NovelToon NovelToon

STILL

Dia Sahabatku

'Tangannya begitu kecil saat dia meraih telapak tanganku dengan penuh keyakinan. Begitu kecil dan lembut, tapi sangat pas ditanganku juga, seperti memang diciptakan hanya untukku'

__________________________________

Mary's PoV

"Mary, turunlah sekarang!!"

Aku mendengar Nathan berteriak padaku di bawah sana. Dia itu pengecut, aku sudah memberitahunya untuk ikut memanjat pohon ini bersamaku, tapi disanalah Nathan, berdiri dibawah pohon mendongak keatas sembari berteriak padaku. Memintaku untuk turun, sudah ke sepuluh kali jika aku tidak salah hitung.

"Natty, naiklah kemari!" Aku memintanya naik, mungkin sudah ke sekian kali aku memintanya dan dia masih menolakku.

Lihatlah dia mendengus kesal, memutar bola matanya. Wajahnya terlihat lucu jika dia kesal begitu, bibirnya mencebik dan tangannya dipinggang. Oke, sekarang dia mirip dengan Kakek Fabius saat sedang memarahiku.

"Aku tidak akan naik, besok adalah pertandingan basket, aku tidak mau jatuh dan mematahkan kakiku, sekarang turunlah!" Dia mengomel seperti nenek Lidya yang tinggal tepat di sebelah rumahku.

"Pengecut." Ejekku, tapi aku menurutinya dan hendak turun dari pohon tersebut.

Nathan memiliki semacam trauma jika aku benar. Terakhir kali, aku memanjat pohon saat kami masih sekolah dasar, aku memaksanya untuk naik denganku. Karena dia merasa bahwa aku adalah satu-satunya sahabat yang dia miliki, maka Nathan menuruti segala ucapanku. Termasuk dengan hari itu, dia memanjat setelahku, sampai di atas, Nathan juga merasa kagum dengan pemandangan yang dia lihat dari atas bersamaku.

Sayang sekali, saat senja tiba dan Nyonya Wycliff, Ibu Nathan berteriak mencarinya membuat Nathan terburu-buru untuk turun dan akhirnya Nathan terjatuh karena ia salah menginjak ranting yang kecil. Nathan mengalami patah tulang tangan kanan, dan selama 1 bulan dia harus menggunakan penyangga. Selama itu juga aku harus menjadi pengasuh Nathan di sekolah, saat makan siang aku harus menyuapinya makanan, membawakan bukunya dan yang lainnya.

"Aaaaaarrghh!!" Teriakku saat kakiku tergelincir ketika aku menuruni pohon ini. Tidak biasanya, aku tidak pernah jatuh sebelumnya.

Aku terjatuh, semua benda di sekitarku bergerak dengan sangat cepat, spontan aku memejamkan mataku, tapi rasanya aneh saat aku mendarat. Tanahnya tidak terasa keras. Aku malah merasa hangat dan sangat nyaman sekali.

"Errgh." Suara lain mengerang tepat di atas kepalaku, saat aku mulai sadar aku mendongak dan Nathan sedang meringis kesakitan. Astaga! Rupanya rasa nyaman dan hangat itu berasal dari tubuhnya, dan aku terjatuh menindih Nathan.

"Oh Nat, aku.. Aku, apa kau-" ucapanku terpotong saat Nathan mendekap tubuh dan kepalaku, sekarang aku berbaring diatas tubuhnya. Aku bisa mendengar detak jantung Nathan yang tak beraturan dan nafasnya yang terengah-engah.

"Apa kau baik-baik saja?" Bisiknya. Dia memang sangat bodoh, mengkhawatirkan orang lain dan melupakan dirinya sendiri.

"Nathan, aku baik-baik saja," balasku, aku ingin mendongak tapi dia menahan kepalaku dengan erat. "Apa kau terluka?" Tanyaku khawatir. Aku sungguh khawatir dia akan terluka karena pertandingannya besok. Apalagi saat mendengar irama jantungnya yang berdegup sangat keras, kurasa dia sangat tidak baik-baik saja sekarang.

"Ergh." Dia mengerang, kali ini dia menggeser tubuhku kesamping, dengan kepalaku masih bersandar di lengannya. "Aku rasa punggungku patah" Katanyas sembari meringis.

"Benarkah, oh Ya Tuhan, kita harus membawamu ke rumah sakit sekarang" Aku bangkit karena sangat panik, namun Nathan malah menatapku dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia berbohong!! Dia hanya pura-pura kesakitan.

"Kau berbohong??" Pekikku.

"Sungguh, kau sangat berat Mary, apa saja yang kau makan akhir-akhir ini?" Godanya sambil menyeringai. Aku menghela nafasku lega, setidaknya dia baik-baik saja. Jika sesuatu terjadi padanya aku tidak bisa membayangkan diriku akan menjadi pengasuhnya lagi.

"Aku akan makan lebih banyak, jadi kau akan benar-benar patah tulang saat aku terjatuh dan mencoba menangkapku seperti tadi." aku mengancamnya.

Berusaha bangkit, lalu membersihkan jeansku dan Natjan melakukan hal yang sama. Dia sangat tinggi sekarang, mungkin sekitar 6 kaki? Entahlah, tinggiku tak lebih dari dagunya sekarang. Dia benar-benar jadi raksasa saat ini. Padahal ketika kami masih kecil, aku lebih tinggi darinya beberapa inchi.

"Jangan coba-coba untuk jatuh lagi!!!" Ujarnya sambil mengacak rambutku.

"Tergantung," balasku asal

"Aku serius Marie Poppins, jika kau jatuh lagi aku tidak akan menangkapmu!" aku hanya mengangkat bahu sembari berlalu.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah karena pohon ini terletak tepat di depan rumahku, dan rumah Nathan terletak di seberang jalan. Nathan mengikutiku masuk kedalam rumah, aku langsung ke dapur mengambil air dan mengambilkan Nathan minuman isotonik.

"Jadi, Jam berapa pertandingannya?" Tanyaku setelah menenggak habis minumanku.

"Sekitar Jam 9, kau akan datang kan?"

Sejenak aku berfikir, pertandingannya saat kelasku periode ke pertama. Pelajaran literatur, entah aku bisa datang tepat waktu atau tidak ke pertandingannya. Selama ini aku tidak pernah melewatkan pertandingannya sama sekali. Aku telah menjadi pemandu sorak abadinya, dan aku senang melakukannya.

"Entahlah, kau tau aku membutuhkan lebih banyak penugasan dari Profesor Calahan." Jawabku jujur karena nilai literaturku cukup kacau karena aku beberapa kali membolos.

"Kau tau aku akan sangat gugup jika kau tidak datang," dia serius dengan ucapannya.

"Kecuali aku menyelesaikan tugasku dengan baik." Jawabku sambil mengangkat bahu.

Senyum mengembang diwajah Nathan, mata birunya bersinar dengan cerah. Membuatnya senang memang sangat mudah.

"Kau tahu, jika aku bisa menang pertandingan ini, ada peluang aku akan jadi kapten tim basket di semester berikutnya," ungkapnya, Nathan tidak pernah menyembunyikan apapun dariku. Apapun. Bahkan aku tahu, bahwa kencan pertamanya dengan salah seorang gadis dari jurusan Musik tidak berjalan lancar karena Nathan tak mau mencium gadis itu. Dasar Nathan bodoh. Mengapa dia tidak mau mencium teman kencannya?

"Bagus, kalau begitu aku akan datang dan pastikan kau menang Wycliff!"

Nathan mengangguk, kemudian menghabiskan satu botol minuman yang tadi kulempar padanya. Kemudian ia pulang kerumahnya. Sebelum keluar ia melambaikan tangannya padaku dengan senyumnya yang mirip dengan seringaian itu. Dia benar-benar konyol.

Aku pergi kekamarku setelah membersihkan seluruh ruang tamu dan dapur. Di rumah ini aku hidup sendiri, orang tuaku bercerai dan meninggalkanku di rumah ini. Setidaknya mereka masih membayar semua kebutuhan rumah ini, dan uang kuliahku. Jadi aku hanya perlu bekerja part-time di Chuck's Lit untuk kebutuhanku sendiri.

Cahaya lampu dari seberang menarik perhatianku. Aku berjalan ke arah jendelaku kemudian membuka tirai tipis kamarku. Lampu itu berasal dari kamar Nathan, dia sedang berada di kamarnya dan duduk di kusen jendelanya tanpa menggunakan baju! Sial! Nathan terlihat sangat Hot, dan seksi! Dia menjadi pria idaman para gadis tentunya, dan aku tumbuh bersamanya tanpa menyadari betapa seksinya dia. Aku menelan ludahku yang sudah membanjiri seluruh mulutku.

Dia sahabatmu, Mary!!

Alam bawah sadarku mengetuk fikiranku. Kututup tirai tipisku, lalu berbalik.

"Sadarkan dirimu, Mary." Gerutuku sembari memegagi dadaku yang terasa nyeri karena debaran jantungku yang tidak karuan.

Daripada memikirkan tubuh Nathan yang baru kusadari bahwa dia sangat seksi, aku membenamkan tubuhku ke ranjang empukku. Menatap kipasku yang berputar di langit-langit, dan tubuh Nathan terbayang di hadapanku.

Sial

Sial

Sial

Ada apa denganku sebenarnya?

to be continued

Senyumnya

Tiap gerakannya, setiap senyumnya, lesung dipipinya, membuat waktuku seakan berhenti begitu saja. Aku buta, karena duniaku telah berpusat padanya. Hanya padanya.

_________________________________

Detik demi detik terasa begitu sangat lama sekali, sedangkan aku tidak tahu lagi apa yang sedang dibicarakan oleh Profesor Duchen Calahan, sesuatu tentang Prosa? Entahlah, aku terus sibuk memandangi jam di dinding 8.30 saat ini. Sial, jantungku berdebar lebih cepat jika aku gugup. Pertandingan Nathan hanya 30 menit lagi, apa aku bisa tepat waktu sampai disana? Aku tidak ingin terlambat menyaksikan pertandingan itu, lebih tepatnya aku tidak ingin terlambat untuk memberikan dukungan sebelum dia bermain.

"Baiklah, sekian pertemuan hari ini, jangan lupa tugas minggu depan adalah mereview jurnal." Prof.Calahan mengingatkan kembali.

Karena aku benar-benar tidak sanggup menunggu lagi meski hanya satu menit, aku langsung berlari keluar dari kelas. Aku yakin, Profesor Calahan heran dengan tingkahku. Tapi, siapa yang peduli? Aku selalu mengerjakan tugasnya dengan sangat baik!

Aku tergesa-gesa sehingga berlari sekencang ke gedung pusat olahraga. Keluar dari gedung tempat kelasku berada, aku harus melewati satu blok lagi, aku terus berlari tapi rasanya begitu lamban meski aku sudah menambah kecepatanku. Mungkin setelah ini aku harus diet. Demi Tuhan, kenapa gedung itu begitu jauh. Kenapa Manchester University sangat luas?

Setelah berlari begitu jauh, akhirnya aku berhasil masuk kedalam gedung ini. Banyak orang yang sudah duduk di tribun, bersorak untuk tim yang mereka dukung. Aku menoleh ke kanan, lalu ke kiri, menyusuri seluruh isi gedung hanya untuk mencari rambut gelap ikal milik Nathan.

"Dimana dia?" Gerutuku, lalu kulihat lagi jamku, 8.55. Seharusnya tiap tim sudah bersiap di tempatnya masing-masing. Aku mencarinya lagi, ketika semua orang bersorak karena tim pandu sorak sudah mulai menari.

"Mencariku?" Suara Nathan mengejutkanku, hingga aku terperanjat. Aku langsung berbalik, dan mendapatinya berdiri di belakangku, ia begitu tinggi sekali jika dibanding denganku yang tidak lebih tinggi dari bahunya.

"Kufikir aku terlambat," ujarku dengan nafas yang ngos-ngosan, "kenapa kau baru masuk?" Tanyaku.

"Aku baru saja ke toilet, apa kau berlari kemari?" dia berbalik tanya saat menangkap wajahku yang mungkin penuh dengan keringat. Merengkuhnya dan dia menunduk sedikit agar wajah kami mendekat.

"Yeah, aku tidak ingin melewatkan satu menitpun!" Jawabku sambil mengangkat bahu. Sesaat kemudian, dengan telapak tangannya Nathan mengusap keningku yang penuh dengan peluh.

"Jangan membuat dirimu sendiri kepayahan, lihatlah wajahmu yang jelek jadi lebih jelek," ujarnya yang masih mengusap dahiku.

Berdiri begitu dekat dengan Nathan, aku bisa mencium aroma tubuhnya, ia beraroma Mint yang sangat segar sekali. Membuatku ingin memeluknya!

Sadarlah, Mary!!!

Aku menggelengkan kepalaku perlahan, membuang fikiran aneh itu dari kepalaku. Lalu kutatap Nathan, ia mundur satu langkah, memiringkan kepalanya untuk menatapku dengan lembut.

"Aku akan memenangkan pertandingan ini, Mary!" Janjinya, lalu ia berlari sembari mrlambaikan tangan kearahku kemudian bergabung dengan timnya yang menggunakan pakaian berwarna biru dan kuning.

Tunggu. Nathan berlari dengan aneh, seperti kakinya terluka. Aku tidak salah, kakinya terluka. Kenapa? Kemarin baik-baik saja..

Kemarin.

Sial. Aku teringat sesuatu.

Ini pasti karena dia menangkapku saat aku terjatuh kemarin. Dia menyembunyikan lukanya dariku agar aku tidak merasa bersalah? Kenapa dia begitu bodoh sekali, dan kenapa aku begitu bodoh untuk tidak menyadarinya?

Aku menghela nafas, jika Nathan tidak bisa bertanding dengan baik hari ini. Itu adalah kesalahanku. Andai saja aku tidak terjatuh, dan dia tidak menangkapku maka semua ini tidak akan terjadi.

Aku berjalan ke tribun untuk mencari tempat duduk. Menembus kerumunan, akhirnya aku menemukan bangku kosong, di tengah-tengah, tapi cukup untuk melihat Nathan dari atas sini.

Pertandingan sudah dimulai, kedua tim sudah memasuki lapangan. Pandanganku hanya terarah pada Nathan. Berharap dia baik-baik saja. Dia harus baik-baik saja.

Tim lawan menggiring bola, ia cukup lincah untuk melewati beberapa orang, tapi terhalang oleh Nathan, dan dia berhasil untuk merebut bola itu. Nathan berlari dengan kakinya yang terpincang, aku yakin dia menahan rasa sakitnya. Melihatnya begitu bersusah payah membuat hatiku serasa seperti mencelos.

Semoga dia baik-baik saja. Itulah mantra yang kuucapkan terus menerus secara berulang.

"Nathannn! Kau bisa!" Teriakku.

Nathan melompat, ia melemparkan bola itu dan masuk ke ranjang. Saat Nathan mendarat, ia terhuyung dan hampir jatuh namun ia masih sanggup menahannya. Aku bernafas lega, dan berharap pertandingan ini segera berakhir.

Pertandingan ini berlanjut dengan jantungku yang berpacu lebih cepat saat Nathan berlari menggirin bola atau saat ia melompat untuk memasukkan bola, dan aku kesal apabila orang-orang didepanku bersorak sambil berdiri dan menghalangi penglihatanku.

Di akhir pertandingan, nilai penentuan di menit terakhir, Nathan kembali bisa merebut bola. Ia berlari menggiring bola, namun kali ini ia tak berlari jauh, ia berada diluar garis. Dia akan butuh usaha lebih jika ingin memasukan bola ke dalam ranjang. Rasanya seperti slow motion, aku bisa melihat bagaimana Nathan menekuk lututnya dengan bola di tangannya, ia kemudian melompat dan bola itu melayang jauh dan masuk kedalam ranjang dengan sempurna.

"YEEEAAAAAHHHH!!!" teriakku sambil berdiri, lalu aku memeluk orang disampingku, entah siapa dia.

Kemudian aku berlari menembus orang-orang yang tengah bersorak karena tim Nathan menang. Aku menuruni tribun langsung pergi ke tempat tim Nathan berada. Langkahku terhenti, saat aku melihat tim medis berlari melewatiku. Jantungku serasa berhenti. Pandanganku mengikuti mereka, kemudian mereka berlari ketengah lapangan dan mengangkat tubuh, tubuh Nathan!!

Kembali aku berlari, aku menuju ke arah tim medis itu. Benar saja, Nathan yang berbaring di tandu. Ia menutup wajahnya dengan tangannya.

"Kami harus membawanya ke Rumah Sakit segera." Ujar Salah seorang tim medis yang mencegahku, Nathan menyingkirkan tangannya dan melihatku. Ia tersenyum padaku.

"Aku menang, Mary!" Serunya dengan seringaian konyol terpasang diwajahnya yang dipenuhi oleh keringat itu.

"Yeah, kau menang, aku tahu." Balasku. "Bolehkah aku ikut?" Tanyaku pada petugas medis itu.

"Dia akan menemaniku." Kata Nathan pada petugas medis.

Aku mengikutinya dan masuk ke dalam ambulance. Pandangan mataku tak beralih dari kaki Nathan yang terluka. Ini salahku, dia terluka karena aku dan menutupinya karena aku. Bagaimana jika hal buruk terjadi padanya? Bagaimana jika ia tidak mendapatkan posisi kapten tim basket karena aku?

"Berhenti khawatir, Mary, aku tidak akan mati." ujarnya bercanda, "wajah cemasmu itu sangat tidak cocok denganmu." Katanya lagi.

"Tidak lucu, Natty" Aku memukul dadanya dan Nathan hanya tertawa kecil. "Bagaimana jika kau-"

"Aku baik-baik saja" Selanya sambil menepuk pundakku. "Kau tau aku ini kan kuat,"

Sesaat kemudian kami sampai di rumah sakit dan Nathan langsung dibawa ke ruang unit gawat darurat. Sedangkan aku menunggu di lorong. Rasa khawatirku tak membantuku sama sekali, aku hanya takut jika kakinya terluka sangat parah, dan membuat karirnya berakhir. Apa yang akan kulakukan jika itu terjadi padanya?

Setelah menunggu sekitar 30 menit akhirnya seorang perawat menemuiku.

"Apa kau yang bernama Mary?"Tanya Perawat itu.

"Yeah?"

"Pacarmu memintamu untuk menemuinya"

Pacar?? Nathan?

"Ya, dimana aku bisa menemuinya? Apa semua baik-baik saja?" Tanyaku.

"Semuanya baik-baik saja, hanya mengalami dislokasi sendi saja, dia akan sembuh dalam 1 bulan." Tutu perawat itu sembari menunjukkanku dimana tempat Nathan dirawat.

Saat perawat menyibakkan tirai putih, Nathan duduk di ranjang dengan kaki menggantung. Aku bisa melihat kakinya di pasang gips. Aku menghela nafas lega, sedangkan anak bodoh itu tersenyum seperti orang konyol padaku.

"Hei." Ucapku dengan canggung yang bercampur khawatir.

"Hei." Balasnya

"Bagaimana, apakah buruk??" Aku masih menatap kakinya yang digantung itu.

"Tidak, hanya dislokasi saja" Balasnya sambil mengangkat bahu. Aku kemudian duduk disampingnya.

"Kau tidak akan memberitahuku kan?" Tanyaku.

"Dan membuatmu menyalahkan dirimu sendiri? Tentu saja tidak!" Balasnya.

Aku hanya bisa menghela nafas dengan kasar. Aku tidak pernah berhasil jika berdebat dengannya, dia lebih keras kepala daripada yang bisa dibayangkan.

"Aku minta maaf." Aku benar-benar menyesal karena membuatnya terluka seperti ini.

"Hentikan itu Mary Poppins, atau aku tidak akan bicara lagi padamu!" Ancamnya.

"Seandainya kau bisa" Aku tertawa dan dia ikut tertawa denganku

Tiba-tiba Nathan berhenti tertawa sembari memandangiku. Lalu ia meletakkan telapak tangannya yang besar itu diatas kepalaku dan mengusap rambutku perlahan.

"Selama kau ada di sisiku, semuanya akan baik-baik saja." Ujarnya, aku tidak menyetujuinya. Karena dia terluka karena diriku, namun untuk menyenangkan hatinya aku pun mengangguk sembari tersenyum padanya.

"Nah, begitu. Senyum itu lebih cocok padamu daripada wajah cemberutmu." Katanya lagi, "sudah jelek lalu cemberut, hanya menyakiti mata saja." Imbuhnya lagi.

"Kau juga jelek,"

To be continued,

Ruang Nostalgia

Dia bersinar, mempesona. Aku hanya ingin berada disampingnya, merasakan tiap hembusan nafasnya. Memastikan bahwa dia ada disampingku

____________________________________

"Tinggalah." Pinta Nathan padaku dengan memasang wajah melasnya. Ia paling tahu aku tidak bisa membiarkannya jika sudah meminta seperti ini. Tinggallah aku di rumah sakit, menemaninya untuk sementara sampai dia diperbolehkan pulang kerumahnya.

Setelah observasi selama beberapa jam kami pulang dari rumah sakit, aku memapahnya berjalan. Tubuh Nathan jauh lebih besar daripada tubuhku. Jadi rasanya, aku hampir terjatuh saat menahannya, sedangkan dia terus saja menggodaku. Mengatakan betapa lemahnya aku dengan tubuhku yang dempal seperti ini. Hampir saja aku mendorongnya, agar ia berjalan sendiri. Namun, dia begini karena aku, jadi aku akan bersikap baik. Lihat saja nanti kalau dia sudah sembuh, akan kubalas!

"Tinggalah, Mary." Dia mengulanginya lagi dengan nada dan ekspresi wajah yang sama seperti saat di rumah sakit. "Ibuku sedang berada di London sampai akhir pekan, kau tau kamarku ada diatas, akan sulit bagiku-" Dia mulai merengek. Kebiasaanya kalau sedang lemah begini.

"Ya ya, aku akan merawatmu, jangan merengek." Selaku sambil memutar mataku padanya.

Senyum Nathan mengembang begitu lebar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru. Rasanya seperti mengenang saat tanganya patah dulu, dia selalu memintaku untuk tidak jauh-jauh darinya. Agar dia bisa menyuruhku seenaknya. Begitulah dia, memanfaatkanku pada saat yang sangat tepat sekali.

Hati-hati, aku membantu Nathan untuk berjalan ke sofa, setelah itu dia bersandar dan kaki panjangnya di julurkan sepanjang sofa itu. Dan aku duduk di sofa sebelah Nathan duduk.

"Kau ingin makan apa untuk makan malam, Nat?" Tanyaku padanya

"Sesuatu dari Chuck's " Dia mulai meminta sesuatu yang menyebalkan, bukan karena aku tidak bisa membelinya akan tetapi karena jarak Chuck's Lit dari rumah kami cukup jauh. Kenapa tidak saat kami pulang lalu mampir ke sana?

"Kau tau, kau sungguh menyebalkan!" aku melemparkan bantal tepat dimuka Nathan, dan dia hanya cekikikan.

"Malam ini teman-teman dan pelatihku akan ke Chuck's, mungkin kau mau menemaniku kesana?" Tanyanya. Ternyata bukan dia ingin memintaku ke Chuck's Lit.

"Bagaimana caranya kita kesana? Kau tahu mobilku masih di kampus begitu juga dengan milikmu," aku mengingatkannya bahwa kami tidak memiliki kendaraan hingga besok, mungkin lusa karena mobil yang kami miliki terparkir di universitas.

"Well, Steffan bisa menjemput kita, dia yang menawarkan." Balasnya, Steffan adalah teman satu timnya, kurasa. Aku juga belum pernah bertemu dengannya secara langsung. Hanya melihatnya dari pinggir lapangan saja ketika mereka bertanding.

"Kau bisa pergi dengan Steffan, aku akan tinggal dirumah saja." Balasku, seketika itu raut wajah Nathan langsung cemberut mendengar jawabanku, bibirnya manyun dan keningnya berkerut. Dasar cowok manja!

Sebenarnya aku juga sedang tidak ingin kemana-mana hari ini. Cukup sudah aku berlarian hari ini, aku hanya ingin membuat sesuatu untuk makan malam dan tidur. Membosankan hidupku? Memang seperti itu. Aku tidak terlalu menyukai kegiatan diluar rumah. Jika aku bisa bersenang-senang dirumah, mengapa harus keluar?

"Kalau begitu, aku tidak akan pergi." Balasnya kekanakkan. Aku lupa bila Nathan cukup keras kepala. Dia bisa lebih keras kepala dari anak kecil berusia 6 tahun.

"Nat, jangan mulai!" Aku memutar bola mataku karena kesal padanya, kenapa saat ia sakit menjadi lebih manja dan sangat keras kepala? "Ini adalah pesta kalian, kau harus datang tentu saja," imbuhku, "Steffan akan membantu." Lanjutku mencoba untuk membujuknya.

"Tidak tanpamu." Baiklah, dia sangat keras kepala sekali dan tidak akan menyerah begitu saja.

"Apa untungnya bagiku??" aku membuat perhitungan. Setidaknya, pergi ke acara itu harus menghasilkan sesuatu bagiku kan?

Yea, akan banyak pria di sana, dan aku tidak terlalu suka. Selain itu aku tidak mengenal satu pun teman satu tim Nathan dan tak pernah bertemu mereka secara pribadi. Ikut dengannya hanya akan membuatku terasingkan. Nathan pasti akan lebih sering bersama temannya, dan aku... Aku mungkin akan berakhir membantu Chuck menyiapkan kebutuhan mereka.

"Ayolah Mary, ini akan sangat menyenangkan!" Ia mencoba meyakinkanku. "Ayolah, demi aku," pintanya dengan wajah melas. Dia tahu betul bahwa aku tak bisa menolaknya sama sekali.

"Sial, baiklah!" Balasku dengan terpaksa aku pun menuruti kemauannya.

"Bagus sekali!" Serunya antusias. "Aku akan beritahu Steffan, untuk datang jam 7 jadi kau bisa bersiap-siap," kufikir Nathan telah melupakan rasa sakit di kakinya. Dia tampak sangat senang.

"Bagaimana denganmu?" Tanyaku sambil menaikkan sebelah alisku.

"Tentu saja dengan bantuanmu." Jawabnya enteng.

Bagus!

Beberapa saat kemudian, usai Nathan menelfon temannya yang bernama Steffan, aku membantu naik ke lantai atas, menuju kamarnya. Setelah itu, aku mengambilkan pakaiannya, T-shirt putih dan celana jeans hitamnya dan aku juga boxernya yang berwarna kuning dengan gambar spongebob. Spongebob?

"Hey!" Pekiknya saat ia menemukanku memicingkan boxernya.

"Sungguh?? Nat? Kau masih terobsesi dengan spongebob?" aku menahan tawaku.

Aku yakin, dia pasti masih menyimpan koleksi baju bergambar spongebobnya. Dia bahkan pernah memberikanku satu kaos spongebob yang sama persih dengan miliknya.

Melihat kaos ini, aku sadar sudah lama aku tidak memasuki kamar ini seenaknya seperti dulu. Mungkin semenjak kami masuk universitas. Sekarang, memasukinya seperti memasuki ruang nostalgia.

Dulunya, aku sering sekali kemari. sekedar mengerjakan PR, bermain monopoli hingga larut malam. kadang, kami akan membuat tenda lalu tidur di dalamnya sembari bercerita. Apapun bisa dijadikan cerita oleh Nathan.

Pernah satu hari, ia menceritakan tentang rumah kosong yang berada di ujung jalan gang rumah kami. Rumah itu sudah kosong sejak aku bisa mengingatnya, Nathan mengatakan padaku bahwa ada hantu yang menunggu rumah itu. Katanya, hantu itu suka sekali menakut-nakuti anak perempuan. Semenjak itu pun aku tak berani melewati rumah itu. Sungguh Nathan, benar-benar jail.

"Kembalikan itu padaku.!" Wajah Nathan memerah, dengan sebelah kakinya Nathan berusaha meraih boxernya dariku. Tapi, aku mundur selangkah dan ia terhuyung. Khawatir, aku menangkapnya dan kami berdua malah terjatuh dengan Nathan berada diatasku.

Wajah Nathan sangat dekat denganku, dadanya naik turun seiring dengan nafasnya yang tak karuan. Aku bisa merasakan aroma mint dari hembusan nafasnya. Anehnya, aku merasakan debaran jantungku begitu kencang, rasanya sampai menyesakkan. Nathan menatapku, tapi aku juga melihatnya menatap bibirku. Aku memejamkan mataku,menunggungya.

Tunggu!! Untuk apa aku memejamkan mata? Menunggunya? Menunggunya untuk menciumku?? Kau Gila Mary!!!! Sungguh gila.

Secepat mungkin aku membuka mataku dan menatap Nathan yang terlihat, Frustasi? Kenapa? Ia bahkan menghela nafas seolah ia memiliki beban hidup yang sangat berat.

"Kau memang sesuatu, Mary Poppins!" Suara Nathan begitu serak, kemudian ia meraih boxer spongebobnya dari tanganku lalu berguling kesamping. Aku menghembuskan nafasku yang sudah kutahan dari tadi, mengatur ritme jantungku agar rasanya tak menyakitkan.

"Apa kau masih punya kaosnya?" Tanyaku menggodanya dan untuk mencairkan suasana yang begitu canggung ini.

"Ssshhh!" Dia menggunakan telapak tangannya untuk menutup mulutku. "Jika kau membocorkan rahasia ini, aku bersumpah kau tidak akan pernah tidur nyenyak!" Ancamnya.

"Seorang Nathan, takut jika rahasianya terbongkar??" Aku tertawa kecil.

"Ergh, Kumohon Mary." Aku berbalik dan menatapnya.

"Dengan satu syarat." Kataku padanya.

"Apapun, asal hanya kau yang tahu." Aku tahu dia akan menuruti apapun yang terucap dari mulutku.

Perutku terasa sakit karena menahan tawa. Aku tidak akan pernah mengatakan apapun kepada siapapun, ini adalah rahasia kami.

"Kau harus membelikanku satu kaos spongebob."

"Deal!!!" Dia langsung menyepakati begitu saja, membuktikan bahwa dia benar-benar tak ingin rahasianya terbongkar. Aku hanya bisa menggeleng pelan, dia sangat mudah di manipulasi. Masih seperti dulu

Aku bangkit, dan membantunya untuk berdiri. Kemudian, aku membopongnya ke kamar mandi.

"Aku tidak harus menyabunimu kan?" Tanyaku. Nathan mengerlingkan matanya, dia berpura-pura tak mengerti maksudku. Pria ini, aku ingin memukul kepalanya dengan batu jika bisa.

"Jangan bercanda, Big Boy!" Aku memukul pundaknya dengan pelan. Dia tergelak.

"Selagi aku mandi, kau bisa bersiaplah!" Pintanya sembari mengacak rambutku. Aku hanya mengangkat bahuku, dan Nathan sudah berada di basah shower sambil bersandar.

"Kau bisa membukanya sendiri kan?"

"Ingin membantu?" godanya.

"Kau menyebalkan!" Aku berbalik kemudian pergi dari rumahnya dan pergi ke rumahku yang letaknya hanya di seberang jalan.

Setelah selesai dengan ritual mandiku, mengeringkan rambut cokelat gelapku, lalu menggulungnya asal, aku memakain t-shirt navy dengan menggunakan skinny jeans, setelah mengoleskan lip gloss, aku langsung berlari kembali ke rumah Nathan.

Seseorang sudah memarkikan mobil AMC Eagle di depan rumah Nathan. Aku berjalan mendekatinya, dan seseorang berdiri bersandar di depan mobil itu. Seorang pria, tinggi dengan rambut merah tembaga dengan mata biru tersenyum kearahku. Mungkin dia yang bernama Steffan.

"Hai!" Sapaku.

"Hai." balasnya,

"Kau pasti Steffan??" Tanyaku dengan membuat senyum diwajahku agar tampak ramah.

"Yeah, ba-" Ucapan Steffan terpotong saat pintu rumah Nathan terbuka. Nathan berdiri di ambang pintu, dan ia menggunakan pakaian yang kuambilkan untuknya. Sial, dia berjalan sendiri? Bagaimana jika kakinya tambah parah? Kenapa dia ceroboh sekali.

"Sial." Umpatku

Aku berlari kearahnya, begitu juga dengan Steffan. Kami berdua menahan tubuh Nathan.

"Kalian berdua kompak sekali!" Celetuknya, kemudian memandangi kami bergantian dan tertawa.

"Kau bisa saja terjatuh, kenapa tidak menungguku?!"

Nathan hanya mengangkat bahunya. Steffan masih membantuku dan Nathan untuk masuk kedalam mobilnya.

Setelah Nathan masuk, aku pun mengikutinya dan duduk di belakang. Sesaat kemudian, Steffan masuk ke kursi pengemudi.

"Aku tidak tahu kakimu terluka parah." Kata Steffan sembari menyalakan mesin mobilnya.

"Hanya dislokasi, bukan masalah besar" Jawab Nathan, "Ohya, kalian sudah saling mengenal atau?"

"Kau bisa memanggilku Mary." Kataku pada Steffan.

"Seperti yang sudah kau tahu, namaku Steffan."

Setelah menaikan volume speakernya dan terputar lagu Bruno Mars di sana, Steffan menjalankan mobilnya. Mereka berdua banyak bicara soal pertandingan, kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan. Dimana aku tidak mengerti sama sekali, jadi aku memilih untuk menatap keluar jendela.

"Kau mengambil jurusan apa, Mary?" Suara Steffan mengacaukan kedamaian anganku.

"Bahasa Inggris, bagaimana denganmu??"

"Sama, tapi aku tidak pernah melihatmu sebelumnya"

"Mungkin kau terlalu sibuk berlatih" Jawabku asal, dan Steffan tidak mengelaknya. Ia malah tertawa mendengar jawabanku.

"Yea, kau benar. Aku hanya sesekali masuk kelas." Kenapa membolos terdengar lucu untuk Steffan? Ini kuliah, dan dia mengentengkannya? Sepintar apa dia sebenarnya?

Beberapa saat kemudian, kami sampai di Chuck's Lit. Aku melihat banyak kendaraan yang terparkir di halaman Chuck's. Hari ini adalah hari keberuntungan Chuck's pastinya, dan beruntungnya aku karena hari ini bukan hari kerjaku.

"The Roaxen juga datang" Kata Steffan

"Roaxen??" Tanyaku.

"Yea, Cheerleaders universitas, kau tidak mengenal mereka?" Steffan tampak heran.

"Haruskah???" Steffan dan Nathan tertawa. Aku serius, haruskah aku mengenal tim pemandu sorak di universitas kami? Maksudku, kampus kami sangat luas, tidak mungkin jika aku mengenal seluruh orang yang di kampus.

Atau mungkin aku yang terlalu tertutup?

*T*o be continued,

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!