikunya. "Kenapa tidak ada yang berani?"

Ki Jayengrana menghela napas panjang. "Tempat itu dikenal sebagai Lemah Teles oleh orang-orang tua dulu. Tanah Basah. Letaknya di lembah kecil di antara dua bukit, di bagian paling selatan dari tanah milik keluarga Belanda yang menguasai tanah itu."

"Kenapa disebut Lemah Teles?" tanya Sumi, rasa ingin tahunya mengalahkan ketidaknyamanan di perutnya.

"Karena tanahnya selalu basah, Ndoro. Bahkan di musim kemarau paling panjang sekalipun. Di sana ada mata air yang tak pernah kering. Konon, mata air itu berhubungan langsung dengan Laut Kidul."

Sumi mengernyitkan dahi. Sebagai perempuan terpelajar yang pernah belajar di sekolah Belanda, ia tahu bahwa hal itu tidak mungkin dari segi ilmu pengetahuan karena desa itu sangat jauh dari Laut Kidul. Namun ia juga cukup paham bahwa dalam dunia perdukunan, logika sering kali tidak berlaku.

"Lalu kenapa tempat itu ditutup?" tanyanya.

Ki Jayengrana terdiam lama, matanya menerawang jauh. Cahaya lampu minyak membuat bayangan-bayangan aneh di wajahnya yang keriput.

"Tahun seribu delapan ratus sembilan puluh tujuh, terjadi sesuatu di sana," ucapnya akhirnya, suaranya merendah menjadi bisikan. "Putri bungsu keluarga Belanda yang menguasai tanah, ditemukan mengambang di sendang itu, tidak bernyawa. Tubuhnya membiru, dengan bekas cengkeraman seperti tangan kecil di seluruh tubuhnya."

Dukun itu melirik Sumi, mengamati reaksinya sebelum melanjutkan. "Sejak saat itu, keluarga Van der Spoel dan pemerintah setempat menutup jalan ke sendang. Mereka mendatangkan pendeta untuk memberkati tempat itu, tapi tetap saja ... banyak kejadian aneh terjadi. Hingga akhirnya, mereka membiarkan pepohonan dan belukar menutupi seluruh area itu."

Sumi menelan ludah. Perutnya masih terasa bergerak-gerak, tapi kini perhatiannya terpusat pada cerita Ki Jayengrana.

"Lalu, bagaimana saya bisa mandi di sana jika tertutup?"

"Itulah masalahnya, Ndoro Ayu," jawab Ki Jayengrana. "Ndoro harus membuka tempat itu kembali. Ndoro bisa memanfaatkan kekayaan dan kedudukan Ndoro untuk membeli tanah di area tersebut dari keluarga Belanda itu. Mereka sudah lama ingin menjualnya, tapi tidak ada yang berani membeli."

Sumi tampak berpikir. "Apa tidak ada sendang lain yang bisa digunakan?"

Ki Jayengrana menggeleng tegas. "Harus sendang itu, Ndoro. Karena hanya di sana terdapat air yang bisa menyuburkan rahim Ndoro. Air yang sama yang membuat tanah di sekitarnya selalu basah dan subur. Lemah Teles adalah tempat suci bagi para bulus.”

Sumi menatap dukun itu dengan tatapan campuran antara takut dan penasaran. "Bagaimana Ki Jayengrana tahu tentang semua ini?"

Dukun tua itu tersenyum samar. "Karena leluhur saya adalah penjaga sendang itu, jauh sebelum tanah itu jatuh ke tangan Belanda. Kami, para keturunan Ki Djojosubroto, adalah penjaga rahasia Lemah Teles dan bulus-bulus keramatnya."

Keheningan menyelimuti ruangan itu. Di luar, suara jangkrik dan katak semakin riuh, diselingi dengan lolongan anjing dari kejauhan. 

Angin malam bertiup lebih kencang, membuat dinding bambu berderak dan atap ilalang bergesekan.

"Jadi saya harus membeli tanah itu?" tanya Sumi akhirnya.

"Ya, Ndoro. Dan harus segera. Ritual harus selesai sebelum bulan purnama berakhir."

Sumi menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Saya akan bicara dengan suami saya besok."

Ki Jayengrana mengangguk puas. "Bagus, Ndoro Ayu. Sementara itu, besok malam Ndoro datang lagi untuk menelan telur kedua."

Sumi mengerang pelan. Perutnya masih terasa aneh, seperti ada sesuatu yang berenang-renang di dalamnya. "Apakah ... rasa bergerak di perut ini akan terus ada?"

"Ya, Ndoro. Tapi Ndoro tidak perlu khawatir. Itu adalah kekuatan bulus yang sedang bekerja."

Dengan susah payah, Sumi mencoba bangkit dari tikar. Tubuhnya terasa lemas dan gemetar, seperti habis terserang demam tinggi. 

Ki Jayengrana membantunya berdiri dengan tangan-tangannya yang keriput—tangan yang bergerak terlalu lambat dan menyentuh terlalu banyak bagian tubuh Sumi yang seharusnya tak tersentuh.

"Ndoro sebaiknya segera berganti pakaian dan pulang. Tidak baik perempuan ningrat berkeliaran terlalu malam," ucap dukun itu, tatapannya mengikuti setiap gerakan Sumi yang perlahan berjalan ke arah bilik.

Dengan langkah gontai, Sumi memasuki bilik kecil itu dan mulai melepaskan kemben dan jarik hitam yang kini basah oleh keringat. Tubuhnya masih gemetar, antara lemas, jijik, dan rasa aneh yang terus bergerak di perutnya.

Sementara itu, Ki Jayengrana kembali mengintip dari celah dinding bambu, matanya berkilat dalam keremangan. Senyum tipis tersungging di bibirnya yang keriput.

"Enam hari lagi," bisiknya pada diri sendiri. "Dan Lemah Teles akan kembali terbuka."

Tanpa sepengetahuan Sumi, sesuatu telah terbangun di dalam dirinya. Sesuatu yang jauh lebih tua dan lapar dari yang pernah dibayangkannya.

3. Raden Mas Soedarsono

Malam telah jauh larut ketika Raden Ayu Sumi melangkah keluar dari pondok Ki Jayengrana. 

Tubuhnya masih lemah dan gemetar setelah mengalami ritual yang menguras tenaga dan mentalnya. 

Sensasi aneh di perutnya terus terasa—seperti ada sesuatu yang menggelitik, berputar pelan namun pasti.

Di luar pondok, cahaya lampu minyak menyambut kedatangannya. Mbok Sinem dan Pak Karto, sepasang suami istri yang telah mengabdi pada keluarga Prawiratama selama dua generasi, berdiri dengan patuh. 

Wajah mereka yang sudah berkeriput menunjukkan kekhawatiran melihat kondisi majikan mereka.

Mbok Sinem bergegas menghampiri, membawa selendang halus untuk menutupi bahu Sumi yang tampak lelah. "Ndoro Ayu, baik-baik saja?"

"Tidak apa-apa, Mbok," jawab Sumi pelan, suaranya masih serak. "Ayo kita pulang."

Pak Karto, pria tua dengan tubuh yang masih tegap meski usianya hampir enam puluh tahun, mengangguk dan mengangkat lampu minyak lebih tinggi untuk menerangi jalan setapak yang gelap. Ia berjalan di depan.

"Ngampunten, Ndoro. Biar saya bantu. Ndoro sakit?" tanya Mbok Sinem pelan, matanya yang sudah rabun memerhatikan wajah pucat majikannya.

Dengan hati-hati ia memapah majikannya yang berjalan sempoyongan, meski ia tahu bahwa seorang abdi tidak seharusnya menyentuh tubuh bangsawan sembarangan. Namun kekhawatirannya mengalahkan rasa sungkan.

"Tidak, Mbok. Hanya lelah," jawab Sumi singkat, tak ingin membahas apa yang baru saja terjadi.

Kereta kuda sudah menunggu di ujung jalan setapak, tersembunyi di balik pepohonan bambu agar tidak menarik perhatian penduduk desa yang mungkin melintas. 

Kusir yang juga merupakan abdi Prawiratama buru-buru turun, memastikan tangga kereta terpasang benar.

Tanpa banyak bicara, Sumi masuk ke dalam kereta, dibantu oleh Mbok Sinem yang masih mengawasi dengan cemas, sedang Pak Karto duduk di sisi kusir.

Perjalanan pulang terasa panjang dan sunyi. Sumi menyandarkan kepalanya pada bantalan kursi kereta, matanya terpejam, namun tidak bisa tidur. 

Rasa aneh di perutnya terus mengganggu—kini sudah sedikit mereda–hanya gelitikan lembut yang sesekali mengirimkan gelenyar ke seluruh tubuhnya.

Satu jam kemudian, kereta kuda memasuki kompleks Dalem Prawirataman, kediaman keluarga Prawiratama yang megah. 

Berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya yang sudah banyak terpengaruh arsitektur Belanda, Dalem Prawirataman masih mempertahankan gaya Jawa klasik.

Pendopo besar dengan delapan tiang utama menyambut setiap tamu yang datang. Di belakangnya terdapat pringgitan—ruang sebelum masuk ke area dalam rumah. 

Bagian dalam rumah atau dalem ageng dilengkapi dengan emperan yang luas dan beberapa gandok sebagai ruang tambahan. Semuanya dikelilingi oleh pekarangan luas yang ditanami berbagai tanaman hias dan pohon buah.

Semua lampu di rumah utama sudah dimatikan, kecuali beberapa lampu minyak yang dinyalakan oleh para abdi untuk menerangi jalan. 

Namun, Sumi melihat cahaya masih menyala terang dari arah gandok kulon—paviliun barat yang menjadi kediaman Pariyem, istri muda Raden Mas Soedarsono yang baru dinikahi enam bulan lalu.

Saat kereta berhenti di depan pendopo, telinga Sumi menangkap suara tawa perempuan yang melengking dari arah paviliun tersebut. Tawa yang diikuti oleh suara berat yang sangat dikenalnya—suara suaminya.

"Simbok langsung istirahat saja," ujar Sumi pada Mbok Sinem yang masih membantunya turun dari kereta.

"Sendika, Ndoro," jawab Mbok Sinem dengan mengangguk patuh, meski matanya melirik ke arah gandok kulon dengan tatapan tidak senang.

Dengan langkah pelan, Sumi berjalan menuju kamarnya di bagian tengah dalem ageng. Untuk mencapai kamarnya, ia memilih melewati area taman yang memisahkan rumah utama dan paviliun–gandok kulon yang ditinggali Pariyem.

Suara-suara dari kamar Pariyem semakin terdengar jelas—tawa riang, bisikan manja, dan sesekali suara berat suaminya yang diikuti kikikan Pariyem.

"Ndoro betul-betul kuat …."

"Kau memang pintar memuji, Yem."

"Tapi memang benar, Ndoro ... Bagaimana mungkin Ndoro Ayu dan Yu Lastri belum juga hamil kalau Ndoro sekuat ini … pasti mereka yang tidak bisa punya anak."

Mendengar namanya disebut, langkah Sumi terhenti. Tubuhnya menegang.

"Kalau begitu, saya yang akan melahirkan pewaris Prawiratama," suara Pariyem terdengar bersemangat. "Ndoro tidak perlu khawatir. Keluarga saya terkenal subur. Ibu saya melahirkan sembilan anak ...."

"Kita lihat saja nanti," jawab suaminya, diikuti tawa ringan. "Kalau kau bisa memberiku putra dalam satu tahun, aku akan memberikan tanah itu untukmu."

"Benarkah, Ndoro?" suara Pariyem meninggi penuh kegembiraan. "Tanah luas itu? Yang dekat dengan perkebunan tebu milik Belanda?"

"Ya, tapi harus putra, bukan putri."

"Tentu saja akan putra, Ndoro ... Saya akan memastikannya ..."

Tangan Sumi mencengkeram dinding kayu di sampingnya hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya yang lelah kini terasa panas. 

Tanah yang dimaksud adalah tanah pribadinya—warisan dari mendiang ayahnya, bukan milik keluarga Prawiratama. Dan kini suaminya dengan enteng menjanjikannya pada istri muda yang licik.

Dengan langkah gontai, ia bergegas menuju kamarnya, tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Begitu pintu kamar tertutup, Sumi merosot ke lantai, tubuhnya bergetar menahan amarah dan kesedihan.

Pagi datang dengan cepat. Cahaya matahari menembus celah-celah jendela berukir di kamar Raden Ayu Sumi. 

Suara kesibukan para abdi terdengar dari arah dapur—persiapan sarapan dan berbagai aktivitas rumah tangga telah dimulai sejak ayam pertama berkokok.

Sumi membuka mata, merasa sedikit lebih baik meski sensasi aneh di perutnya masih samar terasa. 

Ia bangkit perlahan, memandang ke luar jendela. Dari kamarnya, ia bisa melihat sebagian halaman belakang dalem yang luas, dengan kolam kecil dan berbagai tanaman bunga.

Mbok Sinem masuk setelah mengetuk pintu, membawa sebaskom air hangat untuk cuci muka dan secangkir teh jahe yang masih mengepul.

"Ndoro Ayu sudah bangun," ucapnya dengan senyum lega. "Saya kira Ndoro masih lelah dari semalam."

"Saya tidak apa-apa, Mbok," jawab Sumi, menerima teh yang disodorkan. "Hari ini ada banyak yang harus diurus."

Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi—mengenakan kebaya sutra berwarna biru langit dengan motif bunga kecil dan kain batik parang rusak—Sumi melangkah menuju ruang tengah. 

Seorang abdi dalem mendekat sambil membungkuk. "Ndoro Ayu, Ndoro Mas menunggu untuk sarapan bersama."

Di ruang makan, Raden Mas Soedarsono duduk dengan tenang, membaca surat kabar berbahasa Belanda. 

Usianya empat puluh tahun, tubuhnya tegap dengan kumis yang terawat rapi. Sebagai salah satu priyayi terpandang, ia mengenakan beskap hitam yang rapi, seperti hendak menghadiri pertemuan penting.

"Selamat pagi, Kangmas," sapa Sumi, duduk di kursi yang berseberangan dengan suaminya.

"Pagi, Diajeng," balas Soedarsono sambil melipat korannya. "Semalam pulang larut?"

Terdengar seperti pertanyaan biasa, namun Sumi bisa menangkap nada menyelidik di dalamnya.

"Ya, perjalanan pulang dari undangan puputan bayi tidak bagus, roda rusak," jawabnya dengan santai. "Hari ini Kangmas ada pertemuan di kadipaten?"

"Ya, dengan Bupati dan beberapa priyayi lain. Ada rencana pembangunan jalan baru dari arah selatan."

Percakapan mereka berlanjut seperti biasa, membahas politik kadipaten dan beberapa skandal bangsawan Jawa.

"Kangmas," Sumi memulai dengan hati-hati, setelah beberapa saat mereka menikmati sarapan, "saya dengar tanah di dekat Kedung Wulan masih milik keluarga Van der Spoel?"

Soedarsono mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan topik yang dibawa istrinya. "Benar. Kenapa tiba-tiba bertanya tentang tanah itu?"

"Saya ingin membelinya," jawab Sumi langsung. "Sebagai simpanan pribadi. Tanah warisan dari Romo sudah menghasilkan cukup banyak, saya ingin menggunakan uangnya untuk membeli tanah baru."

Kata-kata "tanah warisan" dan "simpanan pribadi" sengaja ditekankan, mengingatkan suaminya bahwa Sumi memiliki kekayaan pribadi di luar kekayaan keluarga Prawiratama. 

Sebagai perempuan bangsawan dari keluarga berada, Sumi memang membawa banyak harta ketika menikah—harta yang secara hukum adat tetap menjadi miliknya pribadi.

Soedarsono tampak memikirkan permintaan istrinya. "Area itu sudah lama tidak didatangi orang, Diajeng. Jalur ke sana tidak bagus."

"Tidak masalah, Kangmas," Sumi tersenyum tipis. "Nanti pelan-pelan bisa dibenahi. Saya ingin membuat kolam ikan di sana. Di sini jauh dari laut, harga ikan mahal. Air yang selalu ada akan sangat menguntungkan."

Tentu saja ini hanya alasan. Sumi tidak benar-benar berniat membuat kolam ikan. Yang ia butuhkan adalah akses ke sendang Kedung Wulan untuk ritual yang dianjurkan Ki Jayengrana.

"Baiklah," jawab Soedarsono akhirnya. "Terserah Diajeng saja kalau begitu."

"Terima kasih, Kangmas," Sumi tersenyum. "Kalau bisa, saya ingin melihat tanah itu hari ini. Sekadar meninjau."

"Pergilah dengan pengawal," Soedarsono menyetujui. "Tempat itu sudah lama tidak didatangi orang. Bawa Karto dan Mbah Joyo."

Begitu sarapan usai, seorang abdi mendekati dengan sopan, memberi tahu bahwa kereta Raden Mas sudah siap untuk membawanya ke kadipaten. 

Soedarsono bangkit sambil menatap istrinya, sejak tadi memperhatikan, rasanya ada yang berbeda dengan perempuan itu, tampak lebih menggoda.

Sumi memang cantik, tapi entah apa yang membuatnya berbeda kali ini. Soedarsono masih memandangi parasnya yang ayu dan kemudian sedikit membungkuk untuk berbisik, “Diajeng, atur ulang jadwal gilir nanti malam. Kangmas ingin Diajeng yang menemani. Diajeng cantik sekali pagi ini.”

Sumi terkejut dengan keinginan mendadak sang suami, sedang janji temunya dengan Ki Jayengrana tentu saja tidak bisa diundur–harus tujuh malam berturut-turut.

“Tapi Kangmas, nanti malam jatah untuk Lastri.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!