Hujan mulai mengguyur kota dengan derasnya, hingga tak nampak keindahan kota tersebut. Petir dan guntur yang menggelegar menghambat keinginan siapapun untuk meninggalkan rumah. Sesekali kilat memotret keadaan dunia saat itu.
“Cuaca buruk, seburuk hati ini,” keluh Qania.
Ia melirik ke arah photo yang masih terbingkai di meja belajarnya. Photo yang menggambarkan kemesraannya bersama Fandy yang dulu teramat dicintainya dan beberapa menit lalu menjadi kenangan terpedihnya. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa menit lalu.
Flashback on
“Aku itu sayang banget sama kamu Fand. Kamu mestinya sadar akan hal itu, aku mau kita baik-baik saja,” ungkap Qania kepada Fandy melalui percakapan telepon.
“Kalau kamu sayang, harusnya kamu ngertiin aku saat ini Qania. Aku sibuk, aku capek, bahkan aku sangat lelah ngadepin amarah kamu saat ini,” tandas Fandy.
“Harusnya aku yang ngomong gitu ke kamu Fand. Aku selalu ngertiin kamu tanpa dimengerti. Kamu sibuk sama teman-teman kamu aku sabar. Kamu nggak ngehubungin aku berhari-hari aku sabar. Kamu cuekin sms dan panggilan dari ku, aku nggak nyerah. Bahkan aku tahu kamu sama cewek lain aku nggak nuntut apa-apa Fand. Kurang apa lagi yang aku nggak ngertiin kamu?” Qania mulai meneteskan air mata diikuti intonasi yang tegas namun terdengar mulai parau akibat menahan tangis.
“Aku capek kamu emosian gini Qania. Aku kan udah bilang ke kamu aku nggak selingkuh, kalau kamu nuduh-nuduh gini aku malas bicara sama kamu,” tutur Fandy tanpa mengerti keadaan Qania.
“Bahkan kamu lupa hari ini hari apa Fand.” Qania menghela napas panjang dan menyeka air mata yang membasahi pipinya.
“Emang ada apa sih? Aku ngantuk,” kata Fandy yang merebahkan tubuhnya di atas kasur.
“Bukan hari apa-apa, ya sudah kamu tidur gih. Nggak usah peduliin aku,” jawab Qania yang sangat hancur.
Fandy mematikan telepon tanpa pusing akan Qania. Sikap Fandy memang berubah selama dua minggu belakangan ini. Fandy mulai menutup matanya dan tertidur. Sesaat adiknya Fany datang memasuki kamarnya.
“Ka Fandy bangun ....” kata Fany menggoyang-goyangkan tangan Fandy.
“Apa sih, kakak capek nih,” jawab Fandy yang kemudian duduk.
“Ka Fandy nggak ke rumah kak Qania?” Tanya Fany.
“Malas, ngapain juga? Ketemu udah sering,” jawab Fandy datar.
“Astaga kakak, kok gitu sih. Kakak pasti lagi suka-sukaan sama anak kompleks sebelah, ya kan? Namanya Adel kan?” Kata Fany yang menatap dalam mata Fandy seakan mengintimidasi sang kakak.
“Kenapa sih kamu Ny, kepo. Kakak mau tidur, sana keluar,” kata Fandy yang kembali berbaring sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Kakak kok tega sih. Kalau dekat aku pasti ke rumah kak Qania,” kata Fany yang masih duduk disebelah Fandy.
“Pergi sana, ngapain kamu sama Qania?” Tanya Fandy masih menutup tubuhnya.
“Kakak ini cowok apa sih? Cewek kan juga butuh diperhatiin. Apa lagi hari ini kak Qania ulang tahun, harusnya kak Fandy lagi sama dia nih,” kata Fany yang menutup pintu kamar Fandy dan menuju ke kamarnya. Fandy tersentak terduduk diam membisu mendengar perkataan sang adik.
“Astaga, Qania hari ini ulang tahun dan gue dirumah tanpa tahu itu,” kata Fandy yang berusaha meraih handphone disebelahnya. Fandy bermaksud mengirim sms ke Qania, namun terlebih dahulu ia mendapati sms dari Qania.
“Bahagia dengan dia sayang, aku tahu kamu sudah punya gadis lain yang bernama Adel. Jangan tinggalkan dia ya sayang. Aku milih ngalah loh buat kamu sama dia. Hampir mati aku ngambil keputusan ini, jadi kalau kamu putus sama dia, aku bisa mati. Makasih banget untuk semuanya selama tiga bulan ini Fandy, aku sayang kamu banget dan selalu. Tapi aku sadar aku udah nggak bisa menahan kamu untuk tinggal dihati ini, hati kamu udah terbagi. Maaf untuk semua kesalahanku dan aku udah maafin kamu kok, bahagia yah sama dia Fand.” SMS Qania yang membuat mata Fandy tak kuasa membendung air matanya.
“Qania, maafin gue. Gue khilaf sama Adel, gue sayang sama Lo tapi Lo udah ngakhirin semuanya. Lo adalah gadis terbaik yang pernah gue sayang. Maafin gue yang harus memberi catatan terburuk di hari ulang tahun kamu,” isak Fandy yang tak mampu memberi kata apapun untuk membalas sms dari Qania.
“Ohh ... iya kalau itu keputusan kamu,” balas Fandy.
Betapa berlipat-lipat kehancuran yang Qania rasakan saat ini, di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya. Lamunannya tersadar ketika dering telepon mengejutkannya. Dilihatnya nama penelepon dan itu berasal dari salah satu sahabat Fandy. Dengan menyeka air mata di pipinya dan berusaha menguatkan hati ia menjawab panggilan itu.
“Assalamu’alaikum Qania,” sapa Jerry.
“Wa’alaikum salam ka Jer,” balas Qania dengan suara parau.
“Qania kenapa, kok suaranya gitu? Lagi nangis atau ada masalah apa?” Serga Jerry.
“Aku baru saja putus ka Jer,” jawab Qania menahan tangis.
“Kok bisa Qan? Hmm, lebih baik seperti itu lah,” kata Jerry.
“Emang kenapa ka Jer? Kok lebih baik sih?” Tanya Qania.
“Aku salut samu kamu dek, kamu mampu mengambil keputusan berat untuk masa depan kamu. Kamu tahu, dia meninggalkanmu karena kamu tidak memberikan apa yang dia mau. Kamu mampu menahan keinginan bejatnya terhadapmu dan melepas harapanmu untuk memilikinya selamanya. Aku tahu, kamu sayang banget sama dia, tapi kalau dia sayang sama kamu, dia bahkan nggak berani nyentuh kamu apalagi berniat merusak tubuhmu Qania. Itu bukan cinta dek, tapi itu napsu dan beruntung kamu tidak termakan godaan hawa napsu itu. Bahagiakan orang tua Qania, ingat bahwa wanita yang baik akan mendapatkan yang baik pula. Utamakan pendidikan kamu dek, sudah semester empat loh, nggak lama lagi. Buat orang tua bangga dengan prestasimu, aku tahu kamu cerdas bahkan sangat cerdas. Jadi jangan hancurkan masa depanmu karena cinta yang seperti itu. Ingat pesanku, cinta itu karena Allah, nggak karena napsu. Jika dia menginginkanmu tanpa menikahimu terlebih dahulu, tinggalkan dia. Dia hanya merusak dan pemberi kesenangan sesaat. Aku rasa kamu cukup cerdas dalam mengkaji perkataanku Qania,” kata Jery panjang lebar mencoba menyadarkan dan menyemangati Qania yang sedang dalam keadaan hancur.
“Iyah, kak Jerry benar. Setidaknya aku nggak boleh patah semangat dan berlarut dalam kesedihan dan mati bersama cinta yang bukan karena Allah. Hidupku terlalu sia-sia untuk bergalauan memikirkan kisah cinta yang telah berakhir. Aku sebaiknya dan memang lebih baik memikirkan pendidikan dan terfokus pada kuliahku. Aku berhak menjadi orang yang berbahagia tanpa Fandy yang hanya ingin menghancurkanku kak Jer. Makasih banget untuk nasihat kak Jerry. Aku mulai sadar akan posisiku yang tidak boleh terpuruk dalam keadaan. Move On dan buat inovasi baru dalam hidup,” ungkap Qania yang mulai melebarkan senyum.
“Dari awal aku ngelihat kamu, aku tahu kamu perempuan cerdas dan mempunyai masa depan cerah. Aku senang bisa kenal sama kamu. Fandy akan menyesal melihat keberhasilanmu nanti dek,” ungkap Jerry.
“Hahaha, masa iya kak?” Tawa Qania mulai menggati kepedihan.
“Ya, buktinya kamu yang tadinya sangat rapuh kembali tertawa nih,” ledek Jerry.
“Hahahaha, aduh jadi malu. Tapi benar sih kak Jer,” kata Qania yang kini tak henti-hentinya tertawa.
“Ya sudah, selamat ulang tahun Qania, doanya semoga cepat Move On, hahahaha,” ledek Jerry yang mulai tertawa.
“Aamiin, hahaha,” kata Qania.
“Aku nggak mau ikut-ikutan gila sama kamu Qania, aduh nggak banget deh, hehehe. Udah dulu yah, aku udah sukses buat kamu tertawa saat pipi kamu basah. Anggap saja kamu adikku, aku kakakmu. Bukan lagi karena Fandy temanku ya," kata Jerry.
“Siip kak Jer, sekali lagi makasih,” jawab Qania.
“Oke. Assalamu’alaikum,” kata Jerry
“Wa’alaikum salam,” jawab Qania dan Jerry mematikan teleponnya.
Qania merabahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan matanya, sesekali ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Kembali ia membuka kedua matanya dan menghela napas, ia mencoba mengobati rasa sesak dihatinya yang perlahan mulai menghilang namun masih sangat terasa menyakitkan.
'Tuhan tahu, Qania bisa lalui semua ini. Hanya perlu waktu saja karena obat dari segalanya adalah waktu. Toh bukan cuma kali ini Qania ngerasain pedih putus cinta. Come on Qania, kamu gadis kuat,' bisik Qania dalam hati mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Qania mulai memejamkan matanya lagi. Pikirannya terpusat pada semua kenangan indah bersama Fandy dulu, sesekali ada air yang keluar dari matanya. Fandy adalah satu-satunya pria yang selalu bersamanya 24 jam sehari dan 7 hari seminggu dibandingkan dengan pria yang sebelumya bersamanya.
“Tuhan, rasanya perih. Kuatkan aku Tuhan, aku nggak mau seperti ini, berlarut dalam kepedihan yang entah Fandynya juga ngerasain atau bahkan sedang dalam kesenangan karena aku telah membiarkannya bersama gadis lain. Aku nggak boleh kayak gini, aku harus berusaha ngelupain semuanya dan membuka lembaran baru untuk hidupku dan kebahagiaanku tentunya,” isak Qania yang beberapa saat terlelap.
Di tempat lain Fandy masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi hari ini dengan Qania. Ada rasa sesal dan teramat bersalah dalam dirinya, namun sedikit rasa senang karena ia bisa dengan mudah mengejar gadis impiannya Adel yang merupakan mantan kekasihnya sebelum Qania.
“Qania, maafin gue ya. Gue menyesal tapi Lo udah terlanjur tahu antara gue dan Adel. Lo pasti sakit karena gue dan gue terlalu jahat untuk Lo cintai dan sangat tak pantas untuk Lo maafin. Gue akan selalu mendoakanmu Qania, karena Lo akan selalu mendapatkan tempat di hatiku, meskipun gue tahu Lo nggak akan pernah mau lagi kembali bersamaku. Lo keras dan berprinsip, gue akan susah meraihmu apalagi bisa membangun apa yang telah hancur dan teramat menghancurkan hatimu. Tuhan, ini kenapa jadi kaya gini sih? Adel hanya untuk sementara tapi malah Qania yang ingin dipertahankan justru memilih mundur. Gueu bodoh banget sih,” keluh Fandy yang sedang memandangi handphonenya yang masih menampilkan sms dari Qania.
Kini Fandy dipenuhi rasa sesal atas perbuatannya. Tak sadar air matanya juga membasahi pipinya. Namun sebuah panggilan telepon menghentikan kegundahannya.
“Fandy, loe kemana aja sih?” Tanya Adel ketika Fandy menjawab teleponnya.
“Di rumah beb, kenapa?” Jawab Fandy dengan datar.
“Dari tadi gue smsin nggak dibales,” marah Adel.
“Maaf beb, gue baru bangun nih. Capek banget abis main futsal,” jawab Fandy lesu.
“Jangan-jangan kamu tadi pergi sama sih Civil itu. Hari ini kan dia ulang tahun,” serga Adel.
“Namanya Qania, Civil itu jurusannya di kampus. Kamu jangan asal nuduh ya,” sanggah Fandy. “Kamu tahu dari mana dia ulang tahun hari ini?” Tanya Fandy keheranan.
“Gue lihat tadi di facebook si Civil itu,” jawab Adel datar. “Gue juga bilang kalau lo sama gue udah pacaran dan gue mau dia ngejauhin lo, Fandy,” cerita Adel dengan bangga.
“Lo jahat banget sih Del. Lo ngomong apa aja sama Qania?” Tanya Fandy yang mulai emosi.
“Gue inbox dia, gue tanya lo masih pacaran sama Fandy katanya sih masih. Trus gue kirimin dia photo sms lo yang bilang kalau lo sama dia udah nggak ada hubungan apa-apa. Gitu aja,” cerita Adel tanpa merasa bersalah.
“Jadi kamu yang beri tahu Qania soal ini?” Tanya Fandy yang mulai meredam emosinya.
“Ya iyalah Fandy,” jawabnya enteng.
“Terus, kamu maunya apa?” Tanya Fandy dengan nada menggoda.
“Kamu akuin sama aku, kamu masih pacaran atau nggak sama si Civil itu,” jawab Adel.
“Udah enggak beb. Nggak percayaan banget sih. Aku tuh masih sayang banget sama kamu, makanya aku milih ninggalin Qania buat kamu,” jelas Fandy.
“Masa sih, nggak percaya tuh,” pancing Adel.
“Iya Del. Mau nggak jadi pacar gue?” Pinta Fandy.
“Asal lo serius nih,” tandas Adel.
“Seriuslah beb,” tukas Fandy.
“Demi apa?”
“Demi kamu Del.”
“Gombal loe Fan.”
“Loh kok gue gombal Del, gue serius nih. Mau nggak?” Tanya Fandy lagi.
“Mau nggak ya?” Kata Adel berbelit-belit.
“Itu sih terserah kamu,” ujar Fandy.
“Mau apa sih Fandy?” Tanya Adel yang berharap Fandy mengulangi memohon padanya.
“Adel, kamu mau jadi pacarku?” Ulang Fandy.
“Hehehe ....” Adel hanya tertawa.
“Yaa sudah, kamu nggak mau ya. Nggak apa-apa kok,” kata Faandy yang mulai malas.
“Yaa jangan ngambek dong,” kata Adel yang mulai khawatir kalau Fandy tak jadi memintanya menjadi pacar.
“Nggak kok Del, aku nggak bisa paksain kamu juga,” jawab Fandy datar.
“Iyaa Fandy, gue mau jadi pacar loe. Gue juga masih sayang banget sama lo Fandy,” jawab Adel sambil senyum-senyum.
“Serius Del?” Tanya Fandy yang terkejut.
“Iyah beb, gue serius,” jawab Adel meyakinkan Fandy.
“Makasih ya Del. Aku sayang kamu, dan aku nggak mau kita pisah lagi. Aku bakalan jagain kamu Del,” ungkap Fandy yang mulai kegirangan.
“Iyaa Fandy. Aku mau siap-siap tidur nih, kita smsan saja lah,” kata Adel yang merebahkan tubuhnya di atas kasur.
“Oke beb,” jawab Fandy yang kemudian mematikan telepon.
Fandy kini mulai melupakan Qania yang sedang terpuruk dalam kepedihan. Adel membuatnya lupa akan janji dan cintanya terhadap Qania.
“Maaf ya Qania, gue udah nggak bisa pertahanin lo,” kata Fandy yang mulai memejamkan matanya.
...🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻...
Terima kasih sudah membaca 🤗🤗🤗🤗
Pagi yang dingin membuat Qania mengurungkan niatnya untuk keluar kamar dan mandi. Matanya masih bengkak dan napasnya masih terasa sesak, hatinya hancur dan perasaannya begitu perih.
“Ternyata ini bukan mimpi” desah Qania.
Qania memberanikan dan menguatkan dirinya untuk bangkit dari tempat tidur dengan sebuah senyuman.
“Ayolah Qania, kamu gadis kuat, mahasiswi teknik lagi. Malu dong kalau lemah dan nggak bisa move on. Semangat Qania” ungkapnya mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Qania memutuskan untuk mandi, namun ketika ia melangkah menuju kamar mandi ia tak sengaja melirik photonya bersama Fandy. Ia melemparkan sebuah senyuman manis pada photo itu. Kemudian ia melangkah masuk kedalam kamar mandinya.
“Qan, kamu dimana? Lagi mandi ya?” teriak Elin, sahabatnya dan tetangganya yang sudah berada di dalam kamar Qania. “Nggak jawab lagi” kata Elin yang melangkah ke arah kamar mandi. “Ohh lagi mandi rupanya” kata Elin yang kembali berjalan dan duduk diatas tempat tidur Qania sambil mengutak-atik handphonenya.
Tak lama kemudian Qania keluar dari dalam kamar mandi dan terkejut melihat Elin yang sedang duduk di atas tempat tidurnya.
“Loh, Elin. Sudah lama ya disini? Kok nggak bilang-bilang sih mau kemari” kata Qania sambil tersenyum.
“Bosan dirumah. Kalau sama kamu aku nggak pernah bosan. Abis kamu orangnya nyenengin banget haha” jawab Elin. “Kamu ganti pakaian dulu” serga Elin.
“Oke. Jangan ngintip” ledek Qania.
“Ya ampun Qania, punya kita sama kali” kata Elin yang membalikkan badan. “Udah belum?” tanya Elin yang mulai tak nyaman.
“Udah sayong” kata Qania sambil menyisir rambutnya.
“Qan, aku lihat ada yang aneh deh” kata Elin yang melihat Qania dari cermin.
“Apa yang aneh Lin?” tanya Qania sedikit penasaran.
“Mata kamu kenapa bengkak banget Qan?” tanya Elin sambil terus menatap ke arah cermin.
Qania berhenti menyisir rambutnya dan menatap Elin dari cermin. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia berdiri dan duduk di samping Elin.
“Semalam aku putus sama Fandy” cerita Qania yang menahan air mata.
“What, putus?” Elin terkejut dan menatap Qania dengan rasa tak percaya.
“Iyah Lin, putus” jawab Qania.
“Tapi kemarin kan kamu ulang tahun Qania” bahtah Elin.
“Dan tanpa ucapan dari Fandy, yang ada malah kita harus putus tanpa pikir hari itu aku sedang bahagia” tukas Qania masih menahan air matanya.
“Kok bisa Qan? Kamu cerita deh sama aku” pinta Elin.
“Semalam ada cewek nama Adel inbox aku di facebook, katanya Fandy nggak setia, dia pacar Fandy juga katanya. Nih kamu baca saja sendiri” kata Qania sambil menyerahkan handphonenya pada Elin.
Elin membaca semuanya dan diam tanpa kata. “Terus kamu percaya sama inbox ini?” tanya Elin sambil menyerahkan handphone Qania.
“Iyah aku percaya” jawabnya datar.
“Bisa saja dia ngarang Qan” pikir Elin.
“Lin, itu nomor handphone Fandy, masa ia dia ngarang kaya gitu. Sudahlah aku mau move on nih. Tolong nggak usah bahas dia yah Lin” pinta Qania dengan nada rendah.
“Sabar ya Qan. Aku pasti bantu kamu move on, dan kamu nggak usah ingat-ingat dia lagi. Kamu manis, cerdas dan menarik, pasti kamu bakalan dapat yang lebih baik dari Fandy” kata Elin menyemangati Qania.
“Aamiin. Makasih yah Lin” kata Qania yang mulai tersenyum lagi.
“Iyah sama-sama” kata Elin yang bangkit dan berjalan mengambil photo Qania dan Fandy.
“Qan, kamu izinin aku kan buat sobek-sobek photo ini?” tanya Elin.
“Silahkan” jawab Qania.
Elin dengan semangat merusak photo itu. Setelah photo itu masuk kedalam tempat sampah di kamar Qania, Elin langsung membuka akun facebook Qania dari laptop Qania.
“Kamu mau ngapain Lin?” tanya Qania mendekati Elin yang duduk di tempat Qania belajar.
“Mau hapus semua photo kamu dengan Fandy di facebook Qan” jawab Elin.
“Ihh jangan dong” larang Qania yang meraih laptopnya.
“Aku mau kamu move on Qan, aku nggak mau kamu nantinya flashback lewat photo-photo ini” tukas Elin.
“Biar aku saja yang hapus” pinta Qania.
“Yaa sudah lakuin aja sekarang Qan”
Qania mulai membuka album facebooknya bersama Fandy. Ada banyak photo mereka yang membuat Qania teringat kembali masa-masa bersama Fandy.
“Udah, tunggu apalagi Qan, delete aja” serga Elin.
“Kayanya nggak usah di delete deh Lin, ini kenang-kenangan aku sama Fandy. Kalau suatu saat aku kangen dia banget dan aku pengen lihat dia, gimana? Kan kalau photo ini ada aku bisa lihat disini” pinta Qania mulai meneteskan air matanya membuat Elin menjadi tak tega. “aku masih sayang banget sama Fandy. Aku tahu aku hancur banget karena ulah Fandy ngeduain aku. Aku udah ngertiin dia, aku rubah sikapku seperti yang dia mau, tapi tetap saja aku nggak bisa nahan dia. Namun, kamu harus tetap ingat Lin, aku punya kenangan indah waktu bareng dia, aku pengen nyimpan kenangan itu yang suatu saat nanti kalau aku betul-betul rindu sama Fandy, aku bisa lihat photo-photo ini. Jadi please Lin, untuk yang kali ini nggak perlu. Ini masalah hatiku Lin, maaf” pinta Qania yang sudah mulai tak kuasa membendung air matanya.
“Sorry Qan, aku nggak maksud buat kamu nangis. Maaf banget, aku hanya coba agar kamu bisa benar-benar lupain Fandy. Aku pikir dengan menghilangkan semua yang berhubungan sama Fandy, kamu bisa fokus dan lebih mudah buat ngelupain dia” tukas Elin yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Iyah Lin, aku ngerti maksud kamu. Tapi aku mohon ya, untuk yang ini jangan di hilangkan. Aku masih ingin melihat masa laluku bersama Fandy lewat photo-photo ini” sambung Qania.
“Iyah Qan, aku nggak bakalan maksa kamu kok buat hapus ini, aku ngerti kamu” jawab Elin.
Qania mulai menghapus air matanya dan berusaha melemparkan senyum, karena seperti itulah dia. Di saat sesedih apapun dan bagaimanapun sakit yang ia rasakan, mottonya tetap memberikan senyum setidaknya untuk membuatnya semangat dan tetap ceria.
“Sudah, kita keluar yuk. Kita masak atau nonton bareng diluar” ajak Elin sambil merangkul Qania.
Qania menatap Elin sangat dalam dan Elin seolah mengerti bahwa sang sahabat membutuhkan dirinya saat ini. Sorotan matanya memperjelas kerapuhan dan kepedihannya saat ini. Sembari tersenyum, Qania berdiri bersama Elin dan berjalan beriringan keluar.
“Qan, Fadly tahu kamu sama Fandy putus?” tanya Elin saat mereka asyik menonton FTV pagi.
“Kayanya tahu, mereka kan saudara kembar” jawab Qania datar dan pandangannya masih tetuju ke layar tv.
“Kalau begitu aku smsin Fadly dulu yah, aku mau tanya sama dia” sambung Elin.
“Terserah kamu Lin” sahut Qania datar.
Elin langsung mengirimkan sms kepada Fadly yang isinya menanyakan apakah Fadly tahu bahwa Qania dan Fandy telah putus hubungan. Tak berapa lama, handphone Qania berdering. Sebuah panggilan masuk yang membuat Qania sedikit bingung, namun segera menjawab panggilan itu.
“Loe putus sama Fandy, Qan?” tanya Fadly tanpa basa-basi.
“Iyah kak Ly” jawab Qania datar dan menatap ke arah Elin.
“Kapan? Kok bisa, gue pikir loe berdua aman-aman aja” serga Fadly tak percaya.
“Semalam kak Ly” jawab Qania singkat.
“Kok gue nggak tahu ya, padahal semalam gue kira dia bareng loe, kan loenya ulang tahun kemarin” sambung Fadly.
“Mungkin Fandy belum cerita soal itu sama kak Ly” sambung Qania.
“Iya sih, gue masih di rumah Rizky nih, belum pulang ke rumah. Tapi gue masih nggak nyangka, pasangan alay tingkat provinsi kok putus” kata Fadly sambil garuk-garuk kepala.
“Mungkin kita nggak ditakdirkan untuk sama-sama alias belum jodoh, hahaha” kata Qania diiringi tawa.
“Hmm, pasti ada sesuatunya nih, tapi sabar ya Qan” cetus Fadly.
“Aku nggak tahu kak Ly. Sebaiknya kak Ly tanya sajalah sama saudara kembar kakak itu, kalian kan selalu barengan dan pasti bisa saling terbuka. Kan Upin Ipin, hehehe”
“Loe nih ya, lagi berusaha nutupin kegalauan loe yang sebenarnya kentara banget. Tapi gue salut sama loe, tetap semangat walaupun udah sakit banget ya, pasti sakit dong, hahaha” ledek Fadly namun berniat membuat Qania tertawa.
“Hahah, sakit bangeeeet. Sakitnya tuh disini disini disini, hahaha” kata Qania yang mulai merasa semangat.
“Hahaha, kasian banget sih loe, hahaha. Sabar Qan” ujar Fadly yang mulai menghentikan lelucon mereka.
“Iyah kak Ly. Aku selalu sabar dan makasih untuk ledekannya tadi, aku jadi terhibur” jawab Qania dengan nada bicara yang seperti biasanya, datar.
“Iya, jangan masukin dihati yaa Qan, gue Cuma bercanda biar loe nggak galau” sambung Fadly.
“Iya kak Ly, aku tahu aku tahu, aku kan genius, hahaha” tawa Qania kini memang lepas tanpa dibuat-buat.
“Heh, lama-lama gue bicara sama loe, gue bisa gila. Sudah dulu ya Qan, gue mau lanjut smsan sama my honey Elin, salam sama dia ya.” Kata Fadly yang sedikit menggeleng-gelengkan kepala. “Eh Jery sama Rizky pengen ketemu sama loe nanti kalau loenya ada waktu” sambung Fadly.
“Oh iya kak Ly, nanti aku sms ya kalau aku punya kesempatan, salam aja sama mereka” sahut Qania.
“Iyah Qania Salsabila Einstein, hahaha” jawab Fadly.
“Ibih, itu nama facebook aku” sambung Qania sedikit membesarkan suara.
“Emang, sudah dulu ya Qan, jangan lupa salam gue sama Elin” kata Fadly.
“Iya. Lin salamnya kak Fadly nih” teriak Qania, karena Elin sedang mengambil air minum di dapur.
“Emang Elin disitu?” tanya Fadly cengengesan.
“Iya kak Ly” jawab Qania manja.
“Loe kenapa nggak bilang dari tadi sih Qania Salsabila Einstein” tandas Fadly.
“Ih, kak Ly nggak tanya” serga Qania.
“Oh iya juga sih. Ya sudah bye” kata Fadly sedikit menahan tawa.
“Bye” balas Qania kemudia mematikan teleponnya.
“Fadly?” tanya Elin yang kembali duduk menonton.
“Iya, salam buat kamu katanya” jawab Qania.
“Haha, hmm” tawa hambar keluar dari mulut Elin.
“Kamu kenapa Lin?” tanya Qania keheranan.
“Bagaimana aku bisa sama Fadly sementara kamu udah nggak sama Fandy Qan?” tutur Elin.
“Elin, aku sama Fandy nggak ada hubungannya sama kamu dan Fadly. Kamu harus tetap jalani hubungan kalian, jangan karena aku hubungan kalian juga ikut-ikutan padam. Jangan ya Lin” pinta Qania sambil menatap Elin dengan penuh pengharapan.
Sambil tersenyum, Elin mengangguk pelan yang membuat hati Qania lega.
“oh iya, aku pulang dulu ya Qan, udah mau magrib nih” kata Elin sambil melirik jam tangannya.
“Yaa, hmm iya deh” kata Qania.
Sambil terus membalas sms dari Fadly, Elin berjalan keluar dari rumah Qania.
“Galau lagi nih kalau sepi gini” tukas Qania ketika menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidurnya.
“Ya Allah yang maha segala-galanya, bantu aku melupakannya, bantu aku tak mengingatnya karena aku tahu Engkau tak membiarkan aku bersama orang yang tak pantas untukku. Maka dari itu, ajarilah aku caranya melupakan dia dan mengganti cinta ini sepenuhnya mencintai-Mu. Jadikanlah aku pribadi kecintaan-Mu dan bimbinglah aku selalu berda dijalan-Mu. Dekaplah hatiku dengan pelukan hangat-Mu, rangkullah aku selalu dengan tangan suci-Mu. Hanya Engkaulah pengharapanku. Aamiin ya rabbil alamin” doa Qania ketika mengakhiri sholat Isya’nya. Seperti biasa, setelah sholat Isya’ Qania langsung tidur.
Sinar mentari begitu terasa hingga ketulang, namun karena libur kuliah Qania menghabiskan waktu dikamar membaca buku dan sholat serta mengaji. Tak terasa seminggu berlalu rutinitas Qania hanya itu itu saja. Tak pernah sedikitpun kakinya menyentuh tanah. Mama Qania senang namun bercampur sedih melihat kegundahan hati puterinya itu yang hanya mengurung diri dikamar meskipun ia tahu Qania sedang memperbaiki diri namun tak seceria dulu.
“Sayang, kamu nggak keluar buat jalan-jalan?” tanya mamanya ketika Qania mengambil air minum.
“Ngapain ma, buang-buang waktu aja dan kayanya lebih aman di rumah deh ma” jawab Qania simpel.
“Kamu bahkan nggak nginjak tanah sudah seminggu ini loh Qan, masa nggak bosan di kamar terus” sambung mamanya.
“kan lagi libur ma, jadi di rumah aja Qanianya” jawab Qania setelah meneguk air.
“Libur itu nggak mesti ngurung diri dirumah juga kan, jalan-jalan lebih bagus, sekalian freshin otak kamu kan tugasnya abis numpuk tuh” saran sang mama.
“Qania malas ma, maunya di rumah aja ya, Qania ke kamar dulu” kata Qania sambil berjalan menuju kamarnya.
Mama Qania terus menatapinya hingga masuk kedalam kamar. Tak habis pikir anak yang selalu membuat keributan kini menjadi diam seribu bahasa karena ditimpa perihnya cinta. Ia pun memutuskan untuk menelepon Winda, sepupu Qania yang sebaya dengan Qania.
“Win, bisa ke rumah sebentar malam?” tanya mama Qania ketika Winda menjawab teleponnya.
“Bisa tante, emang ada apa sih?” tanya Winda sedikit heran.
“Tante mau kamu ajak Qania jalan-jalan” jawab mama Qania.
“Baiklah tante, asal ada uang jajannya, hehe” .
“Itu gampang, ya sudah tante masak dulu”.
“Oke tante, bye”.
Winda membuka pintu kamar Qania dan dilihatnya Qania sedang sholat Isya’, membuatnya kembali menutup pintu kamar itu dan berbincang bersama sang tante di ruang tamu.
“Qania kenapa tante?” tanya Winda.
“Kayanya dia sedang galau berat pasca putus dengan Fandy” jawab sang tante sedikit cemas.
“Itu obatnya mesti keluar tante, jalan-jalan, senang-senang dan cari pacar baru tentunya” tukas Winda.
“Makanya tante minta kamu kemari buat ngajak Qania jalan-jalan. Kamu tahu nggak, Qania udah seminggu nggak nginjak tanah” cerita tantenya.
“Hah, seminggu tante?” kata Winda dengan ekspresi terkejut.
“Iya, seminggu”
“Wah, parah nih tan. Qania pasti galau berat nih, makanya kaya gitu” sambung Winda.
“Itu yang bikin tante cemas Win, bisa saja psikologinya terganggu. Kamu ajak dia jalan-jalan ya” tutur sang tante.
“Siap tante, sepupu aku paling cantik dan super cerdas itu nggak bisa galau gini, rugi banget” tandas Winda.
Sambil merogoh kantong celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu, mama Qania langsung menyodorkan ke Winda.
“Nih uang jajan buat kalian, tapi jangan beli yang tidak tidak ya” kata tantenya sambil menyodorkan uang itu.
Dengan cepat Winda menyambut uang itu, “Tante tenang aja, nggak kok. Paling aku beliin makanan, nggak liat badan aku bulat gini” jawab Winda.
“Hahaha, kamu makin bulat Qania makin lurus” tawa tantenya diikuti oleh Winda. “Ayo kita ke kamar Qania, pasti dia sudah selesai sholat” kata mama Qania sambil berjalan kearah kamar Qania.
Sang mama membuka pintu kamar, dilihatnya Qania sudah menyelimuti tubuhnya di atas tempat tidur.
“Qania, ada Winda nih” kata mamanya sambil duduk di kursi belajarnya.
Qania membalikkan tubuhnya dan membuka matanya. “Kenapa Win?” tanya Qania pelan.
“Jalan yuk Qan, udah lama nggak jalan nih” ajak Winda sambil duduk di atas tempat tidur Qania.
“Kamu pasti disuruh mama” serga Qania.
“Udah ayo bangun” tarik Winda.
“Tapi aku malas Win, nggak mood” jawab Qania yang sudah terduduk karena ditarik Winda.
“Nggak ada alasan Qania, cepat berdiri ganti baju kita go” pinta Winta.
“Malas Win” jawab Qania kembali merebahkan tubuhnya sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Mamanya dan Winda saling bertatapan.
“Masa nggak ngehargain kedatangan Winda sih Qan, setahu mama kamu orangnya friendly loh, apalagi sama sepupu sendiri. Sebenaranya iya mama yang nyuruh Winda datang buat ngajak kamu jalan. Mama khawatir sama kamu yang mendadak jadi pendiam gini, jangan jadikan kegalauan itu sabagai pemicu kebungkaman kamu sayang” tutur sang mama sambil membelai selimut yang menutupi tubuh Qania.
“Anak papa yang hebat ini masa galau sih, anak papa kan kuat kaya baja dan beton. Katanya makannya semen dan kawat, masa Cuma karena putus cinta udah kalah. Itu bukan anak papa tapi anak cememen alias cemen” sambung papanya yang beridiri dipintu kamar Qania.
Qania tertawa tanpa suara dalam selimutnya, perlahan ia membuka selimut dan mencari sang papa.
“Papa ini ah, Qania bukan anak cememen pa” sanggah Qania lembut.
“Kalau bukan anak cememen papa mau liat Qania semangat kaya dulu” tantang sang papa.
“Baiklah, ayo Win kita jalan. Kalau perlu kita pulang pagi” kata Qania sambil menuruni ranjangnya.
“Semangat sih semangat, tapi nggak pulang pagi juga kali” serga Winda kemudian mereka semua tertawa.
“Ya sudah, ayo Win” kata Qania sambil berjalan ke arah sang papa.
“Kamu nggak ganti pakaian dulu Qan?” tanya Winda yang masih duduk di ranjang.
“Pa, Qania udah cantikkan kaya gini?” tanya Qania.
“Iya anak cememen, kamu udah cantik dan mulus kaya aci, hehe” ledek sang papa.
“Ihh papa muji atau ngehina sih”
“Udah cantik kok sayang. Winda ayo ajak Qania berpetualang malam ini” kata sang papa.
“Siap om, ayo Qan” kata Qania yang beranjak dari tempat tidur. Mereka berempat berjalan keluar rumah .
“Hati-hati ya, jangan pulang larut” kata mama Qania.
“Siap boss” jawab keduanya bersamaan.
Winda menstater motornya dan berlalu diikuti oleh kedua orang tua Qania masuk ke dalam rumah sambil sang papa menutup pintu.
Mereka sampai di Taman Kota dan tempat itu terlihat sangat ramai. Terlihat ada atraksi balapan pemuda-pemuda yang memang biasanya balapan di tempat ini.
“Qan, lihat deh cowok itu” kata Winda sambil menunjuk salah satu cowok yang sedang siap-siap balapan.
“Kenapa dia?” tanya Qania santai.
“Keren plus ganteng banget” jawab Winda.
“Ganteng gimana itu tertutup helm” sanggah Qania.
“Loe lihat dia pasti juga bilang ganteng” tukas Winda.
“Emang kamu udah lihat dia sebelumya?” tanya Qania dengan ekspresi cuek.
“Tiap malam minggu gue disini Qan, jadi gue sering lihat dia Cuma malu kenalan, habisnya banyak cewek di dekatnya. Lah gue nggak ada apa-apanya dengan tu cewek-cewek” jelas Winda.
“Oh gitu” sahut Qania.
“Ih rese, hahaha” kata Winda sambil mencubit tangan Qania dan membuat keduanya tertawa.
Balapan dimulai, Winda tegang menyaksikannya namun Qania bersikap biasa saja. Tempat itu menjadi sangat ramai oleh sorakan-sorakan penonton balap liar itu. Dan akhirnya cowok yang di sukai Winda menjadi juaranya.
“Yeeeeeeeeee” teriak Winda membuat Qania kaget.
“Kamu ngagetin aku aja nih Win” ketus Qania.
“Sorry Qan, eh gue kesana ya” kata Winda sambil berlalu meninggalkan Qania.
Semua wanita berkumpul mengelilingi sang juara kecuali Qania. Qania menatap tajam pemenang itu namun tak mengentarai wajahnya karena sedikit gelap. Ditengah banyaknya wanita pemujanya, sang juara menatap kearah Qania yang merupakan satu-satunya cewek yang tak mendekatinya. Ia berjalan kearah Qania, sambil mengarahkan tangannya isyarat bahwa tak ada yang boleh mengikutinya. Qania masih tetap menatapnya yang semakin dekat.
“Loe anak baru disini ya?” tanya si cowok.
“Yaa” jawab Qania singkat.
“Jutek amat sih loe” tandasnya.
“Itulah saya” jawab Qania.
Si cowok geleng-geleng kepala kemudian membuka helmnya, ketika itu lampu taman menjadi semakin terang. Keduanya bertatapan dan sama-sama memasang ekspresi kaget.
“Qania” kata si cowok.
“Arkana Wijaya” jawab Qania.
“Hm, kamu kok disini Qan?” tanya Arka dengan penuh senyuman.
“Di ajak sepupu Arka” jawab Qania yang sudah gemetar.
“Sepupu kamu mana?” tanya Arka lagi.
“Lagi ngejar kamu” jawab Qania singkat.
Arka memalingkan pandangannya kearah wanita pemujanya sambil melemparkan senyuman.
“Arka sayang, sini dong” teriak salah satu cewek.
“Di panggil tuh sama pacarnya” serga Qania.
“Oh, hehe iya tuh. Tapi biarin aja, aku masih ingin disini sama kamu. Momen langkah” tandas Arka.
“Masa sih?” kata Qania datar.
“Iya mantan tersayang” jawab Arka.
“Pacar kamu tuh Ka, nanti aku dikira cewek PHO” tukas Qania.
“Aku rindu kamu malaikat tak bersayapku” ungkap Arka sambil menatap tajam mata Qania dan membuat Qania semakin gemetar jantungnya berdebar kencang. “Kalau aku boleh megang tangan kamu pasti dingin kaya es, dan kalau aku bisa lebih dekat di jantung kamu pasti degdegan banget ya” sambung Arka yang masih menatap Qania.
“Kamu tahu itu Arka” jawab Qania lembut.
“Kamu masih sayang dong sama aku” serga Arka.
“Sayang?” kata Qania kaget.
“Iya, itu buktinya masih kaya dulu kita pacaran” jawab Arka.
“Kamu apa sih. Pacar kamu tuh urusin” kata Qania mengalihkan pandangannya.
“Hehe, bercanda kali Qan. Kamu nggak berubah ya masih tetap jutek” kata Arka sambil menatap Qania santai.
“Ya sudah aku mau pulang” sambung Qania.
“Kamu masih jadi cewek yang nggak pernah suka cowok pembalap ya. Padahal aku kan mantan paling di sayang” ujar Arka.
“Ngawur. Win ayo pulang” teriak Qania yang membuat Winda segera menghampiri Qania.
Winda menstater motornya sambil terus menatap Arka dan Qania menaiki motor itu.
“Masih belum bisa mengendarai motor ya Qan?” ledek Arka.
“Arkaaaa aku mulai murka nih” teriak Qania.
“Hehehe jangan deh, aku takut kalau kamu murka kaya nenek sihir” ledek Arka.
“Kamu pernah lihat sepatu melayang ke kepala pembalap?” dengus Qania.
“Hehehea, maaf Qan. Ya sudah take care on the way ya mantanku sayang” kata Arka sambil membelai rambut Qania.
Qania tersenyum manis ke Arka dan Arka membalasnya. Semuanya terdiam termasuk Winda yang terkejut melihat sang sepupu dan sang idola sangat akrab.
“Daa Arka” kata Winda.
“Daa” jawab Arka sambil memandang mereka yang kini sudah tak terlihat.
“Loe kenal dia ya Qan?” tanya Winda.
“Mantan aku” jawab Qania.
“Hah, mantan Loe Qan. Arka si pembalap idola gue itu” rengek Winda.
“Iya kita pacaran tahun lalu, putus dari dia aku pacaran sama Fandy” cerita Qania.
“Berarti belum lama dong loe putus dari dia” kata Winda.
“Iya” jawab Qania.
Mereka telah sampai dirumah. Setelah Qania membuka pintu rumahnya Winda pulang dan Qania masuk kerumah langsung ke kamarnya dan merbahkan tubuhnya diikuti selimut yang menutupi hingga lehernya.
“Arkana Wijaya” desah Qania sambil senyum senyum.
Di tempat berbeda Arka juga menyebut nama Qania Salsabila sambil tersenyum.
Qania menutup matanya sambil tersenyum membayangkan Arka dan Arka meneguk kopi sambil membayangkan wajah Qania.
“Tadi itu Qania kan?” tanya Rizal
“Iya” jawab Arka kembali meneguk kopi, mereka sedang merayakan kemenangan Arka di cafe.
“Makin cantik ya setelah putus dari loe Ka” sambung Ifan.
“Cantik banget malaikat tak bersayap gue itu” ujar Arka.
“Susan ingat woy” serga Fero.
“Qania itu seratus kali lipat lebih waw dari pada Susan” jawab Arka.
“Susan bisa ngasih kebutuhan bokep loe, Qania emang cantik tapi nggak bisa loe sentuh” kata Rizal.
“Justru itu kelebihan Qania dari semua mantan gue Zal” tukas Arka.
“Qania buat gue boleh?” serga Ifan.
“Anjing loe” maki Arka sambil menatap tajam Ifan.
“Santai bro, bercanda gue”
“Kalau loe mau ngambil Susan silahkan, tapi perlu loe semua ingat jangan ada yang dekatin Qania titik” tegas Arka dengan suara lantang.
“Kita semua juga tahu kalau Qania cewek terbaik yang pernah loe pacari Arkana Wijaya” sahut Ifan.
“Gue juga pernah dekat banget sama dia, dan rasanya nyaman banget” sambung Fero.
“Gue bahkan udah dianggap adik sama Qania” kata Rizal tak mau kalah.
“Loe semua tahu kan Qania orangnya kaya gimana dan kalau dia pacaran sama loe semua nih, sangat nggak pantas dan bertolak belakang” tukas Arka.
“Persis loe nggak kaya kita-kita” tandas Fero.
“Yaa kita semua sama, tapi yang pernah pacaran kan gue” jawab Arka dengan bangganya.
“Ssstt, Susan datang noh” serga Rizal.
“Sayang, tadi tuh cabe-cabean darimana sih?” tanya Susan sambil duduk disebelah Arka.
“Susan, loe nggak sadar kalau cabe-cabean itu sebenarnya kamu. Jangan pernah bilang dia cabe-cabean, gue bunuh loe” kata Arka yang terlihat sangat marah.
“Loe kenapa Ka?” tanya Susan sedikit ketakutan.
“Dia Qania, mantan gue. Dia mantan terindah, terbaik, teralim, tercantik, terwaw dan sempurna buat gue, puas” jelas Arka.
“Masa sih, lebih cantik dan sexy gue” tukas Susan.
“Qania ribuan kali lipat lebih baik dari kamu, pergi sana” bentak Arka yang membuat teman-temannya dan semua pengunjung terdiam menatap kearah keduanya.
“Arka loe tega banget sih. Ya udah kita putus dan loe pasti bakalan nyesal dan cari gue lagi” sambung Susan dengan menatap tajam pada mata Arka.
“Nggak bakalan” jawab Arka singkat dan kembali duduk santai.
Susan menatap dalam Arka dengan sorotan mata yang penuh kebencian dan segera berlari keluar sambil menangis.
“Gila tuh cewek, hidupnya hancur gitu tapi jago banget hina orang, nggak sadar sama diri sendiri” gerutu Arka sambil meneguk minumannya.
“Santai bro, cewek kaya gitu loe ladenin” tukas Rizal.
“Sebaiknya kita pulang, sudah jam tiga subuh nih” sambung Ifan.
Semuanya berpandangan sambil mengenakan helmet masing-masing lalu pergi beriringan ke rumah mereka.
Pagi yang begitu cerah membuat mata Qania kembali terpejam mengingat pertemuannya dengan Arka yang tak disangka-sangka.
“Arka makin cakep ya” gumam Qania sambil memeluk boneka hello kitty pemberian Arka . “Dia bahkan masih ingat gimana rasanya kalau ketemu dia. Dasar anak jalanan yang paling aku sayang” sambung Qania yang kemudian berdiri lalu bergegas mandi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!