NovelToon NovelToon

The Billionaire'S Baby Girl

BB 1

Karina, wanita berusia 27 tahun, yang telah menikah dengan seorang pria bernama Pramudya seorang pengusaha tekstil di Jakarta. Karina sendiri bekerja di sebuah toko swalayan terbesar di Jakarta bersama sahabatnya sekaligus sepupu Pramudya, bernama Raihan.

Usia pernikahan mereka hampir menginjak satu tahun, namun yang di rasakan Karina semakin lama semakin menjadi beban tersendiri. Pasalnya Pramudya, pria yang ia cintai berubah. Tidak seperti masih berpacaran, Pramudya selaku kepala rumah tangga lebih menunjukkan Ego dibanding sebuah pengertian yang selama pacaran sering pria itu tunjukkan. Pramudya tak pernah mau lagi berhubungan dan hanya selalu menuntut di perhatikan apapun yang ia mau dan butuhkan tanpa mau balik memperhatikan. Egoisme yang tinggi Pramudya miliki, susah untuk diubah bahkan sangat sulit hanya sekedar untuk memberinya saran. Dia menganggap, bahwa semua pekerjaan rumah harus di lakukan wanita, dia terlalu manja hingga merasa kurang dan kurang. Hingga menghancurkan mimpi Karina untuk melanjutkan kuliahnya, ia pun harus berhenti bekerja karena pria itu merasa kalau Karina kurang memperhatikan. Padahal selama ini, Karina sudah mencurahkan segenap perhatian, cinta, dan kasih sayang. Namun Pramudya tak mau di salahkan jika dia salah. Yang paling membuat Karina frustasi adalah, pria berhak memiliki istri lebih jika memang Karina tidak bisa memberikannya keturunan. Karina sering merasa sakit hati, tatkala Pramudya bersenang senang dengan dunianya sendiri. Bahkan tidak pernah memberitahu dia mau kemana dan ada di mana. Pramudya selalu menuntut cerai apabila Karina terlalu posesif, bahkan tidak jarang suaminya sering mengintimidasi Karina karena hal sepele.

Keharmonisan rumah tangga mereka rentan bermasalah karena hal sepele, hubungan yang semakin dilematis. Karina memutuskan untuk memilih diam, karena ia terlalu mencintai Pramudya dan takut kehilangannya. Sikap diam Karina membuat masalah masalah yang ada menjadi beban yang tak pernah ada penyelesaiannya, dan selalu mengambang tanpa akhir yang pasti.

Seharusnya hubungan cinta atau rumah tangga setidaknya harus saling terbuka, seimbang dan saling percaya masing masing pasangan tidak akan saling meninggalkan. Bukan sebaliknya. Pramudya nyaris menghancurkan hidup Karina karena ke egoisannya.

Karina mendesah kecewa, ia masih sulit memejamkan matanya. Semenjak perubahan sikap Pramudya sejak awal menikah membuat Karina menerka nerka. "Benarkah Pram menikahiku karena cinta?" gumamnya pelan.

Cinta bukan berasal dari pikiran, cinta bukanlah sekedar perbuatan seksual. Cinta bukanlah sesuatu yang dapat di bayangkan, cinta bukan sesuatu yang dapat di rumuskan. Cinta bukanlah sesuatu untuk disesuaikan. Jika cinta sudah tidak bermakna lagi, akan menjadi sumber konflik. Entah sampai kapan Karina harus seperti itu, ia sendiri tidak tahu.

Untuk memahami keinginan sendiri saja sangat sukar sekali, apalagi memahami sesuatu yang sangat penting, begitu menuntut, begitu urgen oleh pemenuhan keinginan itu sendiri. Dengan segala kenikmatan dan kesakitannya memahami keinginan.

"Seharusnya, aku mempertimbangkannya terlebih dahulu, sebelum menerima lamarannya dulu." Karina kembali mendesah.

Sementara Pramudya sendiri menikahi Karina hanya sebatas kasihan, dan ingin membantu Karina dan Ibunya masalah ekonomi. Pramudya terpaksa menikahi Karina atas paksaan kedua orangtuanya karena telah menabrak Ayahnya Karina sewaktu wanita itu masih kecil. Pramudya sendiri diam diam menikah dengan wanita pujaannya sekaligus sahabat Karina, yaitu Zahra.

Satu tahun pernikahan Pram dan Zahra, sama sekali tidak terendus Karina, karena Pramudya terlihat menyayangi Karina dan selain itu, Pramudya membatasi Karina untuk berada di luar rumah juga pertemanannya.

BB 2

Seperti hari hari sebelumnya, Karina bangun lebih awal. Mempersiapkan sarapan untuk Pramudya, sampai mempersiapkan pakaian yang akan pria itu kenakan untuk bekerja. Setelah selesai ia siapkan, barulah Karina membangunkan Pramudya.

"Mas, bangun.." ucap Karina lembut, sembari mencium keningnya. Perlahan pria itu membuka mata menatap wajah Karina.

"Iya sayang." Pramudya bangun lalu duduk di atas tempat tidur.

"Kemarin sore Ibu dan Bapakku telpon. Sore ini mau datang ke sini, mungkin mau menginap beberapa hari."

Karina menarik napas dalam dalam, sesaat ia menundukkan kepala. Bukan ia tidak suka mertuanya datang, tapi tiap kali mereka datang berkunjung. Pertengkaran kecil antara Pramudya dan Karina seringkali terjadi. Pasalnya, kedua orang tua Pramudya selalu menekan Karina tentang anak.

"Baiklah mas, aku akan persiapkan segalanya," jawab Karina tersenyum menatap Pramudya.

"Aku mau, kau berpakaian yang sopan layaknya wanita. Jangan pakai celana panjang, atau celana pendek. Kau tahu, ibuku sangat tidak suka." Pram kembali mengingatkan kejadian yang sudah lewat.

Karina hanya tersenyum menganggukkan kepala. "Iya mas." Karina beranjak dari tepi tempat tidur, lalu keluar kamar. Sementara Pramudya bersiap siap untuk bekerja.

Karina duduk termenung di kursi sembari menunggu Pramudya selesai. Seiringnya waktu, Karina lebih memilih diam dari pada harus protes pada keputusan Pramudya yang hanya akan menimbulkan pertengkaran. Bahkan hal dalam berpakaianpun sering kali menjadi sebuah pertengkaran. Bukankah sejak masih pacaran, Pram tahu kalau Karina sedikit tomboy. Dan dia menerima itu, tapi mengapa sekarang ia berubah demi menyenangkan kedua orangtuanya, Pram harus menekan Karina sesuai keinginannya. Apakah wanita yang berpakaian sedikit tomboy buruk di mata orang lain? sebegitu dangkal kah cara berpikir mereka?

"Apa yang kau pikirkan?"

Karina terkejut, seketika lamunannya buyar. "Tidak ada mas," sahut Karina buru buru berdiri lalu menyiapkan sarapan untuk Pramudya.

"Mas, aku mau ke rumah Ibuku sebentar boleh?" tanya Karina sembari menuangkan air mineral ke dalam gelas. Lalu ia sodorkan ke hadapan Pramudya.

Pramudya melirik ke arah Karina. "Memang ada keperluan apa dengan Ibumu? apa Ibu sakit?' tanya Pramudya balik.

Karina menggelengkan kepalanya, " tidak mas, aku hanya kangen saja." Karina duduk di kursi.

"Bukankah bulan lalu, kau sudah mengunjungi Ibumu? lagian buat apa sering sering ke rumah Ibumu? bukankah di rumah banyak pekerjaan yang bisa di kerjakan?"

Karina menundukkan kepalanya, menarik napas dalam dalam. Lalu kembali diam tidak bicara lagi.

"Jangan buang buang waktu hanya untuk sekedar main main." Pramudya berdiri lalu mencium puncak kepala Karina sekilas. 'Aku berangkat dulu."

Karina mengangguk pelan, melirik sesaat ke arah Pramudya. "Iya mas, hati hati di jalan."

Karina hanya diam mengusap dadanya pelan, lalu ia berdiri membereskan gelas dan piring di meja makan.

***

Siang itu Karina kedatangan Raihan, sahabatnya. Kebetulan sekali ia butuh teman untuk bicara. "Kau mau minum apa?" tanya Karina menatap Raihan yang juga sepupunya Pramudya.

"Apa saja terserah kau, yang penting jangan racun!" sahut Raihan tertawa kecil.

"Kau ini, ada ada saja."

"Rai? kau di sini?" sapa Pramudya yang baru saja pulang. Hari ini ia pulang lebih cepat karena hendak menyambut kedatangan kedua orang tuanya dari Jawa.

Raihan menoleh dan menganggukkan kepalanya. "Eh Mas Pram, iya nih."

"Ya sudah, aku masuk dulu." Pramudya melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Tak lama Karina keluar membawa nampan di tangannya yang berisi minuman segar dan cemilan untuk Raihan.

"Suamimu sudah pulang, sebaiknya aku pulang saja. Tidak enak Rin.." ucap Raihan lalu berdiri.

"Loh, kau itu bagaimana? baru saja datang sudah mau pulang lagi." Karina mendesah kecewa. Namun alasan yang di berikan Raihan memang benar. Pramudya tidak suka melihat Karina lama lama ngobrol hanya buang buang waktu saja, meski itu dengan sahabatnya sendiri.

"Iya aku tahu, maaf ya.." ucap Karina pelan.

Raihan tersenyum mengelus bahu Karina. "Tidak apa apa, lebih sedih lagi kalau aku tahu, kau bertengkar hanya gara gara aku."

"Baiklah.."

"Kapan kapan kita bicara lagi, hubungi aku kalau kau butuh teman bicara."

Karina menganggukkan kepala. "Terima kasih ya." lalu mengantarkannya sampai gerbang rumah. Setelah itu, Karina kembali masuk ke dalam rumah menemui Pramudya di kamarnya.

"Ngobrol terus, apa tidak ada pekerjaan lain?" sindir Pramudya.

"Mas, tadi itu-?" Karina tidak melanjutkan ucapannya.

"Bisa tidak? sehari saja kau tidak membantah kata kataku. Ini semua aku lakukan supaya kau jadi istri yang baik untukkku dan kebaikanmu juga." Pramudya memotong ucapan Karina sebelum menyelesaikannya. Setelah bicara seperti itu, Pramudya ngeloyor begitu saja ke luar kamar.

Karina hanya bisa menarik napas dalam dalam, memejamkan matanya sesaat. Lalu duduk di kursi memikirkan sikap Pramudya yang benar benar berubah setelah menikah.

Hanya satu hal yang Karina sadari saat ini, setiap orang hidup berdasarkan pada banyak alasan. Seperti alasan Pramudya menikahi Karina karena cantik, pintar dan lincah. Namun kenyataannya? pada saat alasan itu tidak sesuai keinginannya? semua berubah.

"Kau mencintaiku karena aku menghiburmu, kau mencintaiku karena hasrat seksual, kau mencintaiku karena fisik," gumam Karina sedih. "Lalu apa kata cinta yang di ucapkannya dulu?"

Di dalam hubungan berdasarkan alasan selalu terdapat akhir dari hubungan itu sendiri. Lalu? adakah suatu kehidupan atau hubungan tanpa alasan? Karina menampuk wajahnya sendiri. Rasanya ia ingin menangis, setiap hari harus berpura pura dan tidak menjadi dirinya sendiri.

"Kau kenapa menangis? apa aku menyakitimu?" tanya Pramudya dari arah pintu kamar, berjalan mendekati Karina.

"Tidak mas, aku hanya kelilipan." Karina mengusap sudut matanya dengan telapak tangan.

"Lalu? kenapa kau masih duduk? sebentar lagi orangtuaku datang. Apa kau sudah mempersiapkan semuanya?" tanya Pramudya.

Karina berdiri menatap ke arah Pramudya. "Sudah mas, semua sudah selesai."

"Oke, aku mau istirahat sebentar."

Karina menganggukkan kepalanya, lalu melangkahkan kakinya keluar kamar, meninggalkan Pramudilya di kamar. Ia terus berjalan menuju dapur dan kembali melanjutkan pekerjaan yang memang sudah tidak ada lagi pekerjaan. Namun Pramudya kerap kali marah jika Karina banyak berdiam diri. Ada rasa bosan di hati Karina. Ia ingin kembali bekerja meski sekedar untuk membunuh kebosanannya di rumah.

Cinta yang dulu di agungkan Pramudya perlahan memudar, Karina berpikir itu bukanlah Cinta. Seharusnya Cinta itu membebaskan tanpa syarat, tanpa alasan. Seperti udara tanpa memilih siapa dan di mana. Udara tetap memberi tanpa mengharap imbalan. Cinta menyiratkan kebebasan besar, bukan untuk melakukan apa yang tidak di suka dan menekannya untuk suka.

"Ya Rabb, sampai kapan sandiwara ini akan berakhir," gumam Karina pelan.

BB 3

Tepat pukul 4:30. Kedua orang tua Pramudya sudah sampai di rumahnya. Pramudya dan Karina menyambut mereka dengan suka cita.

"Apa kabarmu, Nak.." sapa Sumarni pada putranya. Wanita itu memeluk Pramudya erat. Lalu beralih memeluk Karina.

"Apa kabarmu nduk?"

"Baik Bu.." balas Karina tersenyum menatap wajah Sumarni sesaat.

"Bagaimana perjalanannya Pak? Bu?" tanya Pramudya membuka pembicaraan setelah mereka duduk di ruang tamu. Sementara Karina membuatkan minuman segar dan cemilan.

"Lumayan lancar, tidak biasanya." Wagimo selaku ayah dari Pramudya menjelaskan.

"Syukurlah, kalian tidak terjebak kemacetan." Pramudya menatap Sumarni dan Wagino sesaat, lalu beralih menatap Karina yang baru saja datang membawa nampan berisi minuman segar dan cemilan, lalu di letakkan di atas meja.

"Oh ya? bagaimana program kehamilan kalian? sukses? Ibu dan Bapak sudah tidak sabar menimang cucu." Sumarni menatap Karina yang menundukkan kepala lalu beralih menatap Pramudya.

"Iya Le, saudaramu di kampung sudah punya anak dua. Kau kapan menyusul?" timpal Wagino.

"Kami juga sudah berusaha Pak, tapi Yang Maha Kuasa belum mempercayai kami punya keturunan." Pramudya beralasan yang sama untuk kesekian kalinya setiap di tanya kapan punya momongan.

"Cari alternatif lain, sekarang kalian masih muda. Masih kuat bekerja dan lain sebagainya, tapi bagaimana kalau kalian sudah tua? tidak punya anak itu rugi. Siapa yang akan merawat kalian di masa tua," ungkap Sumarni panjang lebar menasehati mereka berdua. Karina hanya diam, meskipun hatinya sangat ingin membantah kata kata Sumarni. Namun ia memilih diam dari pada nantinya berujung pertengkaran dengan Pramudya.

"Iya Bu, mungkin bulan depan Karina bisa hamil," ucap Pramudya melirik sesaat ke arah Karina yang masih diam menundukkan kepala.

"Amin," sahut mereka berdua serempak mengamini doa yang di ucapkan Pramudya.

"Ibu dan Bapak istirahat saja dulu, aku persiapkan makan malamnya."

"Iya nduk, Ibu lelah sekali." Sumarni melangkahkan kakinya bersama Karina menuju kamar yang sudah di siapkan.

***

"Buat apa punya banyak harta kalau tidak punya anak." Sumarni menatap Pramudya yang tengah asik membaca koran pagi.

"Betul Le, dalam agama juga di perbolehkan menikah lebih dari satu asal kau bisa bersikap adil pada kedua istrimu," ujar Wagimo menimpali.

Pramudya melipat korannya, ia mulai risih dengan tekanan dari ke dua orang tuanya. "Sabar dulu Pak, Bu, siapa tahu Karina bisa hamil." lalu ia letakkan koran di atas meja. Pria itu berdiri lalu masuk ke dalam rumah.

Tak lama ia kembali bersama Karina. "Aku berangkat kerja dulu, nanti siang pulang."

"Ya, hati hati di jalan."

Pramudya menganggukkan kepalanya, lalu melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir di halaman.

"Apa kamu tidak keberatan Nduk? kalau Pram menikah lagi." Sumarni menoleh ke arah Karian yang tengah menatap mobil Pram yang melaju meninggalkan rumah.

Karina menarik napas dalam dalam, lalu ia hembuskan dengan kasar. "Pak, Bu, bukan maksudku tidak sopan. Tapi, jika posisi aku ada pada Ibu. Bagaimana rasanya?"

Sumarni tertawa lebar menoleh ke arah suaminya sesaat. "Nduk, nduk, Ibu malah senang Nduk."

Karina lagi lagi menarik napas dalam, menggelengkan kepalanya. Lalu balik badan meninggalkan mereka berdua masuk ke dalam rumah.

"Ealah, anak jaman sekarang sukanya ngelawan." Sumarni menggelengkan kepala, merasa sikap Karina itu kurang bagus.

Tak lama Karina kembali menemui Sumarni dan Wagino. "Pak, Bu, aku pergi ke pasar dulu. Ada barang yang harus di beli."

"Iya Nduk, silahkan," sahut Sumarni menatap kesal Karina.

Kemudian Karina beranjak pergi menuju supermarket yang tak jauh dari rumah Ibunya tinggal. Setelah ia selesai membeli beberapa barang. Karina memutuskan untuk menemui Ibunya.

Karina menepikan mobilnya di halaman rumah Ibunya yang berukuran sedang. Ia keluar dari pintu mobil. Sesaat ia tertegun menatap pintu rumah Ibunya yang terbuka.

"Kebetulan, Ibu ada di rumah." Wanita itu tersenyum, lalu melangkahkan kakinya menuju rumah. Langkahnya terhenti di ambang pintu. Menatap ke arah Ibunya yang tengah duduk di kursi, di tangannya memegang botol minuman. Lalu Karina beralih menatap meja yang terlihat kotor dan berantakan, terdapat beberapa botol bekas minuman dan kartu yang berserakan di atas meja. Karina menggelengkan kepala, ia tidak mengerti dengan Ibunya sendiri, sudah berkali kali ia melarang Ibunya untuk tidak minum minuman beralkohol dan berjudi lagi. Tapi rupanya, kebiasaan buruk Ibunya masih di lakukan sampai sekarang.

Semenjak Ayahnya meninggal akibat korban tabrak lari, Ibu Karina menjadi seorang pemabuk dan penjudi.

"Ibu!" seru Karina, berjalan mendekati Ibunya, lalu merebut botol minuman di tangannya. Ia letakkan botol itu di atas meja.

"Karina?" ucapnya pelan.

"Ibu itu apa apan sih? aku sudah melarangmu untuk minum apalagi berjudi. Jadi? uang yang aku berikan tiap bulan habis untuk minum?" Karina duduk di sebelah Ibunya.

"Tidak Nak, uangmu untuk lunasin hutang Ayahmu dulu." Ibunya membela dirinya sendiri.

"Jawaban Ibu selalu itu itu saja, hutang kok tidak lunas lunas." Karina membentak Ibunya karena kesal.

"Nak, Ibu butuh uang lagi."

"Tidak! Karina berdiri menatap Ibunya. " Aku tidak akan memberikan uang kalau untuk membeli minuman."

"Tapi Nak.."

"Ibu, bukankah dua hari yang lalu baru aku kasih? di kemanakan uang itu?" Karina semakin kesal dan sedih. Kedatangannya ke rumah Ibunya untuk melepas rindu dan berbagi cerita. Namun yang ia dapatkan hanya kesedihan melihat kondisi Ibunya yang semakin kurus dan berantakan.

"Sampai kapan, Ibu seperti ini terus..." ucap Karina pelan sembari menyeka air mata di sudut matanya. Kemudian ia balik badan melangkahkan kakinya.

"Karina!"

Karina terus berjalan tanpa memperdulikan panggilan Ibunya, ia cukup bersabar dan sudah lelah denga permasalahan yang ada. Ia berharao, Ibu satu satunya yang menjadi sandarannya, ternyata sama saja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!