"SAH!"
"SAH!"
Seruan lantang dua saksi tersebut membuat gadis cantik berkerudung putih bersih tersebut tersentak. Satu kalimat itu jatuh seperti palu vonis di dadanya. Saat itulah ia tersadar bahwa sekarang statusnya sudah berubah. Ia resmi menjadi seorang istri.
Segera ia mengangkat tangannya untuk mengaminkan setiap doa yang dibacakan oleh penghulu. Tak urung air mata ikut turun dari sudut matanya. Lantas setelah itu, suara MC dengan begitu riang memintanya untuk menuju tempat akad berlangsung.
"Kamu sudah diminta ke sana, Jas."
"Ayo, biar kami bantu untuk berdiri."
Pengantin cantik itu mengangguk. Senyum tulus nan anggun tidak lepas dari wajah cantiknya. Namanya Shaffiya Jasmine, orang-orang lebih akrab memanggilnya dengan nama Jasmine. Ia pun segera berdiri dibantu dua sahabat baiknya, menggenggam buket bunga putih yang sedikit bergetar di tangan.
"Udah jangan nangis. Nanti make-up nya luntur." Naina-sahabatnya yang memakai kaca mata berbisik mengingatkan.
"Pas di depan Kak Adimas, kamu harus tersenyum. Jangan nangis begini." Fita-sahabatnya yang berada di sisi kanannya ikut menimpali.
Jasmine menatap mereka berdua bergantian. Hatinya begitu bahagia karena kehadiran dua perempuan baik ini. "Jazakunnallahu khoyr, ya. Kalian berdua sudah mau hadir dan bersedia mengiringiku ke pelaminan."
Dua perempuan itu mengangguk cepat. Lalu tanpa bicara lagi, mereka mulai melangkah perlahan. Saat pintu ruangan khusus untuknya terbuka dan kakinya mulai melangkah menuju lokasi akad yang memang diadakan secara outdoor tersebut, degup jantung Jasmine semakin tidak beraturan.
Matanya menatap takjub dengan dekorasi cantik yang minimalis tersebut. Di bantu oleh Naina dan Fita, Jasmine pun mulai melangkah menuju lokasi. Detik itu, lokasi tersebut terasa lebih sunyi namun menenangkan. Beberapa tamu masih berbisik pelan, musik sakral masih mengalun lembut, dan fotografer tak berhenti mengabadikan momen.
Senyumnya tidak lepas dari wajah cantiknya. Matanya menyapu para tamu yang juga tersenyum padanya. Senyumnya berubah menjadi tatapan haru saat ia melihat sosok perempuan yang sangat ia hormati. Neneknya yang duduk di samping Eyang Ningsih. Lalu di sisi sebelahnya, ia juga tersenyum pada sepasang suami istri yang baru ia kenal satu bulan yang lalu, merekalah Pak Khalid Ibrahim dan istrinya Ibu Raya, mertuanya.
Lalu saat semakin dekat dengan tempat akad, matanya bertemu dengan tatapan tajam milik seorang lelaki. Tatapan tajam nan dingin itu adalah milik Adimas Muhammad Ibrahim, suaminya.
Adimas berdiri tegak di ujung pelaminan. Tatapannya tajam, tanpa senyum. Wajah itu memang rupawan, gagah dan tenang seperti biasa. Tapi Jasmine tahu, ada banyak kebencian dari lelaki itu untuknya.
Langkah demi langkah terasa berat. Jasmine bahkan lupa rasanya bernapas. Sekuat apapun Jasmine menyangkal, namun tetap saja, cara lelaki itu menatapnya seolah-olah ingin menelannya hidup-hidup.
Jasmine pun tiba. Fita dan Naina pun langsung menuju kursi tamu sesaat setelah memastikan Jasmine duduk dengan nyaman. Begitu ia duduk, si penghulu lalu mempersilahkan Adimas memasangkan cincin ke jari Jasmine. Begitu pula sebaliknya.
Setelah itu, Jasmine pun dipersilahkan mencium tangan Adimas. Walaupun ragu, namun Jasmine melakukannya dengan perlahan. Tangan mungilnya lalu menyentuh jemari Adimas untuk dicium. Kulit tangan pria itu terlihat putih bersih dan hangat, tapi detiknya dingin membekukan hati. Jasmine menunduk, lalu dengan begitu khidmat ia mencium punggung tangan tersebut.
Saat Jasmine hendak bangun, detik itulah ia merasakan Adimas mencium keningnya dengan begitu lembut.
Jasmine sempat menutup mata. Menikmati sedetik hangatnya kehangatan yang ia tahu palsu. Tapi begitu ia membuka mata, yang menantinya adalah pandangan tajam, menusuk dan penuh kebencian. Bahkan saat Adimas akan menjauhkan wajah darinya, sesaat lelaki itu berbisik dengan begitu dingin.
"Jangan terlalu serius. Pernikahan ink tidak berarti apa-apa untuk saya. Semuanya palsu."
Senyuman Jasmine menghilang perlahan. Matanya menatap Adimas yang kini sudah menatap ke depan dengan senyum ramah. Detik kemudian, ia pun ikut menatap ke depan. Saat itulah ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi tampak memandang mereka dengan haru kebahagiaan.
Sayangnya, senyumannya itu terutama Adimas adalah palsu. Kenyataannya pernikahan ini seperti awal dari penderitaan untuk mereka berdua. Lelaki yang berdiri di sampingnya, yang fotonya ada di buku nikahnya dan yang tadi melakukan ucapan janji atas dirinya bukanlah lelaki yang siap menawarkan kebahagiaan untuknya.
Sementara itu, Adimas menatap orang-orang di depannya dengan muak. Masih terekam jelas dalam ingatannya saat ia selesai melakukan ijab kabul tadi, senyum lega dari wajah-wajah keluarga yang selama ini tak benar-benar pernah memihaknya.
Adimas mengeraskan rahangnya. Ia menarik napas panjang, menatap ke samping dengan Jasmine yang masih tersenyum ramah pada semua yang hadir.
Wajah yang dulu pernah ia ingat sebagai gadis keras kepala, usil, pembuat onar. Kini tampil dengan anggun dalam balutan gaun putih yang menjuntai sempurna. Jilbab syar’i membingkai wajah ovalnya, membuatnya terlihat...cantik. Bahkan matanya yang dulu selalu menantang, kini begitu lembut.
Sebentar. Hanya sebentar.
Adimas terpaku. Ada sepersekian detik di mana ia nyaris... kagum.
Namun rasa itu segera terganti dengan amarah yang telah lama tertanam dalam. Jasmine tetap Jasmine. Di balik penampilan santunnya, ia tetap gadis yang dulu telah menghancurkan mimpi seseorang yang ia cintai.
Dan kini, gadis itu pembuat masalah itu berdiri di sampingnya sebagai istrinya.
Takdir memang sedang mempermainkannya. Bahkan untuk pernikahan ini pun, ia hanyalah cadangan. Iya, pengantin pengganti karena pengantin yang asli menolak perjodohan dengan alasan harus segera menyelesaikan disertasinya.
Namanya Adrian Mumtaz Ibrahim. Nama itu membuat detak jantung Adimas melonjak. Adiknya yang sempurna. Pewaris sah Ibrahim Grup. Anak kesayangan keluarga Ibrahim. Berbeda dengannya yang selalu dipandang sebelah mata.
Dirinya memang hanyalah cadangan. Tatapan semua orang seperti menertawakannya dalam diam.
Senyum perempuan yang ia panggil ibu begitu bahagia. Tatapan lelaki yang begitu ia benci terlihat begitu haru namun Adimas tahu itu hanyalah kepalsuan. Bahkan Eyangnya ikut terharu.
Matanya masih menatap Jasmine dengan begitu tajam. "Kau milikku sekarang, Jasmine. Dan aku akan membuatmu menyesal karena pernah masuk dalam hidupku."
...****************...
Waktu berlalu, resepsi digelar dengan megah. Musik, lampu, tawa—semua tampak sempurna. Tapi bagi Adimas, semuanya palsu.
Dan di antara keramaian, matanya menangkap satu wajah yang membuat jantungnya berdebar kencang. Perasaannya mendadak dipenuhi kerinduan yang menbuncah. Di sanalah, tepatnya di ujung panggung pelaminan perempuan berambut panjang dengan tampilan anggun meneduhkan itu berada.
Namanya Rindu Ayuningtyas. Perempuan yang menempati posisi kedua hatinya setelah mamanya. Hanya dia yang bisa melihat Adimas tidak sebagai bayangan apalagi cadangan dari Adrian.
Ia datang bersama dua sahabatnya, Willi dan Rama. Rindu kini tampil lebih dewasa, cantik dalam kebaya pastel, anggun tanpa perlu banyak aksesori. Pandangannya tenang, damai, seperti yang selalu ia kenal.
Begitu tatapan mereka bertemu, Rindu tersenyum lembut. “Selamat, ya, Kak.” ucapnya, lalu memeluknya pelan namun terasa begitu hangat. "Aku turut bahagia dengan kebahagiaanmu." Suara itu berbisik indah.
Seketika rasa bersalah menghantam dadanya. Perasaan menyesal karena ia tidak bisa menjaga Rindu beberapa tahun silam.
"Terima kasih," Hanya itu yang bisa Adimas katakan begitu pelukan hangat itu terlepas.
Rindu mengangguk. Lalu Rindu bergeser ke samping. Dua sahabat Adimas yang lain juga mengucapkan selamat. Namun tetap saja, mata Adimas terus fokus pada Rindu.
Gadis itu masih selalu tersenyum. Saat Rindu menghampiri Jasmine pun, senyumnya masih sama, begitu tulus. Adimas lalu menoleh pada Jasmine. Namun Jasmine, yang tadinya begitu lihai tersenyum pada para tamu, tiba-tiba terlihat kaku. Senyum di wajahnya terkesan dipaksakan. Matanya tak berani menatap Rindu.
"Selamat ya, Jas. Setelah lama tidak bertemu, ternyata sekalinya bertemu malah di sini. Titip abangku yang ganteng ini," gurau Rindu menatap Adimas sekilas.
"Terima kasih." Berbeda dengan Adimas yang mengucapkan itu dengan sepenuh hati, Jasmine justru membalasnya dengan begitu datar.
Mata Adimas melihat itu semua. Tentang bagaimana Jasmine memperlakukan Rindu tanpa bersalah. Sementara Rindu memperlakukannya dengan begitu baik. Kemarahan dalam dada Adimas membuncah lagi. Ia menatap Jasmine lama, begitu lama... hingga gadis itu menyadarinya, namun dengan cepat Jasmine memalingkan wajahnya, lalu tersenyum pada Willi dan Rama.
Tepat saat tidak ada lagi tamu yang ke pelaminan dan memberikan waktu sebentar untuk Adimas dan Jasmine duduk melegakan kaki dan wajah, Adimas berbisik dengan begitu menusuk.
“Seharusnya kamu malu bertemu Rindu. Bukan justru menatap Rindu dengan perasaan tanpa rasa bersalah seperti tadi. Ingat, aku akan membuatmu menderita sama seperti yang kamu lakukan pada Rindu dulu."
Jasmine menoleh perlahan. Namun alih-alih khawatir, ia justru tersenyum memperlihatkan lesung pipi di sebelah kanan wajahnya. "Terkadang kebenaran itu butuh waktu. Kalau nanti sudah waktunya terjadi, jangan sampai kebencianmu itu berubah menjadi penyesalan," balasnya dengan pelan.
Adimas tersenyum, namun sorot matanya seolah ingin membunuh Jasmine saat itu juga. "Pernikahan ini, aku berjanji, aku tidak akan membiarkanmu bahagia dengan pernikahan ini."
Gaun putih yang tadi membalut tubuhnya kini sudah berganti dengan pakaian santai. Jasmine memandangi dirinya di cermin. Wajahnya sudah bersih dari riasan yang sejak pagi mempercantik wajahnya. Meski tanpa riasan, wajahnya tampak lebih segar. Ia baru saja selesai bersih-bersih dan berwudhu. Piyama panjang berwarna lembut sudah ia kenakan, dan jilbab instan senada membingkai wajahnya.
Perlahan ia menghela napas, lalu menggelar sajadah di pojok kamar. Ia hendak menunaikan salat Isya sebelum benar-benar menutup hari yang melelahkan dan menguras batinnya.
Pintu kamar mendadak terbuka. Suara derit engselnya membuat jantung Jasmine berdegup tak karuan. Adimas masuk.
Langkah lelaki itu mantap dan tenang, namun dinginnya terasa menusuk diri Jasmine. Perempuan itu menoleh, berdiri dengan ragu. Satu-satunya hal yang ia tahu, satu-satunya hal yang ingin ia jaga adalah adabnya pada suaminya.
Jasmine mengulurkan tangan. “Mas…” ucapnya lirih, ingin menyentuh punggung tangan suaminya, mencium sebagai tanda hormat.
Ia tidak peduli jika setelah ini harus berwudhu ulang. Namun ia berharap, saat tangan suaminya menyambut baik tangannya, saat itulah keberkahan dan pahala Allah datang untuk mereka.
Tapi Adimas tidak bergeming. Tidak menyentuh, tidak menoleh. Bahkan tidak melirik. Tangannya hanya terulur mengambil handuk dari koper, lalu berjalan menuju kamar mandi dengan langkah datar.
Jasmine menurunkan tangannya perlahan. Nafasnya tercekat. Hatinya terasa sakit karena penolakan itu suaminya lakukan secara terang-terangan. Namun dengan cepat ia mencoba menenangkan hatinya. Bahkan saat suara air dari arah kamar mandi, menyadarkannya bahwa barangkali suaminya tidak ingin disentuh karena tidak nyaman sebab belum mandi.
Bukankah berprasangka baik itu akan mendatangkan kebaikan? Terdengar bodoh memang, namun Jasmine yakin, tidak ada kebaikan yang sia-sia.
Masih dalam keadaan berwudhu. Ia menatap sajadah. Kakinya melangkah pelan, lalu segera memakai mukena. Ia segera menunaikan salat. Setiap gerakan adalah bentuk ketundukan, dan setiap doa adalah permohonan agar hatinya dikuatkan dan senantiasa tenang.
Saat salam terakhir, Jasmine duduk diam cukup lama. Di luar, suara air mengalir dari kamar mandi. Adimas masih di sana. Dalam diam, ia menangis, jelas itu ia lakukan tanpa suara. Karena malam ini, pernikahan yang seharusnya menjadi awal dari kehidupan indah, justru terjadi sebaliknya.
Setelah selesai berdoa, Jasmine melipat mukena dan sajadah dengan hati-hati. Setiap gerakannya tampak tenang, padahal dadanya terasa sesak seperti dihimpit batu besar. Hanya sekejap ia ingin mengatur napas, namun ketika ia berbalik, tubuhnya seketika membeku.
Sosok itu berdiri tak jauh darinya. Sorot matanya tajam, nyaris seperti elang yang hendak mencabik mangsanya. Jasmine terdiam. Ia tidak tahu harus menyapa atau sekadar menunduk saja. Tatapan Adimas terlalu mengintimidasinya.
Tanpa sepatah kata pun, Adimas melangkah melalui dirinya begitu saja menuju sisi ranjang. Aroma sabun dan shampo lelaki itu terhirup jelas oleh Jasmine. Lelaki itu lalu menarik bantal dengan kasar, lalu berjalan ke arah sofa di sudut kamar. Ia menjatuhkan tubuhnya di sana, lalu menyender santai.
Jasmine yang sebenarnya sudah tahu jawabannya, namun dengan sengaja bertanya.
“Mas… kamu ngapain di sana?” tanyanya pelan.
Adimas yang sedang memainkan ponsel tersebut menoleh. Wajahnya datar, tetapi suaranya mengiris.
"Jangan berharap saya mau satu ranjang denganmu. Bahkan melihatmu saja sudah cukup bikin mual.”
Jasmine menggigit bibir bawahnya, menahan getir yang menggulung di kerongkongan. Kata-kata itu seperti cambuk. Namun ia segera menepisnya. Tidak ada yang bisa Jasmine lakukan selain menuruti kemauan Adimas.
Jika Jasmine bersikeras, maka bisa jadi pertengkaran mereka akan terjadi malam ini dan Jasmine tidak ingin itu terjadi. Walaupun sebenarnya, pertengkaran dengan dendam itu memang sudah terjadi beberapa tahun silam.
Ia mengangguk pelan. “Oh… baiklah,” jawabnya pendek. Nafasnya tersendat di ujung dada.
Hening menggantung seperti tirai tebal antara mereka. Satu ruangan, dua jiwa yang sama sekali tak terhubung. Mereka justru saling diam dengan pikiran yang terus menari-nari seperti benang kusut.
Jasmine melirik ke sofa. Adimas sudah berbaring di sana, namun bukan tidur. Pria itu malah tersenyum kecil saat menatap layar ponselnya. Senyum yang tak pernah ia bagi padanya sejak pagi. Entah kepada siapa senyum hangat itu ia berikan.
Jasmine menunduk, menekan air mata yang mendesak turun. Lalu ia melangkah ke koper, membuka bagian dalam yang rapi, dan mengambil Al-Qur’an kecil berwarna hijau mint. Tangannya bergetar saat membuka halaman demi halaman. Tapi ia tahu hanya ini satu-satunya hal yang bisa memeluk hatinya malam ini.
Dengan pelan Jasmine mulai membacakan ayat-ayat cinta tersebut. Surat cinta yang Tuhannya persembahkan untuk para hambaNya. Hanya surat cinta inilah, yang kini menjadi obat penawar bagi keresahan hatinya.
Usai membaca ayat terakhir, Jasmine menutup mushaf dengan hati-hati. Ia mengecup lembut sampulnya lalu meletakkannya di atas nakas. Ia baru saja akan merebahkan diri di sisi ranjang ketika suara berat dan dingin itu memecah kesunyian kamar.
“Eyang sama Nenek nelpon. Mereka mau bicara."
Jasmine menoleh. Adimas kini sudah duduk di sofa, masih menatap Jasmine dengan enggan.
“Duduk sini,” perintahnya tanpa nada yang bisa disebut ramah sambil menepuk sofa tepat di sisi sebelahnya. “Dan pasang wajah bahagia. Jangan buat mereka curiga.”
Jasmine menelan ludah. Ia tidak menyangka bahwa ia akan mengalami ini, sebuah adegan sandiwara rumah tangga. Tapi tetap saja, hatinya tercekat saat mendengar perintah itu keluar dari mulut suaminya. Dengan langkah pelan, ia menghampiri sofa ukuran sedang itu dan duduk di sebelah Adimas, menjaga jarak seadanya.
"Kamu harus tersenyum. Saya tidak mau mereka sampai bertanya panjang lebar jika kamu memasang wajah muram." Masih dengan nada ketus, Adimas bersuara. Sambil mengotak-atik ponselnya.
Begitu tombol video call ditekan. Layar menampilkan dua wajah yang baik Jasmine maupun Adimas kenali. Dua perempuan yang sangat mereka sayangi dan hormati. Dua sosok yang melatarbelakangi pernikahan ini. Keduanya tersenyum hangat dari ujung sana. Jasmine langsung menunduk sopan, berusaha menyembunyikan gugupnya.
“Assalamu’alaikum, Eyang, Nek…” sapanya lembut.
“Wa’alaikumussalam, Sayang! Duh, kalau bersanding seperti itu terlihat serasi sekali. Kalian pasti sudah mau istirahat, ya?” tanya Eyang Ningsih dengan mata berbinar.
Sebelum Jasmine bisa menjawab, Adimas mendekatkan tubuhnya. Bahunya menyentuh pundak Jasmine, dan tiba-tiba saja lengannya terulur, merangkul pundak istrinya. Gerakan mendadak itu membuat Jasmine menegang. Degup jantungnya melonjak tak karuan.
“Iya. Acara hari ini lumayan membuat lelah.” Suara Adimas terdengar ramah, sangat berbeda dari suaranya beberapa menit lalu.
Ia tersenyum kecil, dan Jasmine pun berusaha mengikuti. Senyum yang ia pakai adalah senyum paling palsu dalam hidupnya namun cukup tulus untuk membuat dua wanita sepuh itu merasa tenang.
"Iya ya. Dari wajah kalian saja terlihat lelahnya. Pokoknya kalian harus istirahat yang cukup, ya. Jaga kesehatan biar bisa segera kasih kami cicit." Nenek Irma ikut bersuara dengan bahagia.
Jasmine mengangguk. Ia masih berusaha tersenyum. “Iya, Nek. Doakan kami, ya, semoga pernikahan kami langgeng. Berjodoh hingga ke syurga,” ucap Jasmine dengan tulus. Ia sangat berharap bisa menikah satu kali seumur hidupnya dan yang menjadi jodohnya di akhirat adalah jodohnya yang sekarang.
"Iya. Eyang sama Nenek akan selalu mendoakan. Sudah dulu, ya. Takutnya kami semakin ganggu." Eyang Ningsih tersenyum.
"Iya. Terima kasih untuk perhatiannya, Eyang," ucap Adimas antusias.
Sementara Jasmine hanya tersenyum lepas. Pundaknya masih dirangkul erat Adimas. Aroma parfum kayu dari tubuh Adimas memenuhi penciumannya. Andai keadaannya tidak dipenuhi kebencian seperti ini, malam ini akan menjadi malam terindah untuknya.
Namun itu hanyalah sebuah khayalan yang ada dalam benak Jasmine. Kenyataannya, setelah panggilan video itu ditutup, semuanya kembali ke kenyataan. Membangunkan Jasmine dari mimpinya yang terlalu tinggi.
Begitu layar ponsel kembali gelap, seolah tirai teater itu ditutup, Adimas langsung menarik lengannya dari bahu Jasmine. Hawa hangat yang tadi sempat menipu perasaannya lenyap begitu saja, diganti udara dingin yang merambat dari tubuh pria itu.
Jasmine tak sempat berkata apa-apa. Bahkan belum sempat menarik napas lega, Adimas sudah berdiri dan berjalan menjauh. Suasana kembali seperti semula, begitu tegang, beku, dan menggantung.
“Saya mau pergi dulu. Kamu tidur saja. Jangan menunggu saya."
"Kamu kemana? ini sudah malam."
"Jangan bersikap sok baik di hadapan saya. Bagi saya kamu masih Jasmine yang dulu."
Nada suara itu menghantam dadanya. Jasmine menunduk, menahan napasnya agar tak pecah di udara.
“Mulutmu bisa saja semanis itu bicara di hadapan saya sekarang, tapi saya tahu siapa kamu sebenarnya,” lanjut Adimas sambil menyimpan ponselnya ke dalam laci. “Pernikahan ini? Jangan terlalu percaya diri. Ini tidak berarti apa-apa untuk saya."
Ucapan itu seperti belati tumpul yang ditikamkan perlahan ke jantungnya, begitu menyakitkan namun terlalu lama untuk membunuhnya.
“Jadi jangan pernah berharap lebih.” Adimas menatapnya datar. “Dan jangan pernah berpikir saya akan jadi suami yang kamu bayangkan dalam dongeng kecilmu.”
Jasmine tetap diam. Suaranya tercekat. Ia ingin menjawab, ingin membela diri, tapi lidahnya kaku. Ia tak ingin memperpanjang malam dengan perang dingin yang sudah begitu menusuk.
Adimas sudah melangkah semakin jauh, tanpa ragu ia keluar. Saat tubuh menjulang itu menghilang dari hadapanny, saat itulah air mata Jasmine keluar. Namun tidak lama, ia segera berdiri dari sofa lalu bangkit dan mengambil segelas air. Tenggorokannya terasa kering, dadanya sesak.
Dalam hati, ia bergumam pelan, "Ya Rabb, jika ini jalan yang harus kulalui... maka kuatkan aku. Jangan biarkan aku mencintai orang yang bahkan tak sudi melihat ke arahku."
Gelap. Sunyi. Lalu—tertawa. Suara anak-anak. Cemoohan yang tajam seperti pecahan kaca.
"Anak haram!"
"Ngapain kamu di sini? Nggak ada yang mau main sama kamu!"
"Kehadiranmu itu tidak diharapkan!"
"Kamu dan ibumu hanyalah beban di sini. Pergi sana!"
"Kamu tidak pantas berada di sini!"
"Mama...!
"Mama.... Adi ikut....!!!"
Dan ketika ia menangis sekeras-kerasnya, sebuah suara dengan lembut memanggil namanya...
"Mas, bangun dulu, yuk!"
"Mas!"
"Mas!"
"Mamaa....!"
Mata Adimas terbuka. Napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat. Kamar hotel itu begitu temaram, hanya diterangi cahaya lampu tidur kecil di samping ranjang. Ia masih terbaring di sofa. Dadanya terasa sesak.
Deru napas Adimas masih belum beraturan. Matanya langsung terbuka dan jantungnya masih berdegup kencang. Mimpi sialan itu lagi-lagi mengganggu ketenangannya.
"Minum dulu, Mas," suara lembut itu membuat Adimas tersentak. Entah sejak kapan Jasmine berada di dekatnya. "Ini," Jasmine memberikan segelas air untuk Adimas yang baru terbangun dari mimpi buruknya.
Melihat wajah yang kini memandangnya dengan kasihan membuat Adimas kesal. Adimas nyaris menepis tawaran itu. Mana bisa ia menerima bantuan dari seseorang yang sangat ia benci. Tapi tenggorokannya begitu kering, seperti pasir di tengah padang. Ia akhirnya menerima gelas itu tanpa suara dan meminumnya habis.
Kesunyian melingkupi kamar. Jasmine masih duduk di lantai dekat sofa, matanya tak lepas menatapnya. Ada kekhawatiran, atau mungkin iba. Apapun itu sangat membuat Adimas kesal.
Ia mengembalikan gelas itu, matanya menatap tajam.
"Mau lagi?" tanya Jasmine dengan nada yang sama, begitu lembut dan penuh perhatian.
Adimas mendengus. Lalu tanpa suara ia segera berdiri, berusaha melawan degup jantungnya yang masih berdegup kencang. Lagi-lagi mimpi itu datang. Lebih kesalnya harus datang saat ia bersama Jasmine.
Ah, ini pasti karena ia lupa minum obatnya.
"Mas? Kamu butuh sesuatu?"
Adimas hanya menoleh sekilas. "Tidak usah sok peduli. Bagi saya kamu tetaplah sama. Jangan berharap banyak pada saya apalagi pernikahan sialan ini. Saya tidak benar-benar menganggap kamu istri saya."
Tanpa memperdulikan Jasmine, Adimas segera ke kamar mandi untuk segera mandi dan berwudhu. Ia belum sholat subuh. Segera ia membasuh wajahnya, saat air dingin itu mulai menyentuh wajahnya, saat itulah ia merasa lebih baik. Sesaat setelah itu, ia menatap dirinya di kaca kamar mandi. Mata yang memerah, rambut berantakan. Penampilan Adimas benar-benar kacau.
Tidak seharusnya ia melupakan obatnya semalam. Masih terekam di pikirannya, semalam ia berniat menemui dokter pribadinya untuk mengambil obatnya. Namun bukannya bertemu dokter, ia justru bertemu dengan seorang perempuan hamil ditemani seorang lelaki yang sedang mendorong motor.
Awalnya Adimas tetap melajukan mobilnya tanpa peduli pada dua orang tersebut, namun sisi kemanusiaannya membawanya menuju tempat dua orang tersebut. Saat itulah ia melihat wajah pucat perempuan tersebut sambil merintih kesakitan. Kejadian itulah yang membuatnya lupa mengambil obatnya pada dokternya tersebut. Hingga berakhir ke mimpi buruk yang kembali hadir.
Cukup lama ia berada di kamar mandi, setelah selesai berwudhu, ia segera keluar kamar mandi. Kini badannya terasa lebih segar. Matanya kemudian melihat Jasmine sedang duduk bersila di sofa sambil memegang sebuah buku saku. Mulutnya tampak bergerak. Entah apa yang Jasmine lakukan, Adimas sama sekali tidak peduli.
Pun perempuan itu sendiri tidak melihat ke arahnya. Lebih tepatnya, posisi Jasmine itu membelakanginya.
Ia segera menuju sajadah yang dijadikan Jasmine alas sholat tadi. Setelah bersiap dan merapikan pakaiannya, ia lalu segera melaksanakan rukun Islam yang kedua tersebut.
"Allahu Akbar...."
Jika banyak yang mengira Adimas sholat karena ia adalah sosok yang religius, maka itu sebenarnya salah. Adimas sholat bukan untuk itu. Ia sendiri bukanlah sosok yang peduli untuk memperdalami ilmu agama.
Ia sholat hanya untuk mengingat mamanya. Hanya itu yang diwariskan mamanya sebelum pergi.
Setelah ia sholat, ia segera melipat sajadah tersebut dan meletakkannya di pinggiran sofa. Mata Adimas melihat sekeliling namun ia tidak menemukan Jasmine di sudut manapun.
"Lebih baik begini dari pada ada dia," gumamnya pelan.
Adimas sama sekali tidak peduli. Ia segera melangkah menuju lemari, lalu mengambil kemeja yang sudah ia gantungkan kemarin. Lebih tepatnya ia meminta Akmal meletakkan pakaian kerjanya itu kemarin.
Tanpa ragu, ia lalu membuka baju kaos yang membungkus tubuhnya, lalu melepasnya begitu saja, memperlihatkan dada dan perut yang kekar karena rutin olahraga. Ia baru saja akan mengambil kaos lain dari koper, namun saat itulah ia mendengar suara setengah berteriak seorang perempuan.
“Astaghfirullah!Kamu kenapa nggak pakai baju?!" seru Jasmine yang diduga Adimas baru keluar dari kamar mandi.
Refleks, Adimas menoleh, hanya untuk melihat punggung gadis itu membelakanginya. Tubuhnya kaku. Jasmine jelas-jelas panik. Ia bahkan memejamkan mata dan mengangkat satu tangan ke atas seolah-olah mengusir dosa yang tiba-tiba menyerbu pandangannya.
Adimas diam. Lalu tertawa kecil, namun nada sinis yang biasa tetap terdengar.
“Munafik,” gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar Jasmine. “Kamu bahkan sering berganti pacar dari semasa sekolah. Saya rass tidak ada yang bisa menjamin kamu belum pernah melihat dada lelaki. Kamu tidak sepolos itu."
"Terserah apa yang kamu pikirkan. Tapi cepat pakai bajumu." seru Jasmine panik.
“Udahlah, nggak usah sok suci,” ucap Adimas, kini lebih dingin. “Saya bahkan ragu kamu masih perawan atau tidak." Adimas tidak peduli perkataannya akan menyakiti Jasmine atau pun tidak. Namun ia berharap iya. Karena itulah tujuannya menikahi Jasmine.
Gadis itu tidak menjawab. Pun Adimas juga tidak peduli. Ia langsung mengenakan kemeja kerjanya. Setelah memastikan kemejanya rapi, ia menatap Jasmine dengan dingin. Wajahnya yang tadinya sinis berubah datar.
Menyadari Jasmine masih memakai piyama yang semalam, Adimas pun berkata dengan datar. "Cepat ganti bajumu. Kecuali kalau kamu mau tetap di sini."
Jasmine yang tadinya diam menatapnya dengan tatapan yang....entahlah, tatapannya kosong. Namun saat mendengar suara Adimas, wajah itu seketika berubah hangat.
"Kita akan kemana? Bukannya seharusnya kita masih di sini?"
Adimas menggeleng cepat. "Tidak. Saya kerja hari ini. Jangan kamu kira saya mengambil cuti hanya demi pernikahan ini."
"Hmmmh, baiklah. Kita tidak sarapan dulu?"
"Tidak. Kecuali kalau kamu mau pulang sendiri."
Jasmine mengangguk. "Oke. Tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu." Perempuan itu segera melangkah menuju kopernya, lalu segera mengambik beberapa pakaian ganti. Setelah itu, ia segera ke kamar mandi.
Sebenarnya Adimas bisa saja tidak peduli. Namun ia khawatir eyangnya akan menelponnya kembali. Sepertinya eyangnya sendiri mengkhawatirkan akan perlakuan dirinya pada Jasmine. Eyangnya bahkan sudah mengirimkan beberapa foto rumah untuknya.
Sayangnya, mau sebaik apapun eyangnya sekarang, Adimas sendiri yakin, perempuan yang wajahnya mirip ayahnya itu melakukan itu hanya untuk Jasmine. Bukanlah untuk dirinya. Sama seperti betapa khawatirnya eyangnya saat neneknya Jasmine menelpon untuk mengabarkan tentang perjodohan tersebut.
Kalau bukan karena kondisi neneknya Jasmine yang mulai memburuk dan paksaan dari eyangnya, Adimas tidak akan sudi menggantikan posisi Adrian. Selain itu, ada alasan lain yang membuat Adimas akhirnya setuju.
Sembari menunggu Jasmine, Adimas iseng melihat foto di galerinya. Senyum tipis terbit di wajah dinginnya. Hampir foto di galeri tersebut adalah foto Rindu. Dari mulai foto Rindu yang secara sadar hingga foto yang dipotret Adimas secara random.
"Habis ini kita akan kemana?"
Adimas tersentak. Ia segera meletakkan ponselnya di saku celananya saat Jasmine tiba-tiba bersuara. Sekarang perempuan itu sudah berganti pakaian. Adimas terdiam, bukan karena terpukau, melainkan terkejut dengan penampilan Jasmine.
Siapa yang menyangka gadis yang dulunya akrab dengan pakaian pendek, kini beralih ke pakaian tertutup. Memang Jasmine tidak terlihat seperti ibu-ibu pengajian, ia lebih terlihat seperti ukhti-ukhti yang sering Bani bicarakan.
Apalagi dengan Jasmine yang walaupun serba tertutup, kecuali wajah, pakaian itu tampak pas ia pakai. Menambah anggun dan aura yang positif. Jilbab panjang berwarna hitam dengan motif kecil berwarna cream di pinggirannya, dipadukan dengan outer berwarna cream dan rok berwarna hitam.
Apakah Adimas kagum? Ah tidak. Sama sekali tidak. Justru dengan penampilan Jasmine yangs sekarang ditambah dengan cara ia bersikap semakin membuat Adimas muak.
"Mas?"
Suara lembut itu membuat Adimas tersadar. Dirinya terlalu lama mengabaikan pertanyaan yang tadi Jasmine tanyakan.
"Saya akan ke kantor. Kamu akan saya antar ke rumah."
Jasmine masih diam. Mata Adimas menatapnya dengan bingung.
"Mas?"
"Hmmmh..." gumam Adimas malas.
"Aku ke kafe saja. Maksudku, jika Mas tidak keberatan, bisa tolong antarkan aku ke sana?" tanya Jasmine hati-hati.
Adimas menjawab dengan anggukan. Tanpa menunggu lama, ia segera merapikan pakaiannya dan memasukkan ke koper. Begitu pula Jasmine. Perempuan itu lebih banyak diam. Sejauh ini, Jasmine lebih banyak menurut pada Adimas.
Setelah memastikan semua barang sudah dibawa, mereka langsung keluar. Untuk menjaga nama baik keluarganya, Adimas berjalan beriringan dengan Jasmine. Namun mereka masih dalam mode saling diam.
Langkah kaki mereka sampai di loby hotel dan setelah melakukan check out, Adimas berjalan lebih dulu menuju area parkir diikuti Jasmine di belakangnya. Sesampainya mereka di dekat mobil Adimas, Jasmine mengikuti Adimas meletakkan kopernya di bagasi mobil Adimas.
"Kamu tidak usah dekat-dekat dengan saya. Sampai kapan pun saya tidak sudi berdekatan dengan kamu."
Jasmine mengangguk. Lalu ia segera meraih pintu tengah mobil. Namun Adimas segera berseru sinis.
"Kamu mau ngapain? Kenapa duduk di belakang?"
"Mas tadi bilangnya nggak mau kalau aku terlalu dekat sama Mas. Jadi ya sudah, aku di belakang aja."
Adimas menghela napasnya dengan kasar. "Tidak begitu. Kamu kira saya sopir kamu apa. Pindah ke depan cepat!"
Hati Adimas mendadak semakin buruk. Sudahlah buruk karena akan bertemu dengan Jasmine setiap hari, kini ia juga harus siap menghadapi sikap sok tenang Jasmine yang terkadang membuatnya seperti oranh bodoh.
Ia terlalu banyak bicara hari ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!