NovelToon NovelToon

ELEA (Tak Pantaskah Aku Dicintai?)

BAB 1| Antagonis Vs Protagonis

...BYUR!...

Teriakan keras dari bawah sana di saat air dari ember bekas pel berpindah ke arah gadis berambut sebahu di bawah sana, senyum menyeringai terbit di bibirnya. Siswa-siswi berkerumun, secara serentak yang ada di lantai bawah berlarian ke arah lapangan. Sementara yang ada di lantai 2 sampai 4 ikut turun ke lantai satu, memperhatikan siapa orang gila yang menyiram si queen dari sekolah SMA ELANG RAKABUMING.

"ELEA!" jeritnya geram.

Ember di tangan langsung dibuang ke samping, gadis yang dipanggil dengan nama Elea itu malah mengacungkan jari tengahnya.

"Mampus, lo!" seru Elea terkekeh kecil.

Gadis berambut coklat terang sepinggang itu meninggal rooftop gedung sekolah, bersenandung bahagia.

"Astaga, si Elea lagi."

"Cih! Itu anak emang nggak ada elegannya kek Rania."

"Kasian Rania, mana basah semua lagi."

"Bisa apa? Si Elea anak kandung sementara si Rania anak angkat."

"Eh, eh, eh, asalkan kalian tau. Si Elea katanya kagak di sayang sama Nyokap dan bokapnya."

Bisik-bisik lirih dari siswa-siswi mengalun, sementara remaja lelaki yang mendekati Rania dengan memakaikan gadis cantik tersebut jaket dan membawanya menjauh.

Jika di lapangan sekolah riuh karena ulah Elea, maka di lantai 4. Elea dicegat oleh pemuda yang dua tahun lebih tua dari Elea, kedua tangan Elea dilipat di dada.

"Apa yang lo lakuin ke Rania, hah!" berang Zion dengan gigi geraham bergemeretak.

Mendapatkan tatapan seolah-olah siap melayangkan pukulan, Elea malah nampak santai.

"Lah, Abang nggak ngeliat kah? Adik tersayang Abang gue siram pakek air bekas pel," jawab Elea ceria.

"Sakit lo, El," balas Zion, "sejak kehadiran lo di mansion. Nggak ada hari tenang sedikit pun, Rania salah apa sama lo? Ampek lo segila itu ngebully dia, hah!"

"Salahnya dia, apa," ulang Elea, tak percaya, "pertama dia udah gantiin posisi gue, yang kedua karena dia udah ambil keluarga gue, dan yang terakhir... karena dia bikin gue diabaikan."

Zion tersenyum mencemooh. "Ngaca, El! Ngaca. Lo itu yang bikin orang rumah nggak suka, apa yang terjadi nggak ada hubungannya sama Rania. Dia itu cewe baik-baik, yang punya prestasi. Bikin bangga Nyokap dan Bokap, sementara lo? Lo cuma punya darah dari keturunan Baskara. Tapi, lo nggak pernah bisa nunjukin kalo lo benar seorang Baskara."

Elea mendesah kasar, ya, apa yang dikatakan oleh kakak kandungnya ini benar sekali. Di tubuh Elea mengalir darah Baskara tapi, Elea tidak bisa membanggakan keluarga besar Baskara.

"Gue ingetin ya, buat terakhir kalinya sama lo. Jangan nyentuh Rania, seujung kuku pun. Gue nahan diri buat nggak ngegapar lo sebab gue masih waras. Jangan ampek kewarasan gue ilang, peduli setan sama lo yang katanya Adik kandung gue sediri!" Zion menunjuk-nunjuk muka adiknya dengan wajah merah padam.

Zion membalikkan tubuhnya melangkah terburu-buru meninggalkan lantai 4, ekspresi pongah Elea perlahan memudar. Kedua matanya nampak berkaca-kaca, Elea cuma mau diperhatikan. Dicintai, bukan dimaki-maki. Bahkan dibandingkan, Elea sadar diri.

Jika dirinya tidak seperti Rania yang dibesarkan layaknya seorang lady konglomerat, Elea dihantam gelombang kehidupan pahit. Ia bahkan terlotang-lantung di luar sana, hidup keras tanpa kasih sayang.

Setelah semuanya berakhir, di saat ia diketahui sebegitu anak kandung dari pasangan konglomerat. Harapan Elea akan disayang, dihujani cinta. Nyatanya sebaliknya, Elea diabaikan. Dibanding dengan Rania yang cantik, berprestasi, anggun, dan baik.

"Ya, gue si antagonis di sini. Dia si protagonis, baik Papi maupun Mami, bahkan Abang Zion. Kalian cuma sayang dia, cuma mengeluh-eluhkan dia. Harusnya kalo emang kalian nggak butuh gue, jangan pungut gue di jalan. Cuma karena gue punya darah Baskara," monolog Elea parau.

Bulir bening mengalir di pelupuk mata, Elea sakit hati. Namun, ia tak suka dilihat saat menangis. Ia tidak ingin dikasihani apalagi dianggap remeh, lebih baik menjadi penjahat yang kejam dibandingkan sosok lemah.

Notifikasi pesan masuk di ponselnya, membuat Elea mengusap kasar air matanya. Tangannya merogoh saku rok, jari jemari lentik Elea mengetuk layar.

"Brengs*k!" Elea memaki dengan tangan bergerak melemparkan ponsel mahal hingga hancur berkeping-keping.

Kedua sisi bahunya naik-turun, emosinya memuncak. Sepenting itukah seorang Rania? Hingga ibunya langsung mengirimkan pesan peringatan padanya.

...***...

"Wah, siapa ini?"

Elea duduk di kursi mini bar, meskipun di bawah umur. Gadis remaja satu ini punya kuasa, maka sudah pasti mudah untuk masuk ke tempat yang tidak seharusnya ia datangi.

"Jos! Gue mau pemainan yang menarik. Lo bisa bantu gue?" Elea merogoh saku tasnya mengeluarkan segepok uang.

Para bartender langsung saling sikut, siapa yang tidak kenal Elea Baskara. Putri tunggal dari pemilik tambang minyak serta perusahaan terbesar di Ibu Kota. Elea gadis remaja yang unik, menghamburkan uang bukanlah masalah besar.

"Kali ini, Lady Elea mau permainan yang seperti apa, hm?" tanya Joseph.

Jari jemari Elea terlihat mengetuk-ngetuk permukaan meja, rasa frustasinya harus segera teratasi. Elea akan menghambur-hamburkan uang sialan dari kedua orang tuanya, toh bagi mereka itu hal kecil.

"Aha!" Elea berseru bahagia.

Jari telunjuknya bergerak memberikan kode untuk Joseph mendekat, Joseph dengan senang hati memajukan tubuhnya ke depan, dengan memiringkan wajahnya membiarkan Elea membisikan keinginannya.

Pupil mata Joseph melebar, kedua kelopak matanya berkedip dua kali. Elea menjauhkan wajahnya dari daun telinga Joseph, dahi Joseph mengernyit.

"Nggak sanggup?" tanya Elea membuat Joseph secara cepat mengeleng.

"Bukan kek gitu, Lady Elea. Cuma cari orang seusia itu dan sesuai susah," jawab Joseph lirih, "gimana permainan yang lain aja."

Elea mengeleng, ia hendak meraih uang yang diletakkan di atas meja. Dengan cepat Joseph mencegahnya, atensi Elea tertuju pada Joseph.

"Katanya sulit," ujar Elea mencemooh.

"Hehe... kalo pakek duit, nggak sulit kok. Kalo gitu, Lady Elea tunggu di ruangan VVIP. Saya akan segera membawanya," balas Joseph serius.

Senyum lebar terbit di bibir Elea. Elea turun dari kursi bersenandung bahagia, melangkah menuju ruangan VVIP.

...**,*...

Elea yang menyadarkan punggung belakangnya di sofa empuk, dengan minuman tanpa alkohol di atas meja terlihat terkesiap di saat beberapa pria seusianya memasuki ruangan. Bukan karena semua terlihat tampan, akan tetapi di antara 8 pria remaja. Ada 1 orang yang Elea kenali, di saat mata lelaki itu terangkat.

Kedua matanya terbelalak melihat siapa yang duduk di depan sana menatap ke arahnya dengan wajah tegang, dua detik kemudian menyungging senyum.

"Inilah orang-orang yang sekiranya pas untuk Lady Elea inginkan," tutur Joseph dengan ekspresi dan nada suara yang ramah.

Elea sontak saja bangkit, mengitari kedelapan pria. Lalu berhenti tepat di depan lelaki berparas tampan dengan kedua sisi rahang yang tegas, jari telunjuk Elea menunjuk ke arahnya.

"Gue mau yang ini, yang lain silakan keluar aja. Dan yang nggak kepilih pun, duitnya akan gue transfer," ujar Elea bak bos besar.

"Oh, satu doang?" tanya Joseph syok.

Kepala Elea mengangguk, ia menggerakkan tangannya memberikan kode untuk Joseph pun ikut meninggalkan ruangan. Pintu ruangan ditutup, Elea tertawa keras. Sementara remaja lelaki itu menatap tajam ke arah Elea, gadis sialan yang kejam di sekolah malah ada di tempat terkutuk itu.

"Eh, mau kemana?" Elea menghentikan tawanya lantaran pria itu mengayunkan langkah kakinya.

"Gue nggak butuh duit lo," ujarnya sebelum kembali mengayunkan langkah kaki yang sempat tertunda.

"Yakin? Gue bisa kasih berapa pun yang lo, loh." Elea menaikan intonasi nada suaranya.

Sayangnya pemuda itu tetap melangkah meninggalkan ruangan VVIP, Elea mengulas senyum menyeringai.

"Cowo sangar, kulkas dua pintu itu ternyata..., hm. Menarik banget, gimana kalo si Rania tau. Dia bakalan terkejut apa langsung mokat?" Elea rasa ia kembali bersemangat.

,

BAB 2| Salah Elea

KLIK!

Pintu mansion terbuka lebar, pria paruh baya dengan piyama merah terang itu melirik ke arah anak gadisnya. Rok mini sejengkal di atas lutut, aroma alkohol yang tercium pekat, make-up menunjang penampilannya untuk tampak dewasa.

"Jam berapa, ini?" Deep voice mengelar.

Langkah kaki Elea berhenti mendadak, ia melirik ke arah sang ayah yang kini menatapnya dengan ekspresi marah. Elea mengangkat tangannya, melirik arloji mahal di tangannya.

"Jam? Bukannya Papi bisa liat sendiri sekarang jam berapa?" Elea malah bertanya balik kepada Guntur.

Guntur mendesah berat, ia bangkit dari posisi duduknya. Melangkah mendekati sang putri, pangkal hidungnya mengerut.

"Sekarang sudah mau jam 2 dini hari Elea. Nggak ada anak remaja yang pulang jam segini," tutur Guntur menahan amarahnya.

Elea terkekeh kecil. "Cuma mau jam 2 dini hari doang, loh, Pi! Masa cuma jam segini Elea pulang Papi keliatan kesal. Tapi, Papi dan Mami kehilangan Elea 11 tahun, nggak marah tuh. Bahkan nggak ada niatan buat cariin Elea di luar sana, nggak peduli kapan Elea akan pulang," sarkas Elea, ia perlahan menyunggingkan senyum.

"..., itu beda Elea," bantah Guntur, "sekarang kamu udah pulang tapi, kenapa malah kek gini? Membully Rania di sekolah. Bahkan menghamburkan uang, pulang pagi-pagi buta, dengan aroma alkohol yang pekat. Apakah gini caranya kamu menyiksa orang tua?"

Elea malah terkekeh serak, kepalanya tertunduk. Guntur mengerutkan dahinya, mendengar tawa sumbang sang putri.

Elea kembali mengangkat kepalanya, membawa atensinya ke arah Guntur—ayah kandungnya.

"Papi mulai nyesel karena membawa pulang putri kek gini? Atau Papi mulai berpikir lagi gimana caranya agar si biang onar dan putri yang nggak ada anggun-anggunya ini menghilang selamanya?" Elea memprovokasi sang ayah.

"ELEA!" teriak Guntur menggelegar.

"Ya, Tuan Guntur yang terhormat. Elea di sini," jawab Elea dengan suara tak kalah lantangnya.

Suara ribut-ribut membuat wanita paruh baya 3 jam yang lalu terlelap terusik. Ia keluar dari kamar utama, berdiri di pintu kamar yang terbuka.

"Pi! Ini masih pagi-pagi buta. Biarin aja, lah. Dia nggak akan bisa diajarin, karena dia anak yang liar," sela Diana, menatap sinis sang putri.

Bagaimana bisa putri yang dilahirkan benar-benar berbeda dari dirinya, Elea benar-benar sosok yang kacau. Diana pikir kehadiran Elea kembali ke pelukannya, akan membuat keluarganya menjadi lengkap. Anehnya setiap hari tidak ada kata damai di rumahnya, Elea melirik ke arah sang ibu.

"Nah, benar kata Nyonya Diana yang terhormat. Tuan Guntur harus kembali ke kamar tidur, berpura-pura lah untuk nggak ngeliat putri liar ini. Seperti yang sudah-sudah," kata Elea dengan santai.

Bibir Guntur terbuka, Elea lebih dahulu melewati sang ayah. Setengah berlarian menuju anak tangga, masuk ke kamar dengan cara membanting keras pintu kamar.

Diana melangkah mendekati sang suami, di antara dirinya dan sang suami. Hanya Guntur yang masih memperhatikan Elea, sementara Diana telah menyerah.

Entah kebencian seperti apa yang telah mendarah daging di hati sang putri, di saat ia dibawa ke rumah. Dikenalkan kembali dengan keluarga, awalnya semuanya berjalan baik-baik saja. Sampai Elea tahu, ada sosok Rania, yang mereka berdua angkat menjadi putri. Menggantikan posisi Elea, semua menjadi kacau.

"Ayo, kembali ke kamar, Pi! Jangan diladeni, makin di perhatiin makin ngelunjak itu anak," nasihat Diana.

Guntur mengangguk, ia melangkah menuju kamar tidur.

...***...

"Ga! Tunggu!" seruan dari arah belakang membuat langkah kaki remaja itu berhenti mendadak.

Gala melirik ke arah Rania, gadis paling anggun di sekolah. Rania mengulurkan undangan ke arah Gala, dahi Gala berkerut.

"Undangan ulang tahun gue, Ga," ujar Rania lembut.

Galaxy Adicipto si Kapten Basket sekolah melirik kecil ke arah undangan yang disodorkan ke arahnya, Gala mendesah berat.

"Gue nggak bisa dateng, jadi undangannya lo kasih sama yang lain aja," tolak Gala tegas.

Wajah ceria Rania nampak berubah kecewa, undangan di tangannya diturunkan perlahan.

"Gue ngarepnya lo dateng, Ga. Karena ini sweet seventeen-nya, gue," balas Rania lirih.

Gala meneguk kasar air liur di kerongkongan, membuang muka. "Sorry, gue nggak ada waktu. Gue cabut duluan, anak-anak dah pada nungguin gue di lapangan," sahut Gala tanpa mengindahkan perkataan Rania.

Bibir Rania terbuka lebar, sayangnya Gala sudah lebih dahulu meninggalkan dirinya. Rania terkesiap di saat tawa keras si balik pilar bangunan sekolah mengalun, dahinya mengernyit. Seakan tahu siapa yang sedang tertawa, ekspresi sedihnya berubah menjadi kesal.

"Elea," panggil Rania dengan nada lantang.

Elea menghentikan tawa kerasnya, melangkah mendekati Rania. Sungguh! Ia tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan antara Rania dan Gala, Elea lebih dahulu ada di sana. Sebelum keduanya malah berhenti tak jauh dari posisi Elea berada.

"Aduh, kacian kali. Ditolak sama crush sendiri, baru undangan aja udah ditolak. Apalagi perasan lo, nggak kebayang deh," ejek Elea, membuat kedua bola mata Rania berotasi malas.

"Bukan urusan lo," sahut Rania ketus, "lo urus aja urusan lo sendiri, Elea. Setidaknya gue cuma ditolak sama Gala, dibanding lo yang kehadirannya di tolak oleh keluarga besar Baskara. Lebih kasihan siapa di antara lo dan gue, huh?"

"Ya, lo bener. Gue ditolak sama keluarga gue sendiri karena lo, kehadiran lo yang bikin gue ditolak," jawab Elea mendadak kesal.

Rania tersenyum mencemooh. "Elea, oh, Elea. Lo iri sama yang gue dapetin, lo pikir gue sampek ke titik ini kek gimana, huh? Gue harus terus berhati-hati. Berjuang mati-matian, belajar tanpa kenal waktu, semuanya harus sempurna. Agar diakui menjadi bagian dari keluarga Baskara, lo yang punya darah Baskara nggak perlu repot-repot kek gue. Lo jadi diri lo sendiri aja lo akan tetap dipanggil sebagai putri bungsu Baskara," ujar Rania, "yang salah bukan gue tapi, lo. Lo pengecut yang menolak berjuang jadi kayak gue, dengan mudahnya lo nyalahin gue. Dan ngegangu kehidupan gue, lo sadar itu. Tapi, lo nggak mau ngakuin itu, kesalahan lo."

Rania merasa kehabisan kesabaran, menghadapi Elea membuat dirinya kehilangan kontrol diri. Elea hanya bisa menyalahkan dirinya saja, tidak mau berjuang untuk dicintai.

Elea membeku, ia merasa tertampar. Elea cukup kekanakan, terlalu fokus menyalahkan Rania. Karena merasa Rania merebut tempatnya, membuat Elea harus menjadi bayangan.

Melihat diamnya Elea, Rania berdecak kecil. Ia melangkah mengikis jarak di antara dirinya dan Elea, berdiri bersisian dengan Elea.

"Lo bukan tandingan gue, Elea. Gue bersabar selama beberapa bulan ini bukan karena gue bener-bener sabar. Tapi, karena gue nggak mau dicap jelek sama orang tua lo. Semakin lo ngebully gue, semakin bertingkah gila. Maka lo akan semakin dibenci oleh mereka semua, dan bahkan lo akan semakin dijauhi. Karena apa? Gue nunjukin kehebatan dan kesabaran ekstra. Agar kelihatan seperti seorang malaikat, dan bidadari. Sementara lo? Cuma iblis betina. Yang tidak akan pernah dicintai. Cam 'kan itu Elea si antagonis," bisik Rania.

Rania menyenggol bahu Elea dengan keras, melangkah menuju ke arah gedung olahraga yang tidak begitu jauh dari posisinya berada.

Elea merenung, caranya sal

ah? Apakah benar begitu? Elea tidak tahu apa yang sebenarnya dilakukan. Ia pikir dengan cara seperti itu, maka mereka semua akan memberikan Elea perhatian dan kasih sayang. Tidak ada yang menunjukan Elea caranya untuk bisa dicintai dan diperhatikan.

"... gue cuma pingin dicintai dan diperhatiin. Itu aja," monolog Elea parau.

Bersambung....

BAB 3| Gue Bahagia lo Kembali

"Semua makanan yang Non Elea suka udah disajikan. Selamat menikmati makanannya, Non Elea."

Beberapa makanan dihidangkan di atas meja khusus untuk Elea, ada begitu banyak makanan yang dihidangkan di atas meja. Beberapa maid yang melayani Elea langsung bergerak meninggalkan meja milik Elea.

Lama sekali atensi Elea berada di atas meja, suara gelak bahagia. Pembicaraan hangat meja makan di samping, bersekat dengan ruangan yang kini Elea tempati terdengar jelas sekali.

"Papi rasa Rania kali ini pun akan memenangkan pertandingan piano, jadi optimis aja," kata Guntur menenangkan Rania.

"Ya elah, Pi! Siapa sih yang bisa ngalahin Rania? Dari mulai piano, balet, sampai ke nilai-nilai akademiknya bagus semua. Putri kita ini paling bisa dibanggain seantero Sky Mansion. Iya, 'kan Zion?" celetuk Diana, membawa atensinya ke arah Zion.

"Iya, Mi. Karena Rania mirip banget sama Mami dan Papi," balas Zion lembut.

"Aduh, mulai lagi deh ah. Rania nggak sehebat. Jangan bikin Rania jadi makin besar kepala deh," tukas Rania, terdengar malu-malu.

Elea mengedipkan kedua kelopak matanya, apa yang Elea biasa? Ia tidak mendapatkan pendidikan apapun. Selama 11 tahun di luar sana, bisa tidur nyaman dan mengisi perutnya saja sudah merupakan sebuah kemewahan.

Selera makannya mendadak hilang, decitan kaki kursi beradu dengan lantai mengalun.

...BRAK! PRANG!...

Disapu semua makanan di atas meja dengan kedua tangannya hingga semuanya menghantam lantai, kedua sisi bahunya naik-turun. Beberapa maid yang melayani Elea langsung bergegas ke arah meja Elea.

Keluarganya dapat mendengar keributan yang Elea perbuat, muka putih Elea merah padam seketika.

"Makanan sialan! Kenapa makanannya kayak sampah. Kenapa nasinya seperti pasir, brengs*k! Makanan sialan apa yang kalian semuanya hidangan untuk keturunan Baskara, hah!" Elea menoleh ke belakang, manik matanya mengedar membuat semuanya ketakutan.

Mulai lagi.

Setidaknya itulah yang ada di otak orang-orang, kenapa nona muda yang baru 5 bulan di mansion suka sekali memancing keributan. Mengada-ada yang tidak seperti itu, Elea seakan menumpahkan rasa marahnya pada para maid.

"Jawab! Kalian punya lidah 'kan? Mau lidah kalian gue potong, huh!" Elea menunjuk-nunjuk ke arah para maid satu persatu.

Mereka menciut ketakutan, meskipun mereka tidak salah. Akan tetap jadi bersalah di mata Elea, derap langkah kaki mendekati ruangan Elea membuat sorot mata merah tajam itu terarah ke arah sang tuan besar.

Decakan lidah dan gelengan tak mengerti terlihat. "Bersihkan lantainya, sajikan makanan baru untuk Elea!" Guntur memberikan instruksi.

"Ba—baik, Tuan Besar," sahut kepala pembantu tergagap.

Elea mengangkat tangannya, dan berkata, "Nggak usah. Gue udah kehilangan selera makan, makanan di mansion ini mengerikan. Sampah! Semuanya sampah!"

Guntur membuka mulut, Elea lebih dahulu menyelonong pergi meninggalkan ruangan.

"Untung dia nggak makan satu meja sama kita, yang ada semuanya akan terbuang sia-sia. Kenapa nggak pisahin aja tempat tinggalnya, Pi?" Zion ikut bersuara.

Guntur melirik ke arah belakang, di mana suara si sulung mengalun. Embusan napas berat Guntur mengalun, putri manisnya benar-benar berubah total.

...***...

"ELEA!" seruan keras membuat langkah kaki Elea berhenti mendadak.

Dahi Elea berlipat, bukanlah lelaki itu akrab dengan Rania. Kenapa pula dia seakan ramah sekali pada Elea. Apakah ada niat terselubung dari David padanya, David berhenti tepat di depan Elea.

"Oh? Kenapa sama wajah lo?" David melirik wajah Elea.

"Lo, kenal gue? Tapi, gue nggak kenal lo, tuh," ujar Elea sinis.

David terkekeh kecil, Elea sulit untuk didekati. Kedua tangannya dilipat di dada, melirik Elea.

"Gue, sahabat lo, El. Lo mungkin lupa sama gue tapi, gue nggak pernah lupa sama lo." David tersenyum ramah.

Elea memicingkan kedua matanya, sahabat dirinya. Elea sama sekali tidak ingat jika David adalah sahabatnya.

"Jangan bo—ah!"

David malah meraih tangannya dan menariknya, menuju ke arah mansion miliknya. Meskipun Elea meronta, David tidak mau menghentikan langkah kakinya menyeret Elea.

"Berhenti, sialan!" Elea memukul keras kepala belakang David.

Genggam pada pergelangan tangan Elea terlepas, David mengusap kepala belakangnya dan meringis.

"Rasain lo, dasar cowo sialan," maki Elea kasar.

David menghela napas berat, ia membalik tubuhnya ke arah Elea. Apa yang membuat gadis remaja satu ini tidak ingin didekati oleh dirinya, bahkan tidak percaya kata-katanya.

"Gue nggak bohong, El. Gue mau ajak lo mansion gue. Di dalam ada album foto kita bertiga. Lo, gue, dan Bang Zion, kita bertiga suka main bereng dari kecil. Nyokap dan Bokap kita dekat, tinggal di lingkungan yang sama. Lo butuh bukti, bukan?" David menjelaskan secara singkat.

Dahi Elea berlipat, berpikir keras. Apakah benar ia dan David adalah sahabat. Tapi, sekarang sudah berbeda. Elea 11 tahun tidak lagi pernah bersama David, bahkan yang menggantikan posisinya adalah Rania.

"Bukanya sahabat lo udah ganti jadi Rania," balas Elea.

David mengeleng kecil. "Dia cuma teman gue, bukan sahabat gue. Dari dulu sampai detik ini sahabat gue ya, cuma lo. Gue temenan sama dia, ya karena Bang Zion. Nggak lebih dan nggak kurang," sahut David menjelaskan.

Elea masih saja melayangkan tatapan curiga, David berdecak kesal. Ia meraih kembali pergelangan tangan Elea, menarikannya mendekati pintu gerbang yang terbuka. Kali ini Elea tidak memberikan perlawanan, ia hanya pasrah.

...***...

"Gimana? Lo udah percaya sama gue?" David memperhatikan Elea yang nampak membolak-balik lembaran album foto.

Ada begitu banyak foto dirinya di album foto milik David dibanding di rumahnya sendiri, dengan berbagai macam pose. Lebih banyak fotonya di sana dibanding foto David maupun Zion. Terdapat beberapa momen mereka bertiga, senyum di bibir Elea tanpa sadar tertarik ke atas.

Sorot mata David begitu dalam memperhatikan Elea, ada kerinduan terpendam. David harap Elea tidak akan lagi mewaspadai dirinya, yang ingin kembali dekat dengan Elea.

"Lo ingat kenapa gue bisa ilang dari pengawas orang tua gue?" Elea menoleh ke arah sudut ruangan di mana David berdiri.

David mengerutkan dahinya, ia kurang ingat. "... nggak tau, karena hari itu gue sekeluarga ada di luar kota. Saat gue kembali ke sini sama keluarga gue, di gerbang depan perumahan. Dipenuhi oleh para wartawan, rumah lo pun banyak orang. Saat itu gue nggak tau kalo lo diculik. Sampai berita serta foto lo terpampang di halaman situs online, koran, serta televisi. Sayangnya, semua telepon yang masuk cuma pingin duit dari keluarga lo. Puncaknya di saat Eyang lo meninggal dunia, karena kehilangan lo. Mulai hari itu nggak ada yang ngomongin lo. Nama lo mendadak jadi terlarang, sampai sosok anak perempuan seusia kita diadopsi buat menghibur hati keluarga besar Baskara."

Jari jemari Elea mengusap fotonya perlahan di sana ia tersenyum lebar dengan gaun cantik, dipeluk oleh Zion. Dirangkul oleh David, ketiganya tersenyum ke arah kamera.

"Lo nggak ingat masa-masa itu?" tanya David penasaran.

Kepala Elea mengeleng. "Gue cuma ingat, gue berada di kapal pelaut. Menyeberang pulau yang jauh sekali, menangis memeluk boneka beruang. Beberapa tahun gue lalui dengan wanita itu, sampai di mana wanita itu meninggal dunia. Gue baru pergi dari pulau terpencil itu, dan terluntang-lantung di kota ini. Lucunya lagi, gue menemukan selembaran lama di saat gue ngumpulin koran bekas. Di saat itu lah gue pikir, gue bukan anak yang dibuang. Gue punya keluarga."

David melangkahkan kedua kaki penjaganya di sofa, ditekuk kedua kakinya di lantai. David menengadah, melirik wajah Elea.

"Gue terus nungguin lo, El. Nungguin lo kembali, meskipun di saat lo kembali. Sebelum gue mendekat, lo udah natap garang ke arah gue," tutur David tulus, "selamat datang kembali Elea Baskara."

Bulir bening berjatuhan di pelupuk matanya, David panik melihat air mata Elea. Ditariknya beberapa lembar tisu, diusapnya lembut pipi Elea.

"Ta—tapi, semua orang di rumah itu benci gue. Mereka cuma sayang Rania, gue cuma kek kutu busuk di tumpukan emas. Gu—gue harusnya nggak balik lagi ke sini," jawab Elea menangis tergugu.

David memeluk tubuh Elea, menepuk-nepuk kecil punggung belakang Elea.

"Siapa yang bilang kek gitu? Lo nggak tau seberapa bersyukurnya gue. Saat lo masih hidup dan balik dengan selamat, El. Memanggil nama lo, berulang kali sesuka gue lagi. Elea-nya gue." David berucap tegas, jika ia mensyukuri kembali Elea.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!