NovelToon NovelToon

Rayna Masuk Novel Harem?! Tolong

Prolog

"Rayn, menurut lo novelnya bagus gak?!" tanya seorang gadis bernama Aradea dengan antusias.

Rayna membolak-balik novel di tangannya dengan melihat cover depan-belakang buku itu. Lalu ia mengangkat kepala menatap sahabatnya, "Lumayan, lah. Gue suka banget sama semua tokoh pria. Andai, yang jadi si Emira itu gue. Aahhh! Pasti gue bahagia banget di kelilingi cogan!"

Aradea menoyor kepala Rayna dan mencebik, "Halu, lo!"

Rayna menatap Aradea dengan cemberut seraya memegang bagian yang di toyor Aradea, "Lo jangan giniin kepala cantik ak—eh gue! Emak gue udah mitrahin gue tau!"

Aradea terkekeh. Sebenarnya, sahabatnya itu sangat polos sebelum bertemu dengannya. Saat berbicara pertama kali dengannya, Rayna selalu memakai bahasa sunda. Namun, mungkin karena berteman dengannya, Rayna menjadi tahu kata 'gue-lo', beberapa bahasa inggris singkat, atau bahasa indonesia gaul yang sudah biasa Aradea pake ketika di kotanya dan di sekolahnya.

Ya, Aradea berasal dari Ibu kota negara Indonesia—Jakarta. Namun, perusahaan keluarganya bangkrut dengan hutang menggunung, semua mobil dan rumahnya di jual. Jadi, Aradea dan keluarganya pindah ke kampung yang merupakan tempat nenek dari pihak ibu tinggal.

Namun, walaupun keluarga Aradea jatuh ketitik dasar, tapi keluarganya masih bisa membeli kebutuhan sehari-hari sangat cukup. Jika di kota, keadaannya akan di sebut miskin, namun setelah keluarganya datang ke kampung, mereka menjadi orang terkaya di kampung itu.

Lalu Aradea sekolah di sebuah sekolah SMA sederhana dan bertemu dengan Rayna. Jika saja ada orang seperti Rayna di sekolahnya, mungkin Rayna akan menjadi target bully para tukang bully. Dengan begitu, Aradea mengajarkan bahasa-bahasa gaul dan kebiasaanya tanpa merusak hati polosnya.

Saat ini, ada sebuah novel yang berada di tangan Rayna, merupakan salah satu novel harem yang ia bawa dari kota Jakarta. Aradea sudah tamat membacanya, jadi ia menawarkannya kepada Rayna.

"Sebenarnya, gue rada kasihan sama tokoh yang nama tengahnya sama kaya gue."

Aradea mengangkat alis, "Oh? Si Amira? Kakak tokoh utamanya, kan?"

Rayna mengangguk, "Huuh. Padahal, si Amira tuh sama-sama baik, tapi kenapa dia diabaikan sama keluarganya? Wajar.. si Amira iri sama Adiknya alias tokoh utama. Emira sebagai tokoh utama menang banyak. Emak-bapaknya, kakak-kakaknya, sayang banget sama dia. Di tambah, di kelilingi banyak cogan. Lah? Si Amira? Dia jadi lebih pendiam dan di jauhi. Seharusnya si Amira tuh punya inisiatif deketin keluarganya sama cogan-cogan adiknya."

Rayna terkikik dan menambahkan, "Terus ambil deh, semuanya.."

Aradea melongo menatap Rayna, "Heh! Amira bukan antagonis! Dia cuma figuran dan cuma bumbu penambah asam manis ceritanya. Walaupun gue sama-sama kasihan sama kakaknya, tapi wajar aja si Emira dapet banyak, karena dia tokoh utamanya."

Rayna mengangkat bahu acuh tak acuh. Lalu menyodorkan novel berjudul 'The light of all male characters' bercover biru muda itu kepada Aradea, "Hatur tank you, Dea. Nanti gue pinjem novel lain, oke?"

Aradea mengangguk dan tersenyum. Lalu ia melambai, "Yoi! Gue pulang duluan, ya!"

Rayna tersenyum seraya membalas lambaian tangannya, "Babaaayyy!"

Saat ini, Rayna sedang berada di kursi di bawah pohon tidak jauh dari sekolahnya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi 30 menit yang lalu, namun Rayna belum pulang karena membaca novel dan setelahnya mengobrol dengan Aradea beberapa saat yang lalu.

Walaupun satu kampung, rumah Rayna dan Aradea berjarak jauh. Selain itu, Aradea selalu di jemput Ayahnya dengan menggunakan sebuah sepeda motor.

Rayna yang sudah puas duduk, ia berdiri dan menyimpan tas nya di bahu kanan. Lalu, Rayna mulai melangkah. Tiba-tiba kakunya tersandung polisi tidur.

"Arg! Baru aja beberapa langkah, udah kesandung aja!" dumelnya menahan sakit di jari-jari kakinya.

***

"Rayna! Cepet cuci baju seragam kamu di sungai!" teriak wanita paruh baya kepada putrinya yang tengah bermalas-malasan.

Gadis yang di panggil Rayna berdecak seraya beranjak, "Iya, Mak!"

Setelah memakai sandalnya, Rayna turun dari tempat tidurnya. Lalu, ia mengambil satu persatu baju seragamnya yang di gantung di sebuah paku. Rayna memasukannya ke dalam sebuah ember hitam. Setelah memasukannya, Rayna mengangkat ember yang penuh dengan baju itu dan keluar kamar.

Rayna melirik dapur yang terdapat emaknya, "Mak! Rayna mau ke sungai dulu!"

"Hati-hatinya, Rayn! Perhatian jalannya! Jangan sampe kesandung!"

"Doain aja ya, Mak! Semoga Rayna panjang umur!"

Emak Rayna langsung keluar dari dapur menatap Rayna tajam dengan sebuah alat masak di tangannya, berkacak pinggang, "Emang kamu mau ke mana, hah? Pake di doain panjang umur segala! kamu teh mau nyuci! Bukan bertaruh nyawa!"

Rayna diam males menanggapi emaknya yang masih saja melanjutkan ocehannya.

"Cepat berangkat! Sebelum mataharinya tenggelam. Nanti cucian kamu gak kering. Kalo gak kering, kamu nggak bisa sekolah besok!"

"Iya, iya! Babay, Mak! Assalamu'alaikum!" Rayna membungkuk dan meletakan tangan kanan nya di dahi alias hormat kepada emaknya. Lalu melangkah keluar dari rumah sederhana itu

"Wa'alaikumussalam." Emak Rayna geleng-geleng kepala melihat kelakukan putri semata wayangnya.

Beda dengan senyum di wajahnya, hati Wanda sebenarnya sudah gelisah melihat putrinya pergi, namun ia mencoba tenang dan kembali ke dapur untuk memasak.

***

Rayna bersenandung di tengah jalan menuju sungai yang tidak jauh dari rumahnya.

Ia dengan hati-hati melangkah, takut kesialannya datang. Tangan kanannya menjinjing ember hitam berisi baju kotor.

Saat mendengar air mengalir, senyum Rayna mengembang. Ia ingin mencoba melihat keindahan sungai dari atas sebelum turun ke bawah. Tanpa sadar, langkahnya di percepat tidak sehati-hati sebelumnya.

Setelah satu meter dari ketinggian, ada sebuah akar pohon yang menghalangi kaki Rayna untuk melangkah. Tanpa bisa di cegah, kakinya langsung tersandung hingga keseimbangan tubuhnya goyah.

Mata Rayna terbelalak kaget sehingga ia berteriak kencang, "Aaaaaahhhh!!"

Setelah beberapa detik teriakan, diikuti suara air yang terjatuhi sesuatu, keheningan melanda. Ternyata Rayna—gadis itu benar-benat terjatuh dari tebing. Pakaian salam embernya berserakan sampai beberapa baju terbawa arus sungai.

Tubuh itu tercebur ke dalam sungai, tapi kepalanya terbentur batu dengan keras. Darah mengalir sepanjang aliran sungai. Rayna langsung menutup mata tak sadarkan diri. Hanya tuhan yang tahu bagaimana nasibnya.

Menjadi Kakak si Tokoh Utama

Di dalam sebuah kamar bernuansa abu-abu putih, terdapat seorang gadis yang tidak sadarkan diri di atas tempat tidurnya. Beberapa saat kemudian, jari-jari tangan gadis itu bergerak. Ia mencoba membuka mata, mengerjapkannya beberapa kali. Bulu matanya yang panjang bergetar.

Saat matanya terbuka sepenuhnya, terlihatlah mata coklat pekat terlihat kosong. Mata itu bergulir ke sana kemari melihat langit-langit kamar dengan bingung. Ya, gadis itu adalah Rayna.

Rayna merasa sangat bingung, dengan tempat asing ini. Dia mencoba untuk mengingat sesuatu.

Matanya terbelalak. Dia langsung terbangun duduk terengah-engah memegangi dadanya yang pengap. Rambut coklat panjangnya yang tergerai, menutupi wajahnya yang terlihat mengeluarkan keringat dingin.

Rayna mencoba untuk tenang. Dia menarik nafas dan mengembuskannya dengan lembut.

Dia sangat ingat, bagaimana dia terjatuh dari ketinggian dengan rasa sakit kepalanya terasa pecah. Rasa sakit yang langsung menusuknya. Dia hanya merasakan mati. Namun, kenapa sekarang dia berada di kamar mewah dan asing? Walaupun ini kamar impiannya, bisa saja ‘kan dia tengah diculik dan dijual? Mata Rayna langsung berkaca-kaca.

“EMAKK!! RAYNA PENGEN PULAAANGG!” teriak kencang dengan tangisan pecah.

“Emaaaakkk .... hiks ....” Tangisan merengek Rayna semakin kencang.

Brak! Dobrakan pintu membuat Rayna kaget. Rayna menoleh dan mendapati banyak orang yang tidak ia kenal. Ada seorang gadis seusianya, beberapa orang cogan yang selalu menjadi haluannya, dan dua orang paruh baya.

Gadis yang pertama masuk, langsung mendekat dan duduk di tepi kasur memegang tangan Rayna dengan khawatir. “Kakak?! Apakah kamu gak apa-apa? Kenapa kakak teriak-teriak?” tanya gadis cantik itu bertubi-tubi.

Rayna menatapnya dengan bingung. Namun, air mata masih mengalir.“Kakak?”

Gadis itu semakin cemas melihat tatapan asing kakaknya terhadap dia. “Iya. Kamu kakak aku. Kenapa kakak bingung?”

Rayna semakin pusing. Ia tidak bisa berpikir jernih. Lalu tatapannya beralih pada orang-orang di samping yang hanya menatapnya diam. “Huaa ... Kalian siapa ...” Tangisan Rayna semakin kencang.

Mereka kaget karena Rayna tidak mengenali mereka. Gadis yang mengaku adiknya kewalahan dengan tangisan Rayna. Dia tidak pernah melihat kakaknya menangis seperti ini.

Lalu, gadis itu melirik ke arah kakak dan orang tuanya yang hanya diam. Rautnya menjadi marah dan kesal. “Kenapa kalian hanya diam, hah?! Lihat! Jika saja kalian tidak mengabaikan kakak, dia pasti gak akan mengalami keadaan ini!”

Mereka tersentak mendengar nada kasar gadis yang selalu lembut itu. Bukan hanya itu, mereka merasa bersalah kepada gadis yang tengah menangis kencang. Mereka dengan kaku dan canggung mendekati Rayna dan mencoba menghiburnya.

“Udah, ya? Jangan nangis ....” bujuk seorang lelaki remaja seumuran dengan Rayna.

“Iya. Kalo kamu berhenti nangis. Nanti kakak beliin es krim, ya?” bujuk remaja lain berumur sekitar 20 tahun.

Pria dan wanita yang menjadi orang tuanya, hanya menepuk dan mengusap kepalanya. Akhirnya, Rayna berhenti Menangis. Namun masih terlihat sesenggukan seraya menatap mereka satu persatu. “Kalian siapa?”

Mereka yang mengelilinginya langsung tertegun. Apakah Rayna tidak berpura-pura? Wajahnya yang bingung, matanya yang menatap asing ... Sepertinya memang tidak berbohong bahwa Rayna melupakan mereka.

Gadis di depan Rayna menutup mulut kaget, menatap kakaknya tidak percaya. Namun, ia berusaha menenangkan diri dan menatap Kakak perempuannya itu dengan hangat.

“Apa yang kakak bicarain? Kami tentu keluarga kakak.” Gadis itu terkekeh, namun suaranya terdengar bergetar.

Rayna menatap mereka asing. Matanya berkaca-kaca lagi. “Gue gak kenal kalian, hiks. Gue cuma punya emak.”

“Emak?” tanya ulang lelaki remaja seumuran dengan Rayna.

Rayna mengangguk dengan mulut mengerucut.

“Ibu, maksud lo?”

Rayna terdiam. Lalu mengangguk lagi.

Cowok itu mengerutkan kening. Tidak hanya dia, semua orang menjadi bingung.

“Ini Mamah kita, Kak.” Gadis di depan Rayna menunjuk wanita paruh baya di sampingnya.

Rayna menoleh menatap orang asing di depannya. Lalu menggeleng. “Gue gak kenal.”

Mata wanita itu meredup. Semua orang kaget lagi menatap gadis pendiam yang sekarang memberikan tatapan asing kepada mereka. Gadis di depan Rayna menutup mulut menangis.

Tiba-tiba, rasa sakit tajam dan sebuah ingatan seperti layar berputar cepat, menghantam kepala Rayna. “Ah!”

Rayna memegang kepalanya dengan erat mencoba menghilangkan rasa sakitnya. Jeritannya mengembalikan titik fokus mereka kepadanya. Jelas mereka sangat khawatir.

“Kakak kenapa?!” tanya gadis itu panik.

“Amira! kamu gak apa-apa?!” tanya pria paling paling dewasa yang sedari tadi hanya diam.

Setelah rasa sakit nya mereda dan ingatannya terkumpul. Rayna mengangkat kepalanya menatap mereka satu persatu. Lalu, berhenti pada gadis yang tengah khawatir menatapnya. Rayna menghela nafas. “Gue gak pa-pa. Gue cuma pengen istirahat.”

Kodeannya sangat jelas. Rayna menginginkan mereka untuk segera keluar.

Keluarga barunya itu, mengangguk enggan. Mereka beranjak dengan gerakan pelan sesekali menoleh ke arahnya. Namun, Rayna tidak menatap mereka lagi. Dia menundukan kepalanya dengan mata kosong.

“Panggil gue Rayna,” lirih Rayna sebelum mereka keluar.

Langkah mereka berhenti, menoleh ke arahnya lagi. Lalu mereka melanjutkannya saat Rayna benar-benar tidak menahan mereka dan tidak berbicara lagi.

Sebelum menutup pintu, Emira—gadis yang paling khawatir dengan Rayna, tersenyum walaupun Rayna tidak melihatnya. “Selamat beristirahat, Kak. Nanti aku akan mengunjungimu lagi.”

Rayna menoleh ke arah pintu setelah mendengar pintu itu tertutup. Lalu, dia merebahkan tubuhnya dengan perasaan hampa.

“Ini serius? Gue masuk novel?” gumamnya pada dirinya sendiri.

“Kenapa gue pindah ke tubuh Amira sih? Njir! Sial banget hidup gue! Kenapa gak ke tubuh tokoh utama?!” Rayna terus menerus menggerutu dengan air mata mengalir.

Dalam ingatannya, Amira pingsan selama seharian karena dehidrasi dan Amira tidak makan entah berapa lama. Tidak ada yang peduli, semakin Amira menyiksa dirinya sendiri.

Plot sudah di mulai, namun masih sangat awal.

Sekarang, Amira menduduki kelas XI, sama dengan kakak keduanya, namun berbeda kelas. Sedangkan Emira duduk di kelas sepuluh. Kakak tertuanya kuliah.

Di dalam ingatan atau novel itu sendiri, Rayna tidak tahu penyebab Amira di abaikan. Ingatannya kabur pada masa kecilnya. Namun, sangat jelas ketika beranjak dewasa. Adiknya—Emira si tokoh utama sangat menyayanginya. Namun, hati Amira di penuhi sikap dengki. Semakin baik Emira, semakin benci Amira terhadap adiknya.

Di awal-awal novel, Amira hanya figuran pendiam yang tidak ikut campur dalam plot apapun. Hanya di beberapa lembar muncul. Namun, di akhir klimaks cerita, setelah antagonis novel itu lenyap, Amira beraksi. Dia mengeluarkan semua kebenciannya yang ia tahan bertahun-tahun lamanya.

Amira berniat mencelakai adiknya dengan menusuk dari belakang. Secara diam-diam, Amira membuat adiknya selalu sial dengan cara apapun. Baik di jambret, memfitnahnya, bully-an, bahkan menculiknya. Namun, rencananya selalu gagal dengan semua pelindung di sisi Emira.

Tadinya, Amira akan melakukan hal lebih ekstrem dengan tangannya sendiri tidak peduli dengan konsekuensinya. Namun, Amira ketahuan terlebih dahulu. Dia di siksa secara diam-diam oleh semua pria di sisi Emira.

Tentunya, Emira dan keluarganya tidak tahu. Mereka hanya menyangka Amira menghilang dan tidak pernah pulang. Sampai Amira lelah dan meninggal, mereka tidak tahu dan tidak peduli.

Hanya Emira yang selalu berusaha mencarinya dan khawatir. Tapi perhatiannya selalu teralihkan dengan para pria di sisinya. Sampai akhir novel, Amira di lupakan.

Tangisan dalam diam Rayna semakin deras mengingat semua itu.

Dia membalikan badannya. Posisi tidurnya menjadi tengkurap. Wajahnya di sembunyikan di bantal untuk mengelap air mata. “Hiks ... Emaaakk ... Rayna pengen pulang. Rayna takut.”

Rayna duduk. Menyeka ingus dan air matanya dengan piyama yang tengah ia pakai. Matanya memerah. Ia menghisap ingusnya agar tidak mengalir. “Tapi, gak pa-pa, deh. Gue akan berusaha merubahnya. Lagian, di sini banyak cogan.”

Rayna menghilangkan kesedihannya. Tertawa sendiri, “Gue jadi orang kaya dadakan lagi. Nikmat mana yang gue dustakan? Gue bersyukur, kok.”

Rencana Masa Depan

“Kak, aku masuk.”

Setelah mengetuk pintu dua kali, Emira memasuki kamar kakaknya dengan membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan dan segelas air putih. Lalu, dia melihat kakaknya tengah menulis sesuatu yang sama sekali tidak terganggu dengan kedatangannya. Emira menyimpan nampan itu di sebuah meja dan mendekati kakaknya dengan penasaran. “Kak?”

Rayna tersentak kaget. Menoleh menatap Emira horor. “Eh! Sejak kapan lo di sini?!”

“Baru aja,” jawab Emira seraya tersenyum geli. Lalu, menatap kertas di di depan Rayna. “Nulis apa, Kak?”

Rayna menatap kertas yang baru saja ia gunakan. Lalu dengan wajah panik, ia menyembunyikan kertas itu di belakang punggungnya. Menatap Emira dengan gugup. “G-gue lagi gabut. Cuma asal corat-coret.”

Emira bingung melihat wajah kakaknya yang terlihat panik. Tapi ia tak mau bertanya lebih jauh. Mengingat nampan yang ia bawa, Emira mengambilnya dan menyodorkan makanan itu kepada Rayna. “Nih, Kakak makan dulu.”

Rayna melihat makanan itu dengan air liur hampir menetes. Di atas piring, terdapat nasi putih, ayam goreng, sayuran, dan telur. Menurut Rayna, makanan di piring ini sangat mewah. Apalagi, dia sangat jarang makan dengan telur, apalagi ayam. Rayna biasanya hanya memakan ikan asin, tempe, tahu, dan lauk sederhana lainnya. Apalagi, semenjak dia bangun beberapa jam yang lalu, perutnya sangat lapar. Tapi, pikirannya terlalu penuh sehingga melupakan perutnya yang kosong.

Rayna menatap Emira berbinar. “Ini beneran. buat gue?”

Emira bingung dengan reaksinya. Tapi dia mengangguk dengan perasaan geli. “Iya, ini makanan buat kakak. Tapi, kakak gak boleh makan makanan yang lain dulu. Tubuh kakak membutuhkan nutrisi. Jadi, aku bawanya hanya ini, sesuai intruksi dokter.”

Rayna tercengang. “Lo bilang ‘hanya’?”

Emira ingin tertawa dengan sikap aneh kakaknya hari ini. “Pfft, emang kenapa, Kak?”

Rayna merasa malu. Lalu menjulurkan tangannya meminta. “Ga-k pa-pa, kok. Mana atuh makanannya! Gue lapar ....”

Walaupun Emira tidak mengerti bagian tengah kalimatnya, tapi ia mengerti kalimat terakhirnya. Emira terkekeh. Lalu, mengambil piring yang terlihat penuh itu kepada kakaknya. Rayna makan dengan lahap di bawah tatapan geli Emira. Sudut mulut Rayna terangkat selama ia makan. 

“Enak?” Rayna mengangguk semangat tanpa menatapnya.

Emira menghela nafas. “Maaf, Kak. Aku terlalu sibuk sama kegiatan di sekolah. Jadi, aku gak tahu tentang kakak. Aku kesal sama keluarga kita. Kenapa mereka gak peduliin kakak? Dari dulu aku suka bertanya-tanya tentang ini. Tapi, tidak ada alasan apapun.”

“Guwe gwak pweduli.” Dengan pipi mengembung dan mengunyah, Rayna menyahut celotehan Emira.

“Apa yang kakak ucapin, gak sesuai sama hati kakak.” Emira semakin sedih melihat ketidakpeduliannya. Dia tersenyum tiba-tiba. “Baru kali ini aku ngobrol santai sama kakak. Biasanya, kakak selalu gak peduliin aku.”

Rayna mengangguk-ngangguk setuju. Semakin tidak peduli keluarganya, semakin Amira mengabaikan Emira. Tapi saat ini, Amira belum menyentuh titik benci kepada adiknya. Kening Emira mengerut heran melihat respon kakaknya. “Kenapa kakak ngangguk? Kakak bakal gak peduliin aku lagi, ya?”

Rayna menggeleng. Ketika suapan terakhirnya, Rayna menyodorkan piring kosong itu kepada Emira dengan senyum mengembang. “Abis!”

Emira tertegun. Kenapa ia merasa sikap kakaknya sangat berbeda? Ia lebih ceria banyak bicara dan tersenyum. Wajah kakaknya yang selalu datar dan suram, kini tersenyum cerah menambah kecantikannya. Walaupun bingung dengan perubahannya yang cepat, Emira tetap senang. Dia berharap kakaknya selalu seperti ini. Emira mengambil piring itu dengan senyuman di wajahnya, “Kakak mau nambah lagi?”

Rayna mengangguk antusias. Lalu menggeleng malu. Ini rumah orang Rayn! Batinnya menegur diri sendiri.

Emira melongo. Tidak, bukan hanya cantik. Sejak kapan kakaknya seimut ini? Dengan sikap kakaknya kepadanya saat ini, Emira merasa bahwa dia yang menjadi kakaknya, dan kakaknya menjadi adiknya.

“Minum dulu.” Emira menyodorkan segelas air yang Rayna terima dengan senang hati. Lalu Emira beranjak. “Aku ambil lagi makanannya.”

Rayna menahan tangannya dengan malu. “Gak u-sah. Gue udah kenyang.” Cuman, gue pengen lagi. Lanjutnya dalam hati.

“Beneran?”

Rayna mengangguk. Lalu menyengir memamerkan giginya. “Haturtankyuu.”

“Hah?” sahut Emira tidak mengerti. “Bahasa kakak aneh banget. Maksudnya ‘thank you’?”

Rayna mengangguk.

Emira tersenyum kecil. “Kakak kaya sama orang asing aja. Gak usah makasih, gak pa-pa.”

Rayna mengangguk kaku. Kita emang orang asing, ‘kan?

“Aku ke kamar dulu, ya,” pamit Emira seraya merapihkan piring dan gelas ke atas nampan. Emira mulai berjalan ke pintu keluar, namun tiba-tiba menoleh. “Eh, Kak, besok kakak mau sekolah atau masih mau istirahat?”

Rayna menatapnya bingung. Bertanya dengan ragu, “Udah berapa lama gue gak sekolah?”

Emira berpikir sejenak, lalu berkata. “Mungkin empat hari?”

Rayna mengangguk mengerti. “Mau ke sekolah aja. Gue udah gak pa-pa, kok.”

Emira tersenyum santai. “Oke.” Lalu keluar dan menutup pintu.

“Gue belum nyinggung harem Emira, ‘kan?” gumam Rayna dalam keheningan. Teringat sesuatu, dia terkikik sendiri. “Oh, iya. Mereka belum kenal.” 

Rayna mengambil kertas yang sempat disembunyikannya. Kertas itu berisi data semua protagonis pria alias harem Emira. Selain itu, dia menuliskan yang boleh dan tidak di perbolehkan untuk dirinya sendiri.

1. Tidak boleh mengabaikan dan menyakiti baik hati ataupun fisik Emira. 

2. Mencari sebab Amira di abaikan.

3. Mendekati keluarga Amira.

4. Menjauhi kelima protagonis pria.

5. Belajar yang baik.

6. Jadi anak yang baik, penolong dan rajin menabung.

7. Nyari cogan.

“Nah, cakep nih,” monolognya menatap bangga kertas yang telah ia tulis.

“Protagonisnya pada ganteng, sih. Tapi ... mereka serem.” Rayna bergidik.

Semua Protagonis pria mempunyai identitas tidak biasa. Hati mereka sudah sangat gelap. Ekspresi mereka selalu tajam, dingin, menyeramkan. Walaupun di antara mereka ada yang bersikap blak-blakan dan selalu tersenyum, tapi tidak ada yang tahu betapa munafik dan gelap hatinya. Itulah sebabnya, keberadaan Emira menjadi cahaya mereka. Dia gadis baik, lembut, meluluhkan hati beku mereka.

Mereka berada di sekolah yang sama. Tapi tingakatan kelas mereka berbeda. Satu pria protagonis di kelas XII, tiga orang di kelas XI, dan satu orang di kelas X atau kelas yang sama dengan Emira.

“Ah, gue bakal jauh-jauh deh, dari mereka,” monolognya. Lalu terkekeh. “Tapi, gue gak nolak kok kalo di deketin cogan.” Rayna menyimpan kertas itu di sebuah laci. Lalu menguncinya agar lebih aman. 

Rayna beranjak dari kasurnya untuk melihat-lihat seisi kamar. Pandangannya mengedar melihat ke semua arah. “Ya Allah, megah banget. Kalo kamar ini punya Amira, berarti sekarang punya gue, dong?”

“Gue gak nyangka banget, bisa masuk ke novel. Kalo gue gak punya ingatan Amira, gue pasti lagi halu sekarang.” Rayna terus bergumam sambil berpikir keras.

Tak sengaja melihat sebuah cermin, Rayna menghampirinya. Saat bercermin, Rayna tercengang meraba wajahnya. “Omaygot! Ini gue?” gumamnya tak percaya. Rayna langsung memekik kegirangan. “Alhamdulillah, gue gak burik! Ternyata gue cantik banget, Ya Allah!”

Bagaimana tidak? Wajah Rayna dan Amira sangat jauh beda. Walaupun Rayna masuk dalam kategori cantik, tapi Amira lebih dari itu. Jika Emira kecantikan lembut dan dewasa, maka Amira kecantikan imut, kekanakan. Belum lagi kulit badan dan wajahnya sangat mulus, bibir ceri tidak tipis atau tebal. Hidung kecil mancung, mata besar dengan bulu mata lentik.

“Gue mimpi apa semalam?” Berseru pelan, kedua tangan Rayna meraba wajahnya sendiri. “Kalo si Dea liat gue secantik ini, dia pasti insecure sama gue.”

“Bentar-bentar ....” Rayna berpikir linglung, “Kalo gue masuk ke tubuh Amira, terus Amiranya kemana, dong?”

“Gak mungkin, ‘kan? Dia ke tubuh gue …?” Rayna duduk di depan cermin menatap dirinya sendiri. Lebih tepatnya wajah Amira. “Gue ngerasa udah mati waktu itu ....”

Rayna menghela nafas. “Udahlah, gue lelah mikirin itu.”

Rayna melangkahkan kakinya menuju balkon. Udara sore hari masuk ke kamarnya lewat jendela balkon. Senja menghiasi langit. Rayna mendongkak menatap langit. “Semoga raga gue baik-baik aja. Gue belum tega ninggalin emak sendirian ….”

“Besok sekolah, ya?” monolognya. Helaan nafas Panjang berhembus lewat bibirnya. “Gue gak peduli sama isi ceritanya. Itu cerita adik gue. Gue Cuma figuran di sini. Gue mau nikmatin kekayaan Medensen dan ngoleksi cogan.”

Rayna tertawa. Suasana hatinya membaik. “Huhuuy! Cogan! I’m coming!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!