NovelToon NovelToon

GARA-GARA AJIAN SUKMO KENONGO

Gara-gara Toge Pasar

Lisa dan Nina mengambil duduk di bagian paling pojok salah satu coffee shop paling family di kota Surabaya bagian barat. Dua cangkir kopi dan dua piring makanan ringan baru saja dihidangkan oleh waiter.

“Mau cerita apa?” tanya Nina begitu waiter dengan wajah lumayan tampan meninggalkan mereka.

Lisa menghembuskan nafas panjang. Menikmati satu potong roti bakar terlebih dulu sebelum mulai bercerita.

“Intinya aku nggak tahu harus gimana lagi. Hubunganku dengan Reza makin lama makin nggak jelas. Makin jauh, makin adem, makin melempem!”

“Maksudnya gimana? Tapi kalian belum putus, kan? Atau lagi break mungkin? Atau gimana?” cerca Nina beruntun. Ia sengaja memberondong Lisa dengan banyak pertanyaan sekaligus karena mau menyeruput kopi lattenya.

“Reza dulu kalau malem rajin banget telpon. Bahkan tiap pagi sebelum ngantor pasti video call cuma buat absen muka. Sekarang? Jangankan nelpon, aku chat selamat pagi balesnya jam makan siang, kalau nggak malah pas udah pulang kantor!”

“Reza punya sekretaris baru ya?” tanya Nina keluar topik utama pembicaraan. “Aku denger ini dari anak-anak telemarketing, lupa terus pas mau nanya kamu!”

“Asmen kali, Nin! Namanya Viona. Cantik. Cerdas. Rambut bagus kek bintang iklan shampo, ramah, fashionable, sopan, rajin menabung, trus apalagi ya?!” jawab Lisa kesal.

“Ganas? Agresif? Hot?”

“Kayaknya semua itu deh yang bikin Reza jadi sibuk banget sekarang, sampai lupa sama aku--calon istrinya! Mungkin juga karena Viona toge pasar, lebih seksi dibanding aku.”

Nina tergelak mendengar kata toge pasar yang merupakan kependekan kata dari ‘tokket gede panthat besar’. Ia melihat bodi sahabatnya yang langsing cenderung kurus, dengan ukuran dada pas-pasan. Tidak terlalu besar, tidak kecil juga.

“Jadi kamu ngerasa Reza berubah sejak ada cewek itu? Apa mungkin mereka dekat karena hubungan pekerjaan, menejer-asmen?”

Lisa menggelengkan kepala seraya tersenyum kecut. “Nggak tau juga. Yang jelas Reza udah berubah. Dulu dia sering ngajak aku keluar kalau weekend. Makan, nonton, wisata. Sekarang nihil. Kalau tak ajak keluar, alasannya banyak betul. Yang sibuklah, yang meeting lah, yang keluar kotalah!”

“Memang segitu sibuknya ya jadi manager operasional sampai nggak ada waktu buat calon bininya? Menurutku udah dalam tahap mencurigakan itu, Lis!”

“Jadi aku harus gimana? Aku ngajak kamu kesini bukan cuma buat ngopi ma curhat, aku butuh solusi. Jujur aku masih cinta banget sama Reza, aku nggak bakal siap kalau harus putus dari dia. Mana ortu udah setuju kalau tahun depan kami nikah,” keluh Lisa dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya berubah sendu dan kecewa berat.

Nina mengerutkan dahi seperti sedang berpikir keras. Suaranya sedikit pelan dan serius ketika bicara, “Pernah denger tentang ilmu pelet nggak? Katanya ada dukun sakti dari Banyuwangi yang bisa bikin cowok ganteng berkantong tebal ngejar cewek mengenaskan kek kita-kita ini.”

“Heh, serius kamu mau bahas pelet buat solusi masalahku? Pake bantuan dukun?”

“Why not?” Nina menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan kalau suaranya tidak akan terdengar pengunjung kafe lain. “Temen kostku cowoknya hampir kabur sama cewek lain. Tapi akhirnya malah lengket banget kek lem besi. Pas aku tanya, katanya habis dari Banyuwangi. Minta bantuan mbah dukun!”

Lisa menatap Nina dengan ekspresi ragu, tak percaya, tapi juga penasaran. “Semanjur itu?”

“Kenapa nggak dicoba aja, Lis? Daripada kamu kehilangan Reza. Mumpung belum terlambat juga. Nanti aku tanyakan alamat dukunnya ke temenku ya?! Pastinya aku juga bakal ikut nganterin kamu ke dukun Banyuwangi itu! Jadi kamu tenang aja.”.

“Siapa nama dukunnya?” tanya Lisa sambil menyiapkan ponsel. Ia berniat mencari informasi tentang dukun yang dimaksud melalui internet. Bukan tidak mungkin dukunnya punya sosial media juga, kan?

“Nyi Sekar Asih kalau nggak salah!”

Lisa segera mengetikkan nama itu di layar ponselnya, lalu menunjukkan pada Nina. “Ini bukan sih? Ada artikel khusus yang mengulas sepak terjang Nyi Sekar Asih. Julukannya ratu pelet penguasa asmara sejagat raya.”

“Ya udah weekend ini kita kesana. Siapin aja foto Reza!” usul Nina penuh semangat. “Sekalian liburan, Lis! Dah lama kita nggak mantai.”

“Foto mah banyak di hp, tinggal cetak doang!”

“Kalau bisa bawa bagian tubuhnya juga, Lis. Rambut, kuku, gigi, upil atau dakinya kalau ada. Biasanya syarat yang begitu lebih manjur! Ya siapa tau, buat persiapan aja!”

“Hadeeeh, ada-ada aja!”

“Beneran kok ini!” ucap Nina meyakinkan. “Daripada bolak-balik? Banyuwangi jauh dari sini, Lisa! Yang antusias dikit gitu loh kamu itu. Ilmu perdukunan itu unik, nggak bisa dilogika.”

Lisa bersungut-sungut mendengar ide konyol Nina. “Iya, iya besok pagi aku samperin Reza ke ruangannya buat ambil bagian tubuhnya. Syukur-syukur bisa nyopet dompetnya sekalian!”

Nina terkikik geli. Ia menepuk pundak sahabatnya, “Nah gitu dong! Lumayan banget kalau bisa dapat dompetnya, jadi liburan kita ke Banyuwangi ada yang bayarin!”

“Heh, Reza itu masih cowokku! Nggak malu kamu liburan pakai duit dia?” ujar Lisa galak. Ia menepis tangan Nina dari pundaknya main-main.

“Nggak! Aku kan temen baik kamu, jadi ya otomatis temen baik Reza juga!” sahut Nina tanpa merasa bersalah. “Wajar kan kalau Reza bayarin teman baiknya liburan?”

“Dih ngarep banget!” cibir Lisa sarkastik. Namun demikian, ia terhibur oleh sikap konyol Nina.

“Jelas dong!” tukas Nina tak tau malu. “Dah minum dulu kopinya, Lis! Biar nggak step hahaha!”

Bersambung,

Kenongo Manjer Kawuryan

Lisa benar-benar menjalankan rencana yang sudah disusun bersama Nina kemarin sore. Ia datang ke kantor lebih pagi dan langsung menuju pantry untuk membuat teh.

“Mau saya bantu buatkan tehnya, Mbak?” tanya seorang office girl yang sedang membersihkan tempat tersebut.

“Nggak usah! Ini aku bikin spesial buat pacar, gula dikit tapi cintanya yang banyak,” jawab Lisa sekenanya. Ia ngeloyor membawa secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas.

Pintu bertuliskan manager room terbuka perlahan. Lisa masuk ruangan dengan senyum ceria. Jendela dengan kaca raksasa menampilkan cahaya matahari pagi berwarna keemasan.

Meja kerja manager sudah penuh dengan dokumen meskipun hari masih pagi. Dan di belakang meja itu, duduk Reza yang sudah sibuk memeriksa laporan.

“Pagi sayang, nih aku bawain teh buat kamu!” Lisa menyapa dengan suara ceria tanpa banyak basa-basi.

Reza mendongak mengangkat pandangan, membalas dengan tersenyum seperlunya. “Terima kasih!”

Di saat bersamaan, pintu ruangan terbuka. Seorang wanita cantik masuk membawa secangkir kopi panas. Ya, dialah Viona–si asisten manager. Perempuan yang membuat Lisa sakit kepala. “Ini kopinya, Pak. Sesuai request, tanpa krim and gulanya dikit banget.”

Lisa menoleh, menatap Viona dari atas ke bawah, lalu tersenyum masam. Ia meletakkan teh buatannya di meja kerja Reza dengan menahan rasa dongkol.

Tanpa memperdulikan Viona, Lisa menatap cukup lama ke arah kepala Reza. Ia baru berakting dramatis setelah mendapat kesempatan. “Eh, bentar, itu kok kayak ada senar pancing di kepala kamu, Mas!”

Reza menyipitkan mata, “Apaan sih?”

“Coba aku lihat!” Tangan Lisa terulur ke rambut rapi Reza, matanya pura-pura memastikan apa yang dilihatnya. “Ya ampun! Ada rambut putih nyempil, kirain senar pancing. Weh, dah tua kamu, Mas!”

“Serius? Banyak, Lis?” tanya Reza was-was.

“Baru lihat satu sih. Aku cabut ya biar nggak nyepet-nyepetin mata!”

Lisa seharusnya hanya butuh satu helai, tapi karena terlalu semangat, ia memegang terlalu banyak rambut hingga ada empat atau lima rambut tercabut sekaligus.

“Aduh!” keluh Reza spontanitas.

“Hadeeeh bandel banget sih ubannya! Sakit ya, Mas? Tapi udah dapet kok,” ujar Lisa yang langsung menyingkir dan menyambar tisu dari atas meja. Pura-pura mengelap tangan yang terkena pomade rambut. “Yaudah aku balik kerja lagi, tehnya diminum ya, Mas!”

“Hem,” jawab Reza sambil mengusap kepalanya.

Begitu Lisa keluar ruangan, Viona mendekati meja kerja atasannya. “Kopinya mau taruh dimana ini, Pak?”

“Di sini!” Reza menunjuk meja tempat teh buatan Lisa berada. “Tehnya kamu pindahin deh! Atau ambil aja kalau kamu mau. Aku mau minum kopi buatan kamu aja pagi ini.”

“Baik, Pak!” Viona tersenyum manis sambil mengangguk. Ia merasa diberi angin oleh pria yang jadi atasannya itu. Viona pun mengambil teh yang masih panas itu dan membawanya ke pantry, memberikannya pada office boy yang sedang mengepel lantai.

Sementara itu di ruang administrasi, Lisa membuka gumpalan tisu yang dibawanya dari tempat Reza. “Yeeeesss, berhasil! Tapi nggak berhasil banget sih, nggak dapat dompetnya Reza gara-gara cewek sialan itu.”

***

Dua hari berikutnya, Lisa dan Nina menjalankan rencana selanjutnya, yakni mengunjungi Nyi Sekar Asih di Banyuwangi.

Rumah Nyi Sekar Asih bukanlah tipe bangunan tua menyeramkan seperti dalam film-film horor. Rumah itu modern dan asri. Bau dupa menyeruak dari dalam rumah, membuat polusi udara hingga teras dan halaman.

Lisa dan Nina dipersilahkan masuk oleh seorang pria dengan baju penadon warna hitam. Pakaian yang biasanya menjadi ciri khas seorang dukun atau guru spiritual.

“Silahkan duduk, dan tunggu sebentar!”

“Terima kasih!” sahut Nina cekatan. Mereka duduk di atas tikar pandan, di depan sebuah meja yang diatasnya ada tempat untuk membakar dupa. Asap putih berbau kemenyan mengepul dari tempat bakaran itu.

Tak lama, seorang wanita usia setengah abad muncul. Sorot matanya tajam menelanjangi Lisa dan Nina yang langsung mengangguk sopan.

Sekilas pandang, Nyi Sekar Asih tampak seperti sinden yang siap tampil ke panggung. Dandanannya cukup nyentrik, tapi semua orang pasti setuju kalau dukun pengasihan itu sangatlah cantik.

“Wanita muda jelita, datang membawa hati yang terluka,” kata Nyi Sekar dengan senyum misterius.

Nina menunjuk Lisa yang duduk di sebelah kirinya dengan ibu jari, “Dia yang hatinya sedang terluka, Nyi! Namanya Lisa. Dia yang butuh bantuan Nyi Sekar!”

Mata Nyi Sekar menatap lurus ke manik Lisa. “Hatimu penuh dengan kecemasan dan kegelisahan. Apa lelakimu telah berpaling pada wanita lain?”

Lisa sedikit gentar dengan cara Nyi Sekar ketika bicara dan menyorotnya. Ia mengangguk dan menjawab dengan suara pelan. “Pacar saya mulai berubah sejak ada pegawai baru di tempat kerja.”

Nyi Sekar menutup mata beberapa saat untuk menerawang situasi, “Laki-laki itu masih bisa dikunci hatinya. Dia belum sepenuhnya lepas. Hanya saja, waktunya tidak terlalu panjang karena dia sudah terpengaruh. Harus cepat bertindak agar bisa kembali mencintaimu sepenuhnya!”

“Jadi, apa yang harus saya lakukan, Nyi?”

“Kenongo manjer kawuryan!” jawab Nyi Sekar Asih. “Kamu bawa foto atau rambutnya?”

“Bawa, Nyi!” Sambil menyodorkan syarat yang diminta Nyi Sekar, Lisa mengerjap beberapa kali dengan ekspresi bodoh. Sungguh ia tak paham dengan ucapan Nyi Sekar. “Artinya apa ya kenongo-kenongo itu, Nyi?”

“Kenongo manjer kawuryan artinya bunga kenanga yang bisa menyebarkan pesona dan disukai banyak orang. Aku akan menggunakan mantra untuk mengunci hati lelakimu! Pelet sukmo kenongo ini akan membuat lelaki itu tergila-gila padamu selamanya!” terang Nyi Sekar sembari menatap tajam foto Reza. Nyi Sekar juga menghanguskan rambut Reza dengan cara memasukkannya ke pembakaran dupa sambil membaca ajian pengasihan yang diwariskan ayahnya.

Kemudian, Nyi Sekar mengambil sebotol air mineral yang sudah tersedia di belakangnya. Berkomat-kamit cukup lama, lalu memasukkan dua kuntum bunga kenanga ke dalam botol tersebut.

“Ini adalah air sukmo kenongo, air pengikat hati kalian. Minumlah beberapa teguk! Selanjutnya kamu harus memastikan lelakimu juga minum air ini.”

Lisa menerima air mineral yang diulurkan Nyi Sekar dan minum beberapa tegukan. “Tapi air ini bau bunganya agak menyengat, Nyi. Pacar saya mana mau minum nanti? Dia pasti curiga dengan saya, curiga kalau airnya ada guna-guna peletnya.”

“Air itu bisa direbus untuk digunakan membuat teh atau kopi. Yang penting, air sukmo kenongo harus masuk ke tubuh lelakimu paling lama tiga hari dari sekarang!”

“Oh, baik, Nyi!”

Nyi Sekar kembali menjelaskan, “Keraguan bisa memutus ikatan, jadi kamu harus yakin dengan pilihanmu. Jangan sampai ada penyesalan, karena lelaki yang sudah terkena pelet sukmo kenongo tidak akan meninggalkanmu! Tidak akan lepas dari cengkramanmu.”

Lisa mengangguk-anggukan kepala. “Kami memang sudah berencana menikah tahun depan, Nyi! Jadi saya tidak akan menyesali penggunaan pelet ini.”

“Dalam waktu tiga hari kamu akan melihat perubahan besar pada diri lelakimu. Sedangkan perubahan pertama, kamu bisa lihat langsung setelah beberapa jam lelakimu minum air itu.”

“Siap, Nyi!”

“Pada malam hari, lelakimu akan gelisah dan mulai mencari-cari dirimu. Cemas jika tidak dapat kabar darimu, dan inginnya selalu dekat denganmu! Itu efek normal setelah minum air sukmo kenongo.” sambung Nyi Sekar.

Nina menyikut Lisa, menambahkan penjelaskan dengan penuh semangat, “Berarti Senin besok kamu harus nyatronin do'i lagi ke ruangannya, Lis. Bawain kopi kesukaannya sebelum si asmen datang!”

“Gampang kalau soal itu, Nin!” sahut Lisa. Ia kembali fokus pada Nyi Sekar karena ingin bertanya, “Apa ada pantangannya, Nyi?”

“Tidak ada pantangan khusus,” jawab Nyi Sekar. “Tapi, supaya energinya tidak rusak, jangan sampai air ini kena cahaya matahari!”

“Baik, Nyi! Saya paham.”

“Semoga lukamu terobati dan hati lelakimu tak lagi berkelana!” kata Nyi Sekar tulus. Kali ini senyumnya ramah seperti seorang ibu pada anak gadisnya.

“Aamiin. Terima kasih bantuannya, Nyi Sekar!” ucap Lisa antusias.

Nina mewakili Lisa undur diri setelah menyerahkan amplop berisi pembayaran jasa Nyi Sekar.

“Apa acara kita selanjutnya, Lis? Mantai di Pulau Merah, Sukamade, Teluk Ijo apa Wedi Ireng?” tanya Nina begitu mereka keluar rumah Nyi Sekar.

“Pulau kapuk!” jawab Lisa dengan ekspresi malas.

Bersambung,

Kopi Sukmo Kenongo

Suasana kantor masih lengang saat Lisa tiba. Setelah absen dan menata mejanya ala kadar, Lisa membawa tasnya menuju pantry. Sebelum itu, ia sengaja lewat ruangan manager operasional untuk memastikan kekasihnya sudah ada di dalam.

Ya, Reza memang serajin dan sedisiplin itu kalau soal kerjaan. Mungkin itu juga yang membuat Reza dipercaya mengemban jabatan sebagai manager operasional di usianya yang baru 30 tahun.

Di dalam pantry, Lisa langsung merebus air yang diberikan Nyi Sekar, dan segera menyimpan botolnya ke dalam tas lagi. Ia membuat kopi sambil celingukan dan dengan lebih waspada. Untungnya belum ada office girl yang datang.

Tepat setelah kopi selesai dibuat, terdengar suara langkah sepatu mendekat menuju pantry. Lisa menghembus nafas lega. Ia segera membuang sisa air rebusan dan membilas panci dengan air keran. “Untung udah kelar!”

“OB belum datang?”

Lisa menoleh, sedikit tercekat saat menyadari siapa yang sedang bertanya padanya. “Gimana, Pak?”

“OB?”

“Belum, Pak!”

“Kamu sedang apa di pantry?” tanya David, yang tak lain adalah direktur utama di perusahaan tempat Lisa bekerja.

“Bikin kopi, Pak!”

“Buat siapa?”

“Ehm anu … ini saya buat untuk manager operasional!” Lisa menunjukkan kopi di tangannya yang siap dibawa ke ruangan sang kekasih.

“Sini kopinya buat saya dulu, kamu bikin lagi aja yang buat Reza! Saya keburu waktu, ada meeting pagi dadakan!” ujar David dengan tatapan garang, plus mengintimidasi.

Lisa tak bisa menutupi rasa panik yang melanda dirinya. Bisa berabe kalau sampai kopi Reza diminum Pak David, pikirnya. “Tapi, Pak? Ini pahit, gulanya dikit banget. Kayaknya nggak sesuai sama selera bapak.”

“Tahu dari mana kamu kalau saya nggak suka kopi pahit? Sini kopinya! Reza pasti nggak keberatan nunggu sebentar, lagian bikin kopi nggak butuh waktu lama. Boleh ya?” Kali ini suara David sedikit melembut meskipun tetap menunjukkan wibawanya.

Lisa mati kutu. Ia jelas tak memiliki alasan untuk menolak. Bukan hanya karirnya yang dipertaruhkan, tapi juga harga dirinya sebagai karyawan di perusahaan itu.

Dengan ekspresi linglung, Lisa mengulurkan kopi buatannya pada sang direktur utama. “I-iya, silahkan, Pak! Semoga rasanya tidak mengecewakan.”

“Thanks.” David mengambil kopi dari tangan Lisa, tersenyum seikhlasnya, lalu pergi begitu saja tanpa babibu lagi.

Lisa terpaku. Panik. Wajahnya pun langsung memucat. Tangan kanannya spontan menepuk dahi keras-keras. “Mampus gue!”

Beberapa detik berikutnya, Nina muncul dari arah berbeda dengan kepergian David. Suara ketukan sepatunya membuat Lisa cepat-cepat menoleh. “Gimana, Lis? Udah bikin kopinya?”

“Ya ampun, Nin! Mati aku!”

Nina mengamati wajah pucat Lisa dengan raut heran. “Kamu kenapa? Abis liat hantu?”

“Kopi, Nin! Kopi. Kopi yang seharusnya buat Reza diambil sama Pak David!” Lisa bercerita dengan wajah frustasi, bahkan hampir menangis.

Kontan saja Nina membelalakkan mata. “Kopi yang ada air peletnya? Kok bisa? Kamu nggak cegah? Kenapa nggak kamu buatin kopi yang baru buat Pak David? Kamu gimana sih?”

“Haduuuh, aku beneran nggak bisa nolak, Nin! Pak David mintanya itu sambil langsung ngambil kopi dari tanganku. Aku disuruh bikin yang baru buat Reza karena dia buru-buru mau meeting.”

“Kamu nggak usaha ngasih pengertian?”

“Aiissshh kamu ini kek pelit banget akunya cuma perkara kopi aja perhitungan?! Nggak mungkin dong aku nggak ngebolehin, secara aku ini siapa? Cuma karyawan rendahan di perusahaannya. Sial, sial, sial!” rutuk Lisa pada dirinya sendiri.

Nina nyengir kuda sambil garuk-garuk pipi. “Busyet dah, gimana jadinya kalau yang kena pelet malah pak direktur utama?”

“Gimana dong, Nin? Aku nggak mau lah kalau Pak David yang kena imbasnya. Mana umurnya udah empat puluh tahun, udah tua banget, Nin! Selisihnya lima belas tahun sama aku. Nggak deh, nggak mau aku. Ketuaan! Apalagi dia duda, udah punya anak pulak! Rugi perawan aku, Nin. Rugi!”

Nina mengomel, “Kamu seharusnya bersyukur kalau sampai dapat Pak David, Lis! Lihat yang bener dulu sebelum memberikan penilaian!”

“Salahnya dimana aku, Nin? Itu fakta, bukan opini!”

“Denger, Pak David mungkin memang udah berumur, tapi jelas tidak tua seperti yang kamu bilang barusan. Badannya masih bagus banget, kelihatan dari hasil rajin nge-gym, tampangnya emang nggak seganteng Reza, tapi not bad. Pak David sama sekali nggak bisa dibilang buruk rupa, dia tinggi, tegap, kharismatik, penuh wibawa, dan yang jelas dia kaya raya. Jauh kalau dibandingkan sama Reza-mu itu!”

Lisa menyela, “Tapi statusnya itu loh? Duda beranak satu! Aku kan jadi agak gimana, masa perawan aku pecah sama duda? Kamu gimana sih kok malah jadi belain pak bos?”

“Heh, yang penting itu hot tauk! Lagian nggak ada bedanya duda sama perjaka, Lisa! Emangnya perempuan,” sahut Nina jengkel. “Satu lagi yang perlu kamu tahu, siapa sih di dunia ini yang mau menyandang status duda atau janda? Pasti ada alasan kuat kenapa orang sampai rumah tangganya bubar!”

“Kamu kek paham banget urusan beginian, Nin! Salut deh,” ujar Lisa cengengesan, dan tak peduli. “Tapi aku nggak tertarik sama Pak David, titik! Jadi … tolong bantu aku, ini masalah gimana solusinya?”

Nina berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya memberikan solusi. “Kayaknya harus tanya ke Nyi Sekar, Lis! Hal begini pasti sudah masuk prediksi dia. Nanti istirahat siang coba aku telepon Nyi Sekar, mau nggak dia kalau kita konsultasi by phone.”

“Oke sip! Aku tunggu informasinya. Thanks. Kamu emang sahabat terbaik, Nin!”

“By the way, airnya masih ada? Buat aja lagi kalau masih ada sisanya! Mumpung OB belum pada ke pantry,” usul Nina sambil celingukan.

Lisa mengeluarkan botol air mineral kosong dari dalam tasnya, lalu melempar botol tersebut ke tempat sampah. “Habis!”

“Kacau!” Nina memutar langkah, kembali menuju ruangan telemarketing tempatnya bekerja sambil menggerutu, “Masih pagi udah disambut masalah!”

“Sumpah aku nggak sengaja. Sorry jadi ngerepotin kamu lagi, Nin!” gumam Lisa pelan. Ia juga melangkah ke ruang administrasi yang setahun terakhir menjadi sarangnya mencari uang.

“I see.” Nina mengibaskan tangan sambil lalu.

Bersambung,

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!