"Alena, kakak ke toko kue dulu, yah. Cuma sebentar, kok. Jangan kemana-mana," ujar seorang wanita kepada adiknya seraya melihat-lihat isi dalam tas.
Alena hanya mengangguk sambil menjilat es krim yang dibeli kakaknya di supermarket.
Setelah mendapat persetujuan Alena, Alodie yang merupakan kakak Alena keluar mobil. Lalu, ia melangkahkan kakinya menuju toko kue yang ada di seberang mobil yang saat ini Alena duduki. Alena hanya melihat punggungnya sampai menghilang di pintu toko kue.
Alena tidak tahu untuk apa kakaknya itu membeli kue, ia hanya berfikir untuk cemilan di rumah saja.
Pada saat ini, Alena dan Alodie tengah berjalan-jalan berdua dengan mobil yang satu-satunya mereka punya. Hari ini adalah sama-sama hari libur mereka. Alena yang libur sekolah, sedangkan Alodie libur dalam pekerjaannya.
Alena melihat-lihat jalanan lalu lintas. Karena hari libur, banyak sekali mobil yang berlalu-lalang, tetapi tidak macet sama sekali.
Setelah lebih dari 15 menit, pandangan Alena kembali pada toko kue, berpapasan dengan seorang wanita cantik alias Alodie yang keluar dengan menenteng paper bag berisi kue.
Karena Alena merasa bosan, ia malah keluar mobil dan menghampiri Alodie yang berada di tengah jalan saat lampu lalu lintas berwarna merah.
Alena berlari ke arah Alodie dan berteriak memanggil. "Kakak!"
Alodie menoleh dengan raut terkejut saat melihat adiknya mendekat. Bukan apa-apa, masalahnya saat ini ia berada di tengah jalan. Tentu saja Alodie panik dan cemas. "Alena?! Kamu kenapa kesini? Disini banyak kendaraan! Cepat, pergi! Sebelum lampunya berganti warna!"
Alodie langsung meraih tangan Alena dan menarik adiknya itu ke sisi jalan dengan tergesa.
"Maaf, kak." Alena menunduk menyesal.
Tiin tiin!
Setelah beberapa detik, terdengar suara klakson di sebelah kiri mereka. Alena menoleh. Matanya langsung terbelalak saat melihat sebuah mobil sport hitam melaju kencang ke arah mereka.
"Kakak!! Awas!!" Alena langsung mendorong punggung Alodie ke depan.
Brukk!!
Setelah mendorongnya, Alena hanya merasakan dirinya melayang seakan jatuh dari ketinggian. Lalu, tubuhnya mendarat, kepala Alena terbentur benda keras. Ia merasa sangat kesakitan. Rasa tersakit yang belum pernah Alena rasakan datang bertubi-tubi. Rasanya semua tulangnya patah.
Alena bisa merasakan cairan kental berbau amis mengalir di kepalanya. Semua tubuh Alena mati rasa.
Di sekitar, samar-samar Alena mendengar banyak suara ribut yang datang menghampirinya, terutama suara kakaknya yang histeris.
"ALENA!!!!" Teriakan Alodie semakin dekat. Alena tak bisa bergerak sedikit pun. Rasanya semua tubuhnya meremuk.
"Ti-dak, tidak!! Jangan Alena! jangan tutup mata kamu!!"
Rasa shock dan panik yang luar biasa melanda hati Alodie. Hatinya seolah di sayat dan di tusuk saat melihat adiknya terbaring di aspal berdarah-darah. Sangat sesak sehingga Alodie berharap ini hanya mimpi buruk yang akan berlalu.
Tangisan memilukan Alodie memasuki telinga Alena. Lalu, ia merasakan kepalanya terangkat ke pangkuan Alodie
Alena terengah-engah dan mencoba membuka matanya sedikit. "Kak-ak ... hah ... hah ... ma-affin A-lena." Dengan susah payah Alena berusaha mengeluarkan suara.
Alodie menggeleng keras. Kedua tangan yang memegang Alena sangat gemetar. "Nggak, Alena! Hiks, ini salah kakak! Jangan tinggalin kakak, Alena!! Kak Alodie cuman punya kamu! Kakak udah beliin kue buat kamu, hiks. Besok ... besok kamu ulang tahun. Tolo-ng, Alenaaa! Jangan tutup mata! hiks ...." Alodie terus-menerus berteriak sambil menangis.
Alena lupa bahwa besok adalah hari ulang tahunnya. Ia merasa sangat senang karena Alodie selalu mengingat dan selalu merayakannya walaupun hanya mereka berdua.
Alena mencoba menarik sudut bibirnya dan tersenyum lembut pada Alodie. Ia berbisik lemah. "Te-rima kasih, Kak."
Penampilan Alodie terlihat berantakan. Darah Alena menempel di pipinya, tangannya yang berlumuran darah mengusap pipi adiknya lembut.
"Iya, sayang, sama-sama. Kamu harus kuat, oke? Kita rayakan ulang tahun kamu. Kakak udah nyiapin kado buat kamu." Alodie berusaha berkata tenang walaupun hatinya sangat sesak. Ia menghapus air matanya.
Alodie mengangkat kepalanya memandang orang-orang yang mengerumuni kami. Lalu ia berteriak keras. "Cepat panggilkan ambulans!!"
"N-nggak, ka-k. Hah ... a-ku gak kuat ... terima kasih ... hah ... u-untuk semuanya, Ka-k. Aku sayang kakak," ucap Alena terbata.
Rasanya tenggorokannya tercekik, dan setelah itu semuanya gelap.
"TIDAKKKKK!!! ALENAAAA...!!"
Teriakan kakaknya samar-samar masih terdengar di saat terakhir. Alena hanya berharap bahwa ia selamat dan masih bisa bertemu dengan Alodie. Tapi ... sepertinya itu tidak mungkin. Ia akan mati disini. Rasa sakit yang teramat itu meredupkan harapan Alena.
Ia pun berharap, semoga kakaknya mendapatkan pasangan yang sangat baik untuk menjaga di sisinya. Dan ...
... Semoga kak Alodie bahagia.
Sinar matahari pagi menembus celah-celah jendela sebuah kamar bernuansa biru. Lalu, di atas sebuah tempat tidur, terdapat gulungan selimut bergambar keroppi seperti kepompong. Beberapa detik kemudian, sebuah tangan putih terjulur keluar menyingkirkan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Lalu, terlihatlah seorang gadis cantik dengan rambut berantakan. Ia tengah berusaha membuka kelopak matanya.
Alena merasa tidurnya sangat nyaman, apakah ini rumah sakit? Apakah ia selamat? Apakah ia tidak meninggalkan kakaknya?
Berbagai macam pertanyaan muncul di saat ia belum membuka mata.
Uhhh ... kepalaku sangat pusing.
Saat Alena membuka mata, bukanlah ruang serba putih yang menyambut pandangannya, bukan pula brankar rumah sakit yang ia tempati, apalagi kamar familier tempat ia tidur setiap hari. Tapi, sebuah kamar asing bernuansa Light blue. Terlihat sangat luas.
Alena berusaha bangun untuk duduk dan bersandar di kepala tempat tidur.
"A-ku di mana?" gumamnya dengan suara serak.
Tenggorokannya terasa sangat kering, seakan tidak minum berhari-hari.
Alena mengedarkan pandangannya mengamati sekitar. Di sini sangat mewah. Apakah ini rumah sakit VIP? Tapi, itu terlihat seperti hotel. Walaupun ia dan kakaknya hidup berkecukupan, tapi, kakaknya tidak akan mampu membayar semua ini.
Lalu, penglihatannya menangkap buku-buku yang berjajar, meja belajar, meja rias, dan benda-benda lainnya. Alena menebak bahwa ini bukanlah hotel atau rumah sakit. Tapi, seperti kamar seseorang? Sangat berbeda jauh dengan kamarnya.
Alena melihat kedua tangannya sendiri. Sepertinya, ada yang berbeda?
Lalu, ia menyentuh kepalanya yang agak pusing. Terdapat perban yang melilit. Tapi, saat mengingat kecelakaan itu, sepertinya lebih parah. Kenapa hanya kepala? Seluruh tubuhnya merasa baik-baik saja. Dan ah! Alena baru menyadari, kenapa warna rambutnya berwarna coklat? padahal, rambutnya berwarna hitam legam. Apakah kakaknya yang mewarnainya? Itu tidak mungkin.
Alena mencoba berdiri dan menghampiri cermin di sebelahnya.
Saat berhadapan dengan cermin, Alena langsung tercengang.
Terpampang seorang gadis cantik dengan tinggi badan sedikit lebih pendek darinya, iris matanya berwarna almond, rambut coklat lurus di bawah bahu.
"Apakah ini aku?!" serunya terperangah kaget.
Karena orang di dalam cermin bukanlah dirinya sendiri. Wajahnya tidak secantik ini, kulitnya tidak seputih dan semulus ini, ukuran tubuhnya lebih tinggi sedikit, rambutnya hitam bukan coklat, lalu, warna matanya cokelat bukan almond.
Apakah ia ber-transmigrasi seperti novel-novel fantasi yang ia baca? Tapi, Alena kurang mempercayainya. Namun sekarang ... sepertinya ia mulai percaya.
"Tapi aku siapa?! Ini di mana?!" Alena berteriak frustasi. Suaranya masih serak karena belum terisi air.
Brak! Alena melonjak kaget saat mendengar pintu kamar terbuka.
Terlihatlah seorang wanita cantik berusia sekitar 38 tahun. Disusul seorang pria dewasa berusia sekitar 40 tahun. Lalu, di belakangnya seorang lelaki remaja tampan tidak jauh dengan umurnya.
"Alena?! Apa kamu udah bangun?!"
Satu-satunya wanita yang datang beberapa detik, langsung berseru saat melihat Alena. Ia menghampiri dan memeluk gadis itu yang masih berdiri mematung di hadapan cermin.
"Sayang ... apa kamu baik-baik aja?" tanya lembut seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah, rautnya sangat cemas.
"Dek, apa ada yang gak nyaman?" Sekarang giliran lelaki remaja yang bertanya.
Alena tidak menjawab mereka, karena ia masih bingung dan tertegun oleh keadaan. Banyak pertanyaan di kepalanya. Siapa mereka? Kenapa wanita asing ini tahu namanya? Dan kak Alodie, di mana dia?
"Maaf, kalian siapa? Terus ... kakak aku di mana?"
Akhirnya hanya pertanyaan itu yang terlontar di bibir Alena.
Setelah mendengar pertanyaan Alena, raut wajah mereka langsung berubah. Wanita yang memeluk Alena erat langsung melepaskan pelukannya. Raut wajahnya sama-sama terkejut.
Setelah pulih dari keterkejutannya, wanita di depan Alena menjawab sambil menunjuk lelaki remaja yang masih linglung. Suaranya terdengar bergetar. "Ini kakak kamu, Sayang ...."
Alena menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan. Kakak aku perempuan."
Mendengar itu, ekspresi mereka kembali terkejut bercampur khawatir
"Alena ... ini kakak," timpal lelaki remaja itu dengan lembut.
Remaja itu menghampiri Alena lebih dekat dan memegang tangannya. Alena bersikeras menggeleng menyangkalnya.
"Ravael! Panggil dokter Ferro ke sini!"
Atas tanggapan gelengan Alena, pria yang sedari tadi diam langsung menyuruh kepada orang yang mengaku kakak Alena untuk memanggil dokter. Tanpa basa-basi, yang diberi perintah bergegas berlari tergesa keluar kamar.
"Alena, ini mamah, Nak ...."
Wanita di depan Alena memiliki mata berkaca-kaca. Ia kembali memeluk 'putrinya' itu. Alena mencoba untuk membalas pelukannya tanpa menjawab ucapannya, karena ia benar-benar tidak mengerti keadaan ini. Sedangkan, pria di samping mereka masih menatap Alena khawatir.
Setelah beberapa menit, terdengar pintu kamar yang terbuka kembali menampilkan lelaki yang bernama Ravael dengan seorang dokter pria dengan membawa alat pemeriksaan.
"Ferro, kenapa Alena gak ingat kita? Tapi, dia malah nanyain kakak perempuan. Padahal, Alena cuma punya satu kakak laki-laki. Alena gak amnesia, kan?" Pertanyaan beruntun dari pria dewasa di samping Alena itu menyambut kedatangan dokter bernama Ferro tersebut.
"Saya akan memeriksanya."
Setelah mengatakan itu, dokter Ferro menghampiri Alena dan memeriksanya. Sedangkan, wanita yang sedari tadi memeluk gadis itu langsung melepaskan pelukannya dan sedikit mundur.
"Alena, apa kepalamu masih pusing?" tanya dokter Ferro.
Alena hanya mengangguk. Dia memeriksanya kembali. Lalu, setelah beberapa menit, dokter Ferro membuka suara.
"Maaf, Tuan Alvarendra. Sepertinya, Alena menderita Amnesia total. Dia tidak akan ingat masa kecilnya sampai sekarang. Jadi, istirahat yang cukup dan bawa Alena ke tempat-tempat yang pernah ia datangi sebelumnya agar mendapatkan sedikit ingatannya kembali," ungkap dokter Ferro panjang lebar.
Mimik wajah ketiga orang itu semakin panik dan khawatir.
Wanita yang sepertinya ibu dari tubuh yang Alena tempati, membekap mulutnya dan menangis terisak-isak. Ia memeluk Alena lagi. Sedangkan, dua pria beda usia di sisi lain menatap Alena dengan mata merah menahan air mata.
Entah kenapa, Alena ikut sedih. Ia merasa tidak mampu melihat kesedihan mereka, jadi Alena tiba-tiba saja menangis mengikuti keinginan di luar kehendaknya.
"Jangan sedih, Sayang. Mamah, Papah dan kak Ravael bakal berusaha bantu kamu dapetin ingatan kembali," hibur wanita yang memeluknya lembut dan hangat, membuat kerinduan dan keinginan kasih sayang seorang ibu muncul begitu saja di hati Alena.
Setelah keadaan mereda, dia melepaskan pelukannya. Matanya bengkak karena lama menangis. Ibu Alena menatap putrinya dengan sendu.
"Apa kamu ingat nama kamu sendiri?"
Alena menggeleng menanggapi pertanyaannya, karena ia memang tidak tahu nama panjang tubuh gadis yang ia tempati. Tidak mungkin sama, kan? Alena tidak tahu tempat dan orang-orang di sini. Walaupun ia merasa tidak amnesia, lebih baik ia berpura-pura amnesia.
Ibu Alena menghela nafas berat, namun senyuman hangatnya tidak luntur.
"Sayang, nama kamu Alena. Alena Valencia Alvarendra," ucapnya sambil memegang kedua bahunya.
Alena hanya mengangguk. Ternyata memang nama panjangnya beda dengan namanya yang asli dan sepertinya bermarga.
"Lalu, wanita yang ada di hadapan kamu sekarang adalah mamah kamu—Berliana Velicia," tunjuknya pada diri sendiri.
Telunjuknya memutar ke arah lain. "Ini Papah kamu—Devian Alveno Alvarendra."
"Dan dia—" Telunjuknya berakhir pada lelaki remaja yang sedari tadi diam menatap Alena.
Saat Alena bertemu tatapannya, lelaki remaja itu tersenyum lembut.
"Ravael Revalno Alvarendra."
Alena tertegun dan mengerjap dengan bingung. Kenapa nama dan marganya sangat familiar?
Alena Lika Hasana. Itu adalah nama aslinya sebelum memasuki dunia novel. Alena mempunyai seorang kakak perempuan bernama Alodie Larina Aradea, ia berusia 21 tahun. Kedua orang tua mereka meninggal di waktu yang berbeda.
Ibu Alena meninggal karena penyakit kanker hati saat ia berusia 8 tahun. Sedangkan ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil saat ia berusia 15 tahun.
Saat ayah Alena masih hidup, kebutuhan ekonomi mereka lebih dari cukup, karena ayahnya memiliki perusahannya sendiri, namun tidak besar. Tapi, setelah ayahnya meninggal, keuangan di keluarganya sedikit menurun, karena kakaknya yang menjadi penerus tidak pernah mempunyai niat untuk meneruskan perusahaan ayahnya.
Namun, atas kerja keras kakaknya itu untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua, perusahaan menjadi stabil tanpa peningkatan seperti saat ayahnya yang menjadi pengurusnya dulu.
Alodie berhenti kuliah dan mulai fokus pada pekerjaannya. Sedangkan Alena yang duduk di kelas XI mencoba meningkatkan belajarnya yang awalnya sedikit malas.
Setiap hari Alena pulang sekolah, rumahnya selalu kosong karena Alodie selalu pulang malam di saat Alena sudah tertidur. Mereka jarang bertemu, tapi mereka selalu menghabiskan waktu di hari libur bersama-sama.
Alena sangat menyayanginya ....
Alena tidak pernah menyangka akan berpisah dengan kakaknya secepat ini.
***
Saat ini, di dunia ini yang ternyata beberapa hari Alena baru sadari, ternyata adalah dunia novel favoritnya yang ia tamatkan sebelum berangkat berjalan-jalan dengan kakaknya, dan dirinya yang berakhir tragis.
Ternyata Alena adalah anak kedua atau satu-satunya putri dari keluarga Alvarendra, yang termasuk keluarga terkaya nomor 4 besar.
Kakak Alena—Ravael Revalno Alvarendra adalah teman dari protagonis pria, atau hanya seorang figuran.
Awalnya Alena belum percaya dan masih berusaha mencari bukti lain. Tapi, saat ia mendengar nama sekolah, Alena percaya dirinya memang memasuki novel itu.
Alena hanya sedikit shock karena menerima sebuah kenyataan yang tidak masuk akal, namun ia segera menerima dan mempercayainya. Apalagi, keluarganya sangat baik. Mamahnya, papahnya, kakak barunya, mereka sangat menyayangi Alena.
Di kehidupan Alena sebelumnya, ia hanya mendapatkan kasih sayang ibunya hanya sampai umurnya 8 tahun. Dan ayahnya ... walaupun kasih sayangnya selalu berlimpah, namun waktu pekerjaannya membuat terhalangi. Dan harus berhenti saat ayahnya meninggal tanpa kasih sayang yang cukup.
Dan Alodie yang tidak jauh berbeda dengan ayahnya, selalu sangat sibuk, namun Alena tetap menyayanginya.
Di sinilah Alena merasa sangat bersyukur mendapatkan kehidupan kedua dengan kasih sayang mereka yang menyelimutinya.
Alena hanya akan menonton perjalanan cerita novel ini tanpa merusaknya, karena novel ini bermulai saat ia memasuki sekolah. Walaupun ada sebuah adegan yang ia lewati saat MOS, namun ia akan menyaksikan lebih banyak adegan di sekolah.
Alena yang seharusnya kelas XI, namun di sini Alena akan memasuki kelas X beberapa hari lagi. sekolahnya adalah sekolah di mana para tokoh novel hadir.
"Yeay! Aku akan nonton mereka secara live," pekiknya girang
Sudah seminggu semenjak hari di mana kehebohan keluarga ini mendengar Alena yang amnesia. Namun, mereka menerima kenyataan dan sangat memanjakannya dalam segala hal. Alena yang tidak terbiasa hanya pasrah.
Pada saat sebelumya, penyebab kecelakaan yang membuat kepala Alena terbentur adalah karena kecerobohannya sendiri, lebih tepatnya tubuh yang Alena tempati, ia terpeleset di tangga sekolah saat menjalani MOS.
Itulah yang Ravael ceritakan padanya.
Awalnya, Alena sedikit canggung saat berbicara dengan Ravael, namun, karena seringnya Ravael mengunjungi kamarnya dan mengobrol, Alena menjadi lebih akrab dan dekat dengannya.
Ravael lebih tua satu tahun dengan Alena, dan seumuran dengan Alena dulu. Kakak barunya itu akan masuk kelas XI—kelas yang sama dengan protagonis pria.
Sedangkan protagonis wanita baru masuk SMA, sama dengannya.
***
Hari ini Ravael tidak ada di rumah. Kemarin remaja itu sempat berbicara dengan Alena, bahwa hari ini dia akan kembali ke sekolah setelah beberapa hari absen karena kecelakaan dirinya.
MOS masih berlanjut di mana waktunya seminggu, hanya tinggal 3 hari lagi MOS akan selesai dan semua murid baru bersekolah normal.
Alena tidak perlu mengikuti kembali MOS, tentu saja untuk memulihkan diri di rumah. Dari yang Ravael katakan, gadis itu jatuh dari tangga saat hari kedua MOS, dan itu sempat menjadi pembicaraan seantero sekolah.
Selain itu, guru-guru sempat menanyakan keadaan Alena, hanya saja keluarga Alvarendra tidak melibatkan sekolah dan mengurusnya pribadi.
Saat itu, Alena tidak di bawa ke rumah sakit, karena gadis itu sangat tidak menyukainya. Akhirnya dia dirawat di rumah dengan memanggil dokter Ferro yang merupakan dokter pribadi keluarga Alvarendra.
Keadaan Alena sekarang benar-benar pulih, namun amnesianya tetap dianggap ada oleh 'keluarganya' itu, sehingga mereka sangat hati-hati bila Alena sedikit mengeluh kesakitan.
Alena tidak tahu apa dan kenapa dia bisa masuk ke dalam tubuh ini, tetapi ia bersyukur. Ia menganggapnya sebagai kesempatan kedua.
Walaupun ia sedikit egois, Alena tetap tidak akan memberi tahu mereka saat ini bahwa ia adalah jiwa asing yang masuk ke dalam tubuh putri dari keluarga Alvarendra.
Sampai pada waktunya ....
***
Hari pertama sekolah adalah hari yang sangat Alena tunggu, karena di sinilah cerita di mulai. Walaupun awalnya ia tidak diizinkan bersekolah, namun gadis itu tetap bersikeras sehingga kedua orang tuanya luluh melihat ekspresi yang sedih.
Alena tidak tahu bagaimana sikap 'Alena' sebelumnya, namun sepertinya tidak banyak perbedaan dengan sikapnya sendiri, karena Alena tidak melihat ekspresi keluarga Alvarendra yang aneh atau yang lain saat menghadapinya.
Dengan semua sikap dan perilakunya, mereka selalu tersenyum hangat.
Pagi ini adalah pagi yang cerah. Alena melihat jam yang masih menunjukan 05.15. Ia langsung berdiri dari tempat tidur, sebelumnya gadis itu sempat melamun sebentar.
Biasanya ia akan bangun jam 07.00 pagi, tapi ini masih sangat pagi. Mungkin ia terlalu bersemangat untuk pergi sekolah di hari pertama.
Alena berjalan ke kamar mandi dengan riang.
Setelah hampir 30 menit, ia sudah siap dengan seragamnya. Rok kotak-kotak cream berpadu coklat selutut, baju putih dengan dengan dasi, lengan baju di atas siku dan di tutupi almamater sewarna dengan rok.
Rambutnya diikat satu ke belakang dengan tinggi sedang, memakai pita biru yang serasi dengan tasnya.
Alena menyampirkan tas itu di atas bahu kanan. Lalu, ia keluar kamar dan menuruni tangga menuju ruang makan.
Sebelum pulih total, Alena selalu berjalan-jalan di sekitar rumah yang lebih besar tiga kali lipat dari rumahnya dulu, jadi ia sedikit tahu setiap sudut ruangan rumah ini.
Setelah sampai di ruang makan, ia melihat meja besar yang dipenuhi macam-macam makanan. Ada enam kursi. Tiga kursi sudah terisi oleh dua orang dewasa yang memakai pakaian formal, dan satu remaja lelaki dengan seragam sekolah yang sama dengan seragamnya.
Mereka menoleh bersamaan saat langkah kaki Alena mendekat ke arah meja.
"Selamat pagi, Mamah, papah, kakak," sapanya ceria sembari mencium satu-satu pipi mereka. Sudah menjadi kebiasaan rutin.
"Pagi, Sayang ...."
"Pagi, Dek."
Mereka menjawab sapaannya seraya tersenyum hangat. Alena tersenyum semakin lebar dan duduk di kursi kosong di sebelah kanan Ravael.
“Ini hari pertama kamu sekolah. Mau bareng kakak gak?"
Tawaran Ravael membuat Alena mengangguk dengan semangat. Cowok itu tersenyum lembut melihat tanggapan adiknya.
Sarapan pagi di mulai. Tidak ada percakapan, karena memang tidak diperbolehkan berbicara saat makan oleh Devian.
Setelah keluarga kecil itu menyelesaikan sarapannya, mereka mulai beranjak untuk memulai kegiatan masing-masing. Devian dan Berliana akan segera berangkat kerja. Walaupun terkadang mereka sibuk, tapi keduanya tidak pernah absen meluangkan waktu untuk kedua anaknya. selain itu, Berliana tidak ke kantor setiap hari, hanya sesekali membantu Devian saja.
Alena dan Ravael sudah bersiap. Keduanya pergi setelah berpamitan kepada kedua orang tua mereka.
Seperti biasanya setiap hari, Ravael selalu biasanya membawa mobil sendiri. Oleh karena itu, dia mengajak Alena berangkat bersama.
"Udah?" tanya Ravael sembari menoleh ke arah adiknya.
Alena mengangguk.
Selama perjalanan, keduanya tidak banyak bercakap, namun suasana hangat dan nyaman tidak berubah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!