Suasana di kota metropolitan itu cerah, namun tidak bagi Blue Rivero. Ia duduk di balik meja kerjanya yang megah, dikelilingi oleh dinding kaca yang memantulkan kemewahan ruang kerjanya.
Di usianya yang ke-30, Blue telah menjadi sosok yang diidamkan banyak orang, tampan, penuh kharisma, dan kaya raya.
Namun, di balik semua itu, ada beban yang tak terlihat oleh mata orang lain.
Sebagai pewaris tunggal perusahaan terkemuka milik ayahnya, Ricco Rivero, dia merasa terpenjara oleh tanggung jawab yang tak pernah dia minta.
Hidupnya telah diatur sedemikian rupa, termasuk pernikahannya yang akan segera terjadi dengan seseorang yang bahkan tidak dia kenal dengan baik.
Blue menghela napas panjang sambil memandang dokumen di depannya.
Ia mencoba fokus, tetapi pikirannya terus melayang ke masalah perjodohan itu.
Ayahnya, seorang pengusaha sukses yang keras dan tegas, selalu mengajarkan bahwa hidup adalah tentang tanggung jawab dan komitmen.
Namun, Blue merasa bahwa hidupnya telah direncanakan tanpa dia diberi pilihan.
Pernikahan yang akan dia jalani adalah hasil dari kesepakatan antara ayahnya dan seorang sahabat lamanya dari panti asuhan.
Ya, ayahnya, Ricco Rivero, adalah seorang pria tangguh tanpa keluarga yang berhasil menaklukkan dunianya.
Ricco sangat pekerja keras sejak kecil hingga mendapatkan semua yang dia inginkan.
Meskipun ambisisus, dia memiliki sifat dermawan karena dia pernah berada di bawah. Dan itulah yang dia ajarkan selalu pada putra semata wayangnya, Blue.
Ricco membuat kesepakatan dengan sahabatnya—Andre Forstrom—sejak Blue masih kecil untuk menikahkan anak mereka berdua di masa depan demi mempererat persahabatan mereka.
Dan sejak kematian Andre beberapa bulan lalu, Ricco mempercepat pernikahan itu karena dia ingin menjaga putri dari sahabatnya.
Ricco tahu bahwa Blue tak menerima hal ini. Tapi dengan berjalanannya waktu, Ricco yakin Blue akan menerima Red—yang merupakan gadis baik-baik dan polos.
*
*
Sementara itu, di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, Red, seorang wanita sederhana, sedang sibuk membantu ibu tirinya di peternakan.
Udara pagi yang segar dan sinar matahari yang hangat menyapa kulitnya yang putih bersih karena tinggal di daerah dataran tinggi.
Red, wanita berusia 23 tahun, hidup sederhana bersama ibu tirinya yang keras dan ayahnya yang sering kali tak berdaya menghadapi sikap sang istri.
Meskipun selama ini hidup dalam kekangan mendiang ayah dan ibu tirinya, Red selalu berusaha untuk tetap tersenyum dan bersyukur.
Ia tahu bahwa hidupnya tidak mudah, tetapi dia tidak pernah menyerah.
Red sering kali memimpikan kehidupan yang lebih baik, di mana dia bisa merasakan kebebasan dan kebahagiaan yang sejati.
Namun, impian itu terasa begitu jauh dari jangkauannya. Ia tahu bahwa hidupnya telah diatur oleh orang lain, termasuk pernikahannya yang akan segera terjadi dengan seorang pria yang bahkan tidak dia kenal.
Mendiang ayahnya, yang dulunya adalah sahabat karib ayah Blue, telah membuat kesepakatan itu bahkan sebelum Red lahir
Meskipun Red tidak pernah setuju dengan keputusan itu, dia merasa tidak memiliki pilihan lain.
Hari itu, Red menerima surat dari keluarga Rivero yang tinggal di kota. Surat itu berisi kabar bahwa pernikahannya akan segera dilangsungkan dalam waktu dekat.
Red merasa dadanya bergemuruh. Ia tidak siap untuk menikah, apalagi dengan seseorang yang tidak dia tahu.
Namun, dia tahu bahwa dia tidak bisa menolak. Kehidupan desa yang sederhana telah mengajarkannya untuk menerima takdir, meskipun itu berarti mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
“Kau terima perjodohan itu, Red?” tanya Lila—adiknya yang berbeda ibu.
Red mengangguk dengan pasrah. “Aku tak punya pilihan. Kau tahu itu, kan?”
“Seandainya aku bisa menggantikanmu. Aku muak tinggal di sini. Keluarga kita terlalu kuno dan seharusnya kau bersyukur karena akan dijodohkan dengan pria kaya,” sahut Lia.
“Bagaimana jika pria itu orang yang kasar dan menyiksaku? Aku tak terlalu peduli dengan harta. Keinginanku hanya ingin kuliah, tapi daddy tidak mengizinkan.”
“Ya, karena daddy terlalu gengsi untuk menerima bantuan dari teman kaya rayanya itu. Seandainya dia mau menerima bantuan itu, pasti kita akan tinggal enak di kota. Dia malah memilih tinggal di desa,” jawab Lila sambil melihat Red menjemur pakaian.
“Setidaknya kita tidak miskin, Lila. Kita hanya hidup sederhana dan daddy sudah menjaga kita dengan baik. Setidaknya kita tidak kelaparan dan sudah menyelesaikan pendidikan kita sampai high school.”
“Ck, kalian sama saja. Aku ingin pergi ke kota dan merubah nasibku. Jika kau sudah banyak uang nanti, bawa aku ke kota, ya?”
Red menghela napasnya. “Tidak, itu bukan hakku. Aku bahkan belum mengenal pria itu.”
“Kata mommy, dia pria yang tampan dan kaya raya. Mommy sudah melihat fotonya. Kau belum lihat?”
“Aku tahu, bukan itu maksudku. Aku belum tahu bagaimana karakternya. Bagaimana jika dia tak menyukaiku dan malah menyiksaku?”
“Ya … setidaknya, jika kalian bercerai, kau akan dapat harta banyak. Tak masalah, bukan? Sudahlah, nikmati saja. Semoga setelah kau menikah, kau bisa mengenalkanku pada pria tampan di sana. Jangan lupakan aku, ok?” jawab Lila.
Red tertawa pelan dan menggeleng pelan mendengar ucapan adiknya. Dia kemudian mengacak rambut adiknya yang memang selalu bicara blak-blakan.
*
*
Di sisi lain, Blue juga menerima kabar yang sama dari ayahnya. Ia dipanggil ke rumah keluarga untuk membicarakan persiapan pernikahan.
Blue merasa frustasi. Ia tidak ingin menikah dengan seseorang yang tidak dia kenal, apalagi dengan latar belakang yang begitu berbeda dengannya dan Blue juga sudah memiliki kekasih—seorang dokter.
Namun, dia tahu bahwa ayahnya tidak akan menerima penolakan dan ibunya tak akan banyak membantu.
Ayahnya selalu berkata bahwa kesepakatan itu adalah janji yang harus ditepati, dan Blue tidak punya hak untuk melanggarnya.
Karena jika dia melanggarnya, maka semua harta akan diberikan pada yayasan keluarga mereka dan Blue harus memulai usahanya dari awal lagi.
*
*
Ricco melihat kedantangan putra tunggalnya. Dia menyambutnya dengan senyum. “Akhirnya kau datang, Son.”
“Hmm … aku tak mungkin tak datang. Daddy akan selalu mengancamku,” jawab Blue dengan wajah datar.
Ibunya, Rency, ikut tersenyum melihatnya. “Ayo, kita langsung ke meja makan saja.” Lalu dia menggandeng lengan putranya.
*
“Apakah kita akan membahas pernikahan itu?” tanya Blue ketika mereka semua sudah duduk di meja makan.
“Ya, daddy mempercepatnya. Kau akan menikah minggu depan. Kami sudah mempersiapkan semuanya. Red akan datang dua hari lagi. Kau yang akan menjemputnya di bandara.”
Blue menghela napas. “Apakah ini satu-satunya cara untuk menolongnya, Dad?”
“Kita tidak sedang menolongnya, tapi daddy memang ingin kau menikah dengannya sejak awal. Dia gadis polos, baik, cantik, dan suci tentunya.”
“Jika itu kriteria yang daddy cari, Carol memiliki semua kriteria itu. Dia—“
BRAK!
Ricco menggebrak meja. “Kau masih saja membahasnya di saat kau akan menikah? Kau belum putus darinya? Bukankah sejak awal kau selalu diberitahu bahwa kau sudah memiliki calon istri?” Ricco marah.
Rency mengusap lengan Blue agar tak terpancing emosinya.
“Bagaimana jika kami tak cocok dan akhirnya bercerai?” tanya Blue.
“Kau sudah berpikir seburuk itu padahal belum menjalaninya? Kau tak boleh menceraikannya!!”
“Dad, belum tentu dia juga bahagia menikah denganku. Bagaimana jika dia menderita selama menikah denganku?”
Ricco terdiam sejenak. Lalu membuang napas. “Kalian harus memiliki anak. Setidaknya itu akan menyatukan kalian lebih erat. Dan ada penerusku dan penerusmu nantinya. Kalau pun kemungkinan terburuknya kalian bercerai—anak kalian akan menjadi penerus keluarga kita dan Red akan tetap menjadi putriku.”
Red berdiri di depan bandara, koper kecil tergenggam erat di tangannya.
Ibu tiri dan adik tirinya, Lila, hanya mengantarnya sampai di depan terminal keberangkatan.
"Kau yakin tidak mau dijemput keluarga Rivero?" tanya ibu tirinya sekali lagi, matanya penuh kecemasan dibalik sikap kerasnya selama ini.
Red menggeleng, mencoba tersenyum meyakinkan. "Aku bisa sendiri, Mom. Aku tak mau merepotkan mereka."
Lila, yang biasanya cerewet, kali ini diam saja. Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha tidak menangis. "Jangan lupa kirim pesan kalau sudah sampai," bisiknya, memeluk Red cepat sebelum mundur.
Red mengangguk, lalu berbalik. Langkahnya berat, tapi dia terus melangkah. Ini pertama kalinya dia pergi ke kota besar sendirian, apalagi untuk tinggal di rumah keluarga Rivero—keluarga yang hampir tidak dia kenal, dan membuka pintu untuknya dengan perantara wasiat ayahnya.
*
*
Sesaat setelah pesawat lepas landas, Red menatap keluar jendela. Awan-awan putih terhampar seperti kapas, tapi pikirannya melayang ke masa lalu.
Dia ingat ayahnya, yang meninggal beberapa bulan yang lalu, meninggalkannya dengan ibu tiri dan Lila. Rumah pertenakan mereka yang luas, kehidupan sederhana, tapi penuh kehangatan.
Namun, setelah ayahnya tiada, segalanya terasa berbeda. Ibu tirinya berusaha keras, tapi Red tahu, biaya hidup semakin berat.
Lalu, surat dari keluarga Rivero datang dan memintanya untuk mempercepat pernikahannya dengan Blue Rivero..
Red hampir tidak mengenal keluarga itu karena mereka memang tak pernah bertemu. Ayahnya saja yang dulu sesekali bertemu dengan Ricco Rivero dan itu pun di kota, tapi ayahnya selalu mengatakan bahwa keluarga Rivero adalah orang baik.
Dan sekarang, di sinilah dia, dalam penerbangan menuju kehidupan baru.
*
*
Bandara di kota sangat ramai, berbeda sama sekali dengan kota kecil tempatnya tinggal. Suara pengumuman, langkah kaki yang bergegas, dan kerumunan orang membuat Red sedikit pusing.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menunggu di depan karena Blue akan menjemputnya. Dan dadanya berdegup kencang karena dia memikirkan bagaimana reaksi Blue ketika melihatnya.
Red sadar bahwa dirinya sangat tak modis dan penampilannya sangat biasa. Dan dia bisa membayangkan ekspresi Blue ketika pertama kali melihatnya nanti.
Blue pasti akan kecewa.
*
*
"Nona Red Forstrom?" panggil seorang pria paruh baya di dekatnya.
Red menoleh dan melihat pria itu tersenyum padanya. "Ya, aku Red."
"Aku supir Tuan Blue. Hari ini Tuan Blue tak bisa menjemput karena ada pekerjaan yang cukup penting," kata pria itu dengan sopan.
"Ah ya, tak apa. Aku mengerti."
"Mari, silahkan naik ke mobil. Saya akan mengantar anda ke rumah keluarga Rivero."
Red mengangguk dan mengikuti langkah sang supir yang kini telah membawa kopernya.
*
*
Mobil hitam mewah keluarga Rivero meluncur mulus di antara arus lalu lintas kota. Red duduk di kursi belakang, matanya tak lepas dari jendela.
Gedung-gedung tinggi menjulang seperti raksasa kaca dan logam, memantulkan cahaya matahari yang keemasan.
Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah cepat, ada yang sibuk berbicara di telepon, ada yang tergesa menyeberang jalan, dan beberapa lainnya duduk santai di kafe-kafe tepi jalan.
Dia tersenyum.
Ini pertama kalinya Red benar-benar melihat kota besar dari dekat. Di kotanya yang kecil, gedung tertinggi hanya berlantai empat, dan jalanan tak pernah seramai ini.
Ada sesuatu yang menggetarkan di dadanya—perasaan aneh antara kagum dan sedikit takut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!