Audrey melirik ponselnya kembali. Ia sedikit gelisah menunggu Vivian sahabatnya yang baru kembali dari luar negeri. Vivian adalah sahabatnya sejak mereka sekolah dan mereka berjanji untuk bertemu di salah satu kafe langganan Audrey.
Lagi-lagi gadis berambut coklat dengan sedikit gelombang itu mendecak kesal. Tapi senyumannya segera merekah saat melihat satu sosok membawa sebuah paper bag besar dengan sedikit kesulitan karena diluar hujan baru saja turun.
Vivian melambai saat melihat Audrey, ia segera berlari dan memeluk sahabatnya.
"Sudah lama?" tanya Vivian saat mereka duduk.
"Lumayan, kenapa lama sekali?" tanya Audrey sedikit merajuk.
"Maaf, tadi macet. Nih buat kamu!" Vivian menyodorkan paperbag besar tersebut untuk Audrey.
"Waaah thanks ya Vi!" Audrey merasa senang melihat isi dalamnya berupa barang-barang yang diinginkannya.
"Heran deh, random kamu itu nggak berubah," ucap Vivian saat melihat Audrey sedang membongkar satu per satu barang yang dibawakan Vivian.
"Beda kualitas Vi!" ucap Audrey. Ia semakin terpekik senang saat melihat satu buku yang dibawakan oleh Vivian.
"Berisik!" ucap Vivian saat Audrey terpekik senang dan memeluknya.
"Kok bisa sih kamu beli buku ini?" tanya Audrey heran. Buku itu kan terbit di negaranya tidak mungkin Audrey membelinya di luar negeri karena bahasa yang dipakai dibuku itu bukan bahasa luar.
"Tadi pagi aku mampir ke toko buku, iseng aja aku belikan. Eh belum punya kan?" tanya Vivian. Audrey menggeleng lalu menyimpan buku itu kembali.
"So, berapa lama libur?" tanya Audrey.
"Hmmm lumayan lama, sebulanan lebih. Makanya aku lebih memilih pulang jumpain sahabat aku yang cengeng ini," ucap Vivian.
"Aku nggak cengeng!" bantah Audrey.
"Ya... Terserah!" ucap Vivian meraih minumannya sambil menatap Audrey.
"Kenapa?" tanya Audrey, merasa aneh dengan tatapan Vivian.
"Aku mau tau gimana kabar yang sebenarnya," ucap Vivian.
"Biasa aja Vi!" Audrey mencoba biasa saja meski ia masih merasa sakit. Ia tahu ke arah mana pembicaraan Vivian.
"Kamu belum move on dari dia?" tanya Vivian.
"Please Vi! Kita udah bahas ini. Aku nggak mau mengingat apapun lagi!" bantah Audrey. Vivian dapat melihat bagaimana mata Audrey masih menyimpan luka itu. Ia tahu sahabatnya tak mudah melupakan luka yng ditorehkan seseorang.
"Oke, aku hanya bertanya, maaf," ucap Vivian tulus. Audrey mencoba tersenyum dan mengalihkan pembicaraan.
"Jadi... Sudah ada cowok luar yang ditaklukan sahabatku ini?" tanya Audrey mencoba mencairkan suasana. Vivian dengan cepat menceritakan teman-teman dan juga cowok yang ditaksirnya. Audrey tersenyum mendengarnya.
Hujan sudah tak sederas tadi, kini hanya rintik-rintik halus yang masih jatuh. Audrey melihat keluar melalui dinding kaca di sampingnya. Hujan mengingatkannya pada seseorang.
Diluar beberapa orang sudah mulai keluar dari tempat berteduh. Dengan menggunakan payung, mereka melintasi jalanan dan menghindari kubangan berisi air. Ia juga melihat beberapa orang membeli aneka makanan dan gorengan yang ada di sepanjang jalan. Ia melihat satu sosok dengan bahu lebar itu. Seperti tidak asing. Audrey menyipitkan matanya, apakah memang mata minusnya yang bertambah atau memang ia terlampau mengingat seseorang yang ingin dilupakan.Audrey menggeleng mengusir bayangan seseorang yang masih menghantuinya.
"Drey...! Ih malah melamun!" Vivian menepuk lengannya.
"Ih siapa yang melamun! Nggak kok!" Audrey segera mengalihkan pandangannya dan kembali fokus pada cerita Vivian.
Seseorang yang sedang membeli makanan pesanan adiknya itu berbalik dan matanya melihat dua sahabat yang sangat ia kenali. Sedikit terkejut mengingat selama ini ia tak pernah melihat keduanya atau salah satunya. Ya dia adalah Devandra. Jika bukan karena adiknya yang merengek meminta jajanan saat ia pulang kerja, ia tak akan mau berhenti saat hujan begini.
Devandra melihat kembali kedua orang yang asik bercerita. Ia tak mungkin lupa gadis berambut coklat bergelombang itu. Meski kini ia terlihat tanpa kacamata, dengan rambut panjangnya. Devandra tak mungkin salah orang. Ia merindukan gadis itu. Devandra menimbang sebentar apakah ia masuk ke kafe atau membiarkan saja. Tapi kesempatan untuk bertemu belum tentu terjadi lagi.
Dengan pertimbangan tersebut, Devandra menyeberang jalan dan memasuki kafe tersebut dengan dada berdebar. Apakah gadis itu akan melihatnya? Apakah dia akan mendapatkan marahnya?
Devandra meletakkan payungnya dan masuk ke dalam kafe sambil mengibaskan celana kantornya. Ia berjalan masuk dan saat ia melihat lurus tatapannya bertemu dengan tatapan Audrey, gadisnya dulu. Sejenak keduanya mematung. Jantung Devandra serasa meledak, ada rasa yang masih tersimpan di dadanya.
Sementara itu, Audrey yang kaget melihat seseorang di depan pintu kafe hanya bisa terdiam. Entah bagaimana ia mendefinisikan perasaannya saat ini. Audrey menahan napasnya saat Devandra mulai berjalan ke arahnya.
"Drey! Ih ni anak kenapa sih?" Vivian yang asik bercerita dan melihat Audrey terdiam segera melihat ke belakangnya. Lalu matanya membelalak kaget. Devandra berjalan ke arah mereka. Vivian segera melihat Audrey. Sahabatnya hanya bisa diam menatap Devandra. Vivian tidak bisa menilai apa yang dirasa Audrey. Karena ia hanya diam.
"Hai...!" Devandra telah sampai di meja mereka dan menyapa. Vivian menoleh dan tersenyum.
"Hei Devan! Wah kebetulan sekali bisa bertemu di sini," Vivian berkata sambil tersenyum.
"Iya, aku kaget saat masuk melihat kalian. Apa kabar?" tanya Devandra mengulurkan tangannya dan disambut Vivian.
"Baik! Kamu apa kabar?" tanya Vivian.
"Baik. Hai Audrey, apa kabar?" Devandra beralih pada Audrey dan mengulurkan tangannya. Audrey menatapnya diam, Devan tidak bisa menilai bagaimana Audrey saat ini. Ia begitu diam dan menyimpan segalanya. Devan merasa Audrey akan mengabaikan uluran tangannya akan menarik kembali tangannya.
"Baik!" jawab Audrey pelan menyambut uluran tangannya. Seketika jantung Devan berdegup kencang, hangatnya telapak tangan Audrey sampai ke hatinya. Menghangat.
Setelah pembicaraan singkat itu,Audrey lebih tertarik dengan minumannya. Devan paham, ia berpamitan mencari meja lain, tapi semua penuh karena ini sudah sore. Saatnya jam pulang kantor ditambah hujan yang kembali turun membuat orang lebih memilih berteduh dan menikmati minuman hangat di kafe itu.
"Boleh bergabung? Karena maaf, meja lain penuh semua," ucap Devandra. Vivian melihat memang benar Kafe itu penuh. Sejenak ia menatap Audrey tapi gadis itu menunduk. Vivian berada disituasi yang serba salah.
"Ya, silahkan. Aku rasa Audrey juga tidak keberatan. Meja lain sudah penuh," ucap Vivian. Audrey mendongak dan menatapnya dengan sedikit melotot. Vivian hanya pasrah, bagaimana mungkin Audrey tidak keberatan. Tapi juga tidak mungkin menolak Devan. Apa salahnya, kan?
"Thanks!" Devandra mengembangkan senyumnya dan memilih duduk di samping Vivian yang berhadapan dengan Audrey. Vivian hanya menatap Devan aneh. Bukankah ini adalah kesempatan untuk Devan bisa kembali dekat dengan Audrey? Tapi malah duduk di samping Vivian.
"Kalian sudah lama?" tanya Devan setelah memesan minumannya.
"Lumayan, kamu darimana?" tanya Vivian.
"Dari kantor. Tadi kebetulan adikku pesan jajanan di sana. Karena hujan jadi aku mampir untuk membeli kopi. Ternyata ada kalian," ucapnya. Vivian hanya ber-oooh panjang.
Dibawah meja, Vivian menendang kaki Audrey. Audrey yang kesakitan melotot menatap Vivian.
"Kenapa Drey?" tanya Devan saat melihat Audrey menatap Vivian dengan marah. Audrey hanya melengos dan membuang pandangannya keluar. Seolah pemandangan hujan lebih menarik daripada dua orang di hadapannya.
Devan menghela napasnya. Sepertinya pertemuan ini salah. Harusnya dia diam saja dan menatap Audrey dari jauh. Seharusnya begitu. Memangnya apa yang diharapkannya pada gadis yang dulu pernah dia sakiti?
Audrey menghela napasnya lega. Akhirnya ia ada di dalam taksi online yang dipesannya beberapa saat yang lalu. Audrey tak lagi menatap ke belakang, ia fokus di jalanan.
Setengah jam ia menghabiskan waktu bersama Devandra tentu saja bersama Vivian. Audrey merutuk saat Vivian menawarkan meja mereka untuk Devan. Entahlah, saat ini meski ia tidak secara terang-terangan memusuhi Devan, tapi untuk bertemu kembali juga rasanya Audrey belum bisa.
Devan dan Vivian bisa leluasa mengobrol, tentu saja karena Vivian tidak merasakan bagaimana dirinya dulu dipermainkan Devan. Ya, Devan adalah luka lamanya. Entah takdir apa selanjutnya hingga ia dipertemukan lagi dengan pria itu saat ini tanpa disengaja.
Setelah hujan reda, Audrey tadi memutuskan untuk pulang. Tadinya ia akan pulang bersama Vivian tapi ternyata gadis itu ada keperluan dengan keluarganya sehingga terburu-buru pulang dan menitipkannya pada Devandra! Yang benar saja.
Audrey menggerutu dalam hati. Ia lebih senang memesan taksi online daripada semobil berdua dengan Devan. Devan berkali-kali memaksa ingin mengantar karena rumah mereka searah, Audrey tentu saja menolak.
Bahkan saat Audrey menunggu taksi online di teras kafe, Devan masih menungguinya. Membuat Audrey semakin kesal.
"Kamu pulang aja!" usir Audrey terang-terangan saat Devan mengatakan akan menemani Audrey menunggu taksi online. Ia tak mau terlalu memaksa Audrey untuk ikut dengannya karena berkali-kali Audrey menolak.
"Nggak apa, aku pastikan dulu kamu pulang," ucap Devan dengan senyuman yang dulu membuat Audrey luluh. Tapi sekarang tidak. Audrey segera membuang pandangannya ke jalan, menunggu.
Setelah mobil pesanannya datang, Audrey hanya mengangguk pada Devan dan berlalu dari sana. Dan masih didengarnya saat Devan mengatakan "hati-hati" sesaat sebelum pintu mobil ditutupnya dengan keras.
Audrey kembali menghela napasnya. Kenapa dia hrus bertemu Devan hari ini? Padahal selama ini ia berusaha melupakan nama itu.
"Sudah sampai mbak!" supir taksi mengingatkan. Audrey tersentak, selama diperjalanan ia melamun. Setelah membayar, Audrey turun dan masuk ke rumahnya.
"Sudah pulang? Mana Vivian?" tanya mama Rena saat melihat Audrey pulang.
"Vivian kirim salam, nggak jadi nginep di sini. Tadi di telpon sama om. Nggak tau ada apa," ucap Audrey. Mamanya mengangguk.
"Ya udah, mandi dulu," ucap mamanya. Audrey mengangguk dan berpamitan ke kamarnya.
Audrey membanting tubuhnya ke kasur. Mengingat pertemuannya dengan Devan. Sekuat apapun ia menolak tapi bayangan Devan selalu hadir. Senyumnya masih teringat jelas bahkan aroma parfum maskulinnya masih samar tercium. Audrey mengusap wajahnya dan memaksa dirinya bangkit menuju kamar mandi. Ia harus bisa sekali lagi melupakan Devan.
Audrey memakan makanannya dengan malas. Ia kehilangan selera makan.
"Kamu kenapa? ada masalah?" tanya mamanya. Audrey menggeleng.
"Masih kenyang ma, maaf. Tadi ngobrol sambil makan dengan Vivian sampai penuh perut Audrey," ucap Audrey.
"Padahal mama nungguin dia datang, jadi masak agak lebih. Nah ini makanannya mau digimanain?" ucap mamanya.
"Kasih ke tetangga aja ma," ucap Audrey.
"Nah benar! Kamu antarkan nanti ke rumah tante Oliv ya!" ucap mamanya senang.
"Tapi ma..."
"Bantuin yah! Mama capek loh abis masak tadi," Audrey akhirnya mengangguk saat melihat mamanya. Andai saja ia sanggup, ia lebih memilih menghabiskan makanan itu sendiri daripada harus ke rumah tetangganya.
Tante Oliv itu baik dan ramah. Audrey menyukainya tapi tidak dengan anaknya. Audrey kembali merutuk dalam hati. Setelah bertemu dengan Devan kini ia harus berhadapan dengan Egi tetangganya. Semoga anak itu tidak di rumah.
Audrey membawa baki berisi makanan yang masih hangat ke sebelah rumahnya sambil berdoa semoga anak itu tidak di rumah. Audrey mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Pintu terbuka dan orang yang tidak diharapkan yang membuka pintu dengan tersenyum lebar.
"Audrey! Ayo masuk!" ucap Egi mempersilahkan Audrey masuk.
"Tidak usah! Aku hanya mengantar ini disuruh..."
"Siapa Gi?" tanya Oliv, ibu Egi.
"Calon mantu mama nih datang, bawain makanan," ucap Egi. Audrey melotot kesal.
"Ayo masuk dulu Drey!" ucap tante Oliv.
"Nggak usah tante, cuma mau antar ini aja," tolak Audrey.
"Udah sini! Ayo masuk sebentar! Tante ada perlu sama kamu kebetulan kamu datang," Oliv menarik tangan Audrey setelah menerima baki dari Audrey.
"Wah enak nih! Makanan calon mama mertua emang selalu enak," ucap Egi yang mencicipi makanan yang Audrey bawa. Audrey mengabaikan pria itu sambil duduk meja makan.
"Kamu udah makan? Mau aku suapin?" tanya Egi menyodorkan sesendok makanan.
"Nggak! Aku udah makan!"
"Dih ketus amat. Kamu kapan bisa masakin aku makanan lagi?" tanya Egi.
"Nggak akan lagi!" jawab Audrey.
"Kenapa calon istri?" tanya Egi sambil tersenyum jahil.
"Stop memanggilku seperti itu!"
"Seperti apa?"
"Ya itu, yang tadi.. " ucap Audrey.
"Iya, yang mana satu?" tanya Egi.
"Calon istri!"
"Ohhh jadi kamu maunya dipanggil apa? Sayang? Cinta? Istriku?"
"Egi!" Audrey memanggilnya dengan kesal. Egi hanya terkekeh.
"Kamu kenapa sih jutek gitu? Aku kan nanya baik-baik mau dipanggil apa," ucap Egi.
"Audrey aja bisa kan?"
"Nggaklah," jawabnya cuek.
"Audrey, coba lihat ini! Kemarin tante tu belanja liat dress ini lucu deh. Kan tante nggak punya anak perempuan cuma gemes aja liatnya. Terus keinget kamu. Kayaknya pas, cobain dulu," ucap Oliv menyodorkan sebuah dress berwarna biru.
"Cantik warnanya tante," ucap Audrey.
"Iya kan? Tante aja langsung naksir liatnya. Cobin dulu sana di kamar," ucap Oliv.
"Di kamar aku aja Drey!" ucap Egi, yang langsung meringis karena Oliv memukul bahunya dengan keras.
Audrey mencoba dress yang dibelikan Oliv. Memang pas dibadannya. Tidak terlalu pendek juga. Audrey menyukainya.
"Cantik banget kamu Drey," puji Oliv.
"Terimakasih tante," ucap Audrey malu-malu.
"Waaah aku nggak salah pilih kan ma," ucap Egi menerobos masuk ke kamar. Audrey mendengus.
"Sana keluar!" usir Audrey.
"Lah kenapa?" tanya Egi.
"Aku mau ganti baju!" ucap Audrey.
"Udah gitu aja lah!" ucap Egi santai.
"Nggak ah, aku mau pulang!" ucap Audrey. Egi menahan tangan Audrey.
"Ayolah, sesekali kita jalan. Mumpung dressnya udah kepake," ucap Egi.
"Nggak ah, aku capek!" ucap Audrey.
"Egi! Kamu ini ya. Udah sana keluar. Audrey capek itu, " ucap Oliv. Egi hanya tersenyum.
"Iya tapi janji ya kapan-kapan kita jalan, kamu pake dress ini," ucap Egi.
"Nggak janji ya," ucap Audrey.
"Hmmmh... Iya deh!" Egi pasrah mendengarnya. Oliv dan Audrey tersenyum melihat Egi.
Setelah melipat dressnya, Audrey pamit pulang diantar oleh Egi yang ngotot mengantar Audrey pulang.
"Drey... Aku serius. Tipe cowok kamu gimana?" tanya Egi.
"Laki-laki bertanggung jawab," ucap Audrey.
"Gitu aja?" tanya Egi. Audrey mengangguk.
"Nggak ada kriteria khusus Gi, udah males berekspektasi yang ujung-ujungnya nggak sesuai dengan hati. Biarin aja apa adanya," ucap Audrey.
"Kalo kita jalanin aja sampe aku lamar kamu gimana?" tanya Egi serius.
"Maksud kamu?"
Audrey mendengus napas kasar saat Egi memintanya menjadi istri. Audrey justru tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Egi. Mana mungkin Egi bisa seserius itu sedangkan pacarnya masih berganti-ganti setiap bulannya.
Audrey mengabaikan Egi dan masuk ke rumah. Dan menutup pintu tanpa menawarkan Egi untuk mampir. Kepalanya sedikit berdenyut, mungkin efek karena ia tadi sempat terkena gerimis. Audrey mengabaikan denyut di kepalanya dan berbaring.
Isi kepalanya berlompatan keluar. Terlalu banyak yang dipikirkan. Kejutan hari ini tak pernah terbayang oleh Audrey. Pertemuan dengan Devan membuatnya berpikir keras. Entah bagaimana ia harus bersikap bila bertemu Devan atau Naila. Ia merasa bersalah pada gadis itu.
Flasback
Audrey dan temannya sedang berbaris di lapangan saat kembali masuk sekolah setelah liburan semester. Mereka menunggu pembagian kelas sebelum memulai tahun ajaran baru di kelas XI SMA.
"Drey, ini buat kamu!" ucap Devan cepat sambil mengedipkan sebelah matanya. Audrey tersenyum mengangguk dan meraih buku bersampul biru dari tangan Devan lalu memasukkannya ke tas.
"Cie... Dikasih buku! Buku apaan?" tanya Vivian. Audrey mengangkat bahu.
"Nggak tahu, nanti deh diliat. Ayo baris!" Audrey dan Vivian segera masuk ke barisan dan bersikap siap. Sementara dari barisan lain ada dua pasang mata menatap Audrey sinis.
Setelah pembagian kelas, Audrey dan Vivian ke kelas masing-masing. Mereka terpisah kelas. Meski begitu keduanya berjanji untuk tetap bersama meski bertemu dengan teman-teman baru.
"Hei... Gimana kelas barunya?" tanya Vivian saat melihat Audrey menunggunya di koridor.
"Not bad, udah selesaikan? Kita ke kantin yuk!" ajak Audrey. Vivian mengangguk.
"Jadi Devan tadi ngasih buku apaan? Memangnya kamu dan Devan temenan? Setahu aku kalian nggak pernah keliatan barengan atau ada yang kamu sembunyikan?" tanya Vivian. Saat ini mereka sedang antri makanan setelah itu mereka duduk di pojokan meja kantin tempat yang tidak terlalu ramai.
"Aku belum buka bukunya dan kami memang merahasiakan hal ini, aku juga kaget tadi tiba-tiba dia ngasih buku itu. Tadi dia juga chat, bukunya buka di rumah aja," ucap Audrey.
"Dia juga chat? Wow! Aku bahkan nggak tau hal ini!" Vivian merajuk.
"Ya maaf, aku udah janji untuk nggak ceritakan apapun. Ini our little secret," ucap Audrey. Vivian menyipitkan matanya saat rombongan Naira dan teman sekelasnya memasuki kantin dan menatap mereka sinis.
"Hmmm kamu hutang penjelasan denganku!" ucap Vivian tanpa mengalihkan pandangan dari rombongan Naira. Audrey mengangguk dan tidak memperhatikan sekelilingnya. Bahkan saat Naira kembali ke kelas, Vivian masih memerhatikan mereka.
"Jadi, aku dan Devan itu teman dekat," ucap Audrey setelah selesai makan.
"Hah? Sejak kapan?" tanya Vivian, jujur saja ia yang bersahabat dengan Audrey bahkan tidak tahu hal ini.
"Sejak kapan ya? Pertengahan semester. Aku sering ke perpustakaan, kamu sih waktu itu sering libur karena banyak kegiatan model kemarin. Nah, kami sering bertemu di perpustakaan dan cerita-cerita ternyata kami nyambung. Dan jadi dekat karena sering bahas buku," ucap Audrey.
"Hanya itu?" tanya Vivian. Audrey mengangguk tapi Vivian seolah tidak percaya dan mendesak Audrey agar menceritakan semuanya.
"Iya okeiìiiiii... Aku jujur, sebelum liburan semester Devan pernah mengajakku nonton," ucap Audrey. Vivian semakin membelalakkan matanya.
"Seriu??" tanyanya kaget untuk yang kesekian kalinya. Audrey tertawa melihat ekspresi Vivian.
"Biasa aja kali Vi, kamu belum tau kan akhirnya waktu liburan kami bahkan jalan bareng dan dia nyatain perasaannya," ucap Audrey tenang.
"Serius? Terus kamu jawab apa?" tanya Vivian tak sabar.
"Aku belum jawab sampai sekarang. Entahlah ada perasaan ragu tapi..." Audrey kembali diam.
"Tapi kenapa?"
"Aku nyaman ngobrol dengan dia, kita nyambung kalau ngobrol. Bahkan hobi dan bacaan kami sama," ucap Audrey tersenyum saat mengingat bagaimana mereka menghabiskan waktu berjam-jam bercerita seperti tidak ada habisnya. Bahkan Devan bisa membuat Audrey tertawa dengan leluconnya. Di rumah pun Devan dan Audrey saling berkirim pesan dan saling memberikan perhatian. Audrey pun sulit menjelaskan bagaimana hubungan mereka.
"Sejauh itu? Dan aku sebagai sahabat baru tau sekarang? Keterlaluan Drey!" ucap Vivian.
"Maaf! Ini memang kami rahasiakan atas permintaan Devan,"
"Devan memintamu merahasiakannya?" tanya Vivian.
"Iya, kamu kenapa sinis begitu? Iya aku salah merahasiakan ini. Maaf ya? Kan sekarang udah cerita. Aku rasa Devan juga nggak masalah aku cerita ke kamu. Soalnya dia tadi juga terang-terangan ngasih buku tadi," ucap Audrey sambil menandaskan minumannya.
"Entahlah Drey, aku rasa ada yang salah," ucap Vivian.
"Maksudnya? Aku nggak boleh deket dengan Devan?" tanya Audrey. Vivian mengangguk. "Kenapa?"
"Aku harus memastikan sesuatu dulu," ucap Vivian.
"Kamu suka Devan juga?" tanya Audrey polos. Vivian hanya tertawa.
"Ya nggaklah, dia bukan tipeku. Tadi aku lihat ada yang nggak suka liat Devan ngasih buku itu ke kamu," ucap Vivian.
"Oh ya? Siapa? Aku nggak terlalu merhatiin," ucap Audrey.
"Naira.."
"Naira? kelas berapa?" tanya Audrey.
"Kamu kayaknya harus mulai bergaul, perbanyak teman. Jangan cuma aku doang. Masak anak kelas sebelah kamu nggak tau," ucap Vivian.
"Memang nggak tau!" ucap Audrey cuek. Kenapa ia harus mau tau urusan orang lain yang tak dikenalnya? Jika memang orang yang bernama Naira itu menyukai Devan ya kenapa harus sinis dengannya? Kan dia bisa usaha sendiri tanpa harus merengut dan menatapnya dengan sinis hanya karena Audrey yang sudah dekat dengan Devan. Begitulah pemikirannya saat itu.
Flasback off
Semua berawal dari saat itu. Saat Devan memberikan buku bersampul biru itu. Setelahnya Devan sedikit berubah tapi masih perhatian dengannya. Apalagi saat ia tahu ternyata dirinya dan Devan berada di kelas yang sama.
Audrey menggelengkan kepalanya. Mengusir semua kenangan yang selama ini ia kubur dan berusaha melupakan. Tapi semua kenangan itu masih melekat di pikirannya.
Audrey akui saat sekolah dulu ia terlalu cuek dengan sekitarnya. Berteman hanya dengan segelintir teman dan Vivian. Padahal Vivian cukup terkenal tapi dirinya tenggelam. Terlebih dulu ia memakai kacamata dan tidak berdandan atau mengikuti tren. Dia menjadi dirinya sendiri disamping Vivian yang memiliki segalanya.
Sampai ia bertemu Devan di perpustakaan, mereka menjadi dekat dan semua bermula dari sana. Dari kedekatan mereka yang tanpa sengaja. Hingga lahirlah perasaan suka di diri Audrey. Dan ternyata semua itu berbalas. Devan juga memiliki perasaan yang sama untuk Audrey. Itulah mengapa ia sering menghilang ke perpustakaan. Tempat yang merupakan pelarian Devan kala bolos. Di sana juga ternyata tempat Audrey bersantai dan membaca.
Semua dari ketidaksengajaan lalu tertarik. Seperti hari ini, saat Audrey dan Devan tidak sengaja bertemu. Apakah kisah mereka akan berlanjut kembali atau mereka memilih untuk tetap asing meski masa lalu mereka sebenarnya belum usai?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!