“Sebuah keajaiban dunia bisa melihatmu bangun sepagi ini,” ujar Shinkai.
Seorang wanita yang dimaksud hanya melirik tajam sambil menutup mulutnya yang akan menguap.
Matahari menyingsing di arah timur. Semerbak aroma bunga nan indah tercium.
Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn, Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
“Apakah hari ini kamu akan pergi kerja, Shin?” tanya bu Dyn.
“Tidak. Proyek tambang berlian putih sudah selesai dua hari yang lalu.”
“Kalau begitu bolehkan kamu menemani Aimee untuk mengantar pesanan bunga Krisan di Tanduk Lebah.”
“Ah, daerah penghasil madu itu? Baiklah. Tapi aku ingin membeli madu juga di sana,” ujar Shinkai.
“Dasar. Biar aku aja, bu Dyn. Shin hanya akan fokus untuk mencari toko madu. Bukan rumah pemesan krisan,” timpal Aimee, sambil melotot ke arah Shinkai.
“Apa? Terakhir kali kamu pergi ke sana, wajahmu bengkak seperti bapau gosong. Sudah disengat, hari sedang panas-panasnya pula.”
“Itu hanya musibah kecil.”
“Tidak. itu adalah bukti bahwa kau melempar sarangnya untuk mencuri madu.”
“Diam, rambut sarang burung sialan!”
Sang pemilik toko bunga tersenyum lebar. Kelembutan sikapnya dapat membius siapapun. Ia selalu menjadi air bagi dua kobaran api di hadapannya. Bukan hal yang baru. Tiada hari tanpa keributan. Namun itu juga yang membuat kehidupan sang pemilik bunga lebih berwarna.
“Tenang saja. aku akan memberikan kalian uang untuk membeli masing-masing satu botol madu.” Bu Dyn menyejukkan suasana.
Seketika keduanya terdiam. Bersamaan dengan itu, muncul seorang anak laki-laki dengan baju kotor. Pagi-pagi sekali, ia sudah pergi menangkap serangga dengan teman-temannya.
“Neptune, apa yang terjadi dengan pakaianmu?” bu Dyn bertanya, sembari memegang bagian pakaian yang bernoda.
“Aku jatuh di kubangan, Bu,” jawab Neptune.
kemudian beralih melihat ke arah Aimee, “Hei, kak Aimee sedang menunggu jatah berlian gadis cantik?”
Shinkai menyipitkan mata dan memasang wajah curiga pada Aimee.
“Eh? Jadi itu alasanmu bangun pagi. Berlian? Gadis cantik? Pffftt,” cetus Shinkai, menahan tawa.
Dhuakkk.
Tendangan lurus Aimee telak mengenai perut Shinkai. Segera saja pemuda itu langsung memegang perutnya.
Jatah berlian gadis cantik merupakan tradisi yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang hendak mengungkapkan niatannya untuk menikahi seorang perempuan idamannya. Hal itu ditandai dengan munculnya sebuah berlian berbentuk hati yang diukir dengan nama pemilik berlian dan nama seorang gadis yang diinginkan. Biasanya dijumpai pada teras rumah, jendela, atau halaman.
“Perempuan di atas seperempat abad memang sudah waktunya memikirkan masa depan semacam itu,” ujar Shinkai dengan suara tercekat karena bekas tendangan Aimee.
“Apakah kau mau kena tending untuk yang kedua kalinya, tuan rambut sarang burung?”
Panggilan Shinkai yang semacam itu dikarenakan karena Shinkai memiliki warna rambut seperti coklatnya sarang burung. Adapun karena agak tebal, rambutnya akan mirip kusutnya sarang burung saat baru bangun tidur.
“Aku sampai lupa. Ternyata ini adalah hari pertama tradisi berlian gadis cantik,” ujar bu Dyn.
“Sayangnya, hari ini sudah lewat pukul 07:00. Artinya, semoga beruntung di hari lain, Aimee.” Shinkai berkata.
Shinkai langsung berlari kencang begitu Aimee menyiapkan ancang-ancang untuk menendangnya lagi.
Bu Dyn dan Neptune tertawa renyah.
Satu-dua pelanggan mulai berdatangan. Keduanya langsung memesan bunga mawar. Jenis bunga yang paling laku. Kedua pelanggan itu adalah sosok pemuda yang mungkin sepantaran dengan Shinkai, atau sedikit lebih muda. Padahal tidak terlihat seperti dua orang yang saling mengenal. Namun keduanya menampakkan sorot mata dengan binary yang sama. Serta sesekali tersenyum tipis.
“Mereka pasti telah melakukan jatah berlian gadis cantik,” bisik Shinkai pada Aimee.
Gadis itu tidak menanggapi. Ia sudah muak dengan ejekan Shinkai perihal tradisi menyebalkan itu. ia hanya fokus mencari-cari kantong plastik untuk dua pelanggan pertamanya.
Neptune sudah kembali setelah beberapa menit ke rumahnya untuk mandi. Aroma keringat bercampur lumpur itu menjelma aroma sabun dengan ekstrak buah manis. Ia sempat melihat kedua pelanggan itu ketika hendak membayar.
“Mawar lagi. Kenapa semua orang suka sekali dengan bunga jahat itu?” tanya Neptune, polos.
“Mau bagaimana lagi. Itu adalah bunga yang sangat cantik.” Aimee menjawab.
“Benar,” timpal Shinkai.
Sebuah jawaban yang membuat Aimee menoleh. Sebab ia jarang sekali mendengar Shinkai menggapi ucapannya seperti itu. biasanya, ia akan di bagian oposisi.
Lengang sejenak. Aimee masih melirik.
“Benar, kenapa orang-orang menyukai bunga dengan duri yang berkali-kali membuatnya terluka?” lanjut Shinkai.
Sial. Aimee membatin. Wajahnya tampak manyun dan masih melirik Shinkai dengan wajah tanpa dosa itu.
“Apa? Kau menunggu seseorang membawakanmu bunga mawar?” tanya Shinkai yang balas melirik.
Seketika Aimee berpindah ke depan Shinkai, “Hah? Apa kau bisa mendengar suara gaib tentang keinginan seseorang dalam hatinya?”
“Benar. Sekarang kau malah mengakui itu secara tidak sadar.”
Anatara malu dan marah bersatu. Wajah Aimee merah seperti kepiting rebus. Ia segera menarik kerah baju Shinkai sekuat tenaga dengan jeritan mautnya. Seperti biasa. Bu Dyn dan Neptune berperan sebagai penonton yang menikmati pertunjukkan tiada ujung.
“Apakah kalian tidak lupa untuk ke Tanduk Lebah?” Bu Dyn mengingatkan.
___ ___ ___
“Kak, apakah Tanduk Lebah masih jauh?” tanya Neptune.
Pada akhirnya, Neptune mengikuti langkah Shinkai dan Aimee untuk mengantarkan pesanan bunga.
“Sekitar seratus meter lagi, Neptune,” jawab Aimee.
“Berapa itu seratus meter? Apakah sama dengan push up sebanyak seratus kali?”
Shinkai menepuk dahi, “Tak ada laki-laki yang mengeluh, Neptune. Jadilah pria sejati atau kau akan tumbuh lembek seperti gadis galak di sampingmu.”
“HEI!”
“Tapi aku lelah sekali. Aku mau digendong!” keluh Neptune.
“Kamu sudah dewasa. Kakimu jauh lebih kuat dibanding kami.”
“Tidak. aku masih dua belas tahun!”
Sebuah jawaban yang membuat Shinkai seketika terdiam. Ia teringat akan sesuatu tentang masa lalunya. Kisah penuh lika-liku yang mengantarkannya pada desa penghasil tambang berlian terbesar itu. tentang bagaimana semuanya telah sampai ujung.
Ia yang pertama kali melihat dunia dengan penuh warna menyilaukan. Lalu menjelma buram, lantas redup. Hingga padam. Warna-warna itu raib hingga suatu hari datang sosok yang membawakan warna baru. Tidak sebanyak warna pertama. Cukup warna yang membuatnya tersadar, bahwa dunia tidak sebaik itu. Namun kau bisa menikmatinya dengan menjadi baik. Dengan kekuatan yang kau tempa dalam diri. Sekalipun sekali lagi ia kehilangan pembawa warna itu. hanya saja, warna yang ia bawa masih terpatri dalam sanubari.
“Kak?”
“Baiklah. Dia mulai terjebak dalam lamunannya,” ujar Aimee.
Dhuakkk.
Gadis itu menendang betis Shinkai.
“Argh!” keluh Shinkai yang terkaget-kaget. Seraya langsung melotot ke arah Aimee.
“Hei, Neptune. Dia sedang berkhayal meletakkan berlian di teras rumah Helai.”
Poin satu sama.
Neptune tertawa.
“Dasar orang kaya pelit. Yang benar saja 90 Iro ditawar menjadi 40 Iro saja. Dia pikir bunga krisan tumbuh dan mekar hanya dalam waktu dua hari tanpa perawatan,” keluh Aimee setelah selesai melakukan transaksi.
Iro merupakan mata uang di sana.
“Mau berapapun, tetap saja namanya uang,” ujar Shinkai.
Itulah mengapa ketika mengantar pesanan, mereka harus melakukannya berdua. Shinkai berperan sebagai pembawa pesanan yang berat, dan Aimee yang melakukan transaksi. Karena pernah suatu hari, Shinkai menjual pesanan seorang diri. Alhasil, ia menjualnya dengan harga berapapun yang ditawar pelanggan.
“Jangan pura-pura kalau bu Dyn pernah rugi karena perbuatanmu sarang burung sialan!”
“Ya, ya. baiklah, kau ingin membahas masa lalu yang tidak akan muncul dalam kehidupan di masa sekarang itu lagi. Baiklah.”
Aimee mengembuskan napas berat.
“Ya, itu tampak sulit. Tapi kamu sangat professional hingga kita mendapatkan bayaran 80 Iro.”
“Kita beruntung karena suaminya yang tidak suka keributan itu datang tepat waktu,” ucap Aimee.
“Lalu, apa masalahnya sekarang? Semua sudah selesai. Kita dapat uang yang sesuai.”
“Tapi ibu-ibu pelanggan tadi sama galaknya dengan kak Aimee,” timpal Neptune.
“APA?”
Lima menit berlalu. Mereka bertiga telah sampai di kebun yang dipenuhi sarang lebah. Neptune bersembunyi di balik punggung Shinkai. Khawatir jika kawanan lebah keluar dan menyerang. Namun sebenarnya, itu adalah lebah yang terkendali. Asalkan tidak diganggu dan diawasi pemiliknya, maka semua lebah di kebun itu tidak akan menyerang.
Pepohonan di sana sudah seperti mempunya buah-buahan berupa sarang lebah. Ukurannya kecil-kecil, namun melimpaah ruah. Jika menggunakan bahasa buah, maka ranumlah sarang –sarang tersebut.
Aroma manis bertahta di mana-mana. Beberapa meter dari jarak kebun itu, sudah tercium dan memanjakan indera penciuman. Shinkai sudah mabuk akan kenikmatan duniawi. Hingga tanpa sadar ada sebuah batu berukuran sedang yang tertanam. Ia tersandung hingga terjatuh dan membuat Neptune yang bersembunyi di belakangnya turut terjatuh.
“Ya ampun. Kalian ngapain, sih?” tegas Aimee yang dilanjutkan dengan berjalan meninggalkan dua temannya yang hinggap di tanah.
Keduanya berusaha berdiri setelah melihat punggung Aimee yang mulai menjauh.
“Kak Shinkai. Kotoran ayam menempel pada pipiku!”
“Menyingkir bocah bau! Kau merusak aroma madu!”
Di balik langkah cepat Aimee, padahal gaids itu sedang menahan tawa dengan tingkah Shinkai dan Neptune. Namun enggan ia tampakkan sebagai sosok yang memiliki tingkatan gengsi setinggi gunung.
“SERANG!” seru Neptune sambil melompat ke punggung Shinkai hingga pemuda itu terjatuh untuk kedua kalinya.
“Huekkk. Menyingkir!” tegas Shinkai menahan jijik.
Anak lelaki nakal itu sengaja menempelkan pipinya pada punggung Shinkai dan menggunakan baju Shinkai untuk mengelap kotoran itu.
“AKAN KU LEMPAR KAU BOCAH MANJA!”
Sudah belasan meter Aimee dari tempat mereka. Neptune tertawa puas. Sedangkan Shinkai langsung membuka bajunya.
“Sedang bermain perang kotoran?”
Sosok lelaki berambut lurus dengan poni tipis yang agak panjang. Bermata sipit dengan warna keemasan terdampak sinar matahari.
“Taba?”
“Taza!” ucap pemuda itu dengan santai namun menusuk.
“Hei, ke mana saja kau selama dua tahun ini?”
“Dua bulan.”
“Apakah buah pir tetanggamu sudah berbuah.”
“Itu mahoni.”
Itu adalah Taza. Teman Shinkai yang tujuh tahun lalu membersamainya memberontak. Ya, mereka adalah pemuda yang tampak normal dan tumbuh dengan baik. Di balik semua itu, tersimpan masa lalu gelap yang penuh darah.
Tanpa ragu, Shinkai langsung melempar bajunya ke arah karung sampah di dekat pohon. Teman Shinkai bernama Taza itu melompat jauh hingga berhasil meraih baju Shinkai.
“Apa yang kau lakukan, heh?” tanya Taza.
“Entahlah. Semua orang akan mencium aroma tak sedap jika membawanya pulang,” jawab Shinkai.
Dengan ekspresi sok bijak, Taza melangkah perlahan dan menepuk pundak Shinkai. Ia menggelengkan kepala seperti sedang kecewa berat, “Bukankah ini benda yang sangat berharga di masa lalu?”
“Iya, berharga bagi santapan ayam sebelum diolah.”
“Bukan kotorannya, sialan. Bajumu. Bukankah ini pemberian dari—”
Secepat kilat, Shinkai menerjang Taza untuk menutup mulutnya rapat-rapat, sembari melirik ke arah Neptune.
“Huekkk. Tanganmu bau!” keluh Taza setelah berusaha melepaskan.
“Ah, kita bertiga sudah terkontaminasi kotoran ayam,” ujar Neptune, polos.
Sementara itu, Aimee sudah kembali dengan dua wadah sedang berisi madu yang dibelinya. Wajahnya tampak murka. Sampai seolah-olah, mata melototnya bulat sempurna. Tepatnya ke arah Shinkai. Tatapan yang hendak menerkam mangsa. Namun seketika menyipit, setelah beberapa langkah ia mendekat. Aroma itu tercium, membuat gadis itu benar-benar mual.
“Kau butuh bantuan? Maaf, kami sedikit ada masalah antara lelaki di sini,” ucap Shinkai dengan langkah mendekat. Tentunya untuk menjahili Aimee.
“TIDAK!”
Aimee berlari kencang membawa dua wadah sedang yang tidak ringan itu. Shinkai mengejar dengan ekspresi menyebalkan. Disusul Neptune yang ikut-ikutan.
“Mau ke mana, nona lebah madu?” seru Shinkai.
“Aku juga mau madu kakak yang cantik!” timpal Neptune.
“PERGI! MENJAUH DARIKU!”
Siang yang teduh di bawah pepohonan rindang. Menampakkan silau dari celah-celah dedaunan dan ranting. Beberapa kawanan lebah muncul. Terbang ke sana luar sejenak, lalu kembali menuju sarang yang nyaman. Beraroma madu yang manis.
Pakaian polos bewarna abu-abu pudar itu masih pada genggaman Taza. Pemuda itu memandangi punggung tanpa kain pada teman lamanya yang mulai menghilang terbawa jarak. Mata sipitnya sedikit berkaca-kaca. Sudah lama sekali. Sebelas tahun silam. Ingatan itu tak jua lumpuh. Justru merambat membentuk cabang yang menguak kisah lebih detail. Napas berat berembus.
“Seharusnya kau tidak pernah mengenalkanku pada Shinkai. Dasar, om-om sok baik hati. Seharusnya, sekarang kau melihat punggung Shinkai sekali lagi. Sebuah punggung yang tidak pernah berbalik. Sekalipun berkali-kali aku ingin mengulang waktu untuk tidak pernah merentang jarak padamu. Jika itu tidak terjadi, maka aku tidak akan pernah kehilangan diriku. Tidak akan pernah menghabiskan masa remaja hanya untuk memerhatikan pertumbuhan dan perkembangan pemuda tak jelas seperti Shinkai. Seharusnya aku melihat diriku sendiri. Padahal kau tak pernah memintaku. Lihatlah, aku tidak menyadari tubuhku yang sudah bertambah 10 cm sejak kau menemukanku.”
Suara serangga berderik terdengar nyaring. Beberapa pekerja kebun lebah berdatangan. Setelah beberapa saat yang lalu terlihat dari kejauhan memeriksa bagian lain. Semua tampak akrab satu sama lain. Pekerjaan yang tampak ringan dan bersahabat. Tanpa ada yang saling melukai. Hingga menghabisi nyawa satu sama lain. Taza tersenyum tipis menyapa satu persatu pekerja. Lantas berjalan menuju toko madu yang berjarak beberapa puluh meter dari tempatnya berada. Ia menghirup aroma manis dengan sepenuh hati. Seolah membiarkan aroma itu menguasai indera penciuman. Sampai pada titik di mana aroma tidak sedap dari benda yang ia bawa itu tercium. Wajah berseri-serinya terjeda.
Sesaat, Taza menyadari bahwa ada sesuatu di kerah baju milik Shinkai. Sebuah kelopak bunga soka.
“Bau banget! Awas kau, Shinkai!”
“Hei, pemuda. Pindahlah ke bagian tepi sana. di sana masih banyak bongkahan besar untuk diselesaikan. Bagian ini sudah lebih dari cukup tenaga pria paruh baya seperti kami. Pergilah ke sana.”
Shinkai mengangguk. Lantas berpindah ke tempat bongkahan berlian yang dimaksud pria tadi. Kilau indah menyambut kedatangannya. Benar. Bagian itu butuh tenaga seperti Shinkai.
Tempat itu, atau desa tempat tinggal Shinkai, hingga beberapa desa di sekitarnya merupakan wilayah yang menghasilkan hasil alam seperti berlimpah ruah. Sehingga, sebagian besar mata pencaharian di sana adalah sebagai penambang berlian. Sekalipun bukan pekerja tetap, namun para pemuda seperti Shinkai selalu mendapatkan tempat untuk membantu pekerjaan tersebut.
Sekalipun kerap kali ditambang, namun tanah yang menyimpan berlian itu tidak pernah habis oleh alat-alat berat. Jika hari itu mereka menggali sepanjang belasan meter, maka belasan meter tersebut akan kembali seperti semula keesokan harinya. Bahkan bekas penggalian pun tidak tersisa. Itu adalah fenomena alam yang biasa di sana. Adapun belian seperti tumbuhan yang terus tumbuh dan berkembang. Sehingga, siapapun pasti akan memiliki berlian. Akan tetapi, tentu setiap penambangan memiliki pemiliknya masing-masing. Biasanya karena diturunkan dari beberapa generasi terdahulu. Total tempat penambangan di desa tersebut ada lima belas tempat. Sedangkan di desa-desa tetangga penghasil berlian lainnya hanya berjumlah dua sampai lima tempat saja.
Meskipun demikian, bukan berarti berlian tidak benar-benar istimewa. Jika benda tersebut dibawa ke kota atau negeri yang jauh dari tempat itu, maka harga jualnya akan sangat mencengangkan. Bisa mencakup harga minimal sepuluh kali lipat.
“Shin, baguslah kau di sini. Tolong habiskan bagian kecil yang tersangkut ini. Mata rabunku tidak melihatnya dengan jelas,” pinta seorang pria yang berusia tidak kurang dari 60 tahun.
“Yang itu nanti saja. kita harus meratakan bongkahan yang besar dulu,” tukas seseorang di dekatnya.
“Tapi serpihan ini akan mudah dibentuk menjadi mata kalung. Nine akan suka dengan hadiah semacam ini,” jelas pria tua itu.
“Cucumu lagi. Ayolah, kita punya prioritas lain di sini. Jangan egois.”
Shinkai melebarkan telapak tangannya pada sang pria tua, “Aku mendapatkan bongkahan berbentuk bintang kecil. Apakah ini cukup?”
Itu adalah berlian yang sengaja dibentuk oleh Shinkai beberapa waktu lalu untuk menghibur Aimee karena waktu tradisi Jatah Berlian Gadis Cantik telah usai. Ya, tentu saja daripada disebut menghibur, lebih cocok disebut mengejek.
“Berlian bintang hijau. Ini bahkan lebih indah dari pecahan tajam tadi,” jawab si pria tua.
“Itu warna merah, pak tua. Baru saja kau bilang itu bongkan kecil yang indah. Sekarang kau sudah berubah pikiran,” tegas si pria yang awalnya menolak permintaan di kakek untuk diambilkan serpihan kecil itu.
“Hei, diam kau pria kumis kusut. Pantas saja putramu selalu memanggilmu si kucing garong!”
Senyuman getir tersulam pada bibir Shinkai. Sambil melanjutkan pekerjaannya, ia menyimpan kecewa. Ayolah, seharusnya itu menjadi adegan yang menyentuh hati.
20 menit kemudian. Waktunya istirahat makan siang. Shinkai membuka bekal yang terbungkus kain merah. Itu adalah bekal buatan bu Dyn. Saat dibuka, isinya adalah nasi yang ditempelkan rumput laut berbentuk senyuman. Dengan lauk ayam goreng lembut tanpa tulang beserta saus gurih. Serta lalapan pucuk bunga mawar. Dengan gerakan cepat, Shinkai langsung membuang lalapan aneh itu ke semak-semak.
“Siapa juga orang aneh selain dirinya yang akan memakan menjadi semacam itu,” keluhnya dengan suara kecil.
“Hei, Shin. Apa makananmu hari ini?” tanya si kakek yang tadi.
“Hai, kakek Haru. ayam.”
“Itu terlihat lembut dan sedikit berair. Apakah gigimu sudah kropos sepertiku?” ujar kakek yang bernama Haru itu.
Belum sempat Shinkai menyentuh makanannya, pada ia sudah lapar sekali. Namun si kakek Haru terus saja mengajaknya untuk mengobrol dan bertanya ini dan itu. tangan kiri Shinkai yang bersembunyi di balik pahanya terkepal kuat sekali. Ia benar-benar sudah muak. Padahal beberapa kali perutnya meronta minta diisi.
“Dulu, sewaktu aku seusia denganmu. Aku punya teman yang selalu memakan makanan lembut. Ternyata, itu karena hidupnya tak lama lagi.”
Kurang ajar. Kau pikir aku penyakitan?
Kemudian, kakek Haru mengeluarkan selembar kertas kosong. Lalu diberikan kepada Shinkai.
Tangan Shinkai yang sejak tadi terkepal, kini digunakan untuk menerima itu. Walaupun dengan perasaan bingung.
“Ah, maaf. Penaku digondol anjing tadi pagi.”
“Baiklah, apa yang harus aku lakukan dengan kertas ini, Kek?” tanya Shinkai dengan suara yang agak meninggi bersama geram.
“Tuliskan wasiat sehingga aku akan terus mengenangmu seumur hidupku. Aku akan bersaksi bahwa kau anak yang baik.”
Kau yang jauh lebih tua, Kakek! Pikirkan batas usiamu. Geram Shinkai dalam hati.
Beberapa menit berikutnya, akhirnya kakek Haru menyantap makanannya dan menjeda ucapannya. Dengan begitu, Shinkai juga bisa melahap makanannya yang sudah dingin. Ia hanya bisa menahan sebal lagi. Sebab kenikmatan makanan hangat sirna sudah. Walaupun begitu, ia cukup bersyukur karena setidaknya waktu istirahat masih cukup untuknya menghabiskan bekalnya.
“Oh, iya. Di mana lalapan bungamu?”sambung kakek Haru.
“Tidak ada.”
“Benarkah? harusnya itu tidak pernah absen untukmu yang masih butuh asupan gizi.”
Shinkai hanya menjawabnya dengan senyuman tanggung.
Beberapa saat berikutnya. Makanan Shinkai telah tandas. Disusul di kakek Haru.
“Shinkai,” panggil kakek Haru saat Shinkai hendak kembali bekerja. Nada suaranya lebih dalam.
“Iya, Kek?” Shinkai bertanya setelah menoleh.
“Terima kasih, telah memberikanku berlian itu untuk Nine. Aku tahu, sebenarnya kau telah menyiapkan itu untuk orang lain.” Wajah si kakek tampak lebih serius.
“Tak apa. Itu tidak terlalu penting. Kau lebih membutuhkannya.”
“Itu karena keberanianmu yang sangat kurang, Shin. Terlalu takut ditolak, sampai kau tidak sempat mengukir nama dan melaksanakan tradisi Jatah Berlian Gadis Cantik.”
Seketika seluruh bagian dalam tubuh Shinkai seperti terbakar. Ya, terbakar emosi yang berjam-jam ia pendam sendiri hingga mengendap membentuk kobaran api dalam dirinya.
Siapapun pensiunkan pria tua sialan ini!
“Hei, cepat kembali bekerja anak muda. Kita tidak punya banyak waktu lagi. Sebentar lagi tanah ini akan tersusun ulang! Kau juga pria tua. Jangan menambah beban kami!”
“Baiklah, ayo kita kembali bekerja. Kucing garong itu sudah mencicit.”
Sejak kapan kucing mencicit?
Punggung yang agak membungkuk itu ditatap oleh Shinkai. Terbayang, betapa ringkihnya itu terlihat. Namun, ia masih mampu mengerjakan pekerjaan berat. Sudah lebih dari empat puluh tahun, kakek Haru menjadi pekerja tambang berlian. Kedua anaknya menjadi korban pemberontakkan tujuh tahun lalu. Meninggalkan seorang cucu yang kini menjadi keluarga satu-satunya. Shinkai termenung sejenak. Sebab ia adalah bagian dari tragedi itu. Ia tahu betul beratnya beban yang ditanggung kakek Haru. sekalipun orangnya sangat menyebalkan dan tidak bisa menjaga omongan. Namun, tak pernah mengeluh pada siapapun. Agar ia tidak akan mendengar kabar tidak mengenakkan yang disampaikan orang lain pada cucu kesayangannya.
“Maaf, aku adalah bagian dari orang yang merenggut warna dalam kehidupanmu,” bisik Shinkai dengan suara kecil sekali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!